"Yaa Allah, anugerahkan lah aku cintaMu dan anugerahkan lah aku, cinta seseorang yang juga mencintaiMu."
Doa yang selalu dipanjatkan Hana di setiap sela doa setelah selesai Sholat. Hatinya sudah terlalu lelah untuk menyebut nama seseorang. Terlebih jika melangitkan nama seseorang yang juga ada orang lain melangitkannya. Itulah yang terjadi padanya beberapa bulan yang lalu. Sampai akhirnya, ia hanya melantunkan doa agar diberikan cinta seorang hamba yang juga mencintai tuhannya.Tok ... tok!Suara pintu kamar Hana diketuk dari luar. Hana bergegas melepas mukena yang ia kenakan.Klek!"Ada apa, Bu?" tanya Hana pada Ibunya yang berdiri di depannya."Ada, Ali diluar."Mendengar nama Ali disebut. Ia baru ingat jika hari ini ia ada janji dengannya. Hana bergegas merapikan mukena yang ada di lantai. Mengambil khimar yang menutup sampai dada yang tergantung."Ali ... tunggu sebentar, ya. Tunggu di dalam aja." Hana memberikan senyum terbaiknya . Meminta Ali untuk menunggu di dalam rumahnya."Gak apa-apa di sini aja.""Ya, sudah. tunggu sebentar ya. Hana kembali masuk ke dalam rumah.Ia memilih baju yang ada di dalam lemari. Memilih baju yang bisa langsung dipakai tanpa setrika agar Ali tidak menunggu terlalu lama. Ia lupa jika ada janji. Padahal, Ali sudah menghubunginya tadi siang untuk memastikan jadi atau tidaknya.Selang beberapa menit, Hana selesai bersiap. Ia memandangi dirinya di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Memilih mengenakan celana kulot putih dengan tunik warna dusty pink dengan warna kerudung senada membuatnya terlihat sangat cantik."Ibu, Hana pergi dulu," Hana berpamitan ibunya yang sekarang sudah berada di luar. Rupanya saat Hana bersiap Ibunya menemani Ali."Lama sekali. Kasian Ali, perutnya bunyi terus dari tadi," canda ibu yang membuat Ali terkekeh."Biasalah bu, mau kencan jadi dia siap-siapnya lama," sahut Ali."Kencaan apaan coba," Hana berpura-pura kesal kepada keduanya."Kami pergi dulu, Bu," Ali berpamitan kepada Ibu Hana. Tak lupa keduanya mencium tanggan Ibu Hana sebelum pergi.Ini kedua kalinya Hana pergi dengan Ali. Sosok pria tampan seperti kebanyakan pria timur tengah dengan rahang tegas, mata kecokelatan yang indah, hidung mancung. Tampan layaknya seorang selebriti.Hana menatap ke arah Ali yang sedang fokus menyetir. Ia heran, mengapa sosok seperti Ali bisa-bisanya mengajaknya pergi keluar. Sejak pertemuan pertama mereka di sebuah kerjasama antara Ali dan tempat kantornya, Hana merasa ada sesuatu yang berbeda. Perasaan tenang dan nyaman. Ia tidak perlu menjadi sosok orang lain atau kaku jika berkenalan dengan orang baru."Entar jatuh cinta loh, liatin ku terus," yang matanya masih lurus menatap ke arah depan.Hana langsung mengalihkan pandangannya. Wajahnya terasa panas karena malu ketahuan menatap Ali. "Ih apaan, sih." ia tersenyum malu memilih menatap ke luar jendela mobil yang kini tampak lebih menarik.'DEG'Jantung nya terasa terhenti beberapa detik. Ia melewati sebuah kafe yang pernah kunjungi. Ada perasaan sesak di dada muncul teringat akan moment yang pernah ia lewati di tempat tersebut. Raut wajah nya menjadi kaku, sorot mata menjadi dingin. Hana mencoba mengatur nafasnya ketika sekelabat ingatan muncul di pikirannya.Tik! tik!Terdengar bunyi air hujan yang mengenai kaca mobil, mengalihkan pikiran Hana. Hujan tiba-tiba turun walau tak terlalu lebat. Seakan-akan langit pun tahu, apa yang sedang ia rasakan. Hana tersenyum kecut, menarik nafas dalam."Masih jauh?" tanya Hana pada Ali."Dikit lagi, kok. Laper banget, ya," canda Ali dibarengi tawa kecil. Ali membelokan mobilnya ke sebelah kiri, "Nih, sudah sampai." ia memarkirkan mobil di depan sebuah restaurant bertuliskan 'DUNIA LAUT'.Sebelum keluar, mereka berdua mematut diri di depan cermin. Ali di kaca mobil, sementara Hana mengambil cermin kecil yang ada di dalam tas. Ia merapikan lipstiknya kembali.Melihat itu Ali terkekeh, "Sudah cantik ... yuk keluar," ajaknya."Ada payung gak, Al?""Bawa dong, selalu sedia," sahut Ali dengan percaya diri. Ia mengambil payung yang ada di mobilnya, karena hujan semakin deras. Keluar lebih dulu, kemudian membukakan pintu mobil untuk Hana. Saat menuju restaurant, Ali merangkul bahu Hana. Memastikan gadis cantik di sebelahnya tidak terkena air Hujan.Kedua bola mata mereka mengitari sekeliling, mencari tempat kosong yang cocok bagi mereka. Sampai akhir nya mereka sepakat memilih meja kosong yang ada di sudut ruangan.Hana mengikuti langkah Ali dari belakang menuju meja tersebut. "Ali?!" sebuah suara terdengar menyebut nama Ali, membuat langkah mereka terhenti. Ali menengok ke arah sumber suara, yang juga diikuti oleh Hana.Hana tercekat, serasa sesak bernafas ketika mengetahui siapa yang memanggil Ali. Ia melangkah ragu mengikuti Ali yang sudah berjalan menuju orang yang memanggilnya.Perasaan Hana berkecamuk ketika semakin dekat dengan orang tersebut yang sedang duduk dengan beberapa orang. Hana berdiri dibelakang Ali, berusaha agar dirinya tidak terlihat."Apa kabar, Bro?" sapa Ali pada orangnya yang telah memamggilnya."Baik. Lo, sendiri gimana?""Baik, Alhamdulillah," sahut Ali."Eh, Kenalin ini, Yudha. Teman SMP aku," Ali meperkenalkan temannya pada Hana yang ada dibelakangnya."Hana?!" Terdengar suara Yudha seperti tidak percaya jika yang ia lihat adalah Hana yang ia kenal."Hai, Yud," sapa Hana dengan senyum ia sedikit ia paksakan. Mengatur sebisa mungkin raut wajahnya tidak berubah dingin."Kalian sudah saling kenal?" tanya Ali dengan raut wajah senang ketika mengetahui Hana dan Yudha sudah saling kenal.Hana mengangguk. "Satu tempat kerja," Jelas Hana singkat. Ia menatap wajah Ali. Enggan menatap wajah orang yang ada di depannya sekarang. Bahkan, jika bisa ia ingin pulang sekarang juga. Sudah cukup bertemu di tempat kerja, kenapa harus bertemu di luar lagi. Seakan semesta tidak ingin membiarkan Hana mengobati luka yang ada di Hatinya saat melihat orang ini, yang ternyata juga teman Ali.🌼🌼🌼"Aku pulang, assamu'alaikum," pamit Ali seraya menutup kaca mobil. Hana belum beranjak pergi sebelum mobil Ali menghilang di tikungan.'brrmm brmmm'baru saja Hana menutup pintu rumahnya sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Ia lihat kembali siapa yang datang.Mata Hana menyipit, memperjelas jika ia tidak salah lihat. 'Yudha?' gumam Hana.Hana keluar. "Ngapain ke sini?" tanya Hana. Suaranya tidak terdengar ramah."Ngapain pergi sama, Ali?" tanya Yudha, ia terlihat menahan marah."Bukan urusan kamu, kan. toh kita juga gak ada apa-apa. Aku bebas mau pergi sama siapa aja," balas Hana, kali ini Hana tampak kesal. Ia hendak masuk ke dalam rumah namun di tahan Yudha."Aku gak suka, ya. Kamu pergi berdua sama dia." Yudha memegang tangan Hana erat. Sampai Hana merasakan sakit di tangannya.Hana berusaha melepaskan tangannya dari Yudha. "Kita tuh sudah gak ada apa-apa. Kamu bukan tunangan aku lagi. Kamu sendiri kan yang memilih perempuan itu." Hana menahan amarahnya, air matanya hampir terjatuh saat mengatakannya.Disaat itu juga, cengkaraman tangan Yudha melamah. Akhirnya, Hana bisa melepas tangannya. Hana memilih masuk ke dalam rumah meninggalkan Yudha yang terdiam di depan rumahnya. Dengan wajah sedih. Tampak penyesalan muncul di wajahnya.Menatap sedih pintu yang ditutup oleh Hana. Ia menyesal akan pilihannya melepas Hana yang waktu itu telah menjadi tunangannya. Demi memilih wanita lain, mengikuti apa yang dikatakan keluarganya yang katanya hidupnya lebih nyaman dibandingkan jika menikah dengan Hana yang hidup hanya berdua dengan sang ibu. Namun ternyata, kehidupannya lebih nyaman dibanding istrinya, yang selalu kekurangan uang."Han ... ayo makan," suara Hana terdengar dari arah dapur."Iya, Bu," sahut Hana. Ia sedang mengenakan kerudung segi empat berwarna cream yang senada dengan tunik selutut berbahan ceruty yang membuat dirinya terlihat cantik ditambah polesan make up yang minimalis.Tercium wangi masakan Ibu di dapur. Membuat perut Hana berbunyi. 'Nasi goreng' gumam Hana. Ia sangat mengenali aroma masakan ibu yang khas ini. Tidak ada yang bisa menandingi soal rasa nasi goreng buatan ibunya. Ia bergegas melangkan kaki ke dapur saat telah selesai bersiap."Bu, hari ini jadi ke rumah, Tante Mila?" tanya Hana ketika sudah di meja makan. Kata ibu Hana kemarin ia mau ke rumah adiknya yang akan mengadakan pernikahan anaknya, lebih tepatnya sepupu Hana."Jadi ... undang aja, Ali.""Liat nanti deh, Bu ...," Hana seperti memikikan sesuatu, "Ali sama Yudha ternyata temenan loh, Bu.""Yudha, yang itu. Yang di kantor kamu itu?" Ibu Hana menyakinkan.Hana mengangguk mengiakan perkataan ibunya."Terus?""Terus apa nya,
Flashback"Nanti Hana ikut keluar kota sama Anisa dan lainnya," ucap Marco kepada Hana yang sedang duduk di meja kerjanya. Ini pertama kalinya Hana ikut pekerjaan keluar kota setelah beberapa bulan bekerja. Membuat dirinya begitu semangat. Kebetulan sudah lama juga ia tidak pergi ke luar kota."Loh, kenapa Hana, Mas?" tanya Risa yang juga berada di dalam ruangan tidak jauh dari mereka."Biar Hana bisa belajar, Ris. Kamu kan sudah sering," jelas Marco seraya pergi keluar dari ruangan tim administrasi dan kreatif. Muncul wajah kesal yang tertangkap oleh Hana sekilas. Membuat perasaan tidak enak mucul dibenaknya."Gak apa-apa, nih, An ...," Hana memastikan Anisa jika ia ikut tidak akan ada masalah."Sudah, tenang aja. Bos kan yang nyuruh," ucap Anisa menenangkan agar Hana tidak khawatir."Sudah lah, gak usah di pikirin, si Risa. Memang gitu ...," tambah Anisa dengan suara pelan dengan menepuk punggung tangan Hana. Rupanya Anisa juga sadar jika Risa ingin ikut pergi juga. 🌼🌼🌼Hari kebe
"Seru kan Han, kerjaan di luar," ucap Anisa pada Hana yang duduk di sampingnya.Mereka sedang melihat pengambilan vidio tiap ruangan yang ada di dalam vila. "Seru ... kerja sambil healing hehe," mereka berdua tertawa kecil.Mata Hana tak pernah lepas dari Yudha sedetik pun. Ia terus memperhatikan setiap apa yang dilakukan Yudha. Dari pengambilan vidio, mengarahkan apa yang harus dilakukan, hingga mengatur tampilan ruangan agar terlihat lebih menarik. Setelah ini selesai mereka berencana akan langsung pulang karena sudah jalan-jalan sebelumnya. Hana, terus memperhatikan setiap gerak gerik Yudha. Setiap hal yang dilakukan Yudha terasa menarik untuk Hana. Jika, tidak saat bekerja saja Yudha sudah terlihat menarik. Ketika bekerja semakin bertambah. Perawakan yang tinggi, mata yang teduh, alis lumayan tebal, kulit sawo matang, dan juga rambut yang di tata rapi. "Han, tolong bawakan script yang ada di meja itu," pinta Yudha pada Hana, menunjuk kertas yang ada di atas meja. Suara Yudha men
"Gimana, Bu, tadi dirumah, Tante?" tanya Hana ketika sudah masuk ke dalam rumah."Alhamdulillah, semua hampir beres. Kamu sudah minta ijin kalau lusa ada acara keluarga?" tanya ibu Hana yang duduk di kursi ruang tamu. Hari ini ibu Hana pergi ke rumah saudaranya, tante Mila yang sedang mempersiapkan lamaran untuk anak beliau."Belum, Bu, besok rencananya Hana mau bilang ke, Mas Marco," ia masuk ke dalam kamar meletakkan tasnya di atas meja rias di samping tempat tidur.Hana merebahkan tubuhnya yang lelah setelah perjalanan dari puncak. Ada perasaan khawatir jika ada saudara terdekatnya menikah. Khawatir akan pertanyaan orang-orang jika bertemu nanti. Hana yang sudah dua puluh lima tahun belum juga mempunyai pasangan. Ia sampai bosan karena ditanya terus menerus walaupun sambil bercanda. Jika bisa memilih, ia tidak akan hadir di acara keluarga."Ya, sudah. Mandi dulu sana. Baru tidur", ucap ibu saat berada di depan pintu kamar Hana. Hana beranjak dari tempat tidur bergegas mandi. Badann
"Hana berangkat dulu bu, Assalamu'alaikum ...," Hana berpamitan, tak lupa sebelum pergi ia mencium tangan Ibunya.Sebenarnya, ia cukup lelah karena perjalanan kemarin dan harus berangkat pagi. Terlebih lagi ia tidur larut malam. Menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit Hana akhirnya sampai di tempat kerja. Baru saja ia mematikan motornya di depan Studio, ia melihat Yudha keluar. "Mau kemana, Yud?" tanya Hana yang sedang hendak menyalakan sepeda motornya. "Ada urusan bentar, aku keluar dulu, ya," Yudha bergegas pergi. Hana mengiyakan, kemudian masuk ke Studio. Ia melihat Anisa duduk di meja kerjanya. "Assalamu'alaikum ...," sapa Hana."Wa'alaikumsalam ... kurang tidur kamu, Han?" tanya Anisa saat melihat Hana, matanya tampak sayu."Keliatan banget, ya, An?" Hana mengambil cermin kecil di dalam tas. Ia menghela nafas, matanya masih terlihat bengkak akibat kurang tidur. "Kamu gak capek?""Sudah biasa, Han ...," jawab Anisa menaik turunkan alisnya. Benar juga Anisa sudah sering
'Aku mau berangkat. Ketemuan di sana, ya.'Sebuah pesan yang dikirim Hana kepada Yudha. Hari ini mereka berencana untuk pergi keluar untuk makan. Sejak hari mereka pergi ke puncak. Mereka berdua semakin dekat.Mereka sepakat untuk bertemu disebuah kafe yang berada di tengah-tengah tempat mereka tinggal.Jarum jam tangan Hana menunjukkan jam tujuh lewat lima belas. Sudah lewat lima belas menit dari jam janjian. Batang hidung Yudha masih belum terlihat. Pesannya pun masih belum dibaca. Hana mulai gelisah. Apa ada sesuatu terjadi? tanya Hana dalam hati. Beberapa kali ia memeriksa ponselnya. Tidak ada pemberitahuan apapun.Ting! sebuah pesan masuk.Anisa : Han .. keluar, yuk. Ternyata dari Anisa. "Apa aku ajak Anisa juga, ya?" batin Hana. Ia menatap sekitar, siapa tahu Yudha sudah datang. Nihil. Belum juga terlihat. "Tapi, kalo Anisa ikut terus Yudha datang ... jawab apa?" lagi-lagi ia membatin. Karena tidak ada yang tahu dirinya dan Yudha dekat.Hana mencoba menghubungi Yudha. Hanya buny
"Ok ... Aku udah mulai ngerti. Jadi, setelah Risa diterima di pemerintahan, Yudha batalin ... karena itu tadi, Ibunya?" "Dia bilang gak bisa menikah secepatnya. Dia gak mau aku nunggu lama tanpa kepastian kapan dilaksanakan. Dia bebasin aku, kalo aku mau jalan sama siapa. Tau-taunya beberapa bulan kemudian dia nikah sama, Risa," jelas Hana. Terlihat gurat kesedihan di wajahnya.Anisa mulai mengerti, kenapa saat itu Hana tidak hadir ke pernikahan Yudha. Sosial media gak berteman lagi. Lalu, saat di kantor Hana lebih banyak diam. Diajak keluar pun Hana banyak alasan saat itu. Ternyata alasannya adalah Yudha."Gila sih, cuma si Risa di terima kerja di pemerintahan. Dia nikahin, Risa. Aku udah curiga juga sih, Han. Risa tu sering banget cari-cari perhatian, Yudha. Terus suka posting-posting Yudha. Kamu gak curiga?""Curiga pasti. Tapi, kamu tahu sendiri kan, An ... Yudha selalu jawab. Dekat karena satu proyek atau satu tim."Anisa menghela nafas mendengar cerita Hana. Bisa-bisanya Yudha
"Yud ... tadi di kantor, gimana?" tanya Ibu Yudha saat Yudha sampai di rumah. Baru saja ia meletakkan tas di kamar Ibunya tiba-tiba masuk."Kaya biasa. Kenapa emang, Bu?""Gak, kali aja gitu ... Hana cerita apa sama, Kamu. Soalnya tadi Ibu ketemu dia," kata Ibu Yudha, kemudian berjalan hendak keluar kamar."Terus Ibu ngomong sesuatu sama, Hana?" tanya Yudha sedikit penasaran."Cuma saling sapa aja, kok. Terus ya udah ...," jawab Ibu Yudha bergegas keluar kamar. Ia bersyukur Hana tidak cerita jika ia bertemu dengan dirinya. Selain itu, yang lebih penting Hana tidak cerita jika dirinya meminjam uang. Sebenarnya, Ibu Yudha merasa malu karena ketahuan makan-makan diluar. Takut jika ketahuan ia berbohong meminjam uang dengan alasan membeli kebutuhan pokok tapi ternyata malah pergi bersama teman.Tring tring!Ponsel yang ada di dalam tas Yudha berbunyi. Ia segera mengangkat telepon tersebut. "Halo ... Yang ...," ucap Yudha pada si penelpon yang ternyata adalah istrinya Yudha."Besok jempu