Pernikahanku dengan Arman berjalan dengan lancar. Senyum bahagia terpancar jelas di wajah mereka. Sedangkan aku, aku hanya memamerkan senyum palsu untuk menutupi air mata kepedihan di hatiku. Arman, laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suamiku, terus memandangiku. Saat tatapan kami bertemu, ia akan tersenyum canggung padaku dan menjadi salah tingkah. Tingkahnya seperti anak abege yang sedang pendekatan dengan lawan jenisnya.
Setelah acara resepsi, Arman ingin membawaku ke Jakarta, tempat ia tinggal dan mencari nafkah selama ini. sebenarnya hatiku masih belum rela berpisah dengan ibu dan keluargaku yang lainnya. Namun, ibu mengatakan jika seorang istri itu harus mengikuti kemanapun suaminya pergi.Aku menangis sepanjang hari. Nanti sore, aku dan Arman akan kembali ke Jakarta. Itu artinya aku harus berpisah jarak yang jauh dari ibuku. Aku bahkan belum mempersiapkan pakaian yang akan aku bawa."Yun? Lho, kok kamu belum siap-siap?" tanya ibu ketika ia masuk ke kamarku, ia masih melihatku berbaring seraya menutup wajahku dengan bantal.Aku bangkit dari pembaringan dan duduk di samping ibu yang sudah duduk di ranjangku."Kamu menangis, Yun?" tanya ibu terkesiap. Ia melihat masih ada sisa air mata di pipiku. Juga hidung dan mataku yang memerah karena terlalu lama menangis.Air mataku kembali mengalir. Aku langsung memeluk ibuku. "Ibu, aku tidak mau berpisah dari ibu," aduku di sela Isak tangisku.Ibu menghelus-helus punggungku."Kita tidak berpisah selamanya, nak. Kamu hanya pergi beberapa jam dari sini. Kapan pun kamu bisa pulang mengunjungi ibu bersama suamimu," bujuk ibuku."Aku takut, ibu akan tinggal sendirian jika aku pergi. Aku pergi jauh, Bu. Aku tidak bisa sering-sering mengunjungi ibu," ucapku resah. Aku melepaskan pelukanku. Aku melihat ibu juga menangis."Ibu? Kenapa ibu ikutan menangis juga?""Itu salahmu! Tadinya ibu bisa membuat hati ibu merelakanmu. Sekarang ibu merasa berat melepasmu," sungut ibuku seraya menyeka air matanya.Aku tersenyum menatap wajah tua yang masih cantik itu."Mengapa ibu tidak ikut bersamaku saja?" tawarku penuh harap. Hatiku akan merasa lega jika ibu bersamaku di tempat asing.Ibu membelalakkan matanya menatapku tak percaya."Huss!" Ia menepuk lenganku. "Masa sudah besar begini masih mau ditemani juga?" ejek ibuku."Di hadapan ibu, aku tidak pernah merasa sudah besar, Bu!" bantahku.Ibu tertawa kecil."Yun, sekarang kamu sudah menikah. Tidak mungkin kan jika ibu ikut tidur sekamar bersamamu dengan suamimu? Nanti suamimu malah cemburu pada ibu," ledek ibu.Wajahku memerah. Aku memberengut kesal. Ibu sudah berhasil membuatku malu."Ibu!!" seruku. "Aku tidak minta ibu sekamar denganku. Aku cuma minta ibu tinggal bersamaku dan Arman," tukasku.Ibu tertawa kecil. Tawa yang mungkin akan sangat aku rindukan saat aku jauh darinya."Oya, Yun. Apa panggilanmu dengan suamimu? Masa kamu memanggilnya dengan Arman saja?" tanya ibu."Dia tidak keberatan kok, Bu," jawabku."Tetap saja tidak boleh, Yun. Sama suami, kita harus memanggilnya Abang, sayang atau mas. Itu tandanya kita menghargai dia sebagai suami kita. Lagi pula kamu lebih muda dari suamimu. Sudah sepantasnya kamu tidak boleh memanggilnya dengan nama saja. Setidaknya panggil dia dengan sebutan Abang," nasihat ibuku.Aku mengangguk. "Iya, ibuku sayang!" Aku kemudian memeluknya erat. Rasanya sangat sulit melepasnya.