Share

Pulang Bareng Pak Rendi

"Istirahat woy, jangan kerja mulu," Tiba tiba suara Fida mengganggu konsentrasiku. 

"Duh. Apa sih! Aku jadi buyar nih semuanya," jawabku sedikit kesal. Karena memang kalian tahu sendiri, jika sedikit saja hilang konsentrasi maka laporan keuangan yang kita buat bisa saja fatal. 

"Hehe, maaf dong, Re.  kan aku cuma bercanda doang," jawabnya sedikit cengengesan.

"Huh kamu. Dikit lagi kelar nih, jadi ngulang dari awal kan," jawabku bete.

"Nggak papa, biar tambah mahir nanti. Pak Rendi juga nggak bakalan marah kok. Jadi santai aja kerja di sini. Jangan di jadikan sebagai beban, Re," kata Fida lagi.

"Ya udah deh. Nanti di cek ulang lag,"  kataku dengan muka bete. 

"Dari pada kamu bete, yuk makan dulu." Dia mengajakku untuk makan siang.

Aku mengiyakan perkataannya kemudian pergi bersama dengannya menuju kantin.

"Biasanya aku bawa bekal, Re. Tapi hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya jadi nggak sempet masak deh," Fida melanjutkan.

"Oh, terus bagaimana suami dan anak anakmu, Da? Mereka makannya beli?"

"Kamu belum tau mas Sofyan sih. Dia jago masak, lebih hebat dariku malahan,"  jawabnya membanggakan suami. Aku hanya tersenyum mendengarkan ucapannya. Jujur aku merasa iri dengan keharmonisan keluarga Fida.

"Kapan-kapan aku ajak kamu ke rumah deh buat icip masakannya," lanjut Fida meneruskan.

"Boleh," jawabku singkat.

Aku melihat kebahagiaan termpampang nyata di wajah bulat Fida. Aku kembali teringat denhan kebahagiaan yang mas Yogi berikan padaku dulu. 

"Sayang, aku pulang," ucap mas Yogi yang baru pulang dari kantornya.

Dia membawakanku seikat bunga mawar merah nan indah dan langsung berlutut di depanku.

"Happy anniversary yang pertama. Semoga kedepannya kita semakin harmonis, cepet dapet momongan ya, Sayang," kata romantis keluar dari mulutnya.

Aku merasa girang mendapat kejutan ini. Baru sekali ini dia bisa seromantis Majnun dalam buka Layla Majnun. Sayangnya kami bisa bersatu, sedangkan Laila dan Majnun dalam kisahnya tidak bisa bersatu.

Kupeluk suamiku itu dengan erat. Tak terasa air mata menetes karena bahagia. Dia mencium keningku seraya berkata, "Aku mencintaimu Reina. Kamulah satu-satunya orang yang akan selalu aku cintai sampai kita tua nanti." 

Walaupun saat itu kami belum diberi titipan oleh sang Kuasa, namun kebahagiaan kami tidak pernah terasa kurang. Kehanggatan sikap mas Yogi membuatku merasa sangat beruntung mempunyai seorang suami yang bisa membuat hati istrinya damai. 

Sikapnya yang lembut dan tidak pernah marah semakin membuat aku jatuh cinta padanya.

"Re, kamu pesen makan apa? Biar aku pesenin sekalian," Tiba tiba Fida membuyarkan lamunan tentang kisah masa laluku.

"Em, itu... sama sepertimu saja," jawabku sedikit kaget.

"Aku mau nasi dengan ayam saja nih, kamu mau tambah sayur nggak?"

"Boleh lah, Da. terserah kamu, aku ikut saja." 

Fida segera pergi untuk memesan makanan. Aku kembali sedih ketika teringat semua kenangan itu. Ternyata semua kebahagiaan itu sekarang telah pergi dari hidupku. 

Mas Yogi yang dulu sangat lembut, pengertian dan juga mengerti aku sepenuhnya, kini sudah menjadi orang lain. Orang yang paling ku benci. 

Tak lama menunggu, Fida sudah kembali dengan membawa dua piring yang berisi nasi berserta lauknya.

"Ternyata gak ada ayam, Re, jadi kuambilkan lele sjja. Nggak papa kan? Lelenya juga enak kok," katanya.

"Iya nggak papa, aku doyan semuanya," jawabku membuat muka Fida terlihat lega.

"Oh ya, gimana tadi menurutmu pak Rendi? Tipe setiap wanita banget kan ya," sambung Fida yang masih saja terus memuji manajer kantor itu.

