Share

4. kaget

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2024-09-19 06:55:17

"A-apa maksud Mami?" tanyaku, tenggorokanku kering seketika mendengar ungkapannya.

"Kenapa kau kaget? kau bilang bahwa kau akan siap dengan segala konsekuensi karena sudah memilih Bendi sebagai suamimu?"

"Ta-tapi bukan begitu," sanggahku.

"Kami tumbuh dalam lingkungan bisnis kotor dan penuh dengan kelicikan, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kami adalah bisnis yang harus dimanfaatkan potensinya," desisnya dengan kejam.

"Tapi, ini hubungan, Mi ...."

"Jika kau yakin pada Bendi bahwa cintanya hanya untukmu maka biarkan saja dia pergi ke mana pun, karena pada akhirnya dia akan kembali ke dermaga hatimu," jawabnya santai.

"Menurut Mami itu mudah tapi menurutku ...."

"Jangan merasa terbebani, ini hanya permintaan kecil dari mertuamu. Apa kau tidak akan meluluskannya?" tanyanya dengan enteng sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Aku ...." Tak mampu kuberi jawaban yang bisa melegakan antara aku dan dia. Mustahil menyetujui perpisahan di hari kedua setelah pernikahan.

"Pulanglah, pikirkan semua itu dan beritahu aku keputusanmu, besok!" Dia meninggalkanku yang masih di ruang keluarga sementara dia naik dengan elegannya menuju lantai dua.

Benar-benar tidak berperasaan!

Aku melangkah dengan sedih sambil mengusap air mataku,rasanya keinginan ibu mertua begitu sulit untukku, beban yang dia berikan memberatkan pundakku.

*

Sesampainya di rumah aku tak segera turun dari mobil,sibuk mengemas air mata. Ketika supir membuka pintu mobil, aku langsung disambut oleh empat orang penjaga dan mereka membukakan pintu dengan sigap utuk. diriku yang sekarang menjadi nyonya.

Kuedarkan pandangan dan rumah megah itu terlihat hampa, hening, tanpa suara entah di mana Mas Bendi berada.

Aku naik ke lantai dua melewati rangga, sembari menghitung luka hati dan bagaimana aku harus memutuskan pilihan atas permintaan mertua.

Ternyata Suamiku sedang menonton TV di kamar dan dia terlihat serius melihat tayangan bola.

"Kamu dari mana, Sayang?"

"Dari rumah mertua, Mas,

kamu tumben sekali pulangnya lebih cepat?" jawabku memberi pertanyaan balik

"Beginilah, cara bisnis sebagai freelance ... Segala kerjaanku tidak perlu ditentukan oleh jam kerja yang kaku, kita santai saja" ungkapnya tertawa kecil.

"Aku dari rumah Mami, dan dia membicarakan hal serius denganku," ungkapku pelan.

"Apa yang Mami bicarakan?" Wajah Mas Bendi berganti khawatir

"Tentang rencana meninggalkanmu, atau ... maksudnya mungkin, berbagi suami. Tapi entah dengan siapa," jawabku dengan tubuh yang lemas menyandar di ranjang. Lalu sesaat kemudian aku tak sanggup menahan air mata. Hatiku terlubangi.

"Ah, sayang, maaf karena kau harus mengahadapi Mami sendiri," ucapnya maju mengecup keningku.

" ... dengar ya, dia hanya sedang menguji mentalmu sebagai istriku, janganlah kau resah hanya karena candaannya?"

"Apakah Mami bercanda dengan raut wajah seserius itu?" tanyaku menahan tangis dan perasaan sedih.

"Sudahlah ... jangan dipikirkan aku akan bicara pada Mami nanti, bahwa candaannya pada istriku sama sekali tidak lucu," jawabnya sambil membingkai wajahku.

"Ini sungguh menyakitkan, Mas," ungkapku sambil merah tangannya dan mengecupnya.

"Astaga kau bucin juga rupanya," godanya sambil menjawil pipiku.

"Ya, aku terlanjur menyukaimu, Pria tua," jawabku memaksakan senyum.

"Hahahah, kau bisa saja," jawabnya menjauhkanku di tempat tidur lalu mencium wajahku dengan penuh cinta. Sesaat aku terhibur dan sikapnya lembutnya membuatku sejenak melupakan apa kata mertua.

**

Sore hari, setelah terbangun dan mandi, kucari suami, yang ternyata sedang bermain golf di halaman belakang.

Kubuatkan secangkir kopi, menyusun cemilan dan meminta pelayan membawakan ke taman belakang yang luasnya tak pantas sebut taman, tapi lebih mirip lapangan berbukit.

"Kuhampiri suami yang terlihat sedang bermain dengan temannya, pria yang mengenakan kaca mata hitam."

"Mas ...." Aku memanggil dan Mas Bendi membalikkan badan dan menyuruhku mendekat.

"Eh, kenalin nih, bini gue," ujar Mas Bendi pada sahabatnya.

Pria yang kulihat memiliki senyum manis itu mendekat, melepas sarung tangan dan mengulurkan tangan kanannya untuk menyalamiku.

"Saya Imelda," ucapku ramah.

"Aku Roni," jawab.

"Dia adalah rekan bisnis dan dia cukup punya pengaruh di kota ini," jawab Mas Bendi.

"Oh, senang mengenal Anda," jawabku ramah.

"Dia adalah jaksa muda yang punya pengaruh bagus, dia akan membantu bisnis kita," bisik suamiku yang seketika membuatku merinding.

Baru hari ini saja, aku sudah takut, bagaimana jika dikenalkan nanti pada para penjahat dan pemegang urusan elit kota ini.

"By the way, bini lo cantik juga ya," puji pria itu.

"Iya, dong, pilihan gue selalu mantap," jawabnya tertawa.

Wajahnya seperti pernah kulihat tapi aku tak yakin, entah mirip seseorang atau apa yang jelas, pria bertubuh atletis itu membuatku gagal fokus pada cara dia menatap.

"Oh, ya, aku mau ke kamar mandi, kalian ngobrol aja ya," ujarnya mengalahkan kami ke meja dan tempat duduk di mana makanan dan kopi terhidang.

"Iya, oke," jawab sahabatnya.

Tinggallah kami berdua di sini, canggung dan aku tak tahu harus memulai dari mana.

"Ah, Imelda, aku baru tahu bahwa kau anak Nyonya sakinah," bisiknya tersenyum penuh makna.

Hah, kenapa lagi dengan Mama?

Sepertinya firasatku mulai tak nyaman.

"Aku tahu, yang dilakukan ibumu pada kakekku, jadi aku penasaran sekali ingin berkenalan dengannya," bisik pria itu yang kemudian senyumnya berganti dengan seringai yang menakutkan.

Seketika lututku terasa copot tulang belulangnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karma 3 Kubalaslah Sakit yang Kau Berikan.   113

    Dengan perlahan, aku merayap di antara pepohonan, berusaha tidak terlihat oleh para pria jahat yang sedang mengincarku dan mengepung vila Roni.aku berlari menuju sebuah mobil, menghujam tangki bensi dengan sebuah obeng tajam lalu membiarkan bensinnnya mengalir, kulakukan hal itu pada dua mobil lain hingga tiba tiba aku ketahuan oleh seorang wanita, anak buah Bendi yang terkenal bengis tanpa ampun dan licik, dia Oxana."Nyonya, apa yang anda lakukan di kolong mobil bos kami?" agak terkejut diri ini tapi aku berusaha untuk segera bersurut mundur menghindarinya.Tiba tiba dia layangkan tendangan ke bahuku, kakinya mendarat hingga terasa nyaris mematahkan tulang bahuku. "akh ..." satu tendangan sekali lagi, namun sigap kutangkap betisnya, aku siap menusukkan obeng ke tulang kering wanita berkepang panjang dan berkulit hitam itu. namun ia melompat salto dan nyaris saja permukaan sepatunya mengenai wajahku. aku bangkit, Kembali menerima serangan tinju dan pukulan, kuimbangi dengan coba m

  • Karma 3 Kubalaslah Sakit yang Kau Berikan.   112

    "Apakah aku harus menembak Roni, kita tak bisa mati konyol tanpa perlawanan begini," ucapku setengah berbisik, berharap dia mendengarku."Tolong sederhanakan perintahku. cari tempat berlindung dan tiaraplah, Istriku. aku mohon Imelda!" Suara Roni terdengar kehabisan kesabaran sehingga membuatku tidak punya pilihan."Aku bisa membantumu!" ucapkan sekali lagi untuk meyakinkannya."Sekali saja ... jangan jadi keras kepala dan berbuat sesukamu, aku mohon dengarkan aku dan berlindunglah!" bentaknya yang kehabisan kesabaran."Hei, Roni!"Dari luar terdengar nada panggilan dari suara familiar yang sudah kukenal. Itu Bendi. "Ya, Tuhan cepat sekali pria itu menemukan kami," gumamku panik."Kalian dikepung dan tidak punya pilihan. Serahkan Imelda dan emasnya atau kalian mati berdua!" Ancam Bendi."Aku tak akan serahkan istri dan anakku, enak saja.""Dia sudah bikin gaduh dan resah, istrimu itu bukan figur wanita yang cocok disebut istri dia lebih pantas dipanggil ibunya mafia.""Kau yang membu

