"Re, itu bapakmu sudah pulang," kata ibu dari balik pintu kamar.
Aku bergegas menemui bapak yang baru pulang dari Showroom.
"Baru pulang, Pak?"
"Iya Re, kamu kapan datang?" tanya bapak.
"Tadi sore, Pak," jawabku lemah.
"Mana Reza sama Yogi? Mereka nggak ikut?"
Aku terdiam, namun Ibu langsung menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Loh, bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu? Apa dia nggak ingat apa yang telah kita lakukan untuknya?"
"Memang, Pak. Putri kita disakiti oleh pria seperti itu. Ibu sangat tidak terima, Pak," tambah Ibu.
"Memang apa alasan sebenarnya, Re? Kenapa dia ingin menikah lagi?"
Akhirnya aku ceritakan semua tentang keinginannya memiliki istri seorang wanita karir.
"Dasar, lelaki macam apa itu? Hanya memandang istri dari penampilan! Dia itu sebenarnya yang kurang bersyukur bisa mendapatkan Reina," ujar ibu terlihat kesal.
"Sudah, Re. Kamu nggak usah mikirin dia lagi? Kamu lebih baik fokus pada hidupmu. Nggak penting mikirin lelaki yang tak punya hati seperti dia," tambah bapak.
Bapakku termasuk tipe orang yang tegas dan tidak mudah diremehkan. Dia tidak menyukai orang yang berani mengusik kehidupan keluarganya apalagi putrinya.
"Aku sudah mulai bekerja sebenarnya, Pak," jelasku.
Bapak memandangku kemudian bertanya serius.
"Hanya gara-gara Yogi menginginkan istri seorang wanita karir kamu bela-belain langsung cari kerja, Re?"
"Bukannya begitu, Pak. Aku tidak mengharapkan dia kembali padaku sedikit pun. Aku cuma mau buktiin sama dia jika aku bisa hidup tanpa dia, aku juga bisa sukses tanpa adanya dia, Pak."
"Kamu kerja di mana, Re? Kenapa mendadak langsung dapet pekerjaan. Memangnya kapan Yogi pergi? Apa mungkin dia sudah lama pergi dan kamu baru menceritakan ini sama kami?" tanya Ibu.
"Tidak, Bu. Mas Yogi baru pergi kemarin. Jika saja nomerku tidak diblok, mungkin aku juga masih ragu menceritakan ini sama kalian," jawabku jujur.
"Apa kamu masih mau melindungi suamimu itu? Kelakuan suami brengsek seperti itu masih ingin kamu tutup-tutupi?" Ibu kembali berkata dengan nada kesal.
"Iya, Bu. Bagaimanapun juga dia tetap suamiku. Orang yang kupilih menjadi pendamping hidupku."
"Tidak lagi sekarang, Re. Kamu juga punya harga diri. Jangan menjadi wanita lemah yang cepat sekali memaafkan kesalahan suami. Apalagi karena kelakuannya yang brengsek seperti itu," Kini bapak kembali berbicara.
"Iya, Pak. Sekarang aku tidak lagi mengharapkannya. Walaupun suatu saat dia ingin kembali padaku, aku akan menolaknya."
"Benar itu!! Kamu harus punya prinsip!" Lanjut bapak meyakinkan.
Bapak pergi setelah menyampaikan semua pendapat serta kekesalannya terhadap menantunya itu.
"Jadi kamu mau nginep sini kan?" tanya Ibu kemudian.
"Iya, Bu. Tapi besok aku harus pergi kerja."
"Kamu kerja di mana sebenarnya Re? Kerjaan halal kan?"
"Ibu tidak usah khawatir. Walaupun aku merasa terhimpit dan membutuhkannya, namun aku tetap masih punya pikiran, Bu. Bukankah kalian sudah susah payah menguliahkanku dahulu?"
"Iya kamu benar, Re. Memangnya kamu kerja apa?"
"Alhamdulillah aku mendapat jabatan sebagai staff akuntansi di sebuah perusahaan."
"Wah hebat itu. Memang itu kan yang kamu inginkan dari dulu? Makanya kamu ngambil jurusan itu saat kuliah."
Aku mengangguk. Kemudian kuceritakan semuanya tentang betapa berjasanya Fida padaku.
"Oh jadi Fida yang mengajakmu?"
"Iya, Bu. Ibu masih ingat kan?"
"Iya, dia yang dulu selalu kamu ceritakan itu kan? Dia baik sekali, Re."
"Benar, Bu. Dia memang baik," kataku tanpa menceritakan apa yang telah kulakukan padanya semasa kuliah.
"Ya udah tidur sana, istirahat. Masalah rumah tanggamu jangan terlalu dipikirkan. Ibu yakin Reza juga akan baik-baik saja sama papanya."
"Iya, Bu," kataku kemudian berjalan ke dalam kamar.
_____________
"Ini Ibu siapin bekal. Biar kamu nggak usah jajan lagi nanti," kata Ibu ketika kami sedang sarapan.
"Terimakasih, Bu."
"Apa kamu senang dengan pekerjaan ini, Re?" Kini giliran bapak yang bertanya.
"Iya, Pak. Aku senang dengan pekerjaan ini. Apalagi manajer di sana sangat baik, membuatku semakin betah."
"Syukurlah kalau begitu. Kamu naik taksi?"
"Iya, Pak. Sebenarnya aku kemarin dijemput Fida, hari ini juga dia akan menjemputku. Tapi karena aku disini mungkin dia akan berangkat duluan."
"Ya udah suruh anter Diki saja. Apa masih tidur anak itu, Bu?" tanya bapak yang memang belum melihat Diki.
"Iya, akhir-akhir ini dia suka telat bangun. Nggak tau kenapa? Mungkin tugas kuliahnya lagi banyak kali," Ibu menebak.
"Kamu bangunin aja adikmu itu. Suruh antar kamu dulu sebelum berangkat kuliah. Lagian kuliahnya juga siang kan?" sahut bapak.
"Nggak usah, Pak. Aku naik taksi aja. Lama kalau harus nunggu dia bangun. Belum lagi mandinya, lama banget."
"Ya udah kalau kamu memang mau naik taksi aja."
Usai sarapan aku segera berangkat. Tidak lupa berpamitan dengan bapak dan Ibu.
"Hati hati, Re. Nanti pulang kesini lagi kan?"
"Sepertinya aku pulang kerumah aja ya, Bu. Kapan-kapan aku kesini lagi."
"Pulang kesini saja. Di rumah nggak ada temannya, kamu pasti kesepian," Ibu melanjutkan.
"Tidak papa, Bu. Aku sudah biasa."
"Beneran? Jika kamu merasa kesepian telpon Ibu ya. Biar Ibu suruh Diki kesana temenin kamu."
"Iya Bu, jangan khawatir. Reina Udah dewasa kok," kataku kemudian berjalan meninggalkan mereka.
Setelah hampir Sepuluh menit aku menunggu sebuah taksi lewat didepanku. Taksi itu berhenti, aku berjalan mendekat untuk membuka pintu.
Tanpa sepengetahuanku, tiba-tiba seorang laki-aki menyerobot pintu taksi yang belum sempat kubuka itu.
"Maaf saya buru-buru," ujar laki-laki itu.
"Tapi saya juga buru-buru. Ini taksi saya, Saya duluan yang mendapatkannya," kataku mencoba merebut taksi itu kembali.
"Maaf, Mbak. Mbak bisa nunggu taksi setelah ini. Saya darurat," kata lelaki itu kemudian langsung masuk ke dalam taksi.
Aku yang masih diluar akhirnya mengalah juga. Walaupun sebenarnya merasa sedikit kesal.
"Nunggu lagi deh. Telat juga ini," gerutuku.
Lima menit kemudian sebuah mobil berhenti di depanku yang masih merasa kesal.
"Re? Kok masih dibsini?" tanya orang itu yang ternyata adalah pak Rendi.
"Eh , iya Pak. Ini saya lagi nunggu taksi, semalam saya nginep di rumah Ibu saya." Aku mencoba menjelaskan.
"Ya udah ayo bareng saya aja. Lagian ini udah siang, kamu akan terlambat jika masih harus menunggu taksi."
Karena masih merasa kesal dengan peristiwa tadi, akhirnya kuterima saja tawaran pak Rendi.
"Kenapa terlihat begitu kesal?" tanya pak Rendi setelah mobil berjalan.
"Iya, Pak. Habis tadi sebenarnya saya sudah dapet taksi, malah diserobot orang."
"Mungkin dia buru buru kali," Pak Rendi berkata lembut.
"Iya dia sih bilangnya gitu. Tapi saya kan juga buru-buru Pak. Saya juga bisa telat." Kataku kesal.
"Jangan begitu, Re. Mungkin saja dia lebih terburu-buru dari kamu. Ada masalah yang lebih penting dari masalahmu mungkin," katanya bijaksana.
Ternyata ini alasan Fida selalu memuji-muji pak Rendi. Dia lelaki yang baik hati, lembut dan perkataannya pun baik. Lelaki seperti ini yang seharusnya dipertahankan. Bukan lelaki seperti mas Yogi. Lelaki brengsek yang sudah membuatku sakit hati karena ucapan dan tingkahnya.
"Nanti siang saya ada meeting dengan klien. Kamu ikut saya ya, Re," pinta pak Rendi.
"Oh baik, Pak."
"Saya ajak kamu karena sekretaris saya tiba-tiba minta cuti hari ini. Lagian kamu pasti bisa menggantikannya satu hari," sambung pak Rendi.
"Baik, Pak."
"Kamu ke ruangan saya setelah makan siang ya," terang pak Rendi.
"Baik, Pak."
_____________________
"Maaf tadi aku nggak jemput kamu, Re. Aku kesiangan," kata Fida.
"Iya Da, nggak papa. Lagian semalem aku nginep di eumah Ibu kok," jawabku.
"Kamu kesana? Ada apa? Apa tante sakit?"
"Tidak, Da. Cuma kangen aja," kataku beralasan.
"Oh, sama mas Yogi juga? Nginep?"
"Iya, nginep," jawabku bohong.
"Nanti pulangnya bareng aku kan? Aku anterin sampai rumah sebagai ganti yang kemarin," lanjut Fida dengan rasa bersalah.
"Santai aja. Kemarin aku diberi tumpangan sama pak Rendi kok."
Fida langsung berhenti mengunyah roti yang baru saja dia masukkan ke dalam mulutnya. Matanya melotot dan wajahnya mendekati wajahku.
"Seriusan???!!!!"
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Baru kali ini pak Rendi kasih tumpangan lo, Re. Kamu serius?? mimpi kali," jawah Fida tidak percaya.
"Yeeee, kamu nggak percaya. Beneran, Da," kataku meyakinkan.
"Sumpah?!"
"Tanya aja sendiri sama orangnya kalau nggak percaya," tambahku kemudian melanjutkan makan.
"Jangan jangan pak Rendi naksir kamu, Re?"
"Huss kamu. Aku sudah bersuami, sudah punya anak juga. Nggak baik ah ngomong gitu".
"Ya kan siapa tau," ucapnya lagi.
Aku masih cuek dengan semua yang dikatakan Fida. Tidak mungkin lah seorang pak Rendi menyukai bawahannya sepertiku.
"Udah ayuk kembali kerja aja. Ngomongin pak Rendi mulu nggak kelar-kelat," ajakku setelah mendengar suara bel berbunyi.
"Cie pak Rendi," ledek Fida.
"Awas kamu ya, Da," kataku seraya mengejar Fida.
Fida berlari sambil sesekali menoleh kebelakang dan terus meledekku.
"Dasar Fida. Tidak berubah sama sekali dari dulu," gumamku.
Aku berjalan menuju ruangan pak Rendi, seperti yang dikatakannya pagi tadi jika aku harus ke ruangannya setelah makan siang.
"Selamat siang, Pak," sapaku yang melihat pak Rendi sudah berada diruangannya.
"Iya, Re. Kita langsung berangkat saja ya. Kamu sudah makan kan?"
"Sudah, Pak."
"Tolong bawa dokumen ini ya," katanya seraya menyerahkan sebuah map berwarna kuning.
"Kita bertemu klien di kafe dekat sini saja. Sky garden cafe, kamu tau kan?" tanya pak Rendi kemudian.
"Tahu kok Pak, Baik Pak."
Aku mengikuti setiap langkahnya. Dia benar-benar sangat berwibawa. Terlihat dari caranya berjalan.
______________
"Kamu tunggu disini ya, Re. Saya ke toilet sebentar," kata pak Rendi setelah kami duduk dimeja nomer sembilan.
"Baik, Pak."
Tak lama setelah pak Rendi pergi, seorang pria yang tak terlihat asing bagiku masuk dan duduk di kursi nomer lima. Mas Yogi??
Apa yang dia lakukan disini? Kenapa dia sendirian ? Di manakah Reza?
Aku bermaksud mendekatinya, tapi kemudian pak Rendi telah kembali dari toilet.
"Apa klien kita belum datang?"
"Belum, Pak."
"Kamu mau kemana tadi?" tanya pak Rendi yang sempat melihatku berdiri namun kemudian duduk kembali saat melihatnya datang.
"Itu, Pak. Lelaki di meja nomer lima itu, dia suami saya," kataku jujur.
Pak Rendi langsung melihat ke meja yang kutunjuk.
"Kamu mau menemuinya?"
"Sepertinya iya, Pak."
Pak Rendi mengijinkanku. Aku bergegas menghampirinya.
"Mas Yogi," sapaku yang mengagetkannya.
"Kamu??"
_______________
"
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken