Share

Bab 4. Ke Toko

Pagi-pagi, aku sudah menyiapkan sarapan untuk suamiku. Nasi goreng jadi menu pilihanku hari ini. Aku membeli bahan makanan pada pedagang sayur yang lewat depan rumahku.

Aku melirik sekilas saat mendengar langkah kaki bang Arman mendekatiku. Aku kembali mengaduk nasi gorengku.

Bang Arman duduk di kursi tinggi mini bar. Ia menatapku.

"Ada apa, bang?" tanyaku tanpa menoleh padanya.

"Abang senang, akhirnya ada yang membuatkan Abang sarapan lagi," ucapnya.

Aku terdiam sejenak. Kata 'lagi' itu menyadarkanku jika aku wanita kedua di hidupnya. Aku tidak menanggapi pernyataan bang Arman. Aku kembali melanjutkan mengaduk nasi gorengku.

"Abang mau mandi atau sarapan dulu?" tanyaku ketika aku selesai memasak nasi gorengku.

"Abang mau ngopi saja, dek," jawab bang Arman. "Adek ada buat kopi untuk Abang?" tanyanya.

Aku baru ingat jika aku sudah menyeduh kopi buatnya. "Ada, bang. Maaf, Yuni lupa!" ucapku seraya tersenyum malu.

Bang Arman terkekeh. "Belum tua kok sudah pikun saja, dek?!" kelakarnya. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

"Ini kopinya, bang!" Aku meletakkan kopi itu ke hadapan bang Arman.

"Dek, Abang mau ke toko dulu. Nanti siang ada barang yang mau masuk," ucap bang Arman setelah meminum seteguk kopinya.

Abang Arman memiliki toko pakaian jadi wanita di Tanah Abang. Katanya ia memiliki dua toko. Satu di blok A dan satu lagi di blok F. Ia juga mempekerjakan empat karyawan di tokonya. Meski begitu, bang Arman setiap hari datang ke toko untuk mengawasi karyawannya, bahkan ia juga ikut berjualan.

Bang Arman bercerita, jika ia sudah berjualan pakaian jadi sejak masih lajang. Awalnya ia hanya berjualan kaki lima. Lambat laun usahanya berhasil maju pesat. Pelanggannya berasal dari berbagai kota di Indonesia. Hingga akhirnya, bang Arman mampu mengumpulkan uang dan membeli dua toko di Tanah Abang.

"Dek Yuni mau di rumah saja atau ikut Abang ke toko?" tanya bang Arman.

Aku tercenung sejenak memikirkan tawarannya. Berada sendiri di rumah yang asing ini membuat aku suntuk. Mungkin sebaiknya aku ikut bang Arman saja ke toko. Lagi pula aku tidak pernah menginjakkan kaki ke Tanah Abang, yang merupakan pusat grosir di Indonesia.

"Aku ikut Abang saja," ucapku. "Aku bosan jika harus di rumah sendirian," lanjutku.

Bang Arman tersenyum senang. "Maaf ya, dek. Abang belum sempat mengajakmu bulan madu," Bang Arman menatapku dengan rasa bersalah. "Jika barang dagangan Abang sudah sampai semuanya, kita bisa pergi bulan madu," ucapnya.

"Tidak apa-apa, bang. Lagi pula Yuni bisa sampai ke Jakarta ini saja sudah bulan madu bagi Yuni," jawabku. Itu memang benar. Karena ini pertama kalinya aku pergi ke kota besar seperti Jakarta ini.

Bang Arman tampak lega.

"Oya, Abang mandi dulu. Adek sudah mandi belum?"

"Sudah, bang. Subuh sekali aku sudah mandi." aku menunduk malu saat mengatakan itu. Kejadian semalam membuat wajahku memerah sekaligus bangga karena sudah menjalankan peranku sebagai istri di tempat tidur bagi bang Arman.

"O, iya." Bang Arman menggaruk belakang kepalanya meskipun tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah juga malu.

"Kalau begitu, Abang mandi ya, dek!" ucapnya.

"Iya, bang," jawabku.

