Share

bab 7

“Iya kan benar apa kataku? Kamu kerjaannya Cuma ongkang – ongkang aja, mana bisa ngasilin duit,” ujar ibu mertuaku ketus. Lirikan mautnya selalu berhasil membuatku meremaskan tangan menahan kesal.

Aku hanya bisa mendengus saja jika sudah begini. Menghina dan merendahkan, apa tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan kepadaku? Kentara banget ibu mertuaku ini kalau memang tidak suka kepadaku.

“Ya sudah, ibu balik ke rumah dulu, urus anakmu dengan baik.” Akhirnya wanita paruh baya itu melangkahkan kaki meninggalkanku berpelukan dengan damai usai kepergiannya.

“Huft, sabar – sabar,” ucapku mengelus dada.

***

Malam menjelang, sudah lama kumenanti sejak Mas Marvin berangkat kerja pagi tadi. Sesuai janjinya, suamiku itu akan membawakan oleh – oleh yang kuidamkan. “Skincare”.  Sudah lama tak kubeli barang itu untuk sekedar merawat kulit wajahku yang semakin terasa kering ini.

Dan seperti biasanya, kuintip dari jendela kamar, Mas Marvin melangkahkan kaki menuju rumah kami dengan menenteng tas kerjanya. Terlihat wajahnya nampak berseri – seri, mungkin Mas Marvin tidak sabar memberi kejutan skincare itu untukku.

Seperti di film – film, suami sangat tidak sabar melihat istrinya jingkrak – jingkrak senang mendapatkan hadiah yang diberikan oleh sang suami.

“Mas!” panggilku saat Mas Marvin baru muncul di ruang tengah.

Aku memamerkan ringis terbaik menatapnya. Namun, Mas Marvin malah berubah ekspresi. Pria itu membuang nafas panjang, seolah usai melewati hari yang paling melelahkan.

“Kenapa? Udah tahu orang capek – capek pulang kerja malah cengar – cengir,” ujar Mas Marvin sewot.

Suamiku nyelonong memasuki kamarnya tanpa banyak berkata kepadaku. Padahal, sejak tadi aku menanti kalimat manis darinya sembari memberikan skincare titipanku kemarin.

“Mas udah makan?” tanyaku bermanis kata.

Mar Marvin menatapku dengan malas sambil melucuti dasi dan juga kemeja kerjanya.

“Kenapa? Aku belum makan, ambilin aku makan,” suruhnya kemudian.

Bahuku melorot, ekspektasiku lagi – lagi tak kesampeian.

Kukira Mas Marvin akan berlaku so sweet seperti awal – awal kami menikah saat hendak memberi sesuatu kepadaku, nyatanya dia sudah berubah. Entah karena apa, mungkin terlalu Lelah seharian bekerja.

Segera kuambilkan makan malam untuk Mas Marvin dan menyajikannya di meja makan, kebetulan suamiku itu sudah berganti baju dan asyik emmainkan ponselnya di sana.

“Serius banget mas, lihatin apa sih?” tanyaku sok asyik berharap Mas Marvin mengajakku ngobrol santai dan teringat dengan barang titipanku.

Mas Marvin hanya menatapku datar dan kembali sibuk dengan ponselnya. Kemudian suamiku bangkit ke dapur dan membuka tudung saji di atas meja makan, wajahnya semakin kusut saja.

“Ya ampun dek, masak menunya sama kayak pagi tadi sih!” keluhnya saat melirik sepiring nasi yang kusajikan. Ekspresinya terlihat bete dan aku hanya bisa diam jika dia sudah ngambek nggak jelas seperti ini.

“Kan ini pengiritan mas, kemarin Furika udah bilang ke mas, kalau uang dapur adek nggak cukup buat belanja banyak – banyak,” ujarku membela diri.

Mas Marvin menatapku sinis dan terpaksa meraih sendok dan menyuapkan nasi ke mulut dengan wajah tersungut. Seolah aku benar – benar sangat salah sudah menyajikan makanan yang sama seperti menu pagi tadi.

“Mas,” panggilku di sela – sela Mas Marvin menikmati makan malamnya,

Mas Marvin hanya melirikku sinis dan melanjutkan aksi mkanannya. Seolah kentara sekali, ngobrol denganku sudah bukan lagi hal menyenangkan.

“Hem.”

“Mas lupa sesuatu kayaknya,” kucoba memancing Mas Marvin barangkali beneran lupa memberikan barang titipanku tadi pagi.

“Lupa apa sih dek! Nggak tahu orang lagi makan malah diajak ngobrol.”

Mas Marvin masih saja pasang muka bete nggak jelas, bawaannya pengen marah dan ngambek kepadaku. Padahal, aku sendiri merasa tidak melakukan kesalahan. Kenapa suami semakin aneh!

“Mas kan tadi janji mau beliin skincare adek, mana?” dan akhirnya aku beranikan menodong janji kepada Mas Marvin. Dasar suami nggak peka.

Mas Marvin menghela nafas dengan muka malas, ia meletakkan sendok pada piring dan bangkit. Hatiku terjingkat melihat tunduknya suamiku yang langsung mengambil barang titipan yang kumau.

Akhirnya, setelah sekian lama nggak pakai skincare, sekarang bisa dibelikan sama mas bojo. Hatiku riang gembira sekarang.

“Ini dek,” ucapnya menyerahkan plastic kecil berwarna merah marun kepadaku.

Segera kuraih tas kecil itu dan buru – buru kubuka. Di kepalaku isinya hanya tebak 0 tebakan kira – kira produk kosmetik apa yang suamiku belikan kepadaku.

Namun.

Jeng.. jeng…

“Mas? Lips tick? Merah banget warnanya?” wajahku langsung layu setelah membuka isi plastic itu.

Selalu tak sepadan dengan yang kuduga. Produk skincare yang kuidamkan, ternyata tak bisa kumiliki juga sekarang. Mas Marvin malah belikan aku lipstick warna merah menyala.

“Pasti kalau dipakai bakal dikira orang habis makan darah ayam mas!” rengekku kesal.

“Terus? Kenapa segelnya udah kebuka? Ini lipstick bekas mas?”

“Furika! Berisik banget sih! Nggak bersukur banget jadi istri, udah dibeliin masih aja cerewet!”

Mas Marvin tidak mengindahkan aksi protesku sama sekali. Tidak ada tampang merasa bersalah sedikit pun karena melihatku kecewa. Malah balik marah dan marah lagi.

Salah ya kalau istri minta skincare ke suami?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status