Pagi-pagi, aku sudah menyiapkan sarapan untuk suamiku. Nasi goreng jadi menu pilihanku hari ini. Aku membeli bahan makanan pada pedagang sayur yang lewat depan rumahku.
Aku melirik sekilas saat mendengar langkah kaki bang Arman mendekatiku. Aku kembali mengaduk nasi gorengku.Bang Arman duduk di kursi tinggi mini bar. Ia menatapku."Ada apa, bang?" tanyaku tanpa menoleh padanya."Abang senang, akhirnya ada yang membuatkan Abang sarapan lagi," ucapnya.Aku terdiam sejenak. Kata 'lagi' itu menyadarkanku jika aku wanita kedua di hidupnya. Aku tidak menanggapi pernyataan bang Arman. Aku kembali melanjutkan mengaduk nasi gorengku."Abang mau mandi atau sarapan dulu?" tanyaku ketika aku selesai memasak nasi gorengku."Abang mau ngopi saja, dek," jawab bang Arman. "Adek ada buat kopi untuk Abang?" tanyanya.Aku baru ingat jika aku sudah menyeduh kopi buatnya. "Ada, bang. Maaf, Yuni lupa!" ucapku seraya tersenyum malu.Bang Arman terkekeh. "Belum tua kok sudah pikun saja, dek?!" kelakarnya. Aku hanya tersenyum menanggapinya."Ini kopinya, bang!" Aku meletakkan kopi itu ke hadapan bang Arman."Dek, Abang mau ke toko dulu. Nanti siang ada barang yang mau masuk," ucap bang Arman setelah meminum seteguk kopinya.Abang Arman memiliki toko pakaian jadi wanita di Tanah Abang. Katanya ia memiliki dua toko. Satu di blok A dan satu lagi di blok F. Ia juga mempekerjakan empat karyawan di tokonya. Meski begitu, bang Arman setiap hari datang ke toko untuk mengawasi karyawannya, bahkan ia juga ikut berjualan.Bang Arman bercerita, jika ia sudah berjualan pakaian jadi sejak masih lajang. Awalnya ia hanya berjualan kaki lima. Lambat laun usahanya berhasil maju pesat. Pelanggannya berasal dari berbagai kota di Indonesia. Hingga akhirnya, bang Arman mampu mengumpulkan uang dan membeli dua toko di Tanah Abang."Dek Yuni mau di rumah saja atau ikut Abang ke toko?" tanya bang Arman.Aku tercenung sejenak memikirkan tawarannya. Berada sendiri di rumah yang asing ini membuat aku suntuk. Mungkin sebaiknya aku ikut bang Arman saja ke toko. Lagi pula aku tidak pernah menginjakkan kaki ke Tanah Abang, yang merupakan pusat grosir di Indonesia."Aku ikut Abang saja," ucapku. "Aku bosan jika harus di rumah sendirian," lanjutku.Bang Arman tersenyum senang. "Maaf ya, dek. Abang belum sempat mengajakmu bulan madu," Bang Arman menatapku dengan rasa bersalah. "Jika barang dagangan Abang sudah sampai semuanya, kita bisa pergi bulan madu," ucapnya."Tidak apa-apa, bang. Lagi pula Yuni bisa sampai ke Jakarta ini saja sudah bulan madu bagi Yuni," jawabku. Itu memang benar. Karena ini pertama kalinya aku pergi ke kota besar seperti Jakarta ini.Bang Arman tampak lega."Oya, Abang mandi dulu. Adek sudah mandi belum?""Sudah, bang. Subuh sekali aku sudah mandi." aku menunduk malu saat mengatakan itu. Kejadian semalam membuat wajahku memerah sekaligus bangga karena sudah menjalankan peranku sebagai istri di tempat tidur bagi bang Arman."O, iya." Bang Arman menggaruk belakang kepalanya meskipun tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah juga malu."Kalau begitu, Abang mandi ya, dek!" ucapnya."Iya, bang," jawabku.***Kami memilih mengendarai sepeda motor ke Tanah Abang. Jalanan yang macet menjadi alasan kami untuk mengendarainya. Sepanjang perjalanan, aku menatap kagum pada kepadatan lalu lintas yang kami lewati. Juga pada gedung-gedung tinggi yang menjulang. Rasa kagumku semakin bertambah ketika kami sudah sampai di Tanah Abang. Hiruk pikuk kesibukan para pedagang dan pembeli terlihat mengagumkan bagiku. Kata bang Arman, Tanah Abang akan selalu ramai setiap menjelang tahun baru seperti saat ini. Banyak pedagang dari daerah lain yang membeli untuk stok dagangan