Meluncur diantar ajudan Mas Yadi kembali dari rumah Ibu Danrem, kabarnya Mad Yadi sedang interogasi jadi kurasa hari ini dia tidak akan pulang.Mobil berjalan di lajur kiri dengan mulus, sedang aku menyandar di jok belakang sambil menerawang, hingga mobil kami berhenti di perempatan karena lampu merah.Suasana kota di siang hari sangat ramai, bunyi klakson kendaraan yang menumpuk di belakangku menyentakkan lamunan, hingga kusadari di sebelah kiri ada butik khusus yang menjual baju pegantin dengan display gaun gaun cantik yang indah dipandang."Kelak jika Imel atau Siska menikah, aku akan mengajak mereka kemari untuk mengepas baju pengantin," gumamku dalam hati sambil tersenyum kecil.Namun baru saja bergumam demikian, tiba tiba aku melihat si jalang, ya Kartika!Dia mengenakan blazer warna ungu dan rok yang membuatnya terlihat bagai Nyonya, sebuah topi bundar dengan pita menghias di kepala dan sepatu heels yang kutaksir dari brand ternama ia kenakan melengkapi penampilannya."Astaghfi
"Turunkan aku di tepi jalan saja, Mas," pinta Kartika kepada Mas Yadi."Aku nggak mau turunkan kamu di sembarangan tempat, setelah Hendra mengantarkan kami, kamu bisa diantar pulang," kata Mas Yadi sambil menggenggam tangannya.Kira-kira jika wanita lain ada di posisiku, menatap suami mereka duduk dekat dan berpegangan tangan, apa yang akan terjadi."Enak aja, nggak bisa Mas, si Om harus menjemput anak-anak ke sekolahnya," balasku menyela percakapan Mas Yadi."Kamu terus menerus menyela, Sakinah," ucap Mas Yadi sewot."Apa kalian saja yang boleh bicara dan aku tidak boleh?!" balasku sengit membuat ajudan kami hanya menggelengkan kepala saja."Bukan begitu Sakinah, kamu sudah tahu aku tidak mungkin membawa Kartika ke markas.""Kenapa? Mas takut? Mas khawatir akan ditampar oleh Komandan, sebegitu pengecutkah?" Aku sinis dan tertawa."Entah kenapa mulutmu begitu kasar, Sakinah." ia menunjukkan wajah tak suka."Ya ampun, kamu mengomentari kata-kataku sementara aksimu yang memalukan itu,
*Aku kembali ke rumah, ketika hari sudah mulai petang, anak-anak yang sedang duduk di ruang tv menikmati tayangan dari layar datar tersebut terlihat membalikkan badan ketika aku menutup pintu rumah."Mama, mama baru pulang ya?" tanya Siska padaku sambil berdiri dan menyambutku."Iya, sayang Mama buru pulang, capek banget," ujarku sambil menjatuhkan diri di sofa dekat mereka."Memangnya akhir-akhir ini Mama ngurusin apa sih? Mama kelihatan kurus dan mata Mama berkantung hitam, adakah hal yang serius yang sedang Mama pikirkan?" tanya si Kakak menimpali ucapan adiknya."Iya, ada hal serius, dan ini beneran serius.""Apaan, Ma?" Si Adik lebih penasaran sekarang."Mama ingin bicara, tapi mama mohon kalian untuk mengendalikan diri agar hal ini bisa diselesaikan dengan kepala dingin," pintaku berhati-hati."Apa Ma? Ayo dong, kita bakal mati penasaran kalo gini," kata Siska tak sabar."Sebenarnya Papa diam-diam menikah lagi," kataku lirih."Apa?!" Kedua anakku terbelalak dan menyebut itu ham
**"Tahan!" Siska berteriak amat kencang membuat kami menghentikan langkah kami."Stop! semua! Tante, kalau Tante masih punya akal, silakan angkat kaki dari tempat ini, Tante sadar 'kan kalau ini bukan rumah, Tante," ujarnya setengah panik sambil memegang Kakaknya."Ini juga bukan rumah kalian," jawabnya menggeram."Setidaknya, kami berhak ada disini, kalau Tante memang masih waras, Tante tidak akan datang dan memaksa orang lain untuk bercerai dengan suaminya," kata Imel sambil menunjuknya.Wanita itu sesaat terlihat ragu dengan gerakannya sendiri, baik aku maupun dia kami sama-sama tidak mampu menahan nafas yang memburu karena emosi."Percuma bertengkar seperti ini, Papa yang akan menjatuhkan pilihan dan memutuskan untuk hidup dengan siapa, jadi hentikan."Aku menatap sorot mata Siska dengan penuh keheranan, tidak biasanya dia bersikap begitu tenang seperti hari ini, aku mencoba memberi isyarat apa maksud dari yang dia lakukan sekarang, namun hanya ditanggapi dengan menggeleng.Wani
Catatan : Saya tidak ikhlas dan berkenan konten dan alur cerbung saya ditiru dan diplagiat, hargailah saya telah susah payah menulisnya.***Aku kembali ke rumah, tanpa si Om, ajudan yang kerap mendampingi Mas Yadi tidak bisa mengantarku pulang, entah dilarang atau dia yang enggan, aku pun tak bisa memaksa atau memintanya, tak mengapa aku akan menyetir sendiri.Jika akhirnya rumah tangga ini harus kandas karena masalah perselingkuhan dan aku membalas dendam dengan mengungkapkan korupsinya, maka tak mengapa aku akan menerima keputusannya. Selama ini aku sudah menjalani hidup yang keras, jadi bukan tak mungkin diri ini mengisi hari sendiri dan berjuang, aku pasti kuat.Sesampai di rumah, ternyata tempat itu sudah ramai oleh petugas dan mereka terlihat sibuk, wajah mereka ditutup masker dan terlihat sedikit terkejut mendapati aku yang datang. Pun aku yang tiba lebih lama dari mereka menjadi heran apa yang mereka lakukan tanpa menunggu kehadiranku, pemilik rumah."Selamat sore, ada ap
Derap langkah kaki terdengar dari ujung lorong menuju ke tempat aku berada sekarang, aku yakin itu adalah Mas Yadi yang digiring oleh 4 orang petugas menuju ruangan Danrem dan aku menantinya dengan nafas tertahan.Saat dia masuk tatapan mata kami bertemu dan sorot mata penuh dendamnya berkilat ke arahku.Namun aku menundukkan wajah sesegera mungkin agar pria itu tak mengintimidasiku."Siap, Komandan, Saya sudah datang memenuhi panggilan," ujar Mas Yadi."Sini kamu?" ujarnya atasannya itu ambil mendekat dan melayangkan sebuah tamparan keras.Sesaat Mas Yadi terkesiap namun tetap bersikap tenang dan menahan diri."Apa yang sudah kamu lakukan? Siapa yang memerintahkan penyitaan?""Siap, saya tidak tahu, Pak," jawab Mas Yadi seiring dengan jawaban itu sebuah pukulan mendarat di pelipisnya membuatnya langsung terjatuh."Dan apa yang kamu lakukan pada istrimu?"Mas Yadi menatapku yang amsih menangis dengan seksama, lalu menatap komandannya."Izin Pak, Saya tidak mungkin melakukan ini, wa
Aku akan masuk, Ya!Wanita yang entah cocok kusebut apa, dia sedang ingin menukar tambah cincin yang dia curi kemarin."Oh, Ibu mau jual?" tanya si asisten."Anu ... Sebenarnya saya kehilangan sertifikatnya, jadi gimana ya, Mbak, saya mau jual murah aja, atau saya tukar tambah," ujarnya setengah berbisik pada pelayan toko."Oh, begitu ya, kalo begitu kami akan periksa keaslian, kadar emas cincinnya dan karatnya," sambung si pelayan."Oh, baik, silakan," jawab Kartika dengan nada terburu-buru.Sang asisten toko langsung membawa cincin alat khusus untuk melihat kualitas cincin sedang si jalang menunggu dengan penuh gaya, hari ini ia mengenakan dress selutut dengan mantel senada khas wanita Korea, sekali lagi ia menjiplak gayaku. Bagaimana tidak, wanita lusuh yang selalu berdaster dan sudut matanya selalu sembab karena sedih menahan lapar, terlihat amat gaya setelah menumpang hidup denganku dan merebut suamiku.Dengan senyum santai kuhampiri ia yang sibuk memperhatikan jejeran perhiasan
Sekembalinya dari kantor polisi,asisten dan kedua anakku sudah gelisah menunggu di rumah. "Ma, mama dari mana?" tanya Siska."Ada sedikit urusan," jawabku tersenyum tipis."Nyonya ada telepon dari korem sejak tadi," ujar Bibi sambil mengarahkan aku mengangkat gagang telepon rumah."Baik, Bi, makasih ya." Aku segera menuju telepon dan menjawab panggilannya."Halo, Selamat malam, saya Letnan Heri, saya penyidik untuk kasus Letkol Suryadi, boleh saya bertanya?""Siap, Pak, tentu boleh," jawabku."Ibu sudah memberitahu kami, bahwa ada indikasi penggelapan dana oleh suami Ibu dan kami sedang memeriksanya sekarang. Yang ingin saya ketahui lebih lanjut adalah kemana aliran dana hibah tahap kedua, di mana Anda sendiri sudah memberitahu kami bahwa suami Anda sudah menerimanya? Apakah Anda tidak tahu sama sekali, kira-kira uang itu kemana?"Tiba-tiba pertanyaan salah satu polisi militer yang bertugas menyelidiki kasus Yadi membuat ternggorokanku kelat. Akankah ini hanya pertanyaan jebakan