"Di depan berhenti ya, Pak," kataku pada pak Rendi.
"Oh rumahmu daerah sini ya, Re?""Iya, Pak. Masih naik angkot sekali lagi sih," jawabku jujur."Saya anterin saja kamu sampai rumahmu, bagaimana?" Pak Rendi menawarkan."Nggak usah, Pak. Nanti ngerepotin. Saya naik angkot aja," jawabku tidak ingin merepotkan pak Rendi lagi."Nggak papa, ayo saya antar aja." "Beneran gak ngrepotin, Pak? Saya malah jadi merasa sungkan," ujarku."Sudah tidak usah sungkan, saya tidak merasa direpotkan kok. Saya malah akan merasa bersalah jika menurunkanmu di sini," lanjut Pak Rendi membuatku akhirnya menyetujuinya."Oh ya, Re, dulu kamu pernah kerja kantoran ya? Kok kamu langsung bisa menyesuaikan diri gitu di kantor tadi. Tidak banyak bertanya juga. Sepertinya sudah paham dengan pekerjaan yang harus kamu kerjakan.""Sebenarnya sebelum menikah saya sempat bekerja, Pak." "Oh begitu. Lalu kenapa berhenti?""Setelah menikah saya memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Karena menurut saya suami saya adalah suami yang bertanggung jawab. Selain itu saya ingin membuat keluarga saya bangga pada suami saya itu."Pak Rendi masih terdiam dan tetap mendengarkan ceritaku."Namun ternyata keputusan saya salah. Dia lebih suka pada wanita karir, Pak. Wanita yang tidak hanya bekerja di rumah saja," sambungku."Seandainya dia tau betapa capeknya jadi ibu rumah tangga, mungkin dia tidak akan setega itu melakukan ini semua," lanjutku."Dia berpikir Ibu rumah tangga itu enak. Hanya duduk-duduk di rumah sambil menunggu suami pulang dan meminta uang ketika uang bulanannya habis." "Sudah lah, nggak usah dibahas lag," kata pak Rendi menghentikanku. Dia paham jika aku mulai tak kuasa menahan air mata ini."Besuk dijemput Fida lagi?" tanya dia mengalihkan pembicaraan.
"Iya, Pak. Dia teman baikku," jawabku sambil menyeka air mata yang sudah berada di pelupuk mata.Setelah mobil berjalan sekitar satu kilo lagi, akhirnya kami sampai juga di gerbang perumahanku."Kamu tinggal di perumahan ini?""Iya, Pak." "Oh, bagus ya," jawab pak Rendi mangut-mangut."Ya udah sampai sini saja, Pak. Nggak enak sama tetangga kalau lihat bapak nganterin saya sampai rumah. Lagian mereka tidak tau jika saya sedang ada masalah dengan suami saya," pintaku. "Oh, tentu. Saya antar kamu sampai di sini saja biar gak nambah masalah ya." Jawabnya sangat bijak.Aku turun setelah itu. Tak lupa ku ucapkan terimakasih pada pak Rendi yang sudah rela mengantarku pulang."Terimakasih banyak, Pak.""Iya sama-sama. Saya langsung jalan saja ya."Aku mengangguk, mobil berbalik arah kemudian melaju dengan cepat meninggalkanku yang masih berdiri mematung seorang diri.Setelah mobil pak Rendi sudah pergi dan tidak terlihat lagi aku kemudian berjalan seorang diri menuju rumah. Baru sehari ditinggal mas Yogi dan Reza namun rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan putra kesayanganku itu.Akan ku hubungi mas Yogi walaupun rasanya sangat sulit bagiku melakukan itu. Namun demi menanyakan kabar putraku itu aku akan menghilangkan rasa marah dan benciku padanya untuk sesaat.Kakiku segera melangkah dengan cepat untuk sampai di rumah. Akan kutelepon as Yogi sesampainya di rumah nanti._____________Usai mandi aku segera mengambil ponselku untuk menghubungi mas Yogi. Kucari nomernya kemudian kupanggil."Loh kok gak bisa? Kenapa suara operator mulu ini," gumamku yang hanya mendengar suara operator dari ujung telepon.Kucoba beberapa kali namun hasilnya tetap sama. Karena tidak mendapat jawaban dari mas Yogi dan malah hanya suara operator saja akhirnya kuputuskan untuk mengiriminya pesan lewat whats*p.Lebih baik kukirim pesan saja, mungkin sekarang handphone nya sedang mati. Jika aku kirim pesan pasti dia akan membacanya nanti, pikirku.Kubuka menu whats*p kemudian menulis pesan untuknya di sana. Namun ternyata aku juga tidak bisa mengirim pesan untuknya. Di sana tertulis jika nomerku sudah diblock."Apa-apaan sih kamu, Mas!!" gerutuku marah.Hatiku kini mulai khawatir. Aku bahkan tidak mengetahui kemana mereka pergi. Sekarang jalan satu-satunya untuk menanyakan kabarpun kamu putus.Aku menangis sesenggukan, sungguh aku benci kamu Mas. Kamu tega memisahkan seorang anak dari ibunya. Saking merasa sakit hatu karena di perlakukan seperti ini, sampai-sampai aku mengucap kata-kata yang tidak sepantasnya ku ucapkan."Aku yang akan langsung meminta kamu buat ceraikan aku ketika kita bertemu nanti. Baik aku sudah sukses ataupun belum. Aku tidak sudi punya suami yang kejam seperti ini!!!!"Aku menangis sendirian. Tidak ada seorangpun yang mengetahui. Bahkan Ibu dan bapakku. Aku tidak ingin mereka tahu semua ini sebenarnya.Tapi jika memang mas Yogi sudah tidak mengingginkan keluarga kami utuh dan kembali seperti dulu, mungkin seharusnya aku memberi tahu orang tuaku akan semuanya._____________Sore itu akhirnya aku memutuskan untuk pergi kerumah orang tuaku. Akan kuceritakan semuanya yang terjadi. Percuma saja kututupi semuanya jika pada akhirnya kami harus bercerai juga.Kutelepon Diki, adikku untuk menjemputku. Rumahku dengan orang tuaku tidak terlalu jauh sebenarnya, namun karena sekarang mood ku lagi kurang bagus lebih baik ku suruh dia untuk menjemput dari pada harus naik taksi."Iya kak. Kenapa?" tanya Diki dari ujung telepon menjawab."Bisa jemput kakak di rumah sekarang nggak? Mau ke sana sekarang," ucapku."Bentar aku lagi gak di rumah. Paling lima menit lagi aku pulang," jawabnya. "Lha memangnya kamu di mana? Kamu pergi nggak bawa mobil?""Bawa, Kak. Ya ntar aku mampir kesitu, sekalian jemput Kakak.""Cepetan ya." "Ya, lima menit lagi nanggung," katanya kemudian menutup teleponku.Entah apa yang sebenarnya sedang dia lakukan di sana akupun tidak tau.Aku menunggu hampir setengah jam di rumah, namun belum juga adikku itu datang."Gimana sih? Katanya sebentar kok lama banget!" gumamku dengan nada kesal. Ketika aku sudah kesal dan ingin membatalkan untuk pergi, akhirnya Diki tiba juga."Maaf Kak lama, macet bange," katanya dengan nafas terengah-engah."Kamu dari mana aja sih? Lama banget! Katanya lima menit, ini sudah hampir satu jam!" kataku kesal."Iya macet soalnya," jawabnya lagi."Dari mana kamu? Jujur sama kakak. Kenapa nafasmu ngos-ngosan gitu? Bukannya kamu naik mobil? Kaya habis lari-larian gitu," tanyaku penasaran."Nggak papa, Kak. Ya udah yuk, berangkat sekarang," katanya tanpa bertanya soal mas Yogi ataupun Reza.Diki masuk kedalam mobil kemudian aku mengikutinya. Kulihat wajahnya yang sedikit berkeringat dan terlihat kelelahan. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan dariku."Kamu habis dari mana sih sebenarnya?""Dari rumah temen ngerjain tugas kuliah," jelasnya terlihat kalau dia sedang berbohong."Jangan bohong sama kakak, Dik. Kamu menyembunyikan sesuatu kan dari kakak?""Beneran, nggak bohong," katanya dengan terus fokus menyetir.Karena Diki tidak mau berkata jujur dan kekeh dengan jawabannya, aku pun memilih untuk diam. Aku sendiri juga sedang dalam masalah.
Setelah lima belas menit akhirnya kami sampai juga di rumah tempat tinggalku semasa kecil itu.Aku segera masuk untuk bertemu orang orang tersayangku. Orang-orang yang tidak pernah menyakitiku sama sekali. "Ibu!" Teriakku ketika melihat Ibu sedang duduk di kursi."Reina? Tumben kesini?" Tanganku segera memeluknya. Ingin rasanya menangis melepas semua beban ini pada Ibu."Mana Reza sama Yogi?" Air mataku tiba-tiba jatuh membasahi pipiku. Seberapa kuatpun aku mencoba tegar tapi sebenarnya hati ini tetap saja rapuh. Apalagi jika di depan Ibu."Kamu kenapa, Re? Ada masalah? Kenapa menangis?" "Bu, Mas Yogi. Mas Yogi jahat," jelasku."Yogi kenapa?" "Mas Yogi pergi ninggalin Reina," jawabku sambil menangis sesengukan."Apa? Kok bisa? Pergi kemana? Terus di mana Reza?""Reza dibawa pergi olehnya juga," tambahku. Air mataku semakin mengalir deras membasahi kedua pipiku."Pergi kemana? Bicara yang jelas? Ibu gak paham kalau kamu bicara sambil nangis begini," tutur Ibu."Mas Yogi pergi ninggalin Reina, katanya dia mau menikah lagi.""Dasar gila. Apa suamimu itu sudah gak waras sekarang?!" Ibu berbicara dengan nada kesal. "Sekarang mereka pergi kemana? Biar Ibu dan bapak yang susul dan jemput Reza!!" Kini ibu semakin marah."Reina juga nggak tau mereka kemana, Bu. Reina telepon nomernya sudah gak bisa. Sepertinya nomer Reina udah diblock sama Mas Yogi," terangku. Ibu semakin marah. Padahal dia belum tau alasan Mas Yogi meninggalkanku yang sebenarnya. Dia pasti akan marah sekali jika tau alasan mas Yogi meninggalkanku."Baik, Re. Untuk sementara kamu tinggal di sini dulu! Kamu gak usah khawatir!! Jika memang ini yang dia inginkan, Lepaskan!! Ceraikan dia!! Jangan mau di madu!" kata Ibu dengan nada kesal. Aku hanya bisa terdiam dan menangis. Diki yang dari tadi berdiri di sana kemudian masuk ke dalam kamar tanpa bertanya masalahku sedikit pun."Sudah sana istirahat dulu! Nggak usah terlalu dipikirin laki-laki seperti itu! Laki-laki gak tau diuntung! Itu sebabnya dari dulu ibu kurang suka sama dia!" Ibu kembali membahasnya.Aku tidak berani membatah sedikitpun sekarang. Ibu memang sedikit tidak suka pada Mas Yogi dari awal kita kenalan. Ibu merestui kami menikah karena aku mati-matian meyakinkannya jika mas Yogi adalah pria yang baik."Sudah jangan sedih lagi! Ayo istirahat dulu sambil nunggu bapak pulang!!" lanjut Ibu saraya merangkul bahuku.Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken