Share

Dilema Herman

Akhirnya mereka sampai di apartemen pribadi Herman. Herman langsung keluar dari mobilnya dan beranjak masuk ke apartemen. Ruangan pertama yang ia tuju adalah kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya, mencoba memejamkan mata menetralisirkan pikiran kacaunya saat ini.

    "Apa yang harus aku lakukan?" Herman berdesir dalam  hatinya. Fikirannya dipenuhi kedua wajah wanita yang saat ini menjadi masalah dalam hidupnya.

   Sesekali ia berfikir menyesali kelakuannya dulu. Kenapa ia harus bermain api didalam pernikahannya? Kenapa ia harus membawa Adinda masuk dalam permainan ini? Semua penyesalan membuat Herman semakin merasa bersalah karena sudah mengecewakan Amira, menkhianati janji pernikahannya, dan melibatkan Adinda dalam masalah rumit ini.

     Jam masih menunjukan pukul 03.00 sore. Tidak biasanya Herman bersantai seperti ini. Ia sangat sibuk dengan ribuan pekerjaannya, pertemuan dengan banyak kliennya, dan banyak lagi kesibukan Herman. Namun hari ini, ia sama sekali tidak bersemangat melakukan itu semua.

    Ia menyuruh Andi menghandel semua pekerjaannya di kantor.Saat ini ia hanya ingin beristirahat.

    Tiba-tiba gawainya berbunyi, tertuliskan nama "my wife" yang artinya Amira meneleponnya sekarang.

    "Kau dimana mas?" tanya Amira pelan saat Herman mulai mengangkat telponnya.

Tak ada jawaban dari Herman. Dia hanya bergeming.

"Mas,kenapa kau tak menjawabku?" tanya Amira  lagi.

"Aku di aparetemen, maafkan aku tadi meninggalkanmu sendirian di klinik. Setelah pertemuan dengan klien aku merasa sangat lelah," jawab Herman.

    "Apa kau tak akan pulang hari ini?" Amira tak bisa berhenti dari pertanyaannya.

 "Tolong beri aku penjelasan mas, sekiranya kau memang takan pulang, aku takan menunggumu, banyak hal yang harus kita selesaikan!"

   Pertanyaan Amira seakan seperti pedang yang menusuk, mengusik ketenangannya, membuatnya semakin tak ingin pulang.

"Kenapa kau bertanya seperti polisi Amira? kau tak percaya aku ada di apartement? lalu kenapa tidak kau menguhubungiku lewat vc saja biar kau tahu aku sedang berada dimana?!" bentak Herman seketika. 

    Kata-kata Herman terdengar kasar ditelinga Amira. Selama pernikahan mereka, belum pernah Herman berbicara dengan nada lantang seperti itu. Dugaan Amira semakin kuat bahwa ada sesuatu yang Herman sembunyikan. 

    

   "Tidak akan selesai masalahnya jika diselesaikan lewat telpon, lagipula sekarang sepertinya kondisi Herman sedang tidak baik," fikir Amira, mencoba menenangkan hatinya sendiri. Mungkin lebih baik dia menyimpan dulu rasa penasaran dan kesalnya, sampai Herman pulang ke rumah.

"Baik-baik disana, segeralah pulang kalau urusanmu sudah selesai, aku sangat merindukanmu mas x Ucap Amira sambil menutup teleponnya.

 "Aaaaarrrgghhhh!!" Herman mengacak-ngacak rambutnya kasar. Ini baru Amira yang bertanya, besok-besok sudah bisa dipastikan Adinda akan mulai menerornya kembali dengan ribuan pertanyaan yang akan membuatnya semakin pusing.

    Herman memutuskan untuk tidur siang terlebih dahulu, agar fikirannya sedikit fresh. Dimatikannya handphone nya, karena Ia tak mau ada yang mengganggunya saat ini.

   

***

   "Apa yang akan aku lakukan andai dugaanku benar, kalau mas Herman menyembunyikan sesuatu dariku?!" Amira meratap diatas balkon, sambil melihat kearah langit.

Terlihat warna langit yang mendung seperti menggambarkan dirinya saat ini. 

"Sebenarnya apa alasan mas Herman seperti mengbindariku?"Amira terus bertanya-tanya dalam hatinya.

   Tiba-tiba fikirannya melayang membayangkan bagaiamana perlakuan Herman dulu. Semua kenangan manis bersamanya terlintas dalam bayangannya saat ia memejamkan mata. Ditambah angin yang menelusup dingin membuat Amira melamun lebih dalam.

    "Aku merindukanmu mas, aku merindukan dirimu yang dulu," Amira merintih.

Kedua tangannya menutup mukanya dan dadanya berguncang, bahunya bergoyang-goyang, yaaa...saat ini dia sedang menangis. Setengah jam sudah Amira menangisi Herman. Dia merasa lelah sendiri, namun tak ada sedikitpun perasaan ingin istirahat saat ini.

    Yang dia inginkan hanyalah menangis dan menangis. Tiba-tiba dia teringat sosok wanita yang ia temui di klinik tadi.

"Aaah apa aku manghubunginya? siapa tahu dia mau mendengar ceritaku, aku tak boleh seperti ini. Aku harus kuat demi anakku!"  gumamnya sendiri, sembari melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar.

   Diambilnya handphonenya. Kemudian Amira mencari kertas yang berisi kartu nama wanita itu.

 "Ini dia!!" Amira mulai memainkan ponselnya menuliskan nomor wanita itu. 

    Amira : Hai Marta, Selamat sore, ini aku Amira...(send)

Amira terdiam sejenak, dilihatnya notif di handphonennya,tanda ceklis satu. 

"Hmmm dia tidak aktif," gumamnya lagi. Tiba-tiba bik Inah memanggilnya dari luar menyuruhnya untuk turun karena makanan sudah siap. Sejak dia pulang dari klinik tadi, dia langsung masuk kamar, bahkan ia melewatkan makan siangnya. Dan iu membuat bik Inah sangat khawatir.

   "Nyonya makanlah dulu! makanan sudah siap. Daritadi nyonya mengurung diri dikamar, nyonya harus banyak makan!!"  terdengar suara bik Inah menasihatinya.

 Bik  Inah memang sudah seperti ibu kedua baginya. Semenjak Amira jauh dari ibunya, ia menganggap bik Inah adalah sosok ibu  baginya.

   "Baiklah bi, bisakah ambilkan saja makanan itu kekamarku?" perintah Amira.

 "Dengan senang hati nyonya!" kemudian tak terdengar lagi suara bik Inah, hanya terdengar suara sandal menandakan bik Inah sudah pergi menjauh dari kamarnya.

   Tok tok tok 

"Nyonya, Ini makanannya!"

 bik Inah masuk sambil membawa nampan yang berisikan makanan yang banyak. Entah kenapa, melihat itu Amira sama sekali tidak berselera. padahal biasanya hanya dengan melihat nasi goreng buatan bik Inah saja Amira sudah menelan ludah dan langsung melahapnya habis.

   "Anda baik-baik saja nyonya?' tanya bik Inah yang merasa heran melihat mata Amira yang bengkak. 

Amira yang merasa bik Inah saat ini sedang memperhatikannya menunduk sambil membuang muka,ia tak mau kalau bik Inah tahu kalau dia sedang ada masalah dengan suaminya.

    "Makanlah yang banyak nyonya, hmmmm andai ada yang mau anda ceritakan, saya siap menjadi pendengar"! bik Inah menawarkan bantuan. Entah mengapa sepertinya ia faham betul kalau saat ini Amira memang sedang menanggung beban berat.

    Amira yang tak kuasa lagi menahan tangisnya seketika memeluk bik Inah, dia menangis sekuatnya.Tak peduli dirinya terlihat sangat lemah saat ini.Hal itu membuat bik Inah kaget bukan main,Ternyata memang benar dugaannya kalau saat ini majikannya sedang ada masalah.

   Bik Inah pun duduk disamping Amira, diambilnya sendok dinampan, kemudian ia menyuapi Amira dengan telaten.

"Makanlah dulu,nanti setelah kenyang baru anda bisa bercerita tentang masalah anda,anda tak boleh menyimpan masalah berat sendirian. Kondisi anda saat ini lemah nyonya. Fikirkanlah anak yang ada dalam kandungan anda!" Jelas bik Inah. Amira hanya menangguk menuruti kata-kata bik Inah.

    Setelah makanan yang ada dinampan habis, bik inah mulai membuka pembicaraannya lagi. 

"Apa sebenarnya yang membuat nyonya menjadi seperti ini? tanyanya penasaran.

  Awalnya Amira ragu kalau harus bercerita tentang masalah rumah tangganya ,karena dimata orang diluaran sana, keluarga kecilnya adalah keluarga bahagia yang diimpikan semua orang.Tapi beban dihatinya tak bisa lagi dibendung,akhirnya Amira menceritakan perihal kelakuan Herman yang nampak berubah belakangan ini.

   " Hmmm,bi..apa bik Inah tak merasa kalau mas Herman akhir-akhir ini sibuk diluar?dia bahkan jarang pulang walaupun tidak sedang dinas malam" jelas Amira sambil menatap bik Inah.

  Bik Inah terdiam sebentar,mengingat ngingat perkataan Amira. "Ya nyonya,saya merasa begitu,lalu masalahnya dimana? tanya bik Inah tak mengerti.

  "Andai bibi jadi saya,apa bibi percaya pada Mas Herman?

   "lantas yang membuat nyonya tidak percaya kenapa?apa ada hal ganjil,atau nyonya menemukan sesuatu yang membuat nyonya curiga?? tanya Inah.

   

  "Aku curiga kalau mas Herman punya wanita lain bi" jawaban Amira membuat bik Inah terperanjak kaget.

  "Astaghfirullah nyonya, buang jauh-jauh fikiran burukmu, apa nyonya ada bukti kalau Tuan begitu?"tanyanya lagi.

Amira hanya menggelengkan kepala lemah. Memang tak ada bukti kuat kalau suaminya bermain dengan wanita lain dibelakangnya, tapi insthing seorang istri itu kuat, itulah yang membuat Amira yakin kalau suaminya memang sedang tidak beres saat ini.

   "Saat ini nyonya sedang hamil, bisa jadi itu karena pengaruh hormon. Dan biasanya orang hamil akan menjadi lebih sensitif dan mudah terpancing amarah," jelas bik Inah sambil mengusap punggung tangan majikannya.

   Amira hanya terdiam. Pikirannya mulai berkecamuk. 

"Benarkah apa yang bik inah bilang?apakah aku yang terlalu parno?apa benar mas Herman tidak seperti apa yang aku bayangkan?apa ini hanya fikiranku saja?!" Amira terdiam dalam lamunannya.

   "Baiklah bi, termikasih makanannya dan sudah mau menyuapiku. Aku sekarang merasa lebih baik," ucap Amira.

Bik Inah hanya tersenyum sambil membereskan bekas makan Amira.

"Bahagiakanlah diri nyonya sendiri, karena kalau bukan nyonya, siapa lagi yang akan membuat nyinya bahagia?" Nasihat bik Inah sambil berlalu.

"Saya permisi dulu nyonya,kalau ada perlu apa-apa panggil saja saya"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
terima aja nasib mu nanti dumadu amira. klu kau dari nol menemani suami mu harusnya kau lebih pintar dikit. anak yg ditunggu2 tapi belum pernah sekalipun ditemani ke dokter. padahal pelacurnya baru dugaan aja langsung fitemani
goodnovel comment avatar
Meyidson Hutagalung
keren abis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status