"Berbaringlah!" dr Wisma mempersilahkan Amira berbaring untuk memulai pemeriksaan. Ditempelkannya stetoskop ke perut Amira.
"Herman tak ikut lagi?" Dr Wisma memulai percakapannya.
"Suamiku sedang sibuk, tadi dia mengantarkanku, tetapi ada ada hal mendadak yang harus ia selesaikan, jadi dia pulang lebih dulu," jawab Amira lemah, membela suaminya.
"Sampai kapan kau membohongi diri sendiri Amira?!" batin Wisma kesal.
Dr Wisma bukan sekedar Dr langganan Amira. Tetapi, dia juga sahabat Amira saat kuliah dulu. Dia pernah menyimpan perasaan pada Amira, namun Amira lebih memilih Herman dibanding dirinya. Itulah alasan, kenapa sampai saat ini dia belum mau menikah. Dalam hatinya, ia berjanji takan menikah terlebih dahulu sebelum menemukan perempuan yang lebih dari Amira.
Sudah ke sekian kali Amira memeriksakan kandungannya, tapi dia tak pernah bertemu langsung dengan Herman. Wisma hanya tahu namanya saja, tanpa tahu seperti apa sosok suami Amira.
Dulu Amira selalu bercerita padanya tentang Herman, bagaimana manis dan lembutnya Herman memperlakukan Amira. Hingga akhirnya, Wisma memilih mundur karena berfikir kalau Amira sudah bahagia dengan Herman.
Tapi sekarang, semenjak Amira hamil, suami yang dibangga-banggakannya itu tak pernah sekalipun mengantar istrinya.
"Apa itu yang dinamakan suami sempurna?"ejeknya dalam hati.
"Amira, paksalah suamimu untuk mengantarmu barang sekali saja, dia harus tahu juga perkembangan anak kalian!" cetus Wisma pada Amira.
Amira hanya diam dan memalingkan pandangannya dari Wisma.
"Bagaimana hasilnya? Calon bayiku baik-baik saja bukan?" tanya Amira mengalihkan pembicaraan. Dia tak mau kalau Wisma terlalu jauh ikut campur urusan rumah tangga mereka.
"Tak usah mengalihkan pembicaraan! Aku sedang mengajakmi berbincang tentang suamimu!"
"Sudah aku katakan tadi, suamiku sibuk jadi dia tak bisa mengantarku. Lagi pula aku bisa pergi sendiri walau dia tidak datang kan?!" jawab Amira ketus.
"Ingat!! Ibu hamil tidak boleh stress, jangan terlalu banyak memendam perasaan sendirian!" Wisma mengingatkan Amira dengan nada kesal karena Amira masih saja membela suaminya.
"Kau tak perlu berlebihan Dr Wisma, aku punya suami yang sangat menyayangiku. Jadi anda tak perlu terlalu mengkhawatirkanku"
Amira menjawab dengan nada lebih tegas, seakan memberitahu bahwa dia merasa risih diperhatikan seperti itu.
"Baiklah....aku harap kata-katamu benar. Kandunganmu baik, detak jantungnya juga sehat, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan," jawaban Dr wisma membuat Amira lega.
"Ingat pesanku, hindari setres berlebihan. Carilah suasana nyaman agar tidak berpengaruh pada kandunganmu. Aku khawatir karena seringnya kau mengalami tekanan bathin, anakmu didalam kandungan pasti ikut terpengaruh dan itu sangat berbahaya!" pungkasnya sambil memberikan resep obat yang harus ditebus oleh Amira.
"Terimakasih sarannya Dr, pasti akan saya jaga anak saya dengan baik. Kalau tidak adalagi yang mau disampaikan, saya permisi pulang dulu!" jawab Amira sambil mengatupkan kedua tangannya. Dan mengambil secarik kertas dari tangan Dr Wisma.
Amira segera beranjak dan pergi untuk menebus obat yang disarankan Dr Wisma. Kemudian langsung keluar klinik.
Ia duduk dikursi luar, sambil memainkan gawainya mencoba menghubungi pak Parman. Tak lama pak Parman pun datang dengan mobilnya. Amira yang sudah merasa lelah langsung naik mobil dan merebahkan tubuhnya sembari menyandarkan kepalanya ke jok belakang.
Pak Parman diam-diam memandangi Amira dari spion depan. Banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun dia berfikir ulang. Ia takut salah bertanya dan malah membuat masalah.
Namun rasa penasaran yang kuat menggelitiknya untuk bertanya.
"Maaf nyonya, kenapa nyonya pulang sendiri? bukankah tadi berangkat bersama Tuan?" telisik Parman heran.
Amira yang sedang memejamkan matanya tiba-tiba terbelalak merasa kaget.
"Bukankah tadi suami saya pergi ke kantor diantar bapak?" Amira bertanya dengan nada penuh kebingungan.
Parman seperti ditampar dengan pertanyaan bosnya, dia bingung harus menjawab apa. Karena sedari tadi dia hanya diam dirumah. Tuannya sama sekali tidak ada menghubunginya, apalagi memintanya mengantatkan ke kantor.
"Oh... Eehh mmmm, iya Nyonya maaf, saya lupa," jawab Parman sembari mengusap Dahinya yang mengeluarkan keringat dingin karena berbohong.
Dia sama sekali tidak tahu dimana keberadaan Herman saat ini. Tetapi jawaban Parman membuat Amira berpikir tentang sesuatu. Ia melihat kebohongan diwajah Parman.
Amira menatapnya tajam.
"Katakan yang sebenarnya pak, apa bapak benar mengantarkannya ke kantor? atau ke tempat lain? atau malah bapak sama sekali tidak tahu keberadaan suami saya sekarang?!" Amira menghujani pak Parman dengan banyak pertanyaan yang akhirnya membuat Parman semakin gugup.
"Bapak sudah bekerja lama dengan saya, saya tahu kalau sekarang bapak sedang berbohong! Jadi jangan coba-coba untuk menutupi sesuatu dibelakang saya!!" tegas Amira.
Perkataan Amira membuat pak Parman kurang berkonsentrasi. Padahal sekarang dia sedang menyetir. Parman hanya diam tak menjawab pertanyaan Amira.
"Baiklah, kalau bapak tidak mau berkata jujur, sekarang putar balik, kita ke kantor mas Herman!" Tegas Amira.
Wajahnya memerah tanda menahan amarah. Parman hanya mengiyakan perintah Amira, ia tak punya alasan untuk menolak, sampai akhirnya ia memutar setirnya, memutar balik mobilnya menuju kantor bosnya.
Hati Amira semakin tidak karuan. Didalam hatinya ia banyak mengutuk Herman. Kecurigaannya semakin kuat. Amira mulai mencium kebohongan Herman.
"Pantas saja akhir-akhir ini dia semakin berubah. Apa salahku mas? Apa yang sebenarnya sedang kau sembunyikan dibelakangku?!" gumam Amira dalam hatinya.
Tak terasa airmatanya menetes mengalir deras. Airmata yang ditahannya semenjak tadi, akhirnya keluar tak bisa dibendung. Hatinya benar-benar kecewa saat ini.
Sementara Parman merasakan hal yang sama. Karena kecerobohannya, sebentar lagi sudah dipastikan Tuannya Herman akan memarahinya. Bahkan mungkin memecatnya. Tapi bagaimana bisa Tuannya berbohong dan melibatkan dirinya tanpa memberitahunya terlebih dahulu? Pikiran Parman kacau tak karuan, dia menyumpahi tuannya.
Setelah beberapa lama, akhirnya sampailah mereka dikantor Herman. Amira yang sudah tak sabar langsung keluar dari mobil.
"Tunggulah disini, saya akan segera kembali!" perintah Amira sambil berjalan cepat meninggalkan mobil.
Sedangkan Parman hanya terpaku didalam mobil, tangannya memegang setir mobil dengan kuat. Ia tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
"Tamatlah riwayatku!" keluhnya sambil memejamkan matanya.
"Permisi nyonya, selamat siang!" seorang recepcionis menyapa Amira sambil membungkukkan badannya.
"Pak Herman ada?" tanya Amira tanpa basa-basi.
Dua orang recepsionis saling berpandangan. mata mereka seolah menggambarkan ketidaktahuan.
"Maaf nyonya, hari ini Pak Herman tidak ada datang ke kantor," imbuh salah satu recepsionis.
Amira semakin jengah mendengar jawaban karyawan suaminya. Dengan emosi, ia langsung memasuki kantor mencari Herman disetiap ruangan. Dan sampailah ia diruangan Herman. Dengan cepat, ia melirik seluruh ruangan, namun tak ada tanda-tanda suaminya berada di kantor. Ia pun segera ke ruangan Andi sekertarisnya Herman.
"Andi"!! panggil Amira keras.
Andi yang sedang fokus pada laptopnya terperanjak sekaligus. Matanya tak percaya melihat istri bosnya datang dengan tiba-tiba.
Andi langsung berdiri dan membungkukkan badannya menyalami istri bosnya.
"Selamat siang nyonya, ada yg bisa saya bantu?" tanyanya sopan.
"Tidak perlu pura-pura, saya tahu kalau hanya kamu yang tahu keberadaan Herman sekarang dimana?" jawab Amira dengan datar. Andi kelimpungan mendengar jawaban Amira. Dia merasa orang yang paling bodoh saat ini.
"Tenang nyonya, Saat ini tuan sedang ada rapat bersama klien diluar," jawab Andi dengan wajah tenang. Padahal, sebenarnya dia tidak tahu dimana keberadaan bosnya itu. Hanya saja tadi bosnya sudah meneleponnya dan memeberitahukannya bahwa hari ini dia tidak akan masuk kantor. Ada hal penting bersama Adinda yang harus diselesaikan. Sehingga ia dengan cepat memutar otak mencari alasan.
Mendengar jawaban Andi, amarah Amira sedikit menyurut. Dia merasa agak lega walaupun sebenarnya tanda tanya besar masih mengganjal dihatinya.
"Saya pastikan besok kau sudah tidak ada disini kalau sampai saya tahu kau berbohong Andi!" tegas Amira sambil berlalu meninggalkan Andi yang masih berdiri menundukkan kepalanya. Dia tak berani mengangkat kepalanya sebelum istri bosnya benar-benar menghilang dari ruangannya.
Terdengar suara sepatu perlahan menjauh keluar ruangannya, tanda saat ini istri bosnya sudah keluar dari ruangannya.
Andi bernafas lega. Dia langsung mengambil gawainya, mencoba menghubungi Tuannya yang membuat dirinya masuk kedalam masalah ini. Dihubunginya sampai beberapa kali, namun tak kunjung ada jawaban.
"Maaf tuan, Nyonya Amira barusan darisini, dia mencari anda," terlihat tanda ceklis dua berwarna biru menandakan kalau pesannya sudah dibaca tuannya.
"Sialllll!! bagaimana bisa Amira berbuat senekat itu?!"Decak Herman yang sudah membaca pesan dari Andi.
Saat ini ia sedang menemani Adinda dikursi tunggu. Walaupun berjarak dekat, namun mereka hanya berdiam. tak ada kata-kata yang keluar dari mulut keduanya. Herman dan Adinda sekarang sedang merasa kalut dengan keadaan.
Tampak dari kursi berlawanan sepasang mata memperhatikan mereka. Dia adalah wanita hamil yang tadi berkenalan dengan Amira. Dari kejauhan, ia memperhatikan Herman. Dan dalam hatinya bertanya-tanya.
"Bukankah itu laki-laki yang tadi bersama Amira yang kukenal tadi?" gumamnya dalam hati.
"Tapi kenapa dia bersama wanita lain? sebenarnya siapakah laki-laki itu dan apa hubungannya dengan Amira, juga apa hubungannya dengan wanita yang sekarang ada disampingnya?"
Sejuta pertanyaan menyelinap dihatinya, ditambah tadi dia melihat Amira menangis, dan mendengar cerita Amira, kalau suaminya terpaksa meninggalkannya sendirian di Kkinik."Aah sudahlah, ini bukan urusanku, biar nanti aku tanyakan langsung pada Amira," gumamnya.
Tak lama, namanya dipanggil dan segera ia masuk kedalam ruangan pemeriksaan.
"Masih lama kah urutanmu?!" tanya Herman pada Adinda, sambil terus menatap jam ditangannya. Ia terlihat sangat gelisah.Adinda hanya melirik dan tak menjawab pertanyaan Herman. Diperlihatkannya nomor antrian yang dia pegang. tertulis angka 9, berarti dua orang lagi giliran Adinda masuk ruangan pemeriksaan.Tak selang berapa lama keluarlah wanita hamil urutan 7yang tak lain Marta, kenalan baru Amira. Herman tak hentinya melihat jam ditangannya, sudah satu jam lebih dia disana. Pikirannya melayang tak tentu arah. Duduknya mulai tak nyaman, sesekali dia menggeser tubuhnya kekiri, kemudian ke kanan, berdiri dan duduk lagi.Herman benar-benar sudah tidak betah berada di tempat itu. Ia ingin segera pulang dan meminta maaf pada Amira, karena telah meninggalkannya begitu saja. "Kalau memang tak bisa menemaniku, pergilah. Kau terlihat sangat buruk sekarang!" cetus Adinda membuka percakapan mereka.Herman memandang ke arah Ad
Akhirnya mereka sampai di apartemen pribadi Herman. Herman langsung keluar dari mobilnya dan beranjak masuk ke apartemen. Ruangan pertama yang ia tuju adalah kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya, mencoba memejamkan mata menetralisirkan pikiran kacaunya saat ini. "Apa yang harus aku lakukan?" Herman berdesir dalam hatinya. Fikirannya dipenuhi kedua wajah wanita yang saat ini menjadi masalah dalam hidupnya. Sesekali ia berfikir menyesali kelakuannya dulu. Kenapa ia harus bermain api didalam pernikahannya? Kenapa ia harus membawa Adinda masuk dalam permainan ini? Semua penyesalan membuat Herman semakin merasa bersalah karena sudah mengecewakan Amira, menkhianati janji pernikahannya, dan melibatkan Adinda dalam masalah rumit ini. Jam masih menunjukan pukul 03.00 sore. Tidak biasanya Herman bersantai seperti ini. Ia sangat sibuk dengan ribuan pekerjaannya, pertemuan dengan banyak kliennya, dan banyak lag
Setelah selesai menghabiskan makanannya, Amira merebahkan tubuhnya dikasur. Perasaannya sedikit merasa tenang setelah bik Inah memberikan nasihat kepadanya. Ia berfikir mungkin memang dirinya lebih sensitif karena pengaruh hormon, sehingga hal-hal kecil saja bisa membuatnya stress. Amira mencoba membuang semua prasangka buruk terhadap suaminya. Ia berniat akan mengubungi Herman dan meminta maaf, saat ia membuka pesan dilihatnya notif pesan dari martha."Hai Amira, maaf baru membalas pesanmu, Ponselku mati. Ini baru penuh," begitulah Isi pesan dari martha. "Iya tak apa Martha," jawaban Amira singkat."Apa kau baik-baik saja sekarang? Kau sudah tak menangis lagi kan?heee.."Tentu Martha, airmataku terlalu mahal jika aku harus terus membuangnya dengan sia-sia," jawab Amira bercanda.Amira tersenyum membaca pesan Martha. "Sepertinya Martha orang yang supel, enak diajak berteman," gumam Amira.
Amira menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia menangis dibalik bantal. Pikirannya masih tak percaya kalau suaminya ada main dengan perempuan lain dibelakangnya. Setiap kata-kata yang ia baca tadi, baginya ibarat sebuah pedang yang menghunus tajam dan membuat perih hatinya seperti disayat-sayat. "Berarti selama ini mas Herman hanya bersandiwara didepanku? setiap kata dan perilaku manisnya hanya untuk menutupi kebohongannya belaka," Pikirannya melayang-layang. Menikmati setiap rasa sakit yang kini tengah ia rasakan. "Apa salahku? Apa kurangku mas," Amira menangis semakin menjadi jadi. "Sejak kapan mas Herman begitu dibelakangku? Lirihnya dalam hati."Siapa sebenarnya wanita bernama Adinda itu? apa aku harus menanyakan langsung pada mas Herman, atau aku cari tahu sendiri?" Amira bermonolog. Seribu pertanyaan berputar-putar didalam otaknya. Ada sesak yang tak bisa ia tahan dalam dadanya. Ada rasa
Setelah semua masakannya selesai, Amira kembali ke kamar dan membangunkan suaminya."Mas bangunlah, sudah siang," Amira menggoyangkan sedikit tubuh Herman, yang nampak kelelahan. Ternyata tak susah untuk membangunkannya, karena dengan begitu saja Herman langsung terbangun. "Makasi sayang, aku langsung mandi ya," ucap Herman mencoba meraih kepala Amira, namun seketika Amira menepis dengan cepat tangan suaminya itu. Melihat penolakan halus yang Amira berikan, Herman merasa kikuk, tenggorokannya terasa kering, sehingga ia putuskan langsung menuju kamar mandi. Sedangkan Amira menyiapkan pakaian yang akan Herman pakai.Semarah apapun Amira pada suaminya, ia tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Tiba-tiba matanya kembali melihat ponsel Herman yang tergeletak bebas. Diambilnya ponsel itu, kemudian ia mulai menscroll semua panggilan dan pesan di wa nya. Benar saja, seperti dugaann
Suasana dikamar mereka sekarang seperti didalam neraka. Hawanya terasa sangat panas. Bahkan Ac yang menyala pun tak mampu mendinginkan keadaan. Herman yang masih bersimpuh dihadapan Amira takberkutik sedikitpun. Ia terus duduk dengan badan gemetar. Begitupun dengan Amira, ia tak luluh sama sekali sepertinya pengkhianatan Herman membuat luka yang amat dalam sehingga sangat sulit untuk Amira menerima kenyataan ini. Saat suasana menjadi hening, tiba-tiba ponsel Amira berdering. Amira hanya mendiamkannnya. Ia sama sekali tidak tertarik mengambil ponselnya Pikirannya sedang sangat buruk saat ini. Namun karena ponselnya terus berdering tanpa henti, akhirnya ia pergi meninggalkan Herman yang duduk terpaku didepannya dan mengambil ponsel miliknya. "Iya Martha ada apa?" tanya Amira lemas."Haii kamu kenapa lemes gitu Mira? Kamu gak lagi sakit kan?"Tanya M
"Deggg........" seketika jantung Amira seperti meledak. Tubuhnya mendadak kaku. Matanya membelalak bulat. Sangat tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari mulut Martha.Seperti petir disiang bolong yang menyambarnya, suhu tubuhnya panas dingin seketika. Kemudian ia menunduk dan airmata yang ditahannya dari tadi, akhirnya jatuh juga."Apa benar Martha?" dengan suara pelan Amira merespon cerita Martha."Seperti apa perawakannya? tanya Amira lagi. Sebenarnya hatinya sakit mendengar ini, tapi ia ingin mendengar lebih banyak cerita tentang wanita yang sudah menghancurkan rumah tangganya itu. Ditambah lagi, hal yang sangat mengejutkan yang ia dengar barusan, benar-benar memukul jiwanya. Bagaimana bisa suaminya dengan wanita itu, sedangkan ia berpamitan pulang dan meninggalkannya sendirian di klinik? Jika itu memang benar adanya, berarti Herman lebih peduli pada perempuan simpanannya. Hatinya mengingkari semua itu, ia mencoba b
Bik Inah berjalan dengan cepat, karena sudah meninggalkan majikannya cukup lama. Ia selesai membeli makanan untuk Adinda.Adinda yang tak mau memakan makanan dari pihak Rumah sakit menyuruh Bik Inah membeli makanan lain diluar. Adinda baru tersadar dari tidurnya setelah diberi obat penenang tadi malam. Tubuhnya terasa sangat lemas, karena dari kemarin dia tak mau makan sama sekali. Sedikit demi sedikit ia mulai pulih. Memang pengaruh obat yang kemarin dia minum sudah tidak ada, kini tinggal mengembalikan mood Adinda karena Herman yang berniat meninggalkannya. Ia benar-benar tak bisa menerima kenyataan itu. Sehingga dia benar-benar terpuruk dan depresi. Beruntung ada bik Inah yang selalu setia menjaganya. Sampai akhirnya dia dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan penanganan seperti sampai sekarang ini. Saat melewati ruang IGD, tak sengaja bik Inah melihat Herman yang sedang duduk termenung sambil membu