Aku sudah mau menutup tokoku ketika Elisa datang.
"Mana uangku?!" tanyanya dengan ketus.Aku menatap bingung padanya. Uang apa yang dia maksud. Aku menunggu ia menjelaskan uang apa yang dia pinta.Namun, Elisa hanya menggoyang-goyangkan tangannya tanda ia tidak sabar."Uang apa?" tanyaku bingung. Ia mendelik menatapku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan terus melanjutkan membantu Rindi dan Anton menutup toko.Elisa menjadi marah. Ia menarik tanganku hingga aku terdorong ke belakang. Melihat itu, Anton dan Rindi menoleh padanya. Wajah mereka tampak geram. Anton berniat membantuku, namun Rindi menarik tangannya dan geleng-geleng kepala. Anton kembali melanjutkan tugasnya menutup toko."Lo jangan pura-pura bodoh, deh! Jangan mentang-mentang lo udah jadi bini bapak gue, lo bisa menguasai duit bapak gue! Gue nggak akan biarkan itu! Tahu nggak, lo?!" hardiknya kasar.Mataku melebar menatap gadis belia ini. Wajah cantiknya tidak sesuai dengan sikap buruknya."Aku sudah nanya, uang apa, tapi kamu tidak jawab," aku menjelaskan dengan tetap mempertahankan kesabaranku."Lo nggak perlu tahu! Yang penting lo beri gue uang. Ngerti nggak lo?!!" ucapnya kesal."Aku harus tahu jelas uang apa yang aku keluarkan. Kalau tidak, apa yang harus kujawab jika papamu menanyakannya," ucapku lagi."Gue nggak mau tahu itu! Itu urusan lo! Siniin uangnya! cepetan!!" Elisa mulai lancang. Ia menarik tas yang aku pegang. Aku mempertahankannya. Kami saling tarik-tarikan.Melihat itu, Anton langsung maju. Ia membantuku melepaskan diri dari Elisa. Hingga Elisa terjengkang dan jatuh.Pada saat itu terdengar suara bang Arman."Ada apa ini?" tanya bang Arman dengan suara berat. Ia melihat padaku, Anton dan Elisa bergantian. Kami spontan mematung.Tiba-tiba, Elisa menjerit kesakitan dan menangis histeris. Air mata mengalir begitu deras. Aku terpaku, dari mana air mata itu? Bukankah dari tadi dia yang menzalimi aku? Kenapa sekarang dia terlihat seperti korban?"Ada apa, Elisa? Kenapa kamu terduduk disitu?" tanya bang Arman seraya membantu putrinya berdiri.Elisa langsung memeluk tubuh ayahnya erat. Ia menangis histeris di dada ayahnya dengan suara yang di buat begitu memilukan."Kamu kenapa, Elisa? Apa yang terjadi?" bang Arman menjadi panik. Ia meregangkan pelukan Elisa darinya. Ia menatap Elisa dari atas hingga bawah. "Kenapa menangis? Apa ada yang sakit?" tanyanya cemas."Dia, pa!" Elisa menunjuk ke arahku. Aku terperanjat kaget. "Dia jahat. Dia memukulku, mendorongku. Di bantu sama pacarnya itu!" Kali ini Elisa menunjuk pada Anton. Anton sampai terperangah melihatnya.Mata Anton berkilat marah pada Elisa."Apa betul kalian menganiaya anakku?" tanyanya dingin."Tidak, bang. Anak Abang bohong! Justru dia yang menganiaya kak Yuni!" bantah Anton."Mana ada maling yang ngaku, pa!" celutuk Elisa."Aku saksinya, bang!" Rindi angkat bicara. "Elisa datang ke sini minta uang sama kak Yuni. Kak Yuni tanya alasannya, tapi dia tidak mau bilang. Karena itu, kak Yuni tidak mau memberinya uang. Elisa marah dan bersikap kasar. Anton hanya mencoba melindungi kak Yuni saja, bang!" cerita Rindi."Dia bohong, pa! Papa lihat sendiri kejadiannya, kan? Lagi pula, perempuan ini teman mereka. Mana mau dia berterus terang. Dia pasti bersekongkol dengan mereka. Makanya dia ngarang cerita buat menjatuhkan aku!" Elisa berusaha meracuni pikiran bang Arman."Abang tidak menyangka, ternyata kamu busuk ya, Yun!" Bang Arman memandang tajam padaku.Kata-kata bang Arman seperti sambaran petir bagiku. Semudah itu dia mempercayai putrinya tanpa mendengar pembelaan aku terlebih dahulu. Sedangkan dia sendiri tahu, bagaimana sifat putrinya."Apa maksud Abang?" tanyaku dengan suara bergetar. Hatiku perih saat ia menghinaku tanpa tahu kebenarannya."Kamu menikahi seorang duda, Yun. Seharusnya saat kamu menerima Abang, kamu juga harus mau menerima anak Abang! Seharusnya kamu perlakukan dia seperti anakmu sendiri!" tekannya. "Jangan malah kamu memperlakukan dia dengan kasar begini?! Kamu bahkan sudah berani berselingkuh padahal pernikahan kita baru beberapa bulan.""Bang!" Anton berteriak protes. "Siapa yang berselingkuh?! Jangan asal tuduh Abang?!""Diam kamu! Kamu jangan ikut campur urusan rumah tangga saya!" ucap bang Arman ketus."Anak Abang sudah memfitnah saya, dan Abang mempercayainya. Sekarang Abang minta saya tidak ikut campur?!" Mata Anton melotot memandang bang Arman. "Saya tekankan sekali lagi, bang. Yang salah di sini itu dia!!" Anton menunjuk pada Elisa yang terus memainkan perannya sebagai anak yang teraniaya. "Dia itu pembohong besar! Dan dengan bodohnya Abang mempercayai gadis beracun ini!" lanjut Anton."Jangan kurang ajar kau, ya! Mulai sekarang kau tidak usah bekerja di tempat ku lagi. Kau, aku pecat!!" teriak bang Arman dengan emosi.Anton terdiam. Ia kemudian tersenyum sinis. "Terima kasih! Tanpa kau pecat pun, aku akan mengundurkan diri!" Anton melempar kunci toko ke kaki bang Arman. Suaranya membuat kami semua terperanjat kaget. Ia kemudian melangkah pergi meninggalkan aku dan Rindi yang masih terpana."Kamu lihat, Rindi! Jika kamu juga macam-macam dengan anakku, kamu juga boleh mengundurkan diri!" ancam bang Arman.Rindi terdiam dan menunduk sedih. Aku menangis melihat ketidakadilan ini. Sedangkan Elisa tersenyum licik di balik air mata palsunya."Kamu sudah tidak apa-apa lagi kan, Elisa?" bang Arman bertanya lembut pada putrinya. Elisa mengangguk. "Sebenarnya mau apa kamu ke sini?""Ada acara studi tour di sekolah. Semua anak wajib ikut, pa. Karena itu, aku ke sini mau minta uang studi tour nya. Tapi wanita itu malah marah dan menunjuk-nunjuk aku. Dia juga bicara kasar padaku. Dia bilang, aku bukan tanggung jawab papa lagi. Karena papa sudah bercerai dari mama. Dia minta aku menjauh dari kehidupannya dan papa." Lancar sekali gadis belia ini berbohong. Tidak ada raut rasa bersalah di wajahnya. Seakan dia seorang artis yang menghafalkan dialog dalam naskah film.Aku makin ternganga mendengar cerita bohongnya. Sedangkan bang Arman terlihat mempercayai semua ucapan putrinya itu. Rindi menggenggam tanganku, menatapku penuh prihatin. Aku menyentuh tangannya dan mengangguk. Ya, aku harus kuat.Bang Arman menatap dingin padaku. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tahu, ia pasti kecewakan padaku sekarang. Aku diam mematung tanpa sepatah kata pun. Tidak ada gunanya aku membantah semua ucapan Elisa. Aku yakin bang Arman tidak akan mempercayaiku, seperti yang ia lakukan pada Anton."Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya bang Arman lembut pada Elisa.Deg!
Ucapan lembutnya kepada Elisa membuatku tahu posisiku di hatinya.
Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama
Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny
Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab
Kehamilanku membuatku susah bergerak. Aku sering kali muntah dan merasa lemas. Padahal aku sudah meminum obat yang mengurangi muntah. Warung lebih sering dikelola ibu, kadang di bantu oleh Yudi dan Rindi. Tubuhku sangat lemas, sehingga aku tidak ikut keluar membantu ibu berjualan. Aku duduk di depan kamarku, yang menghadap langsung ke warung.Jantungku berdetak cepat, ketika melihat bang Arman datang. Seperti biasa ia memesan makanannya. Ibu melayani dengan wajah masam. Aku melihat bang Arman celingukan. Matanya menemukan sosokku yang duduk di depan jendela. Ia tersenyum ketika kami bertatapan. Aku buang muka. Aku mendadak gugup ketika bang Arman datang menghampiriku. Aku segera berdiri dan berjalan ke ranjangku. Aku berbaring dan berharap bang Arman tidak ke sini. "Yun!"Aku terperanjat kaget ketika bang Arman sudah berdiri di depan jendelaku dan memanggilku. Aku pura-pura tidak dengar dan mengabaikannya. "Kamu kenapa tidak membantu ibu jaga warung, Yun? Apa kamu sakit?" tanya b
Aku masih dalam diam ku. Sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk cerai dan menjadi jadi. Tapi, pernikahan yang kujalani dengan bang Arman juga tidak membuat aku bahagia. "Yun! Apa yang kamu pikirkan lagi? Untuk apa kamu pertahankan laki-laki seperti Arman?!" Ibu menatapku dengan kesal. Begitulah ibu. Jika ibu merasa keputusannya tepat, dia akan terus mendesak ku untuk menjalankannya. Sama halnya saat beliau memaksaku untuk menerima pinangan bang Arman dulu. "Bu, aku tidak tahu, Bu. Aku masih belum siap jadi janda.""Jadi janda bukan suatu aib, Yun. Yang paling penting kebahagiaan kamu. Menikah dengan Arman hanya akan membuat kamu sengsara. Karena Arman masih terikat sama anak dan mantan istrinya. Kamu akan terus dibuat makan hati oleh mereka. Jadi, lepaskan saja Arman itu. Siapa tahu besok kamu dapat jodoh yang lebih baik," bujuk ibuku gencar.Aku kembali terdiam. "Yun!" Ibu menggenggam erat tanganku. "Ibu sedih melihat hidupmu sekarang. Rasanya hati ibu remuk ketika melihat m
Aku menunggu dengan gelisah. Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir keluar. Seorang perawat datang menemui ku. "Apa mbak anaknya Bu Yanti?" tanyanya. "Iya, saya!" jawabku cepat. "Bu Yanti sudah stabil kondisinya, mbak. Dokter menyarankan agar Bu Yanti dirawat inap saja sambil melihat perkembangan kondisi kesehatannya. Kami langsung rujuk ke dokter jantung saja ya, mbak," jelas perawat itu padaku."Iy, suster! Lakukan yang terbaik saja buat ibuku," ujarku. "Kalau begitu, silakan di urus administrasinya, mbak!" "Baik, sus!" Aku bergegas ke ruang administrasi rumah sakit. ***Ibu sudah dibawa ke ruang rawat inap. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya kuat. Aku sangat lega karena ibu bisa melewati serangan jantungnya. Jika terjadi apa-apa pada ibu, mungkin aku bisa ikut mati bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan ibuku. Tubuhku masih gemetar ketika mengingat kejadian saat ibu tiba-tiba terkulai lemas.Drrrt..