Share

Bab 3. Pindah ke Rumah Arman

Pernikahanku dengan Arman berjalan dengan lancar. Senyum bahagia terpancar jelas di wajah mereka. Sedangkan aku, aku hanya memamerkan senyum palsu untuk menutupi air mata kepedihan di hatiku. Arman, laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suamiku, terus memandangiku. Saat tatapan kami bertemu, ia akan tersenyum canggung padaku dan menjadi salah tingkah. Tingkahnya seperti anak abege yang sedang pendekatan dengan lawan jenisnya.

Setelah acara resepsi, Arman ingin membawaku ke Jakarta, tempat ia tinggal dan mencari nafkah selama ini. sebenarnya hatiku masih belum rela berpisah dengan ibu dan keluargaku yang lainnya. Namun, ibu mengatakan jika seorang istri itu harus mengikuti kemanapun suaminya pergi.

Aku menangis sepanjang hari. Nanti sore, aku dan Arman akan kembali ke Jakarta. Itu artinya aku harus berpisah jarak yang jauh dari ibuku. Aku bahkan belum mempersiapkan pakaian yang akan aku bawa.

"Yun? Lho, kok kamu belum siap-siap?" tanya ibu ketika ia masuk ke kamarku, ia masih melihatku berbaring seraya menutup wajahku dengan bantal.

Aku bangkit dari pembaringan dan duduk di samping ibu yang sudah duduk di ranjangku.

"Kamu menangis, Yun?" tanya ibu terkesiap. Ia melihat masih ada sisa air mata di pipiku. Juga hidung dan mataku yang memerah karena terlalu lama menangis.

Air mataku kembali mengalir. Aku langsung memeluk ibuku. "Ibu, aku tidak mau berpisah dari ibu," aduku di sela Isak tangisku.

Ibu menghelus-helus punggungku.

"Kita tidak berpisah selamanya, nak. Kamu hanya pergi beberapa jam dari sini. Kapan pun kamu bisa pulang mengunjungi ibu bersama suamimu," bujuk ibuku.

"Aku takut, ibu akan tinggal sendirian jika aku pergi. Aku pergi jauh, Bu. Aku tidak bisa sering-sering mengunjungi ibu," ucapku resah. Aku melepaskan pelukanku. Aku melihat ibu juga menangis.

"Ibu? Kenapa ibu ikutan menangis juga?"

"Itu salahmu! Tadinya ibu bisa membuat hati ibu merelakanmu. Sekarang ibu merasa berat melepasmu," sungut ibuku seraya menyeka air matanya.

Aku tersenyum menatap wajah tua yang masih cantik itu.

"Mengapa ibu tidak ikut bersamaku saja?" tawarku penuh harap. Hatiku akan merasa lega jika ibu bersamaku di tempat asing.

Ibu membelalakkan matanya menatapku tak percaya.

"Huss!" Ia menepuk lenganku. "Masa sudah besar begini masih mau ditemani juga?" ejek ibuku.

"Di hadapan ibu, aku tidak pernah merasa sudah besar, Bu!" bantahku.

Ibu tertawa kecil.

"Yun, sekarang kamu sudah menikah. Tidak mungkin kan jika ibu ikut tidur sekamar bersamamu dengan suamimu? Nanti suamimu malah cemburu pada ibu," ledek ibu.

Wajahku memerah. Aku memberengut kesal. Ibu sudah berhasil membuatku malu.

"Ibu!!" seruku. "Aku tidak minta ibu sekamar denganku. Aku cuma minta ibu tinggal bersamaku dan Arman," tukasku.

Ibu tertawa kecil. Tawa yang mungkin akan sangat aku rindukan saat aku jauh darinya.

"Oya, Yun. Apa panggilanmu dengan suamimu? Masa kamu memanggilnya dengan Arman saja?" tanya ibu.

"Dia tidak keberatan kok, Bu," jawabku.

"Tetap saja tidak boleh, Yun. Sama suami, kita harus memanggilnya Abang, sayang atau mas. Itu tandanya kita menghargai dia sebagai suami kita. Lagi pula kamu lebih muda dari suamimu. Sudah sepantasnya kamu tidak boleh memanggilnya dengan nama saja. Setidaknya panggil dia dengan sebutan Abang," nasihat ibuku.

Aku mengangguk. "Iya, ibuku sayang!" Aku kemudian memeluknya erat. Rasanya sangat sulit melepasnya.

***

Akhirnya aku sampai di rumah bang Arman. Rumahnya tidak terlalu besar. Namun tampak bersih dan terawat. Ada pohon jambu air yang sedang berbuah di halaman depan. Beberapa tanaman juga ditanam di dalam pot. aku senang melihat nuansa hijau dan asri di rumah suamiku ini.

"Ayo, dek!" bang Arman membantuku membawa koper milikku yang lumayan besar. Ia juga menggeret koper miliknya. Aku melihat dia tampak kewalahan.

"Biar aku saja yang bawa kopernya, bang!" ucapku menawar bantuan. Bang Arman menepis lembut tanganku. Ia tersenyum padaku.

"Tidak usah, dek! Abang masih sanggup bawa dua-duanya. Lagi pula kita sudah sampai," jawab bang Arman.

Bang Arman membuka pintu depan yang berwarna putih itu. Ia membukanya lebar-lebar agar ia bisa memasukkan semua koper dan barang-barang kami.

Aku mengamati rumah yang memiliki perabotan minimalis. Semua tertata rapi dan bersih.

"Bagaimana? Kamu suka?" Bang Arman menanyakan pendapatku.

Aku mengangguk. "Rumahnya bersih dan rapi," komentarku seraya terus mengamati sekeliling rumah yang penuh dengan penerangan alami ini.

Bang Arman tersenyum puas.

"Alhamdulillah. Tidak sia-sia Abang meminta orang membersihkannya sebelum kita ke sini," ucapnya.

Aku menoleh padanya. "Abang mempersiapkan ini semua untukku?"

"Tentu saja. Kamu itu istri Abang. Tentulah Abang akan melakukan apapun untuk membuatmu betah dan nyaman," ucap bang Arman dengan nada yang biasa, tapi cukup membuatku tersipu malu. Aku merasa tersanjung dengan ucapannya.

"Terima kasih, bang!" ucapku lirih dengan wajah bersemu merah.

Bang Arman tersenyum. "Tidak perlu berterima kasih. Sudah seharusnya ini Abang lakukan," ucap bang Arman. "Tapi ...." Bang Arman tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menatapku dengan tatapan yang aneh.

Jantungku berdebar. "Tapi apa, bang?" tanyaku gugup.

Bang Arman tersipu malu. Ia menjadi salah tingkah. "Ini....kita kan pengantin baru ya, dek! Jadi yaaa......itu....."

Wajahku spontan memerah karena paham arah pembicaraannya. Aku menunduk malu.

"Mmh, dek? Jika seandainya kamu siap dan tidak lagi lampu merah, boleh tidak kalau kita....." Bang Arman kembali tidak melanjutkan kalimatnya.

Wajahku sudah memanas karena malu dan jengah. Ini pertama kali bagiku. Dan aku tidak tahu bagaimana bersikap.

"Yun, jika suamimu meminta haknya. Berikanlah! Berdosa bagi seorang istri jika mengabaikan permintaan suaminya. Jika seandainya susah bagimu, bersikaplah pasrah. Biarkan suamimu yang mengambil kendalinya. Nanti kamu akan mengetahui jalannya," nasihat ibuku ketika kami berpisah di bandara.

Mengingat nasihat itu, aku pun mengangkat kepalaku, kemudian mengangguk kepada bang Arman tanda aku menyetujui permintaannya. Wajah bang Arman cerah seketika. Wajah cerah itu juga memerah karena malu-malu. Wajah malu-malu bang Arman terlihat seperti anak kecil bagiku. Aku berharap semoga bang Arman akan menjadi suami dunia dan akhirat bagiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status