***Akhirnya aku sampai di rumah bang Arman. Rumahnya tidak terlalu besar. Namun tampak bersih dan terawat. Ada pohon jambu air yang sedang berbuah di halaman depan. Beberapa tanaman juga ditanam di dalam pot. aku senang melihat nuansa hijau dan asri di rumah suamiku ini."Ayo, dek!" bang Arman membantuku membawa koper milikku yang lumayan besar. Ia juga menggeret koper miliknya. Aku melihat dia tampak kewalahan."Biar aku saja yang bawa kopernya, bang!" ucapku menawar bantuan. Bang Arman menepis lembut tanganku. Ia tersenyum padaku."Tidak usah, dek! Abang masih sanggup bawa dua-duanya. Lagi pula kita sudah sampai," jawab bang Arman.Bang Arman membuka pintu depan yang berwarna putih itu. Ia membukanya lebar-lebar agar ia bisa memasukkan semua koper dan barang-barang kami.Aku mengamati rumah yang memiliki perabotan minimalis. Semua tertata rapi dan bersih."Bagaimana? Kamu suka?" Bang Arman menanyakan pendapatku.Aku mengangguk. "Rumahnya bersih dan rapi," komentarku seraya terus mengamati sekeliling rumah yang penuh dengan penerangan alami ini.Bang Arman tersenyum puas."Alhamdulillah. Tidak sia-sia Abang meminta orang membersihkannya sebelum kita ke sini," ucapnya.Aku menoleh padanya. "Abang mempersiapkan ini semua untukku?""Tentu saja. Kamu itu istri Abang. Tentulah Abang akan melakukan apapun untuk membuatmu betah dan nyaman," ucap bang Arman dengan nada yang biasa, tapi cukup membuatku tersipu malu. Aku merasa tersanjung dengan ucapannya."Terima kasih, bang!" ucapku lirih dengan wajah bersemu merah.Bang Arman tersenyum. "Tidak perlu berterima kasih. Sudah seharusnya ini Abang lakukan," ucap bang Arman. "Tapi ...." Bang Arman tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menatapku dengan tatapan yang aneh.Jantungku berdebar. "Tapi apa, bang?" tanyaku gugup.Bang Arman tersipu malu. Ia menjadi salah tingkah. "Ini....kita kan pengantin baru ya, dek! Jadi yaaa......itu....."Wajahku spontan memerah karena paham arah pembicaraannya. Aku menunduk malu."Mmh, dek? Jika seandainya kamu siap dan tidak lagi lampu merah, boleh tidak kalau kita....." Bang Arman kembali tidak melanjutkan kalimatnya.Wajahku sudah memanas karena malu dan jengah. Ini pertama kali bagiku. Dan aku tidak tahu bagaimana bersikap."Yun, jika suamimu meminta haknya. Berikanlah! Berdosa bagi seorang istri jika mengabaikan permintaan suaminya. Jika seandainya susah bagimu, bersikaplah pasrah. Biarkan suamimu yang mengambil kendalinya. Nanti kamu akan mengetahui jalannya," nasihat ibuku ketika kami berpisah di bandara.Mengingat nasihat itu, aku pun mengangkat kepalaku, kemudian mengangguk kepada bang Arman tanda aku menyetujui permintaannya. Wajah bang Arman cerah seketika. Wajah cerah itu juga memerah karena malu-malu. Wajah malu-malu bang Arman terlihat seperti anak kecil bagiku. Aku berharap semoga bang Arman akan menjadi suami dunia dan akhirat bagiku.Pagi-pagi, aku sudah menyiapkan sarapan untuk suamiku. Nasi goreng jadi menu pilihanku hari ini. Aku membeli bahan makanan pada pedagang sayur yang lewat depan rumahku. Aku melirik sekilas saat mendengar langkah kaki bang Arman mendekatiku. Aku kembali mengaduk nasi gorengku. Bang Arman duduk di kursi tinggi mini bar. Ia menatapku. "Ada apa, bang?" tanyaku tanpa menoleh padanya. "Abang senang, akhirnya ada yang membuatkan Abang sarapan lagi," ucapnya. Aku terdiam sejenak. Kata 'lagi' itu menyadarkanku jika aku wanita kedua di hidupnya. Aku tidak menanggapi pernyataan bang Arman. Aku kembali melanjutkan mengaduk nasi gorengku. "Abang mau mandi atau sarapan dulu?" tanyaku ketika aku selesai memasak nasi gorengku. "Abang mau ngopi saja, dek," jawab bang Arman. "Adek ada buat kopi untuk Abang?" tanyanya.Aku baru ingat jika aku sudah menyeduh kopi buatnya. "Ada, bang. Maaf, Yuni lupa!" ucapku seraya tersenyum malu.Bang Arman terkekeh. "Belum t
Sejak bang Arman mengizinkan aku ke tokonya, setiap hari aku ke sana bersama bang Arman. Bang Arman menjadikan aku kasir di tokonya yang ada di blok A. Aku pelajari sedikit demi sedikit pekerjaanku sebagai kasir. Aku harus mengenal produk dan harga yang dijual. Juga kode-kode harga yang hanya diketahui oleh bang Arman. Aku juga belajar, bagaimana mencatat penjualan hari ini dan juga laba kotor yang kami peroleh serta merekapnya saat akan tutup toko. Dengan cepat aku bisa menguasainya karena dulu aku pernah bekerja di toko pakaian di kota kelahiranku. Seorang gadis berpakaian seragam SMA datang ke tokoku. Ia langsung berjalan menuju meja tempat aku duduk. Matanya terbelalak saat melihatku. Ia diam membeku. Aku menatap heran padanya. Aku mencoba tersenyum meskipun terasa canggung dan aneh. Aku bertanya-tanya, siapa gadis ini? Kenapa dia bisa lancang memasuki area kasir tanpa sungkan sedikit pun. Gadis itu hanya menatapku tanpa berniat membalas senyumanku. Aku menoleh p
Aku menceritakan kejadian tadi siang pada bang Arman. Kejadian saat Elisa datang dengan membawa satu kardigan tanpa meminta izin padanya. Wajah bang Arman langsung berubah masam setelah mendengar penuturanku. "Kenapa kamu tidak bilang dulu sama Abang sebelum memberinya kardigan itu?" tanya bang Arman. Ia seakan menyalahkan aku atas perbuatan yang dilakukan putrinya. "Aku tidak tahu, bang. Kata Rindi, dia memang biasa melakukannya," aku mencoba membela diri. "Ya, meskipun dia biasa melakukannya, bukan berarti kamu membiarkannya, dek! Kita bisa rugi jika dia terus melakukan itu!" tukas bang Arman menyalahkan aku. Keningku bertaut menatapnya. Aku jadi tidak mengerti. Kenapa sekarang seakan-akan aku yang mengambil kardigan itu? "Bang, bukan aku yang mengambil kardigan itu. Tapi anak Abang!" ucapku berusaha selembut mungkin untuk meredakan emosinya. "Abang tahu. Setidaknya kamu bisa mencegahnya. Jangan cuma diam seperti patung!" suara bang Arman mulai m
"Dek, apa benar kamu bertengkar dengan mamanya Elisa?" tanya bang Arman saat kami dalam perjalanan pulang. "Sebenarnya bukan bertengkar, bang. Aku hanya menuruti keinginan Abang untuk menjaga harta kita dari orang yang ingin menjarahnya," ucapku. "Apa Abang marah?" tanyaku cemas. Bang Arman tertawa lepas. "Kenapa harus marah, dek? Yang kamu lakukan itu sudah betul. Abang yakin dia tidak akan berani datang lagi ke toko kita," ucap bang Arman masih sambil tertawa. "Abang bangga padamu, dek!"Aku tersenyum senang. Alhamdulillah, bang Arman senang dengan tindakan aku tadi siang. Jika sudah begini, aku akan semakin percaya diri menghadapi mantan istri bang Arman. ***"Dek, hari ini kita tidak ke toko. Kakak sepupu Abang ada acara nikahan. Anaknya yang paling besar sudah dilamar. Kita kesana pagi ini," kata bang Arman ketika kami baru selesai sarapan. "Sekarang hari pestanya, bang?" tanyaku sambil menumpuk piring kotor. "Bukan. Hari ini masak-masak dulu. Tidak banyak masak-masaknya, de
Aku sudah mau menutup tokoku ketika Elisa datang. "Mana uangku?!" tanyanya dengan ketus. Aku menatap bingung padanya. Uang apa yang dia maksud. Aku menunggu ia menjelaskan uang apa yang dia pinta. Namun, Elisa hanya menggoyang-goyangkan tangannya tanda ia tidak sabar. "Uang apa?" tanyaku bingung. Ia mendelik menatapku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan terus melanjutkan membantu Rindi dan Anton menutup toko. Elisa menjadi marah. Ia menarik tanganku hingga aku terdorong ke belakang. Melihat itu, Anton dan Rindi menoleh padanya. Wajah mereka tampak geram. Anton berniat membantuku, namun Rindi menarik tangannya dan geleng-geleng kepala. Anton kembali melanjutkan tugasnya menutup toko. "Lo jangan pura-pura bodoh, deh! Jangan mentang-mentang lo udah jadi bini bapak gue, lo bisa menguasai duit bapak gue! Gue nggak akan biarkan itu! Tahu nggak, lo?!" hardiknya kasar. Mataku melebar menatap gadis belia ini. Wajah cantiknya tidak sesuai dengan sikap buruknya. "Aku sudah nanya, uang
"Lima juta, pa!" ucap Elisa lirih. "Apa?!" Mata bang Arman terbelalak mendengar angka yang cukup besar itu. Elisa mendongak menatap papanya. "Iya, pa. Itu sudah termasuk biaya pesawat dan penginapan. Pa, apa aku bilang saja sama wali kelas aku kalau aku tidak jadi ikut?" ucapnya dengan wajah memelas."Kenapa?""Uang itu terlalu besar. Aku bilang saja, jika uang papa tidak cukup. Aku nggak mau dibilang anak tidak tahu di untung," ucap Elisa seraya melirik sinis padaku. "Jangan!" ucap bang Arman cepat. Dia kemudian merogoh kantong di tasnya. Ia mengeluarkan lembaran uang ratusan ribu. Ia menyerahkan pada Elisa. "Ambillah! Ikuti studi tour itu!" ucap bang Arman.Mata Elisa berbinar senang. Ia kemudian memeluk papanya. "Terima kasih, papa. Terima kasih! Tadinya Elisa pikir, papa berubah jika sudah punya istri lagi. Elisa takut papa mengabaikan Elisa dan bang Ridho." "Sampai kapanpun, kamu dan Ridho adalah anak papa. Papa tidak mungkin mengabaikan kalian demi orang lain," ucap bang Arm
Bang Arman menguraikan pelukannya. Ia menatap wajahku dengan tatapan memohon. "Bisakah adek memaafkan, Abang?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk. Ya, dia sudah minta maaf dan aku memaafkannya. Lagi pula tidak baik mengabaikan permintaan maaf seseorang apalagi dari suami sendiri. Wajah sendu bang Arman berubah ceria kembali. Ia tersenyum lebar padaku dan kembali memelukku. "Terima kasih, dek! Hati Abang lega sekarang," ucapnya. Wajahku masih kaku. Sulit bagiku tersenyum ketika hatiku masih sakit. Ya, meskipun aku memang sudah memaafkan bang Arman. Tapi aku butuh waktu untuk kembali bersikap ceria di depannya. "Adek mau makan mie instan?" tanya bang Arman seraya menatapku penuh perhatian. Mendengar pertanyaan bang Arman, aku jadi ingat dengan perutku yang berbunyi dari tadi. "Abang lapar?" tanyaku. Bang Arman mengangguk. "Karena itu Abang buat mie tadi," ia tersenyum. "Adek mau? Biar Abang buatkan," ucapnya. "Tidak baik makan mie malam-malam, bang. Jika Abang mau, aku akan b
"Mau apa kalian ke sini?!" tanya Anton ketus ketika melihat wajah kami. Bang Arman menelan ludah karena merasa tidak enak hati. Ia berusaha tersenyum meskipun terlihat kaku. Sedangkan Anton tetap memperlihatkan raut wajah tidak bersahabat. "Abang....Abang boleh masuk, Ton?" tanya bang Arman berusaha bersikap ramah. Anton hanya mendengus. Ia melipat kedua tangannya di dada tanpa menjawab pertanyaan bang Arman. Bang Arman menghela nafas berat. Sebenarnya ia sudah merendahkan dirinya untuk datang ke sini dan minta maaf. Bang Arman benar-benar menyesal dan mengaku salah. Sehingga ia bisa memaklumi sikap Anton padanya. "Begini, Ton. Abang sudah tahu cerita yang sebenarnya. Abang ke sini mau minta maaf sama Anton karena percaya begitu saja dengan fitnahan anak Abang. Abang tidak mengecek dulu kebenarannya melalui CCTV." Bang Arman menatap Anton dengan wajah penuh harap.Anton hanya diam tanpa ingin menanggapi. "Abang juga membawa Elisa bersama Abang." Bang Arman menarik tangan Elisa ag