Share

Bab 6 - Muak.

Author: Azzila07
last update Last Updated: 2022-01-14 14:52:24

Apa dia sedang bercanda?

 

Aku disuruh mengurus gundik suamiku? Yang benar saja.

 

"Kalau, Mamih yakin dia sedang mengandung cucumu. Kenapa tidak, Mamih sendiri saja yang pelihara. Bukankah rumah ini cukup luas?" balasku dengan senyum sinis.

 

"Berani kamu membantah, Mamih!!" sengit Mamih. Netranya membesar seakan mau keluar dari tempatnya.

 

Aku balas dengan tatapan dingin, sedingin hatiku. Kini.

 

"Sekali lagi berani menyahut, kau tidak aku anggap menantu lagi!" sambungnya tidak main-main.

 

Aku mendecih dengan senyum hambar, lalu berjalan mendekatinya. Kutatap Mamih dan Anitta bergantian.

 

"Dengar baik-baik ..." ucapku sambil mengusap pundak mertuaku, seakan membersihkan sesuatu.

 

"Saat kau bilang akan menikahi anakmu dengan gundik ini. Aku sudah tidak menganggapmu mertua lagi." ucapku dingin, sambil menatap lekat netra, Mamih.

 

"Rumahku bukan tempat penampungan. Enak aja!" sambungku penuh emosi.

 

Muka Mamih merah redam, bisa kudengar suara gemeletuk dari giginya. Dengan cepat tangannya melayang diudara, bersiap mendarat di pipiku.

 

Namun sebelum semua itu terjadi dengan sigap aku menahan dan mencengkram erat tangannya. Lalu menghempas kuat hingga tubuhnya hampir jatuh, kalau saja Anitta tidak menahannya.

 

Aku harus segera pergi dari sini, sebelum tongkat baseball sayanganku kembali melayang.

 

Hanya demi gundik itu, Mamih yang selalu bersikap baik padaku. Kini berubah seratus delapan puluh derajat. Sulit dimengerti!

 

Berjalan meneruskan langkah, tanpa peduli tatapan sinis dari semua orang.

 

"Daniel ... mau kemana ka--" teriak Mamih saat Mas Daniel mengikutiku.

 

"Sudah Mih, aku pusing!" selanya sambil berlari kecil ke dalam mobilnya.

 

Kulihat dari dalam mobil, Anitta nampak merajuk dan kembali menangis.

 

Ckckck, dasar manusia tidak waras!

 

Aku mau tau, sepicik apa rencana Anitta selanjutnya.

 

Mobil berhenti di dealer milikku. Berjalan tergesa dan menganggukan kepala saat melewati beberapa pegawai.

 

Dengan gusar aku menduduki kursi kerjaku. Lalu menyenderkan tubuh. Memijat pelipis yang berdeyut sakit mengingat kejadian tadi.

 

Mengapa jadi serumit ini, seharusnya Anitta bersyukur. Aku tidak mengganggunya. Pikirku dia akan jera saat, Paman ikut campur dalam masalah ini.

 

Hah ... gundik itu, pasti mengiginkan lebih dari sekedar uang dua puluh juta. Dengan menggunakan ke hamilannya, dia ingin memiliki Mas Daniel dan hidup berkecukupan. Pastinya.

 

Apa aku harus melepas, Mas Daniel?

 

Ah ... menurutku itu terlalu mudah. Dia akan hidup bahagia dengan gundiknya, sementara aku? Tersiksa dengan perasaan, meratapi luka di hati.

 

Sekelebat bayangan masa lalu menari-nari di kepala. Membuat denyut semakin parah. Menarik nafas dalam-dalam, perlahan membuangnya. Berharap terbuang pula sesak di dalam dada.

 

Aku pandangi gambar pada bingkai kecil. Di dalamnya terlihat aku sedang menyenderkan kepala di bahu, Ayah dengan senyum yang merekah.

 

Tak terasa cairan hangat membasahi pipi. Mataku terpejam perih seiring dengan degup jantung yang tidak beraturan.

 

Aku ... kembali terisak.

 

"Ayah ... apa yang harus aku lakukan?" bisikku perih

 

  ***ofd.

 

Mengejrapkan mata, saat terdengar suara ketukan dari luar. Terlalu lelah, aku sampai tertidur disini.

 

"Ya." sahutku dengan suara serak.

 

"Bu ... saya bawa nasi goreng kambing kesukaan, Ibu." ucap Dinda pegawaiku saat pintu terbuka.

 

Melirik arloji ditangan, mataku membulat di buatnya.

 

"Ya ampun, sudah jam tujuh malam?" ucapku tak percaya.

 

"Iya Bu, sudah malem ini," sahut Dinda sambil menaruh kotak makan di atas meja.

 

"Sudah dibayar belum, Din?" tanyaku saat membuka kotak itu.

 

"Belum, Bu." jawab Dinda malu-malu.

 

Aku mengambil tas kecil lalu mengeluarkan dompet, mengambil tiga lembar uang berwarna merah.

 

"Nih bayar ..." ucapku sambil menyodorkan uang.

 

"Ke banyakan Bu, harganya cuma dua puluh tiga ribu."

 

"Tidak apa-apa, beliin juga pegawai yang lain. Sisanya buat kamu," ucapku sambil menyuap nasi goreng kedalam mulut.

 

Oh tidak, aku sangat lapar. Mengingat hanya sarapan pagi tadi, pantas saja perutku terasa perih.

 

Mata Dinda berbinar seketika, dengan cepat dia menganggukan kepala lalu melangkah pergi.

 

Aku suka dengan kepeduliannya. Padahal aku tidak pesan, dia langsung berinisiatif membeli makan untukku.

 

Dengan cepat kuhabiskan makananku, lalu membersihkan diri.

 

"Saya duluan," pamitku pada, Dinda dan pegawai yang lain.

 

"Iya Bu, hati-hati." jawab mereka kompak.

 

Berjalan menuju parkiran, kulihat Mas Daniel sudah menyender di depan mobilku sambil memainkan gawai.

 

Menghidupkan alarm mobil, membuat dia langsung menengok kearahku.

 

"Fi ..." sapanya dengan senyum kaku.

 

Aku hanya melewatinya, tak peduli sapa'an dan wajah lesunya.

 

Langsung masuki mobil dan tancap gas, menuju rumah. Kulihat dari kaca spion, Mas Daniel mengikuti dari belakang.

 

"Fi ... kita perlu bicara," ucap Mas Daniel saat aku dengan tergesa memasuki rumah.

 

Aku meliriknya tajam lalu berjalan menuju dapur. Membuka kulkas, mengambil minuman kaleng lalu meneguknya cepat.

 

"Apa lagi yang harus di bicarakan?" ucapku sambil menaruh kasar minuman kaleng diatas meja makan. Menarik kursi lalu menghempaskan bobot diatasnya.

 

"Aku, tidak akan menikahinya." ucapnya sambil duduk di hadapanku.

 

Aku menatapnya lurus, dengan tatapan kosong. Entah omong kosong apa lagi, yang akan terlontar dari bibirnya.

 

"Bukankah kamu menginginkan bayi?" tanyaku kemudian.

 

"Sekarang tidak lagi," ucapnya tegas.

 

"Kau berjanji akan menikahinya," sahutku datar.

 

"Aku hanya main-main. Tidak lebih." Mas Daniel mencoba meyakinkan.

 

"Apa kita harus berpisah?"

 

"Fi ... kumohon, jangan dibahas lagi. Biar dia menjadi urusanku," jawabnya dengan wajah memelas.

 

Aku membuang nafas kasar. Kembali meneguk minumanku.

 

"Hubungan kita sudah membaik belakangan ini. Mari, kita mulai semuanya dari awal." pintanya dengan wajah memelas.

 

"Aku sudah tidak tertarik. Keluargamu membuatku muak." jawabku tak acuh.

 

"Akan kuperbaiki semuanya. Aku janji," ucapnya serius.

 

"Jangan berjanji, kau tidak akan bisa menepatinya." sahutku datar.

 

Dulu kamu selalu berjanji untuk membahagiakan aku. Tapi nyatanya, kau menusuk seribu belati hatiku. Perih!

 

"Aku mohon ... aku akan melakukan apapun. Asal kita bisa seperti dulu." ucapnya dengan mata berembun.

 

Mengapa kamu begitu menyedihkan, Mas. Apa kamu sesakit itu, jika kita berpisah?

 

Apa kamu benar khilaf dan mencintaiku. Atau kamu hanya takut kehilangan tambahan modalmu?

 

Ah ... sakit sekali rasanya, mengingat kamu meminta uangku. Lalu menghamburkannya dengan gundik itu.

 

"Aku tidak butuh omong kosong dan janji manismu. Jika serius lakukan sesuatu, untuk meyakinkanku." mata ini menatap tajam kearah, Mas Daniel. 

 

Senyumnya mengembang mendengar ucapanku, sebuah harapan terpancar jelas di matanya.

 

"Semua akan kulakukan untukmu, sayang ..." ucapanya dengan senyum lebar.

 

Perlahan aku mengambil sesuatu yang selalu tersimpan didalam tas, lalu menaruhnya diatas meja makan. Dan menyeret pelan benda itu tepat didepan Mas Daniel.

 

"Untuk apa ini?" tanyanya dengan alis yang mengkerut.

 

"Untuk membuktikan semua janjimu, bukankah kamu mau memulai semuanya?" jawabku datar.

 

"Cutter? Lalu apa lagi?" tanyanya dengan wajah bingung.

 

"Po--tong urat nadimu. Aku akan kembali seperti dulu," suaraku terdengar lirih, namun kuyakin Mas Daniel bisa mendengarnya.

 

Mas Daniel terkekeh mendengar ucapanku. Lalu menatapku dengan tatapan sendu.

 

"Kamu jangan bercanda," ucapnya kemudian.

 

"Apa aku terlihat seperti itu? Aku tidak main-main," ucapku dengan senyum miring.

 

"Hanya itu satu-satu nya cara, agar aku bisa kembali padamu."

 

Mas Daniel nampak menarik nafas, dia menelisik wajahku. Aku balas dengan tatapan dingin tanpa expresi.

 

"Baiklah, kurasa kamu tidak serius. Kamu seperti yang lain, hanya besar omongan saja!" sambungku sambil mengulurkan tangan hendak mengambil cutter, yang ada dihadapannya.

 

Dengan cepat tangan Mas Daniel meraih cutter itu, menggeser keatas hingga si-letnya keluar.

 

Matanya memerah menatap mataku, dengan gerakan cepat si-let cutter mengg--ores pergelangan tangannya.

 

Tetesan darah perlahan keluar membasahi meja makan. Mas Daniel masih menatapku dengan mata sayu, bibirnya memucat. Lalu ambruk seketika.

 

Kurasa ini lebih baik untukmu, Mas. Dari pada terus hidup hanya untuk membohongiku.

 

Seorang pengkhianat, akan mengulang perbuatannya dilain waktu. Aku tak ingin kamu mengulang hal yang sama.

 

***Ofd.

 

Cadassss, penasaran?

 

Kuyyy baca bab berikutnya!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Helmy Abdullah
saya suka cewek yang kuat kayak di cerita ini bisa bertindak bar bar untuk orang orang yang mengkhianati
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Karma Sang Penggoda   Bab 64 - TAMAT.

    "Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."

  • Karma Sang Penggoda   Bab 63 - Bertemu Fiona.

    "Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran

  • Karma Sang Penggoda   Bab 62 - Bagian special.

    Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam

  • Karma Sang Penggoda   Bab 61 - Berakhir.

    Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk

  • Karma Sang Penggoda   Bab 60 - Sudah lelah.

    "Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik

  • Karma Sang Penggoda   Bab 59 - Bertemu Ibu.

    Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status