  • Karma 3 Kubalaslah Sakit yang Kau Berikan.   111

    Kami sampai di sebuah rumah berlantai satu dengan pola bangunan letter L. Ada banyak kamar, dan sebuah kolam renang di antara taman yang cantik.."Ini adalah Vila peristirahatan keluarga kami, masing masing keluarga punya kamar yang dilengkapi dapur dan kamar mandi. Kita juga punya kamar," ucap Roni sambil menyalakan lampu depan yang seketika menerangi koridor. Lantainya keramik dengan pola mozaik hitam putih yang klasik, jendela di buat dengan gaya Belanda serta cat putih yang hampir rata ke seluruh dinding rumah."Kamar kita ada di dalam." Roni kembali membuka pintu yang menghubungkan ruang tengah ke koridor sayap kiri."Apakah di sini akan aman?""Aman. Hanya saja aku memikirkan kedua orang tua kita, bagaimanakah gerangan mereka di sana."Tring ....Ponselku berdering. Ada nama mantan suami yang hingga saat ini tidak mengganti nomor ponselnya.kuangkat telpon dan belumlah aku menjawab mantan orang terkasihku itu langsung berteriak."Apa yang kau lakukan pada Mami?!""Dia yang memak

  • Karma 3 Kubalaslah Sakit yang Kau Berikan.   110

    "Apa ...?" Sekali lagi pertanyaan itu menggantung di udara."Iya, aku memberinya kesempatan dengan seteguk nyawa. Kuharap si tua ceking itu menyadari kekeliruannya yang panjang dan segera bertobat.""jangan santai, Mel, kita dalam bahaya. Bagian mana yah kau tembak? apa kau membuatnya terkapar?" Tanya Roni sembari menelan ludah."Kurasa aku meremukkan tulang kakinya dengan timah panas.""Allahu ... aku specless ...." Tante Vina hanya bisa menggeleng sambil mengurut dada."Tahukah kamu apa yang kemudian akan terjadi?" "Tidak bisa kutebak, Kek.""Roni, bawa imel menjauh dari tempat ini, sementara kalian semua, pergilah ke vila di luar kota. aku akan menelpon keamanan untuk berjaga di sekitar rumah kita.""Apa artinya penjagaan ayah? pasukan penjahat itu tetap akan membantai kita semua hingga tak seorang pun tersisa."Om Heri murka dan geram sekali."Imelda, sungguh, aku mengecam sekali perbuatanmu, kau tidak pernah mau mendengar omongan orang tua," imbuh Tante Vina."Maafkan aku Tante,

  • Karma 3 Kubalaslah Sakit yang Kau Berikan.   109

    "Andai bukan anak Suryadi, mungkin aku akan meragukan mu, tapi mengingat bahwa kau dibesarkan oleh orangtua yang hebat aku tidak akan heran dan merasa ragu.""Apa yang harus aku lakukan sekarang menurut kalian, aku harusnya seperti apa?""Mengapa selalu keluarga ini yang membayar hasil perbuatanmu. Kenapa tidak pulang saja ke rumah Ibumu dan tanggung semua itu sendiri. kami tidak ada kaitannya dengan segala hal yang kau lakukan termasuk mengapa juga kami harus tersakiti oleh sesuatu yang tidak kami kerjakan?"Om Heri dan istrinya tiba-tiba turun karena mendengar percakapan di pagi buta menjelang subuh."Lihat dia, masih dengan gaun rajut dan cardigan, juga sepatu Keds yang seharusnya menunjukkan dia wanita hamil yang sedang menikmati waktu casual. tapi bercak darah dan tatapan mata penuh misteri itu ... sungguh mengerikan. Aku tidak tahu sudah berapa banyak anak ini membunuh orang, tapi yang pasti dia benar-benar berbahaya," imbuh pria yang sejak lama bersitegang dengan mama dan tidak

  • Karma 3 Kubalaslah Sakit yang Kau Berikan.   108

    Aku yang kaget langsung berusaha membalikkan badan tapi wanita itu menahan gerakanku sambil mendorong kan moncong pistol dengan kencang, ia semakin menekan kepalaku dengan ujung senjatanya itu. "Jangan coba coba bergerak sebelum kuletuskan kepalamu!""Baiklah, aku tak akan bergerak, tapi, ada baiknya jika kau bersikap tenang agar aku pun juga tenang," jawabku."Dengan cara apa lagi aku menghentikanmu, sepak terjangnmu sejak di dalam penjara benar benar tak henti mengejutkanku. Bahkan untuk penjarahan yang terakhir ini, aku benar benar tak bisa menduganya. Tapi aku tak heran dengan sifatmu yang serakah dan pendendam. Ketika Bendi memberi tahu bahwa pelakunya ada kau, aku langsung paham bahwa dirimu memang gemar cari masalah," ungkapnya panjang lebar."Kau tahu sendiri bahwa aku tak senang melihat kalian bahagia, terlebih dirimu yang biang keladi rusuh dan kejahatan di kota ini," jawabku. Perlahan kususupkan tangan ke dalam mantelku, berusaha meraih pistol dengan cara paling halus, ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status