"Isssh, apaan sih kamu. Masih aja ngomongin laki-laki, kamu tuh udah ber anak dua, Da. Ingat dong," kataku dengan nada sedikit kesal.

"Ya kan cuma buat iseng-iseng. Cuci maya gitu, Re. Lagian mana mau pak Rendi sama aku," kata Fida sembari memasukkan sendok berisi nasi ke dalam mulutnya.

Aku melonggo mendengar jawaban darinya.

"Memangnya jika dia mau sama kamu, kamu mau gitu selingkuh sama dia?" 

"Ya bisa jadi. Wanita mana coba yang bisa menolaknya," jawabnya lagi-lagi membuatku membulatkan mataku dan menatapnya dengan tajam. Fida bisa dengan mudah menjawab pertanyaanku dengan jawaban seeperti itu.

Mungkin inilah jawaban dari pertanyaanku. Setelah aku mendengar jawaban dari Fida, aku bisa menyimpulkan, mungkin seperti ini kelakuan mas Yogi di kantor. Pasti ada orang yang dianggapnya sempurna, lebih baik dariku. Dan karena orang tersebut dia siap meninggalkanku kapan saja, seperti apa kata Fida tadi.

Melihatku terdiam membuat Fida kemudian bertanya, "Kamu kenapa sih? Syok ya dengar jawabanku tadi?"

Aku menganggukkan kepalaku membuatnya kemudian membuka suaranya kembali.

"Ya kali pak Rendi mau sama aku, itu adalah hal yang sangat mustahil. Makanya aku berani ngomong gitu karena hal itu tidak akan mungkin pernah terjadi," lanjutnya.

Pikiranku belum sepenuhnya kembali, aku masih menerka-nerka tentang mas Yogi dan keputusannya.

"Sudah cepet habiskan. Bentar lagi waktu istirahat selesai nih," tambah Fida yang melihatku hanya mengaduk-aduk nasi yang ada di hadapanku.

Aku hanya memakan sebagian dari makanan itu. Rasanya masih tetap hambar jika makan sambil mengingat kisah pahit yang sedang kualami.

"Kenapa nggak dihabisin? Nggak enak lelenya?"

"Enak kok, cuma aku masih kenyang saja," jawabku beralasan.

Fida tidak curiga sedikitpun melihat tingkahku yang mungkin bisa dibilang berbeda dari sebelumnya.

"Oh ya, Re, nanti pulang kamu naik taksi dulu nggak papa? Aku mendadak ada urusan nih." 

"Iya nggak papa, santai," jawabku. 

Usai makan kami pun segera beranjak dari kantin dan memutuskan untuk kembali ke ruangan masing-masing.

_______________

"Re, tolong kamu buat laporan keuangan minggu lalu ya, dan segera bawa ke meja saya," Perintah pak Rendi yang dari tadi sudah menungguku di depan ruang kerjaku. 

"Oh baik, Pak." Aku segera mengambil dokumen yang diberikannya. Kulihat data pendapatan dan pengeluaran yang begitu banyak di dalamnya berkas itu.

"Ini dibutuhkan segera, Pak?" 

"Iya, kalau bisa sore ini selesai ya,"  katanya kemudian pergi meninggalkanku.

Aku segera berlari masuk dan segera mengerjakan laporan keuangan yang diminta oleh pak Rendi.

Kali ini aku harus bekerja lebih teliti dan berhati-hati. Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun. Karena jika ada itu akan membuat fatal dan membuatku akan terlihat tidak bisa diandalkan.

"Duh, banyak banget lagi! Konsentrasi Re, konsentrasi!" 

Aku memulai memasukkan data dan membuat jurnal. Kemudian dilanjutkan dengan memasukkannya kedalam buku besar dan neraca. 

Setelah hampir lima jam aku baru  menyelesaikannya.

"Hufft, akhirnya selesai juga," gumamku.

Aku segera menyerahkan laporan yang baru saja selesai itu kepada pak Rendi.

"Ini, Pak. Coba Bapak cek dulu," kataku sambil menyodorkan dokumen itu.

Pak Rendi membuka dan mengeceknya kembali.

"Oke Re, kamu memang bisa diandalkan, Terimakasih ya," jawabnya puas.

"Sama-sama, Pak. Ini memang sudah tugas saya," ujarku.

"Ya sudah sana pulang. Kasian kamu udah keliatan capek gitu," kata pak Rendi kemudian.

Hari sudah sore, semua orang kantor sudah pulang. Begitu juga dengan Fida.

"Oh ya, tadi pagi sepertinya saya melihatmu berangkat bareng Fida?" 

"Iya pak, benar. Dia menjemput saya tadi pagi di rumah," jawabku jujur.

"Tapi barusan aku liat dia udah pulang duluan tuh. Apa kamu gak pulang bareng dia lagi?" 

"Enggak, Pak. Tadi Fida udah bilang kalau dia ada urusan. Jadi dia menyuruh saya naik taksi," jawabku.

"Oh kebetulan saya mau pulang. Rumahmu searah kan dengan rumah Fida?"

Aku mengangguk. 

"Ya udah kalau gitu bareng saya saja, bagaimana?"

"Tapi, Pak?"

"Udah, nggak papa kok. Sana ambil tasmu, saya tunggu di bawah ya," kata pak Rendi kemudian.

Sebenarnya aku tidak enak jika harus pulang bareng dengan manager perusahaan ini. Apalagi ini hari pertamaku bekerja. Takut terjadi fitnah jika ada yang melihatnya nanti.

"Udah sana, kok malah benggong." 

"I_iya, Pak." Aku pun segera melangkah keluar untuk mengambil tas di meja kerjaku.

_____________________

"Ayo, Re," Terdengar suara pak Rendi dari dalam mobilnya.

"Iya, Pak." Aku segera menghampiri mobilnya dan membuka pintu belakang. Rasanya tidak enak jika harus duduk bersebelahan dengan bos kantor sendiri.

"Kok di belakang? Depan saja, dikira saya sopir apa?" katanya setelah aku masuk dan duduk di jok belakang.

"Eh maaf, Pak," ujarku. Aku pun turun kemudian pindah ke depan duduk di sebelah pak Rendi.

"Nah, gini kan enak," katanya kemudian melajukan mobilnya.

Dalam mobil pak Rendi lebih banyak bicara dari pada aku. Aku masih merasa canggung jika harus kelihatan akrab dengannya.

"Oh ya Re, kamu sudah berumah tangga?" tanya pak Rendi kemudian.

"Sudah, Pak. Saya juga sudah punya seorang anak. Dia kelas empat," jawabku berusaha menjelaskan.

"Oh, terus suamimu kerja juga?"

Aku mengangguk, tidak ingin rasanya untuk membahas dia lagi saat ini.

"Kerja di mana? Terus anakmu siapa yang urus?"

Pertanyaannya kali ini membuatku akhirnya terdiam.

"Kenapa diam, Re? Saya salag bicara ya?"

Karena terpojoknya aku dengan pertanyaan itu akhirnya aku menceritakan pada pak Rendi tentang masalah rumah tanggaku.

"Dasar, laki-laki tak tau di untung!! Sudah lepaskan saja laki-laki seperti itu!! Masih banyak laki-laki di luaran sana yang lebih baik, Re," ujar pak Rendi yang merasa kesal setelah mendengar ceritaku.

"Tapi kami punya seorang anak, Pak. Rasanya kasian saja pada anak saya jika harus melihat orang tuanya berpisah. Dia pasti yang akan jadi korbannya," jawabku selanjutnya.

Pak Rendi diam sesaat kemudian melanjutkan ucapannya lagi, "Daripada kamu sakit hati terus-menerus nantinya. Akan lebih baik jika kamu berpisah saja darinya. Soal anak itu masih bisa diatur."

"Tapi Suami saya membawa anak saya pergi pak."

"Ya kamu harus ambil hak asuh atas anakmu, jangan berikan anakmu pada orang seperti dia!"

"Tapi suami saya tidak percaya jika saya bisa memberikan yang terbaik buat anak saya, Pak. Dia masih menganggap saya sebagai orang yang payah," kataku berusaha menahan air mata yang sudah berada di pelupuk mata.

"Sekarang kan kamu sudah bekerja. Dan kinerjamu memang saya akui bagus. Kamu akan segera naik ke level berikutnya jika kerjamu seperti ini terus. Kamu nggak usah khawatir soal anakmu lagi. Setelah karirmu sukses nanti, kamu bisa buktikan pada suamimu dan bisa mengambil lagi hak atas anakmu," kata pak Rendi meyakinkanku.

"Terima kasih, Pak. Saya kini lebih bersemangat untuk mewujudkan semua itu."

"Kamu pasti bisa!! Semangat!!" kata pak Rendi yang membuat semangatku bertambah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Muhamda Gunawan
kerja yang bagus ...lanjukan dan buktikan bro
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status