Share

Tiga - Ayam penyet

Penulis: ohhyundo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-15 09:22:36

Malam itu, Dira tidur dengan mata masih bengkak, hati masih panas, dan kepala penuh dengan kalimat Bu Lik Ratna yang terus menggema.

“Kamu harus kuat dulu, Le. Baru kamu bisa balas semuanya…”

Tapi entah kenapa, bukannya mimpi ayah atau masa lalu indah bersama Satria, yang datang malah sesuatu yang… ganjil.

Dalam mimpinya, Dira dibawa masuk ke dalam sebuah rumah tua yang penuh asap dupa. Bau menyengat menusuk hidungnya. Di depannya, Bu Lik Ratna berdiri dengan ekspresi khidmat, mengenakan kain hitam dan selendang merah darah.

“Masuk, Le…” ucap Bu Lik dengan suara pelan, matanya menyipit.

Dira mengikuti langkahnya, walau jantungnya sudah dag-dig-dug.

Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua berkulit legam dengan jubah lusuh, rambut gondrong, dan jenggot panjang putih keabu-abuan. Mukanya lebar, dan entah kenapa… sangat mirip Bokir di film Suzzana yang dulu sering ia tonton sambil ngumpet di balik bantal.

Dukun itu menatapnya tajam sambil mengaduk mangkok besar berisi air keruh dan bunga-bunga kering.

“Kamu datang dengan niat apa, Neng?”

Dira menelan ludah. “S-saya… saya mau ngasih pelajaran. Sama orang yang udah nyakitin saya…”

Dukun itu mengangguk dramatis, lalu tiba-tiba berdiri dan mengangkat tangan tinggi-tinggi. Musik gamelan mistis entah dari mana mulai terdengar. Bola matanya mendelik.

“Jin tanah… jin angin… jin pasar! Dengarkan panggilan Bokir Sang Penjaga Sakit Hati!”

Dira nyaris pingsan. Ia mundur-mundur ketakutan, tapi malah kesandung kendi dan jatuh ke dalam kolam yang penuh belatung. Ia menjerit—dan saat itulah…

“Le! Dira, bangun! Subuh! Ayo ndang wudhu sana!” suara Bu Lik Ratna menggema di depan pintu kamar.

Dira terbangun dengan keringat dingin. Jantungnya masih berdebar kencang, dan tubuhnya terasa remuk. Ia terduduk, menatap langit-langit kamar.

“Ya Allah…” gumamnya. “Apa barusan…”

Beberapa menit kemudian, ia keluar kamar sambil ngantuk-ngantuk dan menyeret handuk. Bu Lik Ratna baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengibaskan kain batiknya.

“Bu Lik…” Dira mulai cerita sambil duduk di kursi rotan. “Tadi aku mimpi dibawa ke rumah dukun. Dukun kayak Bokir gitu lho. Trus ditanya mau ngapain, aku jawab mau balas dendam, eh tiba-tiba dia panggil jin pasar…”

Belum selesai Dira cerita, Bu Lik Ratna sudah ngakak sampai membungkuk. “Astaghfirullah… jin pasar? Nduk, jin pasar ngapain? Mau nawar cabe?”

Dira ikut ketawa, meskipun matanya masih sembab. Ada perasaan hangat muncul, sedikit ringan setelah semua yang ia lalui.

Bu Lik menepuk bahu Dira. “Lha itu tandanya kamu ndak cocok ke dukun. Mending kamu balas dengan cara yang bener. Bikin hidupmu sukses, bikin dia nyesel.”

Bu Lik Ratna masih tertawa sambil mengipasi wajahnya dengan handuk kecil. “Aduh, Le… kamu tuh. Mimpi dukun kayak Bokir. Bisa-bisanya…”

Dira ikut tersenyum, meski matanya masih sembab. Ada rasa ringan yang perlahan tumbuh di dadanya. Entah karena mimpi absurd itu, atau karena pelukan pagi dari tawa Bu Lik yang terasa seperti pelukan dari ibunya sendiri.

Setelah tawanya mereda, Bu Lik duduk di samping Dira lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Tapi denger ya, Le… kamu nggak perlu terlalu menggebu-gebu. Hidup ini ndak selalu harus dibalas dengan cepat. Inget petuah orang tua dulu—tabur tuai. Apa yang kamu tabur, itu yang nanti kamu tuai. Pelan-pelan wae. Yang penting jalanmu lurus.”

Dira menatapnya penuh perhatian. Kata-kata itu masuk ke hati, menenangkan gejolak yang masih tersisa.

Bu Lik melanjutkan dengan senyum lembut, “Dan apapun masalahmu, jangan lupa… yang pertama kamu mintai tolong itu Allah, bukan dukun. Segede apa pun sakit hatimu, jangan sampe kamu ninggalin yang udah ngatur semua rasa itu.”

Dira mengangguk pelan. Ada kehangatan yang menenangkan mengalir dalam dirinya. Senyum kecil muncul di wajahnya.

“Iya, Bu Lik… makasih ya…”

“Nah, pinter. Sekarang sana, mandi terus wudhu. Jangan sampai kelewat Subuhnya,” ucap Bu Lik sambil menepuk lutut Dira pelan.

Dira bangkit, mengusap matanya, dan berjalan menuju kamar mandi. Kali ini langkahnya tak lagi berat. Setelah membasuh wajah dengan air wudhu yang sejuk, ia berdiri di atas sajadah, menengadah dalam sujud. Hatinya masih sakit, tapi kini ada ruang kecil yang mulai terang.

Dalam diamnya, Dira memohon kekuatan. Bukan untuk membalas dendam dengan amarah, tapi untuk menjadi seseorang yang tak akan bisa dihancurkan lagi.

Dan pagi itu, setelah semua tangis dan tawa, Dira memilih untuk memulai dari awal—dengan hati yang remuk tapi tak lagi rapuh.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.

Seminggu setelah pemakaman, saat Dira mulai sedikit menata hidupnya—dengan pelan mencoba menerima kenyataan dan menyibukkan diri dengan hal-hal kecil—masalah baru datang. Dan lagi-lagi, sumbernya tetap sama: Satria.

Pagi itu, Dira sedang duduk di ruang tengah sambil memilah beberapa dokumen lama. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada satu map berisi dokumen pembelian ruko kecil yang dulu pernah ia cicil bersama Satria. Ruko itu dulunya jadi mimpi mereka. Tempat di mana mereka akan membuka cabang pertama usaha kuliner mereka sendiri.

Tiba-tiba muncul pikiran, “Kalau aku mulai lagi dari nol, mungkin aku bisa pakai ruko itu.”

Dengan napas berat, Dira akhirnya memberanikan diri menghubungi Satria. Suaranya gemetar saat ponsel menyambung, dan nada Satria di seberang sana terdengar santai—terlalu santai.

“Ruko itu udah bukan milik kita lagi, Dir.”

Dira langsung duduk tegak. “Maksud kamu?”

Satria menghela napas, seolah malas menjelaskan. “Waktu itu aku bikinnya atas nama Ibu. Soalnya kamu belum sah jadi istri. Jadi ya, dari awal itu milik keluarga kami.”

Kata-kata itu seperti palu yang menghantam kepala Dira.

“Kamu serius, Sat?! Kita bayar itu berdua! Dari hasil usaha kita bareng-bareng!”

Satria terdengar tenang, bahkan sedikit bosan. “Ya udah. Kalau kamu mau, nanti Ibu kasih kompensasi kecil. Tapi ya jangan ngarep lebih…”

Suara Dira langsung meninggi, tak bisa lagi ditahan. “Kamu pikir aku ngemis?! Aku cuma nuntut hakku, Sat! Itu usaha kita bareng. Keringat kita bareng! Kamu nggak bisa seenaknya hapus semua itu cuma karena kamu udah nikah sama yang lebih kaya!”

“Dir, jangan lebay, ya. Aku sibuk. Nanti aku suruh orang rumah ngurusin,” jawab Satria dingin, lalu sambungan telepon terputus begitu saja.

Dira menatap layar ponselnya, matanya membara. Napasnya memburu, tangan gemetar menahan amarah. Rasa sakit yang selama seminggu ini coba ia redam, kini kembali terbuka. Lebih perih, lebih menusuk.

Ia memejamkan mata, dan dalam diamnya, Dira tahu—luka ini belum selesai. Satria belum berhenti merampas hal-hal yang dulu mereka bangun bersama.

Dan kali ini, Dira tidak hanya akan diam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan Belas - Ayam Penyet

    Aroma wangi dari dapur masih menggantung di udara saat Adrian duduk berhadapan dengan tiga piring ayam penyet yang tersaji dengan tampilan menggiurkan. Satu per satu sambel tersusun rapi di atas piring ayam goreng berwarna keemasan, lengkap dengan lalapan segar dan nasi hangat yang mengepul di mangkuk kecil.Ia mulai dengan potongan ayam pertama.Kulit ayamnya renyah keemasan, tapi ketika dipotong, dagingnya masih lembut dan juicy. Bumbunya meresap sempurna hingga ke tulang. Ungkepannya tidak sekadar asin atau pedas, tapi kompleks—aroma ketumbar, lengkuas, daun salam, dan serai saling berpadu dengan harmonis. Tekstur dagingnya empuk, tapi tetap punya gigitan yang menyenangkan.“Ini ayamnya…,” gumam Adrian, setengah tak percaya, “diungkepnya pas banget. Nggak kelembekan, nggak kering.”Dira mengangkat alis, menyembunyikan senyum puas. “Itu resep lama. Tapi aku tweak sedikit. Aku tambah takaran air kelapanya. Bikin dagingnya lebih juicy.”Adrian mengangguk pelan, kagum. Ia lalu mencelup

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh Belas - Ayam Penyet

    Sebelum berangkat ke ruko, Dira dengan mata berbinar mengajak Adrian singgah dulu ke pasar tradisional.“Aku butuh bahan-bahan segar buat eksperimen sambelku. Yuk ke pasar dulu!” ajaknya penuh semangat.Adrian hanya mengangguk, tanpa banyak tanya. Ia mengikuti Dira keluar kantor, seolah itu hal yang wajar saja—seperti suami yang setia menemani istrinya belanja kebutuhan dapur.Pasar tradisional sore itu masih ramai, meski matahari mulai turun perlahan. Bau tanah basah bercampur aroma rempah, ayam potong, dan gorengan hangat memenuhi udara. Dira melangkah cepat di antara kios-kios, membawa daftar belanja di ponselnya. Di belakangnya, Adrian berjalan tenang sambil menggendong dua kantong belanja yang sudah berat, tanpa satu pun keluhan.“Aku butuh cabai rawit, bawang putih, keju, sama daun jeruk. Oh, sama tomat juga!” ujar Dira sambil terus melangkah, tidak menyadari bahwa jalur di depannya agak becek.Adrian baru mau membuka mulut untuk memperingatkan ketika—“Dir, hati-ha—”Belum sele

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam Belas - Ayam Penyet

    Setelah kondisinya membaik, Dira kembali melangkah masuk ke kantor. Napasnya sudah mulai stabil, meski sisa-sisa ketegangan masih tertinggal di dalam dadanya. Lala berjalan di sebelahnya, masih menatap Dira dengan tatapan khawatir tapi tidak berkata apa-apa. Begitu mereka melewati area kerja, semua mata langsung menoleh.Beberapa pura-pura kembali mengetik, yang lain hanya menunduk sambil mencuri pandang. Tapi Dira tidak lagi peduli. Ia menegakkan kepala dan berjalan lurus ke mejanya.Satria terlihat keluar dari ruangan Pak Lee dengan ekspresi seperti biasa—dingin, tenang, dan menyebalkan. Seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Seolah bukan dia yang baru saja dihujani amarah Dira di depan semua orang.Dira menahan napas, memalingkan wajah saat pria itu sempat melirik ke arahnya. Tapi Satria hanya tersenyum tipis dan berjalan pergi begitu saja. Ia bahkan sempat menyapa salah satu staf di dekat pintu, membuat suasana jadi lebih aneh.Tak lama setelah Satria menghilang dari pandangan, telepo

  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima Belas - Ayam Penyet

    Suasana kantor yang semula sudah tegang kini seperti retak di ujung jurang. Tidak ada satu pun yang berani bersuara saat Satria melempar sindiran itu, seolah semua napas menahan diri, takut menyulut percikan lebih besar.Dira mendekap tangannya di dada, berusaha keras menahan emosi. Tapi itu sia-sia. Ketika Satria melangkah lebih dekat, dengan senyum setengah mencemooh, Dira merasa dadanya seperti akan meledak.“Dulu, siapa yang tiap hari ngintilin aku? Ke mana aku pergi, kamu pasti ada di belakangku. Sekarang malah…,” Satria mengangkat bahu, suaranya dibuat seolah santai. “Mungut orang lain buat bantu kamu jalanin hidup?”Dira mengepalkan tangannya kuat-kuat. Semua bisik-bisik rekan kerja di sekitarnya makin menekan pikirannya. Rasa malu, marah, kecewa—semuanya bercampur jadi satu.Adrian masih berdiri di tempatnya, tetap tenang, seakan tidak terusik sama sekali oleh hinaan itu. Tapi Dira tidak bisa. Tidak kali ini.Dengan langkah lebar, Dira mendekat. Suara sepatunya berderap lantan

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat Belas - Ayam Penyet

    Sadar situasi mulai terlalu aneh, Dira cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Adrian. Wajahnya memanas, bukan hanya karena sabun yang masih menetes dari jemarinya, melainkan juga karena kedekatan tadi yang sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.“Eh… Ini, desainnya,” Dira mengalihkan perhatian, membuka topik sambil pura-pura sibuk membilas piring. “Kamu mau bahas sekarang?”Adrian menggeleng cepat. “Udah malem, Dir. Besok aja. Sekarang kamu udah capek, aku juga.”Dira mengangguk lega. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang lebih parah.Setelah tumpukan piring bersih mengering di rak, Adrian buru-buru membereskan meja dan menutup seluruh bagian ruko. Dira mengambil tasnya, bersiap pamit.“Aku pulang, ya. Makasih udah dibolehin bantu,” ucap Dira ringan.Namun Adrian langsung menghalangi langkahnya. “Aku anter.”“Nggak usah, Adrian. Aku bisa sendiri.”“Tetep harus dianter.” Tanpa banyak kata, Adrian mengambil helm cadangan yang tergantung di belakang p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga Belas - Ayam Penyet

    Sore itu, Dira berlari tergesa-gesa ke arah sebuah ruko sederhana bertuliskan “Ayam Penyet Berkah” di depannya. Nafasnya tersengal, keringat kecil membasahi pelipisnya. Ruko itu, yang biasanya sepi, hari ini justru ramai dipenuhi pelanggan.Begitu sampai di depan meja gorengan, Dira berdiri sebentar, membenahi napasnya. Dengan deham pelan, ia menarik perhatian Adrian yang masih sibuk membolak-balik ayam di wajan besar.Adrian melirik sekilas. Tanpa berkata apa-apa.Dira menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri bicara, “Maaf… aku telat. Tadi ada kerjaan mendadak.”Tak ada balasan. Adrian hanya menunduk, kembali fokus mengangkat ayam-ayam goreng ke atas tampah. Tapi Dira bisa melihat jelas dari raut wajahnya—kesal, capek, dan sedikit… bingung.Melihat itu, Dira spontan menawarkan diri, “Aku bantu, ya?”Adrian menoleh, menahan ucapan, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini urusan—”Belum selesai Adrian menolak, suara pelanggan memanggil dari meja, “Mbak, pesanannya, ya!”Dira tanpa pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status