Trimakasih ya Rabb ... kau telah mempermudah jalan kebahagiaan untukku. Semoga kelak anak ini akan menjadi anak yang sholeh. Tak hanya menyejukkan mata, namun menyejukkan hati kedua orangtuanya.
"Sayang ..." Mas Yas menatap hangat lalu mencium keningku."Trimakasih, sudah melahirkan anak kita," ucapnya begitu lembut, membuat nyaman sanubari."Istirahat ya ... si Dedek biar Mas dan Ayah yang jaga." sambungnya sambil membelai rambutku.Aku mengangguk lemas, lalu memejamkan mata karna rasa lelah yang begitu berat.***OfdEntah berapa lama aku terpejam, suara Ayah samar-samar terdengar ditelinga."Tuh ... Ayah bilang juga apa? Jagoan kan.""Iya, Yah ... Ayah hebat ya, bisa tahu." sahut Mas Yasir.Aku membuka mata, kulihat Ayah sedang menggendong bayiku dengan posisi duduk tak jauh dari tempatku."Gantengnya ... mirip kamu ya Yas, matanya sipit." wajah Ayah begitu cerah dan berseDua hari menginap dirumah sakit, akhirnya aku beserta bayi mungil ini diperbolehkan pulang. Ayah begitu semangat, senyum tak pernah hilang dari bibirnya."Jagoan Ayah ... mari kita pulang," ucap Ayah dengan wajah sumringah, sambil menimang bayiku."Yah ... perlu memakai jasa beby sister tidak?" tanyaku."Tidak perlu ... Ayah siap menjadi beby sister untuk jagoan ini," kelakar Ayah dengan tawa bahagia.Aku tersenyum lucu, melihat Ayah yang biasa tegas dan garang. Kini berwajah lembut dan bersahabat didepan cucunya."Bayinya ganteng sekali, Non." ucap Bik Ijah sambil memandangi bayiku yang ada digendongan Ayah."Iya, Bik." sahutku seraya tersenyum.Setelah menyelesaikan bagian adminitrasi Mas Yasir mengemas barang, kami siap untuk pulang kerumah. Bik Ijah mendorong kursi rodaku. Mas Yas membawa tas besar, sementara Ayah menggendong si mungil.Sepertinya Ayah tak mau lepas dari cucunya."
Kini Ayah lebih senang berada dirumah, urusan toko dia serahkan pada dua pegawai kepercayaannya. Setiap pagi, Ayah akan mengetuk kamarku membawa, Fahri berjemur di halaman rumah.Semangatnya seakan kembali, wajah garang dan dinginnya kini mengikis berganti dengan wajah bahagia dan penuh kelembutan.Hari ini tepat usia Fahri satu bulan, pipi bayi mungil itu semakin tembam. Bobotnya pun semakin bertambah dan tentu saja, semakin menggemaskan."Tambah gembul saja jagoan, Ayah ..." ucapnya dengan gemas, Fahri menatap mata Ayah. Ayah tersenyum cerah sambil melepas pakaian Fahri."Jemur lima menit cukup, nanti gosong cucu Ayah."Aku hanya tersenyum sambil memperhatikan kegiatan Ayah dan cucunya dikursi teras depan rumah."Minumnya, Non." Bik Ijah menaruh segelas greentea dengan potongan buah lemon di dalamnya, dan segelas kopi panas untuk Ayah."Seneng ya, Non ... lihat Ayah bahagia seperti itu." Bibik tersenyum c
Pov Mamih.Sunyi ... sepi.Tak ada gairah lagi di dalam rumah ini, yang tersisa hanya dingin dan ruang kosong kehampaan.Memandangi foto keluarga kecilku diatas nakas. Dulu, semua begitu bahagia dan sempurna.Air mata jatuh tak tertahan, kubiarkan bulir-bulir itu mengalir bebas hingga isak kecil keluar dari bibir ini.Hidup kadang sebrengs*k itu, dan aku dipaksa untuk menjalaninya."Dari mana saja, jam segini baru pulang?" tanyaku sambil menatap tajam kearah si bungsu.Dara menghentikan langkah, lalu menoleh malas kearahku."Main kerumah teman, Mih." jawabnya."Selarut ini?" cecarku."Iya maaf ..." jawabnya, lalu pergi menuju kamar begitu saja.Aku mendesah lelah, di usia yang sudah tak muda lagi seharusnya aku bisa bersantai dan menikmati masa tua. Tapi kenyataan sebaliknya.Dara ... anak manisku yang selalu menurut dan periang kini berubah 180 derajat
Hal yang paling membuat aku bahagia adalah melihat orang yang dicinta tersenyum manis, aku akan melakukan apapun demi membuatnya mengukir senyuman itu.Ingatanku tertuju disaat Fiona hampir kehilangan semangat dan tak berdaya, dimana dia berjuang menahan sakitnya melahirkan putra pertama kami. Wajah serta bibir pucatnya, membuat hatiku tersayat. Erangan serta rintihan sakitnya membuat hati teriris-iris.Jika bisa.. ingin sekali menggantikan rasa sakit itu.Fahri.. bayi mungil buah hati kami akhirnya lahir dengan selamat. Bibir pucat itu melengkung sempurna dengan tetesan bening yang mengalir dipipinya.Hari itu aku benar-benar bahagia, tidak pernah bisa terlupa bagaimana perjuangan istriku melengkapi kebahagiaan kami.Hmm.. Fiona. Sudah lima hari aku tak bertemu dengannya, rindu ini selalu menggebu untuknya. Tanpa sadar bibirku melengkung sendiri, mengingat tingkah konyolnya."Melamun apa Dok, senyum-senyum gitu," goda Eva yang baru saja mas
"Ya ... aku percaya," ucapnya kemudian setelah diam beberapa saat.Aku bernafas lega, lalu memeluknya dengan segenap jiwa dan ragaku."Kenapa sayang?" tanyaku saat melihat raut Fio yang masih terlihat gelisah.Fio menghela nafas, lalu menatap dengan lekat. "Aku hanya berfikir, jika dia bisa senekat itu. Dia pasti akan berbuat hal diluar dugaan dilain kesempatan," ucap Fiona."Dia bisa saja terus mendekati Mas Yas, aku jadi mengingat seseorang ..." sambung Fiona dengan wajah cemas."Awalnya menolak, tapi jika terus didekati dan digoda. Bukan hal mustahil, setan akan hadir diantara mereka.""Aku harus bagaimana?" tanyaku cemas. Aku tak ingin Fio berprasangka buruk tentangku. Terlebih, dia memiliki masalalu yang kelam, tentang perselingkuhan."Apa aku harus mengajukan pindah?" usulku."Pindah kemana?" tanya Fiona."Mas coba melamar dirumah sakit Permata Family, rumah sak
Kepalaku pusing seketika, aku menggigit guling, dengan mata yang terkatup rapat. Menahan gejolak yang siap meledak-ledak.Argh ... Fahri!!"Kamu kenapa Mas? Mukanya merah gitu?" Fiona menatap heran."Ga apa Fi, Fahri sudah?" tanyaku."Fahri kalau mimi lama Mas, sabar ya," jawabnya sambil tersenyum."Iya ..." sahutku lemas.Kehidupan setelah menikah dan mempunyai anak sungguh berbeda, jika dulu kapan saja kami bisa melakukannya. Saat ini harus bersabar, karna ada Fahri ditengah-tengah kami. Aku jadi berfikir, bagaimana nanti kalau anak kami banyak ya?Setelah memastikan Fahri benar-benar terlelap, kamipun melanjutkan adengan yang sempat tertunda. Tapi Fiona tidak agresif sehelumnya, seprtinya dia kehilangan selera."Kamu kenapa sayang?" tanyaku saat melihat wajah Fiona yang memerah dan bercucuran keringat."Sakit Mas ..." rintihnya. "Aku dapat sembilan jahitan, rasanya
Mataku menatap datar gambar seorang laki-laki bertubuh atletis, dengan seorang wanita cantik disampingnya. Desir amarah mulai tersulut saat aku melihat lembar demi lembar gambar dengan berbagai pose menjijikan. Ah.. suamiku. Meski usiamu sudah memasuki kepala empat, kau memang masih terlihat gagah dengan wajah yang begitu rupawan. Sementara wanita disampingnya, terlihat masih muda berparas cantik dengan tubuh sexy menggairahkan. Sungguh pasangan yang sangat ideal, rasanya aku ingin mengabadikan mereka dalam peti dingin berdinding kaca. "Namanya Anitta, dia sudah bekerja selama dua tahun diperusahaan Tuan Mahesa," jelas Jordy. Pegawai sekaligus orang kepercayaanku. Menghela nafas berat, kuhempas lembaran gambar terkutuk itu diatas meja. Detak jantung kini bergenderang, tanganku mengepal kuat menahan amarah yang menggolak-golak didalam dada. Kepala sampai ujung kaki ini terasa dingin membeku, hanya hati yang panas sebab rasa cemburu yang membara
Matahari telah menjungjung tinggi, ada kehampaan disanubari saat mengedarkan pandang kesetiap sudut rumah. Anak-anak sudah pergi bersekolah, pun dengan Mas Mahesa yang sejak pagi sudah berangkat menuju kantor.Memandangi pantulan diri didepan cermin besar yang ada dilemari, tubuhku masih terjaga dan menarik dengan wajah putih bersih terawat tanpa celah. Usiaku dan Mas Mahesa terpaut lima tahun, dia lebih tua dariku. Banyak yang bilang, kami adalah pasangan serasi yang penuh dengan keharmonisan dan kebahagiaan.Setiap mengingat gambar menjijikan itu, hati ini selalu bergemuruh. Rasanya ingin kulahap habis, perempuan yang berani mengusik kebabagiaanku.{Menurut informasi, Anitta adalah perusak rumah tangga temannya sendiri. Dia bahkan pernah menjadi simpanan Om-Om dan pernah dipermalukan dimuka umum.}Pesan dari Jordy membuatku ternganga, itu berarti bukan hal baru dia memacari suami orang?Cih ... seleramu bahkan murahan sekali Mas, bekas siapa saja