"Masih lama kah urutanmu?!" tanya Herman pada Adinda, sambil terus menatap jam ditangannya. Ia terlihat sangat gelisah.
Adinda hanya melirik dan tak menjawab pertanyaan Herman. Diperlihatkannya nomor antrian yang dia pegang. tertulis angka 9, berarti dua orang lagi giliran Adinda masuk ruangan pemeriksaan.
Tak selang berapa lama keluarlah wanita hamil urutan 7yang tak lain Marta, kenalan baru Amira.
Herman tak hentinya melihat jam ditangannya, sudah satu jam lebih dia disana. Pikirannya melayang tak tentu arah. Duduknya mulai tak nyaman, sesekali dia menggeser tubuhnya kekiri, kemudian ke kanan, berdiri dan duduk lagi.
Herman benar-benar sudah tidak betah berada di tempat itu. Ia ingin segera pulang dan meminta maaf pada Amira, karena telah meninggalkannya begitu saja.
"Kalau memang tak bisa menemaniku, pergilah. Kau terlihat sangat buruk sekarang!" cetus Adinda membuka percakapan mereka.
Herman memandang ke arah Adinda dan mendekati kekasihnya itu.
"Bagaiamana bisa aku meninggalkanmu sendiri disini, sedangkan aku belum tahu keadaanmu yang sebenarnya saat ini?" jawab Herman berbisik.
Adinda membuang wajahnya dari tatapan Herman, ia merasa kalau Herman sekarang sedang terpaksa menemaninya, bukan karena ia khawatir akan keadaannya.
"Nyonya Adinda!" lamunan Adinda buyar saat namanya dipanggil. Dengan segera, ia masuk ruang pemeriksaan, dan akhirnya, ia bisa segera tahu kondisinya.
Ia pun masuk keruang pemeriksaan ditemani Herman. Ia membaringkan tubuhnya ditempat pemeriksaan. Sedangkan Herman duduk dikursi samping ranjang tempat Adinda berbaring.
Wajahnya tampak sangat gelisah.
"Apa yang anda keluhkan nyonya?" tanya Dr Wisma.
"Aku telat haid satu bulan Dr. Aku ingin memastikan apa a a aku hamil," jawabnya terbata.
Wisma menganggukan kepalanya tanda mengerti. Diperiksanya perutnya, dia terdiam sejenak kemudian menyuruh Adinda bangkit dan duduk.
"Baiklah, silahkan duduk biar saya beritahukan. Sebelumnya kapan anda terakhir haid?" tanya Wisma sambil menatap Adinda.
"Sekitar tgl 25 bulan kemarin dok"
"Keluhan apa yang anda rasakan saat ini"?
"Saya sering pusing, mual dan badan saya lemas seperti kapas, tak ada tenaga sama sekali," jawab Adinda dengan muka pucat.
"Silahkan anda buang air seni dulu dikamar mandi, simpan sedikit saja ditempat ini untuk nanti saya periksa!" perintah Wisma sambil menyodorkan tempat untuk air seni Adinda.
Adinda sedikit gugup dan membawa tempat itu lalu masuk ke kamar mandi. Tak lama ia keluar dan bergantian Wisma yang masuk ke kamar mandi.
Adinda nampak tegang, dia tak sabar menunggu hasilnya begitupun dengan Herman. Sepertinya dia lebih tegang daripada Adinda. Sesekali dia menenangkan Adinda dengan memegang tangan.
Tak lama, Wisma keluar dengan membawa alat tespack ditangannya. Dia duduk dengan santainya dan mulai menulis sesuatu. Entah apa yang sedang ditulisnya.
"Atas nama Siapa?Nama lengkapnya?" tanya Wisma.
"Adinda sari dok"
"Nama Suaminya?" tanyanya lagi. Adinda dan Herman saling menatap.mata mereka beradu, seolah sedang berkompromi.
"Herman," Jawab Herman dengan lantang.
Mendengar kata Herman, Wisma langsung mengalihkan pandangannya pada Wajah Herman. Dia menatap cukup lama wajah Herman, sampai membuat Herman menjadi salah tingkah.
Herman yang merasa bingung dengan tatapan Dr wisma bertanya
"Kenapa dok? Ada yang salah dengan saya?" tanya Herman kesal.
"Aah maaf, saya hanya teringat dengan suami salah satu pasien saya, namanya sama dengan nama anda. Sayang dia tak seperhatian anda terhadap istrinya. Sudah lima kali istrinya memeriksakan kandungan, namun belum sekalipun ia menemaninya. Saya hanya kasian pada pasien itu!" Wisma menerangkan. Dari matanya nampak kalau Wisma saat ini sedang membayangkan wajah Amira.
"Hmmmm...,"
Herman hanya mendehem.
"jadi bagaimana dengan istri saya?Apa dia hamil?" tanya Herman tak sabar.
"Benar sekali, istri anda sekarang tengah mengandung, usia kandungannya masuk 5 minggu," jawab Wisma sambil memperlihatkan hasil tespek, disana terlihat bahwa garis merah dua melintang dengan jelas, tanda Adinda memang hamil.
Tidak selayaknya pasangan suami istri lain yang akan bahagia kalau tahu kalau sebentar lagi mereka akan menjadi orangtua, justru sebaliknya, Adinda dan Herman malah terlihat gugup. Tak ada sedikitpun terpancar wajah bahagia dari mereka. Wisma yang aneh melihat ekspresi mereka bertanya."Kenapa kalian tak bahagia?" Tanya nya.
Adinda hanya tersenyum tipis
"Tentu kami sangat bahagia dok," jawab Adinda berbohong.
Sedangkan Herman hanya terdiam seribu bahasa.Dia tak bisa memaksakan senyumnya.
"Selamat atas kehamilannya, jaga baik-baik, karena kandungan anda masih sangat sensitif,"
perintah Wisma sambil menyodorkan secarik kertas resep vitamin dan obat yang harus mereka ambil. Adinda langsung mengambil kertas itu dan berdiri untuk berpamitan yang disusul oleh Herman."HERMAN"
Ia mengucapakan nama itu pelan.
"Hmmm, kenapa bisa kebetulan begini?" gumam Wisma dalam hatinya. Tapi ia segera membuyarkan fikiran negatifnya.
Sempat terfikir oleh Wisma, bahwa jangan-jangan Herman barusan adalah Herman suami dari Amira. Namun ia segera menepis pikiran itu. Kemudian ia segera melakasanakan tugasnya lagi dengan memeriksa pasien selanjutnya.
"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Adinda pada Herman yang nampak termenung menundukkan pandangannya ke bawah. Digerakannya ujung sepatunya, ia terlihat sangat bingung.
"Entahlah, nanti kupikirkan jalan keluarnya," jawabnya sambil menghela nafas berat.
Dipijitnya keningnya terus menerus, ia berharap bisa mengobati sedikit rasa pusingnya. Hari ini adalah benar-benar hari yang sial. Dalam hatinya, ia tak berani pulang kerumahnya dan menemui Amira. Ia membayangkan bagaimana Amira akan mendiamkannya dan mencecarnya dengan ribuan pertanyaan yang pasti akan membuatnya menjadi semakin pusing.
Adinda yang menyaksikan tingkah Herman mencoba memeluk pundak Herman. Mengelusnya bermaksud menenangkan Herman. Namun dengan cepat tangan herman mencegahnya, dan perlahan duduk menjauh dari Adinda. Saat ini Herman benar-benar ingin sendiri.
Sebenarnya dia sangat mencintai Adinda, namun dia belum siap jika harus menikahinya. Ditambah, Amira sekarang sedang mengandung anaknya. Anak yang telah lama dinantikannya. Saat ini, otaknya sedang buntu. Ia tak bisa berfikir jernih.
Melihat tingkah Herman yang hanya mematung, membuat Adinda tak sabar, dan segera berdiri mengajak Herman untuk pulang.
"Kita pulang dulu, pikirkanlah dengan tenang, disini bagaimana bisa kau berfikir jernih?!" Ajaknya sambil menarik tangan Herman.
Herman menatap ke arah Adinda dan bangun dari duduknya. Ia menuruti perkataan Adinda. Akhirnya mereka beranjak dari tempat itu.
Diambilnya gawainya yang sedari tadi berada didalam saku celananya. Ia menghubungi Pak Parman, menyuruhnya untuk segera menjemputnya.
"Cepat kembali ke Klinik tadi!""Untuk apa Tuan?!"
"Jemput saya!"
"Bu..bukannya tadi!" Belum juga Parman menyelesaikan pembicaraannya, Herman lansgung menutup panggilannya. Ia paling tak suka jika dibantah. Parman yang faham dengan sikap Herman, segera kemvbali melajukan mobilnya.
Tak lama, Pak Parman datang menjemput mereka.
Selama dalam perjalanan, tak ada satu katapun keluar dari mulut mereka. Mata mereka melihat kearah luar jendela dan bermain dengan pikiran mereka masing-masing.
"Maaf tuan, kita pergi kemana ini?" tanya Parman memecah keheningan didalam mobil.
"Antarkan Adinda dulu, baru kita ke kantor!" jawab Herman datar.
"Apa tidak sebaiknya setelah mengantarkan non Adinda kita pulang kerumah saja tuan? saya lihat tadi nyonya Amira menangis dan sepertinya ia sangat terpukul!" Jawab Parman yang membuat rahang Adinda mengeras. dia mengepalkan tangannya, kupingnya terasa panas mendengar Parman manyebut nama Amira.
Herman melirik ke arah Adinda, dia tahu betul saat ini Adinda tengah menahan emosinya. Ia tak habis pikir, mengapa supirnya itu bisa berkata demikian, padahal diantara mereka ada Adinda.
Ya,Parman memang sengaja berkata demikian, agar Adinda sadar diri kalau sebenarnya dirinya adalah pengganggu, perusak keharmonisan hubungan tuan dan nyonya nya. Parman memang tidak suka dengan Adinda. Kerap kali Parman suka berkata terus terang kepada Adinda dibelakang Herman. Kalau dirinya sangat memebenci Adinda yang merebut Herman dari Amira.
"Tidak Parman, kita pulang ke apartement saja, aku ingin menenangkan diri dulu!" timpal Herman menolak saran Parman.
"Baiklah tuan," jawab Parman singkat. Ia menambah kecepatan mobilnya, agar cepat sampai. Ia tidak nyaman berlama-lama semobil dengan Adinda.
Tak lama kemudian mobil yang mereka tumpangi berhenti tanda mereka sudah sampai. Tanpa aba-aba Adinda turun dan langsung menutup pintu mobilnya dengan keras. Ja berjalan kerumahnya tanpa mempedulikan Herman.
Begitupun sebaliknya, Herman sama sekali berubah menjadi dingin. Biasanya ia akan mencium kening Adinda sebelum mereka berpisah, namun kali ini kebiasaan itu tidak Herman lakukan. Ia masih kesal terhadap Adinda.
"Jalan pak!" perintah herman pada Parman.
Sepanjang perjalanan Herman tak henti-hentinya mengutuk dirinya sendiri. Bahkan sesekali ia meninjukan tangannya ke arah jok kosong disampingnya.
"Parman... mengapa tadi kau bilang begitu? bukankah kau tahu tadi Kita sedang bersama Adinda?" tanya Herman datar. Parman hanya tersenyum membalas pertanyaan tuannya.
"Saya hanya berkata apa adanya tuan, lagipula apa tuan tidak cape main kucing-kucingan begini? Kasihan Nyonya Amira yangs edang mengandung anak Tuan!" ucap Parman. Herman tampak sangat kesal mendengar perkataa Parman.
"Pekerjaanmu hanyalah supir, tidak berhak mengurusi urusanku. Apa kau sudah bosan bekerja denganku?!" bentak Herman. Yang membuat Parman terdiam dan memilih mengalah.
"Kau akan menyesal tuan karena telah mengkhianati istri sebaik nyonya Amira," kecam Parman dalam hatinya.
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.