Sejak menerima persetujuanku, ibu merasa sangat senang. Ia seperti anak kecil yang menjuarai sesuatu. Senyum sumringah selalu menempel di wajahnya. Dengan semangat ia menyiapkan segala hal untuk menyambut kedatangan laki-laki yang akan dijodohkan denganku itu.
Perasaan ibu bertolak belakang denganku. Aku merasa begitu tidak berdaya karena aku tidak diijinkan menentukan jalan hidupku sendiri. Namun, apa yang bisa aku katakan lagi. Mereka benar. Aku hanya seorang perawan tua yang hidup masih menumpangi ibuku. Aku, hanya tamatan SMA. Masalah biaya, menjadi alasan aku tidak melanjutkan pendidikanku. Karena itu, aku bekerja siang malam untuk membantu orang tuaku membiayai pendidikan adik-adikku. Keadaan semakin sulit saat ayahku tiada."Assalamualaikum!"Aku mendengar dari kamarku ada yang memberi salam. Itu seperti suara Paman Surya."Waalaikumsalam," aku mendengar suara ibuku. "Silakan masuk!"Jantungku berdebar kencang. Hatiku merasa sangat tidak nyaman. Ingin rasanya menghilang saat ini. Aku mendengar suara derap langkah ibu. Kemudian ia mengetuk pintu kamarku.Tok! Tok! Tok!"Yun! Mereka sudah datang," beritahu ibu dengan berbisik.Dengan hati berat, aku membuka pintu kamar. Ibu memindai penampilanku dari atas sampai bawah. Ia tersenyum puas melihatku."Tolong kamu bawakan minum untuk mereka. Buat lima gelas termasuk untuk kamu juga!" perintah ibu padaku. Aku hanya mengangguk pelan. Jantungku sudah berdetak tak beraturan saat ini. Yang bisa aku lakukan hanya menuruti keinginan ibu.Aku datang ke ruang tamu kami dengan membawa nampan yang berisi lima gelas teh hangat dan satu piring cemilan yang dibuat ibuku tadi pagi.Dengan canggung aku menghidangkan isi nampan ke atas meja. Dengan sudut mataku, aku dapat mengetahui berpasang-pasang mata menatapku.Setelah semua yang ku bawa terhidang, aku pun menyimpan nampan di bawah meja dan duduk di samping ibuku.Ibu menyentuh pahaku dan tersenyum padaku."Yun, perkenalkan ini Arman, laki-laki yang akan dijodohkan denganmu," ucap ibuku lembut.Laki-laki yang bernama Arman itu mengulurkan tangannya seraya tersenyum ramah. Aku menyambut uluran tangannya, lalu kami pun bersalaman seraya menyebut nama masing-masing."Arman!""Yuni!""Bagaimana pendapat kamu tentang Yuni, Arman?" Paman Surya langsung menanyai Arman dengan gamblang. Aku sempat mencuri pandang dengan Arman. Aku menebak usia Arman pastilah beberapa tahun diatasku. Itu terlihat dari wajahnya. Kulitnya sawo matang dan tubuhnya tidak kurus juga tidak gemuk. Ia termasuk tegap untuk ukuran laki-laki seusianya.Arman tersipu malu. Ia terus menatapku. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Aku mengalihkan pandanganku dengan menunduk, untuk menghindari tatapannya yang menghujam padaku."Ternyata Yuni lebih cantik saat dilihat langsung, bang!" puji Arman padaku tanpa melepaskan tatapannya dariku.Aku tersedak dan terbatuk. Rasa canggung menguasaiku. Segera aku mengambil gelas tehku dan meminumnya.Paman Surya dan ibu tertawa mendengar jawaban Arman."Bagus! Bagus! Jadi apa kamu yakin untuk memperistri keponakan Abang, Man?" tanya paman Surya.Aku mendongak menatap padanya. Mengapa dia tidak memberikan pertanyaan itu padaku? Tidak pentingkah pendapatku? Pikirku sedih."Aku yakin, bang. Aku siap membawa orang tuaku ke sini untuk melamar Yuni. Betul kan, bang?!" Arman melihat ke arah temannya yang dari tadi diam."Kalau saya ikut kata Arman saja. Karena dia yang akan menjalankan pernikahan ini kelak dengan Yuni," ucap laki-laki itu.Paman Surya dan ibu saling pandang dengan senyum puas."Yuni," ibu memanggilku lembut. "Menurutmu, kapan sebaiknya kalian melangsungkan pernikahan?"Hatiku sedih saat ibu menanyakan pertanyaan itu. Bukankah seharusnya ibu mempertanyakan kesediaanku dulu? Namun membantah ibu saat ini hanya akan menambah masalah. Sudah dapat dipastikan aku akan menjadi pihak yang dipojokkan tanpa peduli apa yang aku rasakan. Akhirnya aku hanya bisa bersikap pasrah."Yuni terserah ibu dan Paman Surya saja," jawabku lirih dengan nada lesu. Ungkapan perasaanku sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Mereka semua tersenyum bahagia saat aku mengucapkan kesediaanku."Kamu dengar sendiri, Man? Keponakan Abang bersedia menerima pinanganmu. Kapan kamu bawa orang tua kamu ke sini untuk meminang secara resmi?" tanya Paman Surya pada Arman."Secepatnya, bang!" jawab Arman dengan wajah sumringah. "Paling lambat minggu depan aku bawa orang tuaku, bang!" janji Arman.Paman Surya mengangguk-angguk puas."Alhamdulillah, semua berjalan lancar ya, kak?" ucap Paman Surya pada ibu. Ibu tersenyum menanggapinya. "Mudah-mudahan rencana pernikahan Yuni bisa berjalan lancar. Jika Yuni sudah menikah, barulah aku merasa tenang, kak! Sudah lunas rasanya utangku sama bang Samsul," ucap Paman Surya menyebut nama ayahku.Ini membuatku teringat kembali pada ayah. Seandainya ayah masih hidup, mungkin aku bisa berbagi kesedihan dan kekecewaanku dengannya."Iya, Sur. Kakak juga merasa lega. Sekarang Yuni sudah ada yang jaga. Bukan begitu, nak Arman?" ibu beralih pada Arman."Iya, Bu. Saya janji akan menjaga Yuni hingga akhir ayat saya. Saya akan membahagiakannya. Saya tidak mau pernikahan kedua saya gagal lagi seperti yang sebelumnya. Tapi saya yakin, Yuni wanita baik dan sholehah," ucap Arman meyakinkan ibuku.Aku hanya diam tidak menanggapi mereka. Toh, tidak ada yang mendengar pendapatku. Aku memilih untuk belajar ikhlas menerima takdirku bersama Arman kelak. Mudah-mudahan pernikahan yang bahagia memang akan menjadi milikku.***Seminggu kemudian orang tua Arman betul-betul datang meminangku sekaligus mengadakan acara pertunangan. Meskipun acaranya sederhana dan hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat, namun raut wajah bahagi terpancar di wajah mereka semua, kecuali aku.Aku duduk terpekur di kamarku menunggu acara tukar cincin yang dilakukan oleh orang tua Arman dengan keluargaku. Raut wajahku tampak lelah dan sedih. Rani, adik bungsuku masuk ke kamarku dan duduk di sampingku. Ia menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun.Perlahan wajah Rani memerah, kemudian air mata mengalir dari sudut matanya. Ia menunduk menyembunyikan tangisnya."Kenapa kamu menangis, Ran?" tanyaku."Aku minta maaf, kak. Gara-gara aku, ibu mendesak kakak menerima pinangan laki-laki itu. Aku tahu, hati kakak berat menerima pernikahan ini," ungkap Rani masih dengan kepala yang tertunduk.Aku termangu. Aku pikir tidak ada yang memikirkan perasaanku. Ternyata adik bungsuku mampu memahami aku, meskipun ia tidak bisa berbuat apa-apa, sama seperti ku. Namun, ini sudah cukup mengobati luka hatiku. Aku kemudian memeluknya erat."Tidak apa, Ran. Kamu doakan saja kakak agar kakak bahagia di pernikahan ini," pintaku."Iya, kak. Pasti aku mendoakan kakak," ucap adikku di bahuku. "Jika seandainya pernikahan ini tidak lancar, kakak jangan pendam sendiri. Datang padaku, kak. Jadikan aku tempat kakak berkeluh kesah," sambungnya.Aku tersenyum. Rani memang adik yang paling dekat denganku. Sebenarnya ia tidak ingin mendesak ibu untuk menikahkan aku, tapi desakan calon suaminya lah yang membuatnya terpaksa melakukan itu. Itu juga yang membuatnya semakin bersalah padaku.Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama
Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny
Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab
Kehamilanku membuatku susah bergerak. Aku sering kali muntah dan merasa lemas. Padahal aku sudah meminum obat yang mengurangi muntah. Warung lebih sering dikelola ibu, kadang di bantu oleh Yudi dan Rindi. Tubuhku sangat lemas, sehingga aku tidak ikut keluar membantu ibu berjualan. Aku duduk di depan kamarku, yang menghadap langsung ke warung.Jantungku berdetak cepat, ketika melihat bang Arman datang. Seperti biasa ia memesan makanannya. Ibu melayani dengan wajah masam. Aku melihat bang Arman celingukan. Matanya menemukan sosokku yang duduk di depan jendela. Ia tersenyum ketika kami bertatapan. Aku buang muka. Aku mendadak gugup ketika bang Arman datang menghampiriku. Aku segera berdiri dan berjalan ke ranjangku. Aku berbaring dan berharap bang Arman tidak ke sini. "Yun!"Aku terperanjat kaget ketika bang Arman sudah berdiri di depan jendelaku dan memanggilku. Aku pura-pura tidak dengar dan mengabaikannya. "Kamu kenapa tidak membantu ibu jaga warung, Yun? Apa kamu sakit?" tanya b
Aku masih dalam diam ku. Sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk cerai dan menjadi jadi. Tapi, pernikahan yang kujalani dengan bang Arman juga tidak membuat aku bahagia. "Yun! Apa yang kamu pikirkan lagi? Untuk apa kamu pertahankan laki-laki seperti Arman?!" Ibu menatapku dengan kesal. Begitulah ibu. Jika ibu merasa keputusannya tepat, dia akan terus mendesak ku untuk menjalankannya. Sama halnya saat beliau memaksaku untuk menerima pinangan bang Arman dulu. "Bu, aku tidak tahu, Bu. Aku masih belum siap jadi janda.""Jadi janda bukan suatu aib, Yun. Yang paling penting kebahagiaan kamu. Menikah dengan Arman hanya akan membuat kamu sengsara. Karena Arman masih terikat sama anak dan mantan istrinya. Kamu akan terus dibuat makan hati oleh mereka. Jadi, lepaskan saja Arman itu. Siapa tahu besok kamu dapat jodoh yang lebih baik," bujuk ibuku gencar.Aku kembali terdiam. "Yun!" Ibu menggenggam erat tanganku. "Ibu sedih melihat hidupmu sekarang. Rasanya hati ibu remuk ketika melihat m
Aku menunggu dengan gelisah. Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir keluar. Seorang perawat datang menemui ku. "Apa mbak anaknya Bu Yanti?" tanyanya. "Iya, saya!" jawabku cepat. "Bu Yanti sudah stabil kondisinya, mbak. Dokter menyarankan agar Bu Yanti dirawat inap saja sambil melihat perkembangan kondisi kesehatannya. Kami langsung rujuk ke dokter jantung saja ya, mbak," jelas perawat itu padaku."Iy, suster! Lakukan yang terbaik saja buat ibuku," ujarku. "Kalau begitu, silakan di urus administrasinya, mbak!" "Baik, sus!" Aku bergegas ke ruang administrasi rumah sakit. ***Ibu sudah dibawa ke ruang rawat inap. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya kuat. Aku sangat lega karena ibu bisa melewati serangan jantungnya. Jika terjadi apa-apa pada ibu, mungkin aku bisa ikut mati bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan ibuku. Tubuhku masih gemetar ketika mengingat kejadian saat ibu tiba-tiba terkulai lemas.Drrrt..