"A-apa maksud Mami?" tanyaku, tenggorokanku kering seketika mendengar ungkapannya.
"Kenapa kau kaget? kau bilang bahwa kau akan siap dengan segala konsekuensi karena sudah memilih Bendi sebagai suamimu?" "Ta-tapi bukan begitu," sanggahku. "Kami tumbuh dalam lingkungan bisnis kotor dan penuh dengan kelicikan, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kami adalah bisnis yang harus dimanfaatkan potensinya," desisnya dengan kejam. "Tapi, ini hubungan, Mi ...." "Jika kau yakin pada Bendi bahwa cintanya hanya untukmu maka biarkan saja dia pergi ke mana pun, karena pada akhirnya dia akan kembali ke dermaga hatimu," jawabnya santai. "Menurut Mami itu mudah tapi menurutku ...." "Jangan merasa terbebani, ini hanya permintaan kecil dari mertuamu. Apa kau tidak akan meluluskannya?" tanyanya dengan enteng sambil mengangkat sebelah alisnya. "Aku ...." Tak mampu kuberi jawaban yang bisa melegakan antara aku dan dia. Mustahil menyetujui perpisahan di hari kedua setelah pernikahan. "Pulanglah, pikirkan semua itu dan beritahu aku keputusanmu, besok!" Dia meninggalkanku yang masih di ruang keluarga sementara dia naik dengan elegannya menuju lantai dua. Benar-benar tidak berperasaan! Aku melangkah dengan sedih sambil mengusap air mataku,rasanya keinginan ibu mertua begitu sulit untukku, beban yang dia berikan memberatkan pundakku. * Sesampainya di rumah aku tak segera turun dari mobil,sibuk mengemas air mata. Ketika supir membuka pintu mobil, aku langsung disambut oleh empat orang penjaga dan mereka membukakan pintu dengan sigap utuk. diriku yang sekarang menjadi nyonya. Kuedarkan pandangan dan rumah megah itu terlihat hampa, hening, tanpa suara entah di mana Mas Bendi berada. Aku naik ke lantai dua melewati rangga, sembari menghitung luka hati dan bagaimana aku harus memutuskan pilihan atas permintaan mertua. Ternyata Suamiku sedang menonton TV di kamar dan dia terlihat serius melihat tayangan bola. "Kamu dari mana, Sayang?" "Dari rumah mertua, Mas, kamu tumben sekali pulangnya lebih cepat?" jawabku memberi pertanyaan balik "Beginilah, cara bisnis sebagai freelance ... Segala kerjaanku tidak perlu ditentukan oleh jam kerja yang kaku, kita santai saja" ungkapnya tertawa kecil. "Aku dari rumah Mami, dan dia membicarakan hal serius denganku," ungkapku pelan. "Apa yang Mami bicarakan?" Wajah Mas Bendi berganti khawatir "Tentang rencana meninggalkanmu, atau ... maksudnya mungkin, berbagi suami. Tapi entah dengan siapa," jawabku dengan tubuh yang lemas menyandar di ranjang. Lalu sesaat kemudian aku tak sanggup menahan air mata. Hatiku terlubangi. "Ah, sayang, maaf karena kau harus mengahadapi Mami sendiri," ucapnya maju mengecup keningku. " ... dengar ya, dia hanya sedang menguji mentalmu sebagai istriku, janganlah kau resah hanya karena candaannya?" "Apakah Mami bercanda dengan raut wajah seserius itu?" tanyaku menahan tangis dan perasaan sedih. "Sudahlah ... jangan dipikirkan aku akan bicara pada Mami nanti, bahwa candaannya pada istriku sama sekali tidak lucu," jawabnya sambil membingkai wajahku. "Ini sungguh menyakitkan, Mas," ungkapku sambil merah tangannya dan mengecupnya. "Astaga kau bucin juga rupanya," godanya sambil menjawil pipiku. "Ya, aku terlanjur menyukaimu, Pria tua," jawabku memaksakan senyum. "Hahahah, kau bisa saja," jawabnya menjauhkanku di tempat tidur lalu mencium wajahku dengan penuh cinta. Sesaat aku terhibur dan sikapnya lembutnya membuatku sejenak melupakan apa kata mertua. ** Sore hari, setelah terbangun dan mandi, kucari suami, yang ternyata sedang bermain golf di halaman belakang. Kubuatkan secangkir kopi, menyusun cemilan dan meminta pelayan membawakan ke taman belakang yang luasnya tak pantas sebut taman, tapi lebih mirip lapangan berbukit. "Kuhampiri suami yang terlihat sedang bermain dengan temannya, pria yang mengenakan kaca mata hitam." "Mas ...." Aku memanggil dan Mas Bendi membalikkan badan dan menyuruhku mendekat. "Eh, kenalin nih, bini gue," ujar Mas Bendi pada sahabatnya. Pria yang kulihat memiliki senyum manis itu mendekat, melepas sarung tangan dan mengulurkan tangan kanannya untuk menyalamiku. "Saya Imelda," ucapku ramah. "Aku Roni," jawab. "Dia adalah rekan bisnis dan dia cukup punya pengaruh di kota ini," jawab Mas Bendi. "Oh, senang mengenal Anda," jawabku ramah. "Dia adalah jaksa muda yang punya pengaruh bagus, dia akan membantu bisnis kita," bisik suamiku yang seketika membuatku merinding. Baru hari ini saja, aku sudah takut, bagaimana jika dikenalkan nanti pada para penjahat dan pemegang urusan elit kota ini. "By the way, bini lo cantik juga ya," puji pria itu. "Iya, dong, pilihan gue selalu mantap," jawabnya tertawa. Wajahnya seperti pernah kulihat tapi aku tak yakin, entah mirip seseorang atau apa yang jelas, pria bertubuh atletis itu membuatku gagal fokus pada cara dia menatap. "Oh, ya, aku mau ke kamar mandi, kalian ngobrol aja ya," ujarnya mengalahkan kami ke meja dan tempat duduk di mana makanan dan kopi terhidang. "Iya, oke," jawab sahabatnya. Tinggallah kami berdua di sini, canggung dan aku tak tahu harus memulai dari mana. "Ah, Imelda, aku baru tahu bahwa kau anak Nyonya sakinah," bisiknya tersenyum penuh makna. Hah, kenapa lagi dengan Mama? Sepertinya firasatku mulai tak nyaman. "Aku tahu, yang dilakukan ibumu pada kakekku, jadi aku penasaran sekali ingin berkenalan dengannya," bisik pria itu yang kemudian senyumnya berganti dengan seringai yang menakutkan. Seketika lututku terasa copot tulang belulangnya."Tunggu!" Cegahnya sambil menelan ludah. Dari tangannya ku ambil alih senjata api otomatis lalu aku masuk ke lift."Kita tidak punya waktu lagi," jawabku sambil menutup pintu lift.Ketika sampai di lantai atas dan bunyi lift berdenting, aku disambut oleh puluhan orang penjaga dengan pistol yang sudah mengarah moncongnya kepadaku."Hai, senang bertemu kalian!" para penjahat itu melongo di beri ucapan selamat.Aku langsung menggeber senjata dan tidak membiarkan seorang pun memberikan perlawanan. Mereka memang menembak tapi itu hanya menembus di dinding besi lift dan hanya meleset begitu saja. Sementara aku berhasil menjatuhkan sebagian besar dari mareka. Ketika seseorang menghalangi jalanku aku langsung memukul wajahnya dengan gagang senjata dan berhasil membuat dia terjerembab, tubuhnya melewati pembatas lalu jatuh ke atas patung air mancur yang ada di lantai bawah, tempat pesta berlangsung dengan posisi perut tertusuk. Seketika keriuhan terjadi dan para wanita berlari menyelamat
Seminggu kemudian.Aku telah berhasil mengabarkan Roni akan, keberadaan dan keadaanku. Tadinya ia khawatir, tapi setelah kuyakinkan bahwa aku harus menjemput papa dan Mama, Roni segera setuju. Tadinya ia memintaku berhenti dan dia berjanji akan membawa aparat dan pasukan yang banyak untuk menangkap Nyonya erika. Namun mengingat wanita licik bak belut itu selalu punya cara untuk menyembunyikan bukti, kurasa, semua usaha akan sia sia saja."Roni, jaga dan pulihkan saja dirimu, kau harus sembuh seperti sedia kala._""Iya, kau juga Mel. Jaga dirimu, aku sangat mencintaimu, dan merindukan suasana rumah kita yang bahagia.""iya, setelah ini tuntas, kita akan berkumpul lagi dan berbahagia." Kupastikan bahwa putri dan adikku aman bersama keluarganya dan kuminta juga padanya agar ia bersembunyi di tempat yang aman bersama anggota keluarga inti.*Selama seminggu bersembunyi dan berusaha memulihkan diri sudah banyak yang terjadi terkait dengan penyerangan dan kejahatan Bendi. Banyak korban mat
"Tarik napas dan bersiaplah mengejan!" teriak pria itu diantara deru mesin mobil yang mengebut. Aku tidak peduli dia pria atau hanya orang asing yang akan melihat bagian pribadiku, yang aku tahu ... aku membutuhkan bantuannya untuk menyelamatkan bayiku.Anak buah tuan Peter yang terkesima melihat dia sigap menyiapkan momen lahiran hanya melongo kebingungan. plak!Tuan Peter menggeplak salah seorang anak buahnya dan memintanya tetap fokus melihat ke jalanan."Apa yang kau lihat, kenapa kau melongo. Jaga kami dan pastikan semua aman dari segara arah. Pasukan bendi bisa datang dari mana saja dan kapan saja!" Ujar tuan Peter setengah marah."Ayo Imelda, mengejanlah ketika rasa sakit itu datang. Jangan mengerang, tapi mengejan dengan menekan napas di tenggorokan!" "Baik, Pak.""cukup panggil saja aku dengan ucapan Peter seperti sebelumnya kau memanggilku, jangan sebut tuan atau pak!" pria itu memarahiku di tengah rasa sakit."Iya baiklah. arrggggg... hsssgggghh ....""sekali lagi!""hgg
"Kau ... Punya sisi baik juga?" tanya pria itu ragu, melihat ekspresi wajahnya yang bingung dan tercengang aku langsung tergelak dan menggeleng cepat. Lampu hijau menyala dan kumajukan mobil meluncur di jalan raya."Kau sungguh punya kepedulian seperti tadi?""Iya, tuan Peter, aku ini juga manusia yang punya hati.""Ya Tuhan ... Aku tidak menyangka." Pria itu masih menganga dan menggeleng tidak percaya." ... Kupikir kau hanya mesin pembunuh, tapi, ternyata, kau wanita yang baik juga.""Asalnya diriku ini adalah wanita yang baik, dan mungkin akan kembali baik lagi seperti dulu," jawabku sambil membelokkan mobil ke jurusan timur, ke arah pinggir kota di mana mansion sekaligus perkebunan Nyonya Erika berada. Mungkin kurang waspada atau tidak menaruh curiga, tiba mobilku ditabrak oleh sebuah mobil besar dari arah samping. Aku terkejut dan berusaha mengendalikan kemudi, perutku mulai sakit dengan goncangan keras barusan. Kukebut gas agar bisa menghindar, dan meminta tuan Peter mengangkat
Di dalam perjalanan menuju mansion mantan mertua, matahari sore mulai menguning dan semilir angin semakin kencang menerpa wajah ini. ada perasaan sedih yang tiba-tiba menyeruak di hatiku di mana Aku merindukan kehidupanku yang dulu. Entah kenapa keadaan hatiku tiba-tiba menjadi melodramatis dan aku tidak mengerti mengapa itu terjadi.Mungkinkah karena tekanan mental, dan beban yang begitu banyak yang kini ada di pundakku. Belum lagi dosa dosa yang sudah kutanggung, ditambah kini, bersamaku ada calon kehidupan baru yang menunggu tanggung jawab besar."Aku tidak bisa terus-terus seperti ini... aku harus berjanji pada diriku sendiri, setelah masalah dengan bendi dan Erika tuntaskan maka aku akan kembali ke kehidupanku yang awal, di mana aku akan menjadi istri yang manis dan ibu yang baik juga.""Ada apa kau melamun, Apakah kau merasa takut seharusnya kau tidak perlu takut karena sekarang ada 50 Jeep yang beriringan bersama kita.""Aku yakin Nyonya Erika sudah mengerahkan pasukannya dan j
"Kau ... Punya sisi baik juga?" tanya pria itu ragu, melihat ekspresi wajahnya yang bingung dan tercengang aku langsung tergelak dan menggeleng cepat. Lampu hijau menyala dan kumajukan mobil meluncur di jalan raya."Kau sungguh punya kepedulian seperti tadi?""Iya, tuan Peter, aku ini juga manusia yang punya hati.""Ya Tuhan ... Aku tidak menyangka." Pria itu masih menganga dan menggeleng tidak percaya." ... Kupikir kau hanya mesin pembunuh, tapi, ternyata, kau wanita yang baik juga.""Asalnya diriku ini adalah wanita yang baik, dan mungkin akan kembali baik lagi seperti dulu," jawabku sambil membelokkan mobil ke jurusan timur, ke arah pinggir kota di mana mansion sekaligus perkebunan Nyonya Erika berada. Mungkin kurang waspada atau tidak menaruh curiga, tiba mobilku ditabrak oleh sebuah mobil besar dari arah samping. Aku terkejut dan berusaha mengendalikan kemudi, perutku mulai sakit dengan goncangan keras barusan. Kukebut gas agar bisa menghindar, dan meminta tuan Peter mengangkat