Bang Arman menguraikan pelukannya. Ia menatap wajahku dengan tatapan memohon. "Bisakah adek memaafkan, Abang?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk. Ya, dia sudah minta maaf dan aku memaafkannya. Lagi pula tidak baik mengabaikan permintaan maaf seseorang apalagi dari suami sendiri. Wajah sendu bang Arman berubah ceria kembali. Ia tersenyum lebar padaku dan kembali memelukku. "Terima kasih, dek! Hati Abang lega sekarang," ucapnya. Wajahku masih kaku. Sulit bagiku tersenyum ketika hatiku masih sakit. Ya, meskipun aku memang sudah memaafkan bang Arman. Tapi aku butuh waktu untuk kembali bersikap ceria di depannya. "Adek mau makan mie instan?" tanya bang Arman seraya menatapku penuh perhatian. Mendengar pertanyaan bang Arman, aku jadi ingat dengan perutku yang berbunyi dari tadi. "Abang lapar?" tanyaku. Bang Arman mengangguk. "Karena itu Abang buat mie tadi," ia tersenyum. "Adek mau? Biar Abang buatkan," ucapnya. "Tidak baik makan mie malam-malam, bang. Jika Abang mau, aku akan b
"Mau apa kalian ke sini?!" tanya Anton ketus ketika melihat wajah kami. Bang Arman menelan ludah karena merasa tidak enak hati. Ia berusaha tersenyum meskipun terlihat kaku. Sedangkan Anton tetap memperlihatkan raut wajah tidak bersahabat. "Abang....Abang boleh masuk, Ton?" tanya bang Arman berusaha bersikap ramah. Anton hanya mendengus. Ia melipat kedua tangannya di dada tanpa menjawab pertanyaan bang Arman. Bang Arman menghela nafas berat. Sebenarnya ia sudah merendahkan dirinya untuk datang ke sini dan minta maaf. Bang Arman benar-benar menyesal dan mengaku salah. Sehingga ia bisa memaklumi sikap Anton padanya. "Begini, Ton. Abang sudah tahu cerita yang sebenarnya. Abang ke sini mau minta maaf sama Anton karena percaya begitu saja dengan fitnahan anak Abang. Abang tidak mengecek dulu kebenarannya melalui CCTV." Bang Arman menatap Anton dengan wajah penuh harap.Anton hanya diam tanpa ingin menanggapi. "Abang juga membawa Elisa bersama Abang." Bang Arman menarik tangan Elisa ag
Aku sangat bahagia. Aku mengirim pesan pada ibu jika bang Arman akan membayar ongkosnya ke Jakarta. Ibu sangat terkejut dan menolaknya. Ia bilang, ia merasa malu pada bang Arman. Aku mengatakan jika bang Arman memaksa untuk membayarkan ongkos ibu. "Bang, ibu bilang ia sangat berterima kasih pada Abang," laporku. Bang Arman tertawa kecil. "Ada-ada saja ibu ini. Masak seorang anak mengiriminya ongkos, dia pakai berterima kasih segala," tukasnya. Aku tersenyum bahagia melihat ketulusan suamiku pada ibu. ***"Sudah ditransfer uang untuk ibu, dek?" tanya bang Arman siang itu. "Belum, bang. Masih banyak pembeli. Tunggulah! Sebentar lagi!" sahutku sembari membungkus barang yang dibeli pelanggan. "Sudah! Biar Abang yang melayani pembeli. Kamu pergi sekarang mentransfer uangnya. Jangan biarkan ibu terlalu lama menunggu! Transfer sekarang! Biar ibu bisa langsung membeli tiket pesawat hari ini," jelas bang Arman panjang lebar. "Baik, bang! Kalau begitu aku pergi dulu." Bang Arman mengang
Untuk sementara Yudi tinggal bersamaku dan bang Arman sampai dia mendapatkan tempat kos di sekitar lokasi Tanah Abang. Besoknya, Yudi langsung bekerja di toko yang ada di blok A sebagai pengganti Anton. Sementara itu, aku tetap di rumah untuk menemani ibu. Bang Anton sendiri yang memintaku untuk menemani ibu sampai beliau kembali ke kampung. Aku sangat senang mendengarnya. Aku bisa melepas kerinduanku sepuasnya dengan ibu. Lagi pula aku sedikit lega karena sudah ada Yudi di toko. "Yun, ibu lihat Arman sangat baik padamu. Ibu merasa sangat lega, Yun!" ucap ibu di kala kami memasak untuk makan malam buat bang Arman. Aku tertegun. Iya, bang Arman memang baik. Tapi bang Arman tidak tegas jika itu menyangkut anaknya. Dia sering berlaku tidak adil padaku. Namun kalimat itu aku simpan dalam hati. Aku tersenyum menanggapi perkataan ibu. "Beberapa hari yang lalu, ibu sering melihatmu dalam mimpi. Kamu berjalan pelan menemui ibu. Ibu bisa melihat air matamu. Ibu memanggilmu. Namun kamu cum
Aku tidak terima keluargaku dianggap hanya menghabiskan uang bang Arman. Wajahku tegang. Aku harus mengatakan perihal ini pada bang Arman. Elisa tidak juga kapok sejak dia memfitnahku, sekarang dia malah menghina keluargaku. "Kak?" Yudi menatapku dengan rasa tidak enak hati. "Kak, jangan ceritakan masalah ini pada bang Arman, ya!" pinta Yudi. Aku menoleh padanya. "Kenapa, Yud? Bukankah Elisa sudah menghina kamu?" "Aku tidak mau bang Arman tersinggung. Aku juga tidak mau merusak hubungan kakak dengan bang Arman," ucap Yudi. Kata-kata Yudi membuatku terharu. Aku menundukkan wajahku, menyesali dengan ketidakberdayaan aku. Aku masih ingat, bagaimana bang Arman lebih mempercayai Elisa ketimbang aku saat gadis remaja itu memfitnahku. Aku juga tidak yakin, jika ia akan mempercayaiku kali ini. Aku menangis dalam diam. Yudi terkejut mendengar suara isakku yang pelan. Ia berjongkok di depanku dan meraih tanganku. "Kak! Maafkan aku, kak! Seharusnya aku tidak mengatakan hal ini pada kakak.
"Hani!" gumamku nyaris tanpa suara. Mantan istri suamiku itu berjalan menghampiriku. Wajahnya memandang sinis padaku dan ibu. Ibu terperangah melihatnya. "Aku pikir kamu cuma membawa adikmu saja ke sini. Tidak tahunya kamu juga bawa ibumu!" katanya dengan nada mengejek. "Enak, ya! Punya suami kaya. Bisa jalan-jalan, bawa ibu dari kampung pula!" Ia berbicara sambil menarik salah satu sisi bibirnya untuk menunjukkan jika ia merendahkan kami. "Aku tahu, kamu menikah dengan Arman karena berharap bisa hidup enak, kan? Seperti sekarang ini. Jalan-jalan bersama ibumu untuk menghabiskan uang ayah anakku! Dasar wanita gatal! Sukanya sama suami orang!" Ia menghinaku dengan kata-kata kejam.Wajah ibu terlihat keruh. "Siapa dia, Yun?" bisik ibu padaku. "Mantan istri bang Arman, Bu," jawabku. Ibuku terdiam dan tidak berkata apapun lagi. Ia memilih mengabaikannya. Aku juga mengikuti cara ibuku. "Hei! Diajak bicara malah diam!" Hani mulai gusar. Ia berjalan mendekati lesehan tempat kami duduk.
Sepanjang perjalanan pulang ibu hanya diam. Ia tidak banyak bicara sejak kejadian di rumah makan Sunda tadi. Wajahnya tampak di tekuk. Bang Arman berkali-kali mengajaknya bicara, namun ibu hanya menanggapi dengan 'iya' dan 'tidak' saja. Aku menjadi tidak enak hati dengan bang Arman karena sikap ibu. Tapi aku paham kenapa ibu bersikap seperti itu. Wajahnya terlihat marah, entah pada siapa. Entah pada bang Arman atau padaku. Begitu sampai di rumah, ibu langsung masuk ke kamar. Bang Arman menatap padaku. Aku hanya menghela nafas. "Dek, apa ibu marah sama Abang?" tanyanya merasa bersalah. "Tidak tahu, bang. Mungkin ibu hanya kecewa saja," ucapku.Wajah bang Arman tegang dan rahangnya mengeras. "Memang perempuan itu tidak pernah bosan merecoki hidupku," gumamnya geram. Bang Arman menoleh padaku. "Dek, sampaikan maaf Abang pada ibu, ya. Abang merasa tidak enak hati sama ibu," ujarnya khawatir. "Iya, bang," jawabku. Aku hendak berlalu dari hadapan bang Arman untuk menemui ibu di kamar.
Aku menghela nafas berat. Aku tatap wajah penuh kekhawatiran ibu. "Bu, aku dengan bang Arman belum lama menikah. Masak kami harus berpisah karena orang lain?" tanyaku lembut. Aku tahu ibu berkata begitu karena rasa sayangnya padaku. Ibu tertegun. Ia kemudian menunduk. Lalu menangis lagi. "Maafkan ibu, Yun! Maafkan ibu, nak! Ibu.... Astaghfirullah alazim. Ya, Allah mengapa hamba sampai melupakan-Mu!" Ibu tergugu. "Iya, Bu. Ada Allah bersama kita. Berserah dirilah pada-Nya, Bu!" bujukku. Ibu mengangguk di sela Isak tangisnya. Tok! Tok! Tok!Aku dan ibu mendengar suara ketukan dari pintu kamar. Tidak lama, kami melihat bang Arman menyembulkan wajahnya dari balik pintu. Raut wajah bang Arman terlihat cemas dan khawatir. "Maaf, Bu! Apa boleh aku masuk?" ijinnya pada ibu. Ibu hanya mengangguk. Bang Arman pun duduk di samping ibu, di sisi yang lainnya. Ia meraih tangan ibu. "Ada apa, Bu? Sejak pulang dari Taman Mini tadi, ibu terlihat lesu. Apa ibu sakit?" tanyanya perhatian. "Ti