Aku tidak bertanya banyak kepada Bendi apa saja yang dibicarakan dengan ibunya, Aku khawatir bahwa semakin tahunya diri ini maka akan membuat diriku sakit hati. Jadi kuikuti saja kemana langkahnya yang mengajakku kembali pulang ke rumah yang sekaligus difungsikan sebagai markas anak buahnya.
Sore itu aku berinisiatif menemui orang tua yang masih berada di ibukota, aku ingin memanfaatkan waktu untuk mengambil hatinya sebelum dia kembali ke Singapura. Aku ingin membuktikan bahwa aku juga menantu yang layak diterima, karenanya, setelah meminta izin Bendi dan diantar oleh seorang supir, aku meluncur ke sebuah villa mewah di pinggir kota. Kupegang kuat di pangkuan, sebuah kotak berisi songket dengan sulaman benang emas yang akan kujadikan hadiah untuk ibu mertua, besar harapan agar dia menerima hadiah tersebut sebagai simbol bahwa aku sangat menghormatinya. Sesampainya di sebuah vila mewah, yang dari luar saja sudah kelihatan estetik, aku langsung turun dari mobil dan menuju pintu utama lalu mengetuknya. Ketika pintu terbuka seorang wanita yang merupakan pekerjaan rumah langsung menyapa. "Selamat malam apakah ibunda Mas Bendi ada di rumah?" Agak canggung yang sebenarnya karena aku tidak punya pengalaman sebelumnya dalam hal menemui seseorang dan mengambil hatinya. "Ada, silakan masuk Mbak Imel," jawabnya yang kemudian mempersilahkanku untuk mengikutinya. Sesampainya di sebuah ruang keluarga aku terpukau dengan tema kayu yang terlihat natural, kursi kulit sepanjang dinding, lampunya diset temaram dan nampak elegan, aku dipersilakan untuk menunggu kedatangan ibu mertua ddnganperasaan gugup tak menentu "Selamat malam Mami," sapaku pelan saat wanita itu datang, aku mengulurkan tangan untuk mencium tangannya wanita itu terlihat tidak tersenyum atau pun menolak uluran tanganku. "Kamu ngapain datang ke sini? Siapa yang nganterin kamu?" Mungkin gaya bicaranya yang ketus dan to the point seperti ini ada ciri khasnya, meski terdengar kasar aku tetap harus bersikap sopan. "Aku datang untuk mengunjungi Mami dan bersilaturahmi sebelum Mami pulang ke Singapura,"jawabku. "Kau tidak perlu repot-repot, urus saja suamimu dengan benar," balasnya sembari menjatuhkan diri di sofa. "Katakan saja apa yang kau inginkan?" lanjutnya dengan senyum sinis, aku jadi tak nyaman. "Karena Mami pun berbicara secara langsung maka, izinkan saya untuk bicara secara langsung," balasku "Ya." "Aku dengar kemarin Mami sempat berdebat dengan mas Bendi tentang keberadaanku, aku dengar dia menolak Mami untuk menyuruhnya pergi, kalau boleh tahu dia hendak disuruh pergi ke mana?" Wanita yang masih energik dan cantik itu langsung marah. "Apa kebiasaan tidak sopan menguping seperti itu, adalah kebiasaanmu juga?" "Bukan menguping tapi tidak sengaja mendengar, aku minta maaf untuk itu, aku juga minta maaf karena lancang tapi aku ingin tahu karena setelah pembicaraan itu mas Bendi terlihat resah," jawabku yang mencoba mengumpulkan keberanian menatap sorot mata tajam wanita itu. Wanita dengan gaya elegan khas nyonya besar, berasal dari keturunan cina itu masih menatapku dengan sorot mata yang sulit artikan. "Jika ada hal yang akan memberatkan pikiran Mami aku ingin mengatakannya padaku karena aku adalah menantu dan orang yang akan mengurus Mas Bendi selanjutnya setelah Mami," jawabku lirih. Tanpa menjawab wanita itu hanya terkekeh pelan, lalu menghentikan tawanya dan kembali menatapku dengan tajam. "Apapun yang aku lakukan pada anakku itu bukan urusanmu, kau jadilah istrinya dan hiduplah dengan nyaman semua hal yang menyangkut urusan dan privasi kami, kau tidak perlu mencampurinya!" Agak tersinggung sebenarnya mendengar ungkapan semacam itu tapi aku harus menahan karena dia adalah wanita yang paling dicintai suamiku di dalam hidupnya. "Aku hanya memohon pertolongan dan dukungan Mami agar bisa mendampingi Mas Bendi dengan paripurna," balasku "Aku terkejut dan tidak menyangka bahwa kedewasaan yang sangat melebihi dari umur, bagus karena akan mudah diajak kerjasama dan berdiskusi, jika kau mempercayakanku sebagai orang tuamu juga maka kau pasti percaya bahwa Apa keputusan yang kuambil pada kehidupan kalian adalah hal yang terbaik?" "Insya Allah saya percaya," jawabku mantap. "Kalo begitu, aku menunggu pertemuan berikutnya di mana aku ingin membahas sesuatu yang penting bersama kalian berdua." "Apa itu Mami, katakan saja sekarang?" "Bisnisku saat ini mengalami kemunduran, begitu juga bendi yang setelah menikah mulai kehilangan koneksinya, aku ingin kita mengembalikan lagi kepercayaan mereka," ucap Mami sambil menyalakan rokoknya lalu menghisapnya membiarkan kepulan asap memenuhi ruangan. "Bagaimana cara kita mengembalikan kepercayaan mereka mami?" "Dengan cara menjalin hubungan, mengambil hati dan melakukan apa saja termasuk berkorban agar kembali mendapatkan simpati." "Maaf aku belum mengerti karena belum adanya pengalaman dalam bisnis ini," balasku dengan dada yang mulai berdebar. "Bisnis semacam ini adalah bisnis yang berbahaya tapi di sisi lain penghasilannya sangat besar, beberapa orang menggantungkan hidupnya di tangan kita, dan beberapa orang kehilangan nyawa, semua itu adil sebagai seleksi alam dan kau harus terbiasa untuk menguatkan perasaanmu." "Jadi apa yang akan aku korbankan?" "Rupanya kau sangat pintar menangkap omongan," balasnya dengan senyum seolah-olah ingin menyindir atau melecehkan namun, itu mungkin sudah gaya khas dia. "Jadi apa yang harus saya lakukan?" ulangku. "Lepaskan anakku."Dengan perlahan, aku merayap di antara pepohonan, berusaha tidak terlihat oleh para pria jahat yang sedang mengincarku dan mengepung vila Roni.aku berlari menuju sebuah mobil, menghujam tangki bensi dengan sebuah obeng tajam lalu membiarkan bensinnnya mengalir, kulakukan hal itu pada dua mobil lain hingga tiba tiba aku ketahuan oleh seorang wanita, anak buah Bendi yang terkenal bengis tanpa ampun dan licik, dia Oxana."Nyonya, apa yang anda lakukan di kolong mobil bos kami?" agak terkejut diri ini tapi aku berusaha untuk segera bersurut mundur menghindarinya.Tiba tiba dia layangkan tendangan ke bahuku, kakinya mendarat hingga terasa nyaris mematahkan tulang bahuku. "akh ..." satu tendangan sekali lagi, namun sigap kutangkap betisnya, aku siap menusukkan obeng ke tulang kering wanita berkepang panjang dan berkulit hitam itu. namun ia melompat salto dan nyaris saja permukaan sepatunya mengenai wajahku. aku bangkit, Kembali menerima serangan tinju dan pukulan, kuimbangi dengan coba m
"Apakah aku harus menembak Roni, kita tak bisa mati konyol tanpa perlawanan begini," ucapku setengah berbisik, berharap dia mendengarku."Tolong sederhanakan perintahku. cari tempat berlindung dan tiaraplah, Istriku. aku mohon Imelda!" Suara Roni terdengar kehabisan kesabaran sehingga membuatku tidak punya pilihan."Aku bisa membantumu!" ucapkan sekali lagi untuk meyakinkannya."Sekali saja ... jangan jadi keras kepala dan berbuat sesukamu, aku mohon dengarkan aku dan berlindunglah!" bentaknya yang kehabisan kesabaran."Hei, Roni!"Dari luar terdengar nada panggilan dari suara familiar yang sudah kukenal. Itu Bendi. "Ya, Tuhan cepat sekali pria itu menemukan kami," gumamku panik."Kalian dikepung dan tidak punya pilihan. Serahkan Imelda dan emasnya atau kalian mati berdua!" Ancam Bendi."Aku tak akan serahkan istri dan anakku, enak saja.""Dia sudah bikin gaduh dan resah, istrimu itu bukan figur wanita yang cocok disebut istri dia lebih pantas dipanggil ibunya mafia.""Kau yang membu
Kami sampai di sebuah rumah berlantai satu dengan pola bangunan letter L. Ada banyak kamar, dan sebuah kolam renang di antara taman yang cantik.."Ini adalah Vila peristirahatan keluarga kami, masing masing keluarga punya kamar yang dilengkapi dapur dan kamar mandi. Kita juga punya kamar," ucap Roni sambil menyalakan lampu depan yang seketika menerangi koridor. Lantainya keramik dengan pola mozaik hitam putih yang klasik, jendela di buat dengan gaya Belanda serta cat putih yang hampir rata ke seluruh dinding rumah."Kamar kita ada di dalam." Roni kembali membuka pintu yang menghubungkan ruang tengah ke koridor sayap kiri."Apakah di sini akan aman?""Aman. Hanya saja aku memikirkan kedua orang tua kita, bagaimanakah gerangan mereka di sana."Tring ....Ponselku berdering. Ada nama mantan suami yang hingga saat ini tidak mengganti nomor ponselnya.kuangkat telpon dan belumlah aku menjawab mantan orang terkasihku itu langsung berteriak."Apa yang kau lakukan pada Mami?!""Dia yang memak
"Apa ...?" Sekali lagi pertanyaan itu menggantung di udara."Iya, aku memberinya kesempatan dengan seteguk nyawa. Kuharap si tua ceking itu menyadari kekeliruannya yang panjang dan segera bertobat.""jangan santai, Mel, kita dalam bahaya. Bagian mana yah kau tembak? apa kau membuatnya terkapar?" Tanya Roni sembari menelan ludah."Kurasa aku meremukkan tulang kakinya dengan timah panas.""Allahu ... aku specless ...." Tante Vina hanya bisa menggeleng sambil mengurut dada."Tahukah kamu apa yang kemudian akan terjadi?" "Tidak bisa kutebak, Kek.""Roni, bawa imel menjauh dari tempat ini, sementara kalian semua, pergilah ke vila di luar kota. aku akan menelpon keamanan untuk berjaga di sekitar rumah kita.""Apa artinya penjagaan ayah? pasukan penjahat itu tetap akan membantai kita semua hingga tak seorang pun tersisa."Om Heri murka dan geram sekali."Imelda, sungguh, aku mengecam sekali perbuatanmu, kau tidak pernah mau mendengar omongan orang tua," imbuh Tante Vina."Maafkan aku Tante,
"Andai bukan anak Suryadi, mungkin aku akan meragukan mu, tapi mengingat bahwa kau dibesarkan oleh orangtua yang hebat aku tidak akan heran dan merasa ragu.""Apa yang harus aku lakukan sekarang menurut kalian, aku harusnya seperti apa?""Mengapa selalu keluarga ini yang membayar hasil perbuatanmu. Kenapa tidak pulang saja ke rumah Ibumu dan tanggung semua itu sendiri. kami tidak ada kaitannya dengan segala hal yang kau lakukan termasuk mengapa juga kami harus tersakiti oleh sesuatu yang tidak kami kerjakan?"Om Heri dan istrinya tiba-tiba turun karena mendengar percakapan di pagi buta menjelang subuh."Lihat dia, masih dengan gaun rajut dan cardigan, juga sepatu Keds yang seharusnya menunjukkan dia wanita hamil yang sedang menikmati waktu casual. tapi bercak darah dan tatapan mata penuh misteri itu ... sungguh mengerikan. Aku tidak tahu sudah berapa banyak anak ini membunuh orang, tapi yang pasti dia benar-benar berbahaya," imbuh pria yang sejak lama bersitegang dengan mama dan tidak
Aku yang kaget langsung berusaha membalikkan badan tapi wanita itu menahan gerakanku sambil mendorong kan moncong pistol dengan kencang, ia semakin menekan kepalaku dengan ujung senjatanya itu. "Jangan coba coba bergerak sebelum kuletuskan kepalamu!""Baiklah, aku tak akan bergerak, tapi, ada baiknya jika kau bersikap tenang agar aku pun juga tenang," jawabku."Dengan cara apa lagi aku menghentikanmu, sepak terjangnmu sejak di dalam penjara benar benar tak henti mengejutkanku. Bahkan untuk penjarahan yang terakhir ini, aku benar benar tak bisa menduganya. Tapi aku tak heran dengan sifatmu yang serakah dan pendendam. Ketika Bendi memberi tahu bahwa pelakunya ada kau, aku langsung paham bahwa dirimu memang gemar cari masalah," ungkapnya panjang lebar."Kau tahu sendiri bahwa aku tak senang melihat kalian bahagia, terlebih dirimu yang biang keladi rusuh dan kejahatan di kota ini," jawabku. Perlahan kususupkan tangan ke dalam mantelku, berusaha meraih pistol dengan cara paling halus, ta