“Iya kan benar apa kataku? Kamu kerjaannya Cuma ongkang – ongkang aja, mana bisa ngasilin duit,” ujar ibu mertuaku ketus. Lirikan mautnya selalu berhasil membuatku meremaskan tangan menahan kesal.
Aku hanya bisa mendengus saja jika sudah begini. