"Assalamualaikum!" Kuketuk pintu rumah yang terkunci sambil sekali-kali melongok ke dalam melalui jendela.
"Assalamualaikum! Van, buka pintunya. Abang pulang!" Keadaan di dalam rumah gelap. Tak ada satu pun lampu yang menyala. Entah ke mana perginya istriku, Vania.
Kucoba menghubungi nomor ponselnya, tapi tak ada jawaban. Apakah ia sedang keluar lagi, seperti kemarin-kemarin?
Sekitar lima belas menit kemudian, sebuah mobil hitam metalik memasuki pekarangan. Vania turun dari mobil, lalu melambaikan tangannya ke arah kendaraan beroda empat itu. Sekilas kulihat ada beberapa perempuan lainnya di dalam sana, yang membalas lambaian Vania sambil tersenyum.
"Eh, Bang Dani. Udah lama, Bang?" Vania bertanya tanpa rasa bersalah saat melihatku yang terduduk kelelahan di teras rumah.
"Dari mana saja kamu?" tanyaku pelan. Tak ada jawaban. Vania langsung membuka kunci pintu dengan santainya, lalu melenggang masuk. Aku mengekor sambil mendorong motor masuk ke rumah.
"Abang tanya, kamu dari mana?" Kali ini suaraku sedikit meninggi.
"Dari ikut teman-teman senam," jawab Vania dengan nada malas.
"Kamu tau, kan, kalau Abang jam setengah enam sudah pulang?" Kesabaranku mulai menipis karena sikapnya itu.
Bukan pertama kalinya dalam minggu ini Vania pulang terlambat dengan berbagai alasan. Aku mencoba untuk memaklumi, mungkin saja ia bosan di rumah. Akan tetapi, semakin hari tingkahnya semakin menjadi.
"Gak usah lebay, Bang! Sekarang baru juga jam enam." Vania berkata sambil melirikku sinis. Hilang sudah tutur katanya yang dulu lembut dan penuh hormat kepadaku. Vania, beginikah sifat aslimu?
Dadaku bergemuruh. Rasa letih yang dirasakan setelah seharian bekerja, membuatku kesulitan mengendalikan emosi. Kulihat Vania masih dengan sikapnya yang acuh tak acuh. Segera ia masuk ke kamar mandi. Kuusap wajah yang terasa panas. Lapar dan haus yang aku tahan sedari tadi seketika lenyap bersama pikiran yang melayang entah kemana.
Vania terdengar bersenandung riang dari dalam kamar mandi. Berbanding terbalik denganku, yang terpekur duduk di depan meja makan yang kosong melompong tanpa makanan sedikitpun. Tadi pagi, aku ingat betul sudah meninggalkan selembar uang berwarna merah di meja makan. Dengan harapan, saat pulang nanti ia sudah memasak makanan seperti yang selalu dilakukannya dulu.
Kupandangi tangan dan kakiku yang kotor berdebu. Pekerjaan yang sekarang membuatku seperti ini. Setelah terdampak PHK tiga bulan yang lalu, aku dengan terpaksa menjadi kuli bangunan. Berbekal keahlian seadanya, aku nekat banting setir. Semua aku lakukan untuk tetap bertahan hidup dan membahagiakan Vania. Masih segar dalam ingatan saat aku menyampaikan kabar tak enak itu. Istriku menangis seolah-olah takkan bisa lagi hidup esok hari. Dengan sabar aku selalu mengingatkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Meskipun dengan penghasilan yang jauh berkurang dan sedikit pesangon, tak pernah sekalipun aku tak menafkahi Vania. Namun, entah mengapa, sikapnya perlahan-lahan mulai berubah.
"Kamu tidak masak tadi pagi?" tanyaku hati-hati setelah Vania keluar dari kamar dengan keadaan segar dan rambut panjangnya yang basah.
"Gak sempat, Bang. Nanti Abang masak mie aja sama telor, di kulkas masih ada!"
Astaghfirullah. Aku berusaha keras untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar.
"Kan, tadi pagi Abang sudah meninggalkan uang? Kamu belum bangun saat Abang berangkat. Bahkan, Abang tidak sarapan sama sekali." Bukannya aku perhitungan pada istri. Namun, dengan kondisi saat ini, kurasa seratus ribu yang diberikan padanya bisa untuk membeli lauk bahkan sampai dua hari.
"Uangnya Vania pakai untuk bayar iuran senam. Terus tadi nongkrong di kafe sama temen-temen," jawabnya enteng sambil menyisir rambut, tanpa sedikit pun melihat ke arahku.
"Ya Allah, Vania! Coba kamu lihat Abang baik-baik sekali saja! Tidakkah kasihan melihat suamimu yang bekerja banting tulang dari pagi sampai sore? Pulang dengan perut kosong, tapi di rumah sebutir nasi pun tak ada? Sementara di luar sana, kamu dengan mudahnya menghabiskan uang seperti itu!" cecarku. Wajah Vania sontak berubah seperti tak terima.
"Abang gak ikhlas, Bang? Ingat Bang, memang sudah kewajiban seorang suami kerja banting tulang! Sama istri gak usah pelit, biar rejeki gak sempit!" balasnya sengit.
Sakit, sakit sekali rasanya mendengar jawaban itu keluar dari mulutnya.
"Jangan kau ajari Abang tentang kewajiban! Setiap hari Abang sudah melakukan yang terbaik untukmu, untuk kita. Hanya saja keadaan sekarang yang tidak memungkinkan untuk kita bersenang-senang seperti dulu. Tolong, Vania. Mengertilah sedikit saja!" Kutatap wajahnya dalam-dalam, mencari-cari sosok Vania yang dulu. Sosok yang selalu penuh kasih sayang dan manja kepadaku. Ia memalingkan wajah saat tatapan mata kami bertemu.
"Terus, mau Abang gimana? Tak usah bertele-tele!" tanya Vania ketus.
"Abang ingin, kamu seperti dulu. Melakukan kewajibanmu sebagai seorang istri yang baik!" jawabku penuh penekanan, berharap ia mengerti.
"Kalau Abang bisa seperti dulu lagi, maka aku juga akan kembali menjadi istri yang manis dan baik!" Setelah mengucapkan kalimat itu, ia berlalu meninggalkanku.
"Maksudmu, apa? Vania, tunggu! Vania, Abang belum selesai bica—" Suara hempasan pintu terdengar lantang. Aku mengurut dada yang tiba-tiba terasa nyeri. Ya Allah, tolong! Tolong kembalikan, istriku yang dulu!
Bangkit, kuletakkan peralatan tukangku di gudang. Kususun satu persatu peralatan yang kini menemani untuk mengais rejeki. Sebagai tukang yang belum terlalu berpengalaman, gajiku tidaklah sama dengan tukang lainnya yang sudah ahli. Namun aku sangat bersyukur, masih ada yang mau menerima bekerja. Jika tidak, entah apa yang bisa aku lakukan sekarang. Suara adzan maghrib terdengar, bergegas kubersihkan badan lalu bertolak ke mesjid.
*
Sama seperti tadi, kutemui rumah dalam keadaan sepi. Vania belum keluar dari kamar sama sekali. Bahkan, saat aku berpamitan untuk ke mesjid, tak ada jawaban darinya. Entah apa yang ia lakukan di dalam sana. Perut yang keroncongan, memaksaku ke dapur. Kubuka pintu kulkas. Hanya ada dua bungkus mie instan, kecap, saos, dan sebutir telur di sana. Dulu, kulkas ini selalu penuh dengan stok makanan. Aku selalu membebaskan Vania untuk membeli makanan apa pun yang ia suka, asalkan halal. Namun kini, aku harus berlapang dada dengan mie instan dan sebutir telur. Tidak apa-apa, yang penting masih bisa makan.
Setelah berkutat di dapur, kuhidangkan dua mangkuk mie rebus di atas meja. Tak menunggu lama, aku berlalu ke kamar. Kudapati Vania berbaring menghadap ke tembok. Tangannya sibuk dengan ponsel di genggaman. Sesekali tawa lirih keluar dari mulutnya. Ia tak menyadari kedatanganku.
"Van ...." panggilku lembut. Ia tersentak kaget dan langsung berbalik melihatku.
"A—apa?!" jawabnya gugup.
"Ayo, makan! Abang sudah masak mie dua mangkuk," ajakku, berharap bisa duduk bersama menikmati makan malam seadanya.
Vania membalikkan badannya lagi. "Tak usah! Vania gak lapar. Abang habiskan saja semua, biar perutnya puas!" Ketus sekali kalimat-kalimat dari mulutnya terdengar. Aku mendesah.
"Paling tidak, temani Abang makan, Van?" pintaku lagi sambil menyentuh bahunya.
"Ck! Gak usah manja, Bang! Mau makan, ya tinggal makan aja! Vania capek!" Tangannya segera menepis tanganku, lalu menarik selimut menutupi sekujur tubuhnya.
Dengan langkah gontai aku berlalu. Kunikmati perlahan semangkuk mie yang terhidang. Tengggorokan seperti tak bisa menelan karena dada yang sesak. Mataku seketika basah. Ah, mungkin mie ini terlalu pedas.
Lamat-lamat kudengar suara ketukan di depan. Beranjak, kuhapus sungai kecil yang sempat mengalir di pipi.
"Vania! Dani! Buka pintu!" Pemilik suara terdengar tak sabar.
Kubuka pintu tergesa, mendapati Mama mertua sudah berdiri di sana.
***
Kunikmati makan siang kali ini dengan sensasi yang berbeda. Bukan karena menunya yang sangat nikmat, tapi karena kejadian tadi pagi yang selalu terbayang di pelupuk mata.Aku duduk berdampingan dengan Pak Wira yang hampir menghabiskan bekalnya. Sementara aku, menghayati dan menikmati setiap kunyahan dengan sepenuh hati.“Kenapa Mas Dani, makanannya kurang enak? Kok ngunyahnya pelan-pelan gitu?” selidik Pak Wira sambil memandangiku.Aku tersenyum malu. “Eng-enggak kok, Pak. Justru sebaliknya. Ini makanan yang paling nikmat yang pernah saya makan!” jawabku sambil menyendokkan nasi dan potongan ayam bakar.“Halah, masa sih, Mas? Bukannya udah sering makan masakan istri saya?” kata Pak Wira sambil tertawa lebar.Ah, andai Pak Wira tau apa yang aku rasakan. “Iya sih, Pak. Tapi, kali ini ada yang berbeda saja.” Aku melanjutkan makanku.Pak Wira geleng-geleng sambil tersenyum menampakkan deret gigi putihnya yang masih lengkap.“Ngomong-ngomong, makasih ya Mas, sudah mau mampir ke rumah ngamb
“Kak, tolong!” pintaku sambil menyerahkan ponsel ke tangannya.Kak Fitri sedikit gelagapan dengan tindakanku. Dahinya mengkerut seraya membaca nama yang tertera. Sejurus kemudian, ia paham dengan situasi. Tak lama, panggilan ia angkat. Tak lupa ia aktifkan pula pengeras suaranya, agar aku bisa mendengar percakapan.“Halo, Assalamu’alaikum!” ucap Kak Fitri datar. Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Hening.“Halo?” ucap Kak Fitri lagi.“Halo, mana si Dani sialan itu, hah? Dia apakan Vania tadi sore? Kenapa anak saya menangis setelah ketemu dia? Dasar mantan menantu tak tahu diri!” maki Mama tanpa ampun. Ya ampun, untung bukan aku yang menjawab teleponnya tadi.“Lah. Kok, Ibu nyalahin adik saya terus? Salahin anak perempuan Ibu sendiri, dong! Sudah bercerai, kok, masih maksa-maksa minta ketemu! Gak punya malu namanya!” balas Kak Fitri sengit. Aku memperhatikan bibirnya yang maju lima senti. Ternyata kakakku galak juga, bisikku dalam hati.“Halah, alasan saja! Paling si Dani tuh yang ma
“Ah, ma-maaf, Bang! Vania gak sadar kalau air mata sudah meleleh.” Ia menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan tisu yang tersedia di meja.“Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, aku pamit pulang.”‘Sebentar Bang, sebentar!” cegahnya.“Apa lagi?” tanyaku sedikit gusar. Sekarang sudah hampir jam enam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah sejak tadi. Rasa lelah dan lapar semakin mendera, membuatku mudah terpancing emosi.Vania tampak sedikit ragu-ragu untuk berkata. Wajahnya terlihat sangat gelisah. Apa sih, maunya dia? Aku mulai tak sabaran.“Bang … ayo kita menikah lagi, Bang!” Kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya. Aku seakan tak percaya dengan yang baru saja kudengar.“Vania … apa kamu tidak tahu, kalau kita sudah tidak bisa menikah lagi? Kecuali kalau kamu menikah dahulu dengan orang lain, lalu kemudian bercerai?” tanyaku dengan nada tajam.“A-apa iya, Bang? Vania … benar-benar gak tahu!” cicitnya.“Sekarang kamu sudah tahu. Jadi, tak usah bicara aneh-aneh lagi! Ki
Tak terasa, sudah berbulan-bulan aku resmi bercerai dari Vania. Sidang berjalan mulus, meskipun mantanku itu harus hadir dengan kondisi yang masih kurang fit. Kuanggap tak ada lagi kemelut di antara kami berdua.Setelah terakhir kali bersalaman dengannya, Papa, Mama, dan Bang Roby, hatiku benar-benar merasakan kelegaan. Status duda pun sudah resmi kudapatkan.Hari-hari kujalani dengan perasaan optimis. Pekerjaan yang sekarang, benar-benar aku tekuni. Rencananya, aku akan kembali tinggal di rumah warisan yang dulu aku tempati bersama Vania. Tak enak rasanya, sudah terlalu lama merepotkan Bang Tamrin dan Kak Fitri.Niat itu, akan kusampaikan pada mereka malam ini. Kudekati kedua orang yang sedang fokus menonton TV. Mereka berdua duduk berdempetan, seperti sedang berpacaran.“Ehem!” Aku berdehem. Mereka berdua menoleh.“Apa, Dan? Kakak pikir kamu sudah tidur.” Kak Fitri menaikkan alisnya.“Bang, Kak, sepertinya … Dani harus kembali tinggal di rumah lama,” ujarku. Kedua kakakku itu terdia
“Si Roby semalem WA, nyuruh Dani tanggungjawab bayarin biaya rumah sakit Vania. Ditambah ganti rugi, katanya,” aduku kepada Bang Tamrin dan Kak Fitri saat kami sedang menyantap sarapan. Wajah mereka tampak terkejut.“Hah? Gak salah, tuh? Enak banget, minta-minta,” timpal Kak Fitri.“Iya, bener, Kak. Dia bilang begitu. Dani lawan aja. Paling nanti kalau ada rejeki, Dani sisihkan sedikit untuk membantu Papa,” terangku.“Kamu gak ngasih, juga gak apa-apa. Toh, Vania sudah bukan tanggungjawabmu.” Bang Tamrin ikut bersuara.“Iya, Bang. Kalau pun Dani memberi, anggap saja sedekah.”“Nah, itu Kakak setuju. Tak apa kamu membantu, tapi tak ada paksaan juga. Emang dasar sih, keluarga mantanmu itu kok matre!” umpat Kak Fitri. Aku terkekeh.“Tapi ngeri juga ya, si Vania berani nekat gitu,” sambung Bang Tamrin sambil mengelap mulutnya dengan tisu.“Dani juga kaget, Bang. Gak nyangka kalau dia sampai begitu.” Bayangan Vania yang berlari kencang ke arah jalan raya, kembali melintas. Aku memejamkan m
“Bukan main si Dani, Dek!” kelakar Bang Tamrin saat kami sampai di rumah. Senyumnya terus-terusan mengembang sejak tadi.“Kenapa dia, Bang?” tanya Kak Fitri sambil membuka bungkusan sate.“Ituuuuu, sejak dari rumah sakit tadi sering senyum-senyum sendiri! Kayak orang gila!” Wajah jenaka Bang Tamrin serasa ingin kutabok.“Apaan sih, Bang!” protesku sambil pura-pura sibuk menatap layar ponsel.“Lah, kepalanya habis terbentur paling?” sahut Kak Fitri asal.“Iya kayaknya, terbentur sama si Kacamata!” ledek Bang Dani. Dia kemudian tertawa puas sambil meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Awas saja dia. Aku sampai salah tingkah dibuatnya.“Maksud abangmu apa sih, Dan? Kakak gak ngerti!” Kak Fitri dan Adel tanpa basa basi menyantap sate yang tadi kubawa.“Mana Dani tahu. Suami kakak tuh, konslet!” Aku menggendikkan bahu.“Heh, kamu tuh! Ini satenya kok cuma tiga? Kan, kita berempat?” Duh, kakakku ini benar-benar banyak tanya.“Kan, Dani gak makan, Kak,” jawabku.“Lah, kok, malah dibeli?”