***

Kami memilih mengendarai sepeda motor ke Tanah Abang. Jalanan yang macet menjadi alasan kami untuk mengendarainya. Sepanjang perjalanan, aku menatap kagum pada kepadatan lalu lintas yang kami lewati. Juga pada gedung-gedung tinggi yang menjulang. Rasa kagumku semakin bertambah ketika kami sudah sampai di Tanah Abang. Hiruk pikuk kesibukan para pedagang dan pembeli terlihat mengagumkan bagiku. Kata bang Arman, Tanah Abang akan selalu ramai setiap menjelang tahun baru seperti saat ini. Banyak pedagang dari daerah lain yang membeli untuk stok dagangan mereka.

Bang Arman membawaku ke tokonya yang di blok A. Saat kamu datang, aku melihat seorang karyawannya sibuk melayani pembeli.

"Sudah datang barangnya, Rin?" tanya bang Arman pada karyawannya seraya meletakkan helm di atas meja yang ada di sudut toko.

"Sudah, bang. Tapi belum diangkut kesini. Katanya nunggu bang Arman menghubungi mereka dulu," ucap wanita muda yang dipanggil Rin itu.

Bang Arman manggut-manggut. Ia kemudian menelepon seseorang.

Aku berkeliling mengamati sekitar toko. Bang Arman menjual pakaian wanita, seperti gamis, tunik, rok, celana wanita dan semua yang berbau pakaian wanita.

Pakaian-pakaian ini terlihat bagus dan sangat mahal. Aku menelan ludah melihat semua ini.

Bang Arman menarik tanganku lembut.

"Ke sini dulu, dek! Abang mau memperkenalkan kamu dengan karyawan Abang," ucap bang Arman.

Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya.

"Rindi, perkenalkan ini istri Abang. Namanya Yuni," ucap bang Arman memperkenalkan aku.

Rindi tersenyum ramah padaku dan mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan denganku.

Aku menyambut uluran tangannya dan berjabatan dengannya.

"Selamat ya, kak. Maaf aku tidak datang ke pesta pernikahan kakak," ucap Rindi.

"Tidak apa-apa," jawabku sambil tersenyum.

"Oya, Anton mana?" tanya bang Arman pada Rindi.

"Sedang cari sarapan, bang. Sebentar lagi juga balik," jawab Rindi.

Bang Arman hanya diam. Ia mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Bagaimana, dek? Beginilah keseharian Abang mencari nafkah," ucap bang Arman.

Aku hanya tersenyum. Aku bingung harus menanggapi apa.

Kriiing! Nada dering jadul bang Arman berbunyi. Bang Arman segera mengangkat handphonenya.

"Halo? Iya. Antarkan saja sekarang! Saya sudah di toko. Baik....Iya. Sudah di kirim ya! Oke, saya tunggu! Tolong langsung diangkut saja ke atas." Setelah itu bang Arman mematikan sambungan handphonenya.

***

Menjelang sore, kami kembali ke rumah. Sebelum pulang, bang Arman mengajakku makan pecel ayam di pinggir jalan. Aku menyetujuinya. Aku juga ingin menikmati suasana di kota besar sambil makan pecel ayam.

"Dek, apa kamu merasa capek hari ini, dek?" tanya bang Arman setelah kami memesan makanan kami.

"Tidak, bang," jawabku. Kenyataannya aku malah senang berada di toko bersama bang Arman. Ini adalah pengalaman baru bagiku.

"Syukurlah. Abang takut jika adek merasa suntuk dan capek selama disana," ucap bang Arman.

"Tidaklah, bang. Aku justru senang berada di sana. Jika diizinkan, aku ingin ikut Abang lagi besok."

Bang Arman terlihat senang. "Betul, dek? Apa kamu masih mau ikut Abang ke toko besok?" tanyanya semangat.

"Iya, bang. Jika menurut Abang aku tidak merepotkan, aku ingin pergi lagi ke sana," ucapku.

"Tentu saja boleh, dek. Adek sama sekali tidak merepotkan Abang. Abang justru senang adek ikut Abang, biar setiap saat Abang bisa menatap wajah cantik adek," ucap bang Arman merayu.

"Ah, Abang ini! Hobinya menggombal saja!" sungutku pura-pura marah.

"Mana lah Abang menggombal, dek! Abang cuma bicara kenyataan saja," kilah bang Arman.

Aku tersipu malu mendengarnya. Melihat sikap bang Arman padaku, aku berharap suatu saat nanti, aku bisa mencintainya dengan tulus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status