mereka.Bang Arman membawaku ke tokonya yang di blok A. Saat kamu datang, aku melihat seorang karyawannya sibuk melayani pembeli."Sudah datang barangnya, Rin?" tanya bang Arman pada karyawannya seraya meletakkan helm di atas meja yang ada di sudut toko."Sudah, bang. Tapi belum diangkut kesini. Katanya nunggu bang Arman menghubungi mereka dulu," ucap wanita muda yang dipanggil Rin itu.Bang Arman manggut-manggut. Ia kemudian menelepon seseorang.Aku berkeliling mengamati sekitar toko. Bang Arman menjual pakaian wanita, seperti gamis, tunik, rok, celana wanita dan semua yang berbau pakaian wanita.Pakaian-pakaian ini terlihat bagus dan sangat mahal. Aku menelan ludah melihat semua ini.Bang Arman menarik tanganku lembut."Ke sini dulu, dek! Abang mau memperkenalkan kamu dengan karyawan Abang," ucap bang Arman.Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya."Rindi, perkenalkan ini istri Abang. Namanya Yuni," ucap bang Arman memperkenalkan aku.Rindi tersenyum ramah padaku dan mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan denganku.Aku menyambut uluran tangannya dan berjabatan dengannya."Selamat ya, kak. Maaf aku tidak datang ke pesta pernikahan kakak," ucap Rindi."Tidak apa-apa," jawabku sambil tersenyum."Oya, Anton mana?" tanya bang Arman pada Rindi."Sedang cari sarapan, bang. Sebentar lagi juga balik," jawab Rindi.Bang Arman hanya diam. Ia mengalihkan pandangannya ke arahku."Bagaimana, dek? Beginilah keseharian Abang mencari nafkah," ucap bang Arman.Aku hanya tersenyum. Aku bingung harus menanggapi apa.Kriiing! Nada dering jadul bang Arman berbunyi. Bang Arman segera mengangkat handphonenya."Halo? Iya. Antarkan saja sekarang! Saya sudah di toko. Baik....Iya. Sudah di kirim ya! Oke, saya tunggu! Tolong langsung diangkut saja ke atas." Setelah itu bang Arman mematikan sambungan handphonenya.***Menjelang sore, kami kembali ke rumah. Sebelum pulang, bang Arman mengajakku makan pecel ayam di pinggir jalan. Aku menyetujuinya. Aku juga ingin menikmati suasana di kota besar sambil makan pecel ayam."Dek, apa kamu merasa capek hari ini, dek?" tanya bang Arman setelah kami memesan makanan kami."Tidak, bang," jawabku. Kenyataannya aku malah senang berada di toko bersama bang Arman. Ini adalah pengalaman baru bagiku."Syukurlah. Abang takut jika adek merasa suntuk dan capek selama disana," ucap bang Arman."Tidaklah, bang. Aku justru senang berada di sana. Jika diizinkan, aku ingin ikut Abang lagi besok."Bang Arman terlihat senang. "Betul, dek? Apa kamu masih mau ikut Abang ke toko besok?" tanyanya semangat."Iya, bang. Jika menurut Abang aku tidak merepotkan, aku ingin pergi lagi ke sana," ucapku."Tentu saja boleh, dek. Adek sama sekali tidak merepotkan Abang. Abang justru senang adek ikut Abang, biar setiap saat Abang bisa menatap wajah cantik adek," ucap bang Arman merayu."Ah, Abang ini! Hobinya menggombal saja!" sungutku pura-pura marah."Mana lah Abang menggombal, dek! Abang cuma bicara kenyataan saja," kilah bang Arman.Aku tersipu malu mendengarnya. Melihat sikap bang Arman padaku, aku berharap suatu saat nanti, aku bisa mencintainya dengan tulus.Sejak bang Arman mengizinkan aku ke tokonya, setiap hari aku ke sana bersama bang Arman. Bang Arman menjadikan aku kasir di tokonya yang ada di blok A. Aku pelajari sedikit demi sedikit pekerjaanku sebagai kasir. Aku harus mengenal produk dan harga yang dijual. Juga kode-kode harga yang hanya diketahui oleh bang Arman. Aku juga belajar, bagaimana mencatat penjualan hari ini dan juga laba kotor yang kami peroleh serta merekapnya saat akan tutup toko. Dengan cepat aku bisa menguasainya karena dulu aku pernah bekerja di toko pakaian di kota kelahiranku. Seorang gadis berpakaian seragam SMA datang ke tokoku. Ia langsung berjalan menuju meja tempat aku duduk. Matanya terbelalak saat melihatku. Ia diam membeku. Aku menatap heran padanya. Aku mencoba tersenyum meskipun terasa canggung dan aneh. Aku bertanya-tanya, siapa gadis ini? Kenapa dia bisa lancang memasuki area kasir tanpa sungkan sedikit pun. Gadis itu hanya menatapku tanpa berniat membalas senyumanku. Aku menoleh p
Aku menceritakan kejadian tadi siang pada bang Arman. Kejadian saat Elisa datang dengan membawa satu kardigan tanpa meminta izin padanya. Wajah bang Arman langsung berubah masam setelah mendengar penuturanku. "Kenapa kamu tidak bilang dulu sama Abang sebelum memberinya kardigan itu?" tanya bang Arman. Ia seakan menyalahkan aku atas perbuatan yang dilakukan putrinya. "Aku tidak tahu, bang. Kata Rindi, dia memang biasa melakukannya," aku mencoba membela diri. "Ya, meskipun dia biasa melakukannya, bukan berarti kamu membiarkannya, dek! Kita bisa rugi jika dia terus melakukan itu!" tukas bang Arman menyalahkan aku. Keningku bertaut menatapnya. Aku jadi tidak mengerti. Kenapa sekarang seakan-akan aku yang mengambil kardigan itu? "Bang, bukan aku yang mengambil kardigan itu. Tapi anak Abang!" ucapku berusaha selembut mungkin untuk meredakan emosinya. "Abang tahu. Setidaknya kamu bisa mencegahnya. Jangan cuma diam seperti patung!" suara bang Arman mulai m
"Dek, apa benar kamu bertengkar dengan mamanya Elisa?" tanya bang Arman saat kami dalam perjalanan pulang. "Sebenarnya bukan bertengkar, bang. Aku hanya menuruti keinginan Abang untuk menjaga harta kita dari orang yang ingin menjarahnya," ucapku. "Apa Abang marah?" tanyaku cemas. Bang Arman tertawa lepas. "Kenapa harus marah, dek? Yang kamu lakukan itu sudah betul. Abang yakin dia tidak akan berani datang lagi ke toko kita," ucap bang Arman masih sambil tertawa. "Abang bangga padamu, dek!"Aku tersenyum senang. Alhamdulillah, bang Arman senang dengan tindakan aku tadi siang. Jika sudah begini, aku akan semakin percaya diri menghadapi mantan istri bang Arman. ***"Dek, hari ini kita tidak ke toko. Kakak sepupu Abang ada acara nikahan. Anaknya yang paling besar sudah dilamar. Kita kesana pagi ini," kata bang Arman ketika kami baru selesai sarapan. "Sekarang hari pestanya, bang?" tanyaku sambil menumpuk piring kotor. "Bukan. Hari ini masak-masak dulu. Tidak banyak masak-masaknya, de
Aku sudah mau menutup tokoku ketika Elisa datang. "Mana uangku?!" tanyanya dengan ketus. Aku menatap bingung padanya. Uang apa yang dia maksud. Aku menunggu ia menjelaskan uang apa yang dia pinta. Namun, Elisa hanya menggoyang-goyangkan tangannya tanda ia tidak sabar. "Uang apa?" tanyaku bingung. Ia mendelik menatapku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan terus melanjutkan membantu Rindi dan Anton menutup toko. Elisa menjadi marah. Ia menarik tanganku hingga aku terdorong ke belakang. Melihat itu, Anton dan Rindi menoleh padanya. Wajah mereka tampak geram. Anton berniat membantuku, namun Rindi menarik tangannya dan geleng-geleng kepala. Anton kembali melanjutkan tugasnya menutup toko. "Lo jangan pura-pura bodoh, deh! Jangan mentang-mentang lo udah jadi bini bapak gue, lo bisa menguasai duit bapak gue! Gue nggak akan biarkan itu! Tahu nggak, lo?!" hardiknya kasar. Mataku melebar menatap gadis belia ini. Wajah cantiknya tidak sesuai dengan sikap buruknya. "Aku sudah nanya, uang
"Lima juta, pa!" ucap Elisa lirih. "Apa?!" Mata bang Arman terbelalak mendengar angka yang cukup besar itu. Elisa mendongak menatap papanya. "Iya, pa. Itu sudah termasuk biaya pesawat dan penginapan. Pa, apa aku bilang saja sama wali kelas aku kalau aku tidak jadi ikut?" ucapnya dengan wajah memelas."Kenapa?""Uang itu terlalu besar. Aku bilang saja, jika uang papa tidak cukup. Aku nggak mau dibilang anak tidak tahu di untung," ucap Elisa seraya melirik sinis padaku. "Jangan!" ucap bang Arman cepat. Dia kemudian merogoh kantong di tasnya. Ia mengeluarkan lembaran uang ratusan ribu. Ia menyerahkan pada Elisa. "Ambillah! Ikuti studi tour itu!" ucap bang Arman.Mata Elisa berbinar senang. Ia kemudian memeluk papanya. "Terima kasih, papa. Terima kasih! Tadinya Elisa pikir, papa berubah jika sudah punya istri lagi. Elisa takut papa mengabaikan Elisa dan bang Ridho." "Sampai kapanpun, kamu dan Ridho adalah anak papa. Papa tidak mungkin mengabaikan kalian demi orang lain," ucap bang Arm
Bang Arman menguraikan pelukannya. Ia menatap wajahku dengan tatapan memohon. "Bisakah adek memaafkan, Abang?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk. Ya, dia sudah minta maaf dan aku memaafkannya. Lagi pula tidak baik mengabaikan permintaan maaf seseorang apalagi dari suami sendiri. Wajah sendu bang Arman berubah ceria kembali. Ia tersenyum lebar padaku dan kembali memelukku. "Terima kasih, dek! Hati Abang lega sekarang," ucapnya. Wajahku masih kaku. Sulit bagiku tersenyum ketika hatiku masih sakit. Ya, meskipun aku memang sudah memaafkan bang Arman. Tapi aku butuh waktu untuk kembali bersikap ceria di depannya. "Adek mau makan mie instan?" tanya bang Arman seraya menatapku penuh perhatian. Mendengar pertanyaan bang Arman, aku jadi ingat dengan perutku yang berbunyi dari tadi. "Abang lapar?" tanyaku. Bang Arman mengangguk. "Karena itu Abang buat mie tadi," ia tersenyum. "Adek mau? Biar Abang buatkan," ucapnya. "Tidak baik makan mie malam-malam, bang. Jika Abang mau, aku akan b
"Mau apa kalian ke sini?!" tanya Anton ketus ketika melihat wajah kami. Bang Arman menelan ludah karena merasa tidak enak hati. Ia berusaha tersenyum meskipun terlihat kaku. Sedangkan Anton tetap memperlihatkan raut wajah tidak bersahabat. "Abang....Abang boleh masuk, Ton?" tanya bang Arman berusaha bersikap ramah. Anton hanya mendengus. Ia melipat kedua tangannya di dada tanpa menjawab pertanyaan bang Arman. Bang Arman menghela nafas berat. Sebenarnya ia sudah merendahkan dirinya untuk datang ke sini dan minta maaf. Bang Arman benar-benar menyesal dan mengaku salah. Sehingga ia bisa memaklumi sikap Anton padanya. "Begini, Ton. Abang sudah tahu cerita yang sebenarnya. Abang ke sini mau minta maaf sama Anton karena percaya begitu saja dengan fitnahan anak Abang. Abang tidak mengecek dulu kebenarannya melalui CCTV." Bang Arman menatap Anton dengan wajah penuh harap.Anton hanya diam tanpa ingin menanggapi. "Abang juga membawa Elisa bersama Abang." Bang Arman menarik tangan Elisa ag
Aku sangat bahagia. Aku mengirim pesan pada ibu jika bang Arman akan membayar ongkosnya ke Jakarta. Ibu sangat terkejut dan menolaknya. Ia bilang, ia merasa malu pada bang Arman. Aku mengatakan jika bang Arman memaksa untuk membayarkan ongkos ibu. "Bang, ibu bilang ia sangat berterima kasih pada Abang," laporku. Bang Arman tertawa kecil. "Ada-ada saja ibu ini. Masak seorang anak mengiriminya ongkos, dia pakai berterima kasih segala," tukasnya. Aku tersenyum bahagia melihat ketulusan suamiku pada ibu. ***"Sudah ditransfer uang untuk ibu, dek?" tanya bang Arman siang itu. "Belum, bang. Masih banyak pembeli. Tunggulah! Sebentar lagi!" sahutku sembari membungkus barang yang dibeli pelanggan. "Sudah! Biar Abang yang melayani pembeli. Kamu pergi sekarang mentransfer uangnya. Jangan biarkan ibu terlalu lama menunggu! Transfer sekarang! Biar ibu bisa langsung membeli tiket pesawat hari ini," jelas bang Arman panjang lebar. "Baik, bang! Kalau begitu aku pergi dulu." Bang Arman mengang