Share

Bertemu Yogi

"Re, itu bapakmu sudah pulang," kata ibu dari balik pintu kamar.

Aku bergegas menemui bapak yang baru pulang dari Showroom.

"Baru pulang, Pak?" 

"Iya Re, kamu kapan datang?" tanya bapak.

"Tadi sore, Pak," jawabku lemah.

"Mana Reza sama Yogi? Mereka nggak ikut?"

Aku terdiam, namun Ibu langsung menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Loh, bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu? Apa dia nggak ingat apa yang telah kita lakukan untuknya?"

"Memang, Pak. Putri kita disakiti oleh pria seperti itu. Ibu sangat tidak terima, Pak," tambah Ibu.

"Memang apa alasan sebenarnya, Re? Kenapa dia ingin menikah lagi?"

Akhirnya aku ceritakan semua tentang keinginannya memiliki istri seorang wanita karir.

"Dasar, lelaki macam apa itu? Hanya memandang istri dari penampilan! Dia itu sebenarnya yang kurang bersyukur bisa mendapatkan Reina," ujar ibu terlihat kesal.

"Sudah, Re. Kamu nggak usah mikirin dia lagi? Kamu lebih baik fokus pada hidupmu. Nggak penting mikirin lelaki yang tak punya hati seperti dia," tambah bapak.

Bapakku termasuk tipe orang yang tegas dan tidak mudah diremehkan. Dia tidak menyukai orang yang berani mengusik kehidupan keluarganya apalagi putrinya.

"Aku sudah mulai bekerja sebenarnya, Pak," jelasku.

Bapak memandangku kemudian bertanya serius. 

"Hanya gara-gara Yogi menginginkan istri seorang wanita karir kamu bela-belain langsung cari kerja, Re?"

"Bukannya begitu, Pak. Aku tidak mengharapkan dia kembali padaku sedikit pun. Aku cuma mau buktiin sama dia jika aku bisa hidup tanpa dia, aku juga bisa sukses tanpa adanya dia, Pak."

"Kamu kerja di mana, Re? Kenapa mendadak langsung dapet pekerjaan. Memangnya kapan Yogi pergi? Apa mungkin dia sudah lama pergi dan kamu baru menceritakan ini sama kami?" tanya Ibu.

"Tidak, Bu. Mas Yogi baru pergi kemarin. Jika saja nomerku tidak diblok, mungkin aku juga masih ragu menceritakan ini sama kalian," jawabku jujur.

"Apa kamu masih mau melindungi suamimu itu? Kelakuan suami brengsek seperti itu masih ingin kamu tutup-tutupi?" Ibu kembali berkata dengan nada kesal.

"Iya, Bu. Bagaimanapun juga dia tetap suamiku. Orang yang kupilih menjadi pendamping hidupku."

"Tidak lagi sekarang, Re. Kamu juga punya harga diri. Jangan menjadi wanita lemah yang cepat sekali memaafkan kesalahan suami. Apalagi karena kelakuannya yang brengsek seperti itu," Kini bapak kembali berbicara.

"Iya, Pak. Sekarang aku tidak lagi mengharapkannya. Walaupun suatu saat dia ingin kembali padaku, aku akan menolaknya."

"Benar itu!! Kamu harus punya prinsip!" Lanjut bapak meyakinkan.

Bapak pergi setelah menyampaikan semua pendapat serta kekesalannya terhadap menantunya itu.

"Jadi kamu mau nginep sini kan?" tanya Ibu kemudian.

"Iya, Bu. Tapi besok aku harus pergi kerja."

"Kamu kerja di mana sebenarnya Re? Kerjaan halal kan?"

"Ibu tidak usah khawatir. Walaupun aku merasa terhimpit dan membutuhkannya, namun aku tetap masih punya pikiran, Bu. Bukankah kalian sudah susah payah menguliahkanku dahulu?"

"Iya kamu benar, Re. Memangnya kamu kerja apa?"

"Alhamdulillah aku mendapat jabatan sebagai staff akuntansi di sebuah perusahaan."

"Wah hebat itu. Memang itu kan yang kamu inginkan dari dulu? Makanya kamu ngambil jurusan itu saat kuliah."

Aku mengangguk. Kemudian kuceritakan semuanya tentang betapa berjasanya Fida padaku.

"Oh jadi Fida yang mengajakmu?"

"Iya, Bu. Ibu masih ingat kan?"

"Iya, dia yang dulu selalu kamu ceritakan itu kan? Dia baik sekali, Re."

"Benar, Bu. Dia memang baik," kataku tanpa menceritakan apa yang telah kulakukan padanya semasa kuliah.

"Ya udah tidur sana, istirahat. Masalah rumah tanggamu jangan terlalu dipikirkan. Ibu yakin Reza juga akan baik-baik saja sama papanya."

"Iya, Bu," kataku kemudian berjalan ke dalam kamar. 

_____________

"Ini Ibu siapin bekal. Biar kamu nggak usah jajan lagi nanti," kata Ibu ketika kami sedang sarapan.

"Terimakasih, Bu."

"Apa kamu senang dengan pekerjaan ini, Re?" Kini giliran bapak yang bertanya.

"Iya, Pak. Aku senang dengan pekerjaan ini. Apalagi manajer di sana sangat baik, membuatku semakin betah."

"Syukurlah kalau begitu. Kamu naik taksi?"

"Iya, Pak. Sebenarnya aku kemarin dijemput Fida, hari ini juga dia akan menjemputku. Tapi karena aku disini mungkin dia akan berangkat duluan."

"Ya udah suruh anter Diki saja. Apa masih tidur anak itu, Bu?" tanya bapak yang memang belum melihat Diki.

"Iya, akhir-akhir ini dia suka telat bangun. Nggak tau kenapa? Mungkin tugas kuliahnya lagi banyak kali," Ibu menebak.

"Kamu bangunin aja adikmu itu. Suruh antar kamu dulu sebelum berangkat kuliah. Lagian kuliahnya juga siang kan?" sahut bapak.

"Nggak usah, Pak. Aku naik taksi aja. Lama kalau harus nunggu dia bangun. Belum lagi mandinya, lama banget."

"Ya udah kalau kamu memang mau naik taksi aja."

Usai sarapan aku segera berangkat. Tidak lupa berpamitan dengan bapak dan Ibu.

"Hati hati, Re. Nanti pulang kesini lagi kan?"

"Sepertinya aku pulang kerumah aja ya, Bu. Kapan-kapan aku kesini lagi."

"Pulang kesini saja. Di rumah nggak ada temannya, kamu pasti kesepian," Ibu melanjutkan.

"Tidak papa, Bu. Aku sudah biasa."

"Beneran? Jika kamu merasa kesepian telpon Ibu ya. Biar Ibu suruh Diki kesana temenin kamu."

"Iya Bu, jangan khawatir. Reina Udah dewasa kok," kataku kemudian berjalan meninggalkan mereka.

Setelah hampir Sepuluh menit aku menunggu sebuah taksi lewat didepanku. Taksi itu berhenti, aku berjalan mendekat untuk membuka pintu.

Tanpa sepengetahuanku, tiba-tiba seorang laki-aki menyerobot pintu taksi yang belum sempat kubuka itu.

"Maaf saya buru-buru," ujar laki-laki itu. 

"Tapi saya juga buru-buru. Ini taksi saya, Saya duluan yang mendapatkannya," kataku mencoba merebut taksi itu kembali.

"Maaf, Mbak. Mbak bisa nunggu taksi setelah ini. Saya darurat," kata lelaki itu kemudian langsung masuk ke dalam taksi.

Aku yang masih diluar akhirnya mengalah juga. Walaupun sebenarnya merasa sedikit kesal.

"Nunggu lagi deh. Telat juga ini," gerutuku.

Lima menit kemudian sebuah mobil berhenti di depanku yang masih merasa kesal.

"Re? Kok masih dibsini?" tanya orang itu yang ternyata adalah pak Rendi.

"Eh , iya Pak. Ini saya lagi nunggu taksi, semalam saya nginep di rumah Ibu saya." Aku mencoba menjelaskan.

"Ya udah ayo bareng saya aja. Lagian ini udah siang, kamu akan terlambat jika masih harus menunggu taksi."

Karena masih merasa kesal dengan peristiwa tadi, akhirnya kuterima saja tawaran pak Rendi.

"Kenapa terlihat begitu kesal?" tanya pak Rendi setelah mobil berjalan.

"Iya, Pak. Habis tadi sebenarnya saya sudah dapet taksi, malah diserobot orang."

"Mungkin dia buru buru kali," Pak Rendi berkata lembut.

"Iya dia sih bilangnya gitu. Tapi saya kan juga buru-buru Pak. Saya juga bisa telat." Kataku kesal.

"Jangan begitu, Re. Mungkin saja dia lebih terburu-buru dari kamu. Ada masalah yang lebih penting dari masalahmu mungkin," katanya bijaksana. 

Ternyata ini alasan Fida selalu memuji-muji pak Rendi. Dia lelaki yang baik hati, lembut dan perkataannya pun baik. Lelaki seperti ini yang seharusnya dipertahankan. Bukan lelaki seperti mas Yogi. Lelaki brengsek yang sudah membuatku sakit hati karena ucapan dan tingkahnya.

"Nanti siang saya ada meeting dengan klien. Kamu ikut saya ya, Re," pinta pak Rendi.

"Oh baik, Pak."

"Saya ajak kamu karena sekretaris saya tiba-tiba minta cuti hari ini. Lagian kamu pasti bisa menggantikannya satu hari," sambung pak Rendi.

"Baik, Pak." 

"Kamu ke ruangan saya setelah makan siang ya," terang pak Rendi.

"Baik, Pak."

_____________________

"Maaf tadi aku nggak jemput kamu, Re. Aku kesiangan," kata Fida.

"Iya Da, nggak papa. Lagian semalem aku nginep di eumah Ibu kok," jawabku.

"Kamu kesana? Ada apa? Apa tante sakit?"

"Tidak, Da. Cuma kangen aja," kataku beralasan.

"Oh, sama mas Yogi juga? Nginep?"

"Iya, nginep," jawabku bohong.

"Nanti pulangnya bareng aku kan? Aku anterin sampai rumah sebagai ganti yang kemarin," lanjut Fida dengan rasa bersalah.

"Santai aja. Kemarin aku diberi tumpangan sama pak Rendi kok."

Fida langsung berhenti mengunyah roti yang baru saja dia masukkan ke dalam mulutnya. Matanya melotot dan wajahnya mendekati wajahku.

"Seriusan???!!!!"

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Baru kali ini pak Rendi kasih tumpangan lo, Re. Kamu serius?? mimpi kali," jawah Fida tidak percaya.

"Yeeee, kamu nggak percaya. Beneran, Da," kataku meyakinkan.

"Sumpah?!"

"Tanya aja sendiri sama orangnya kalau nggak percaya," tambahku kemudian melanjutkan makan.

"Jangan jangan pak Rendi naksir kamu, Re?"

"Huss kamu. Aku sudah bersuami, sudah punya anak juga. Nggak baik ah ngomong gitu".

"Ya kan siapa tau," ucapnya lagi.

Aku masih cuek dengan semua yang dikatakan Fida. Tidak mungkin lah seorang pak Rendi menyukai bawahannya sepertiku.

"Udah ayuk kembali kerja aja. Ngomongin pak Rendi mulu nggak kelar-kelat," ajakku setelah mendengar suara bel berbunyi.

"Cie pak Rendi," ledek Fida.

"Awas kamu ya, Da," kataku seraya mengejar Fida.

Fida berlari sambil sesekali menoleh kebelakang dan terus meledekku. 

"Dasar Fida. Tidak berubah sama sekali dari dulu," gumamku. 

Aku berjalan menuju ruangan pak Rendi, seperti yang dikatakannya pagi tadi jika aku harus ke ruangannya setelah makan siang.

"Selamat siang, Pak," sapaku yang melihat pak Rendi sudah berada diruangannya.

"Iya, Re. Kita langsung berangkat saja ya. Kamu sudah makan kan?"

"Sudah, Pak."

"Tolong bawa dokumen ini ya,"  katanya seraya menyerahkan sebuah map berwarna kuning.

"Kita bertemu klien di kafe dekat sini saja. Sky garden cafe, kamu tau kan?" tanya pak Rendi kemudian.

"Tahu kok Pak, Baik Pak."

Aku mengikuti setiap langkahnya. Dia benar-benar sangat berwibawa. Terlihat  dari caranya berjalan.

______________

"Kamu tunggu disini ya, Re. Saya ke toilet sebentar," kata pak Rendi setelah kami duduk dimeja nomer sembilan.

"Baik, Pak."

Tak lama setelah pak Rendi pergi, seorang pria yang tak terlihat asing  bagiku masuk dan duduk di kursi nomer lima. Mas Yogi??

Apa yang dia lakukan disini? Kenapa dia sendirian ? Di manakah Reza? 

Aku bermaksud mendekatinya, tapi kemudian pak Rendi telah kembali dari toilet.

"Apa klien kita belum datang?"

"Belum, Pak."

"Kamu mau kemana tadi?" tanya pak Rendi yang sempat melihatku berdiri namun kemudian duduk kembali saat melihatnya datang.

"Itu, Pak. Lelaki di meja nomer lima itu, dia suami saya," kataku jujur.

Pak Rendi langsung melihat ke meja yang kutunjuk.

"Kamu mau menemuinya?"

"Sepertinya iya, Pak."

Pak Rendi mengijinkanku. Aku bergegas menghampirinya.

"Mas Yogi," sapaku yang mengagetkannya.

"Kamu??"

_______________

"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Sama sahabat ndak cerita2 gmn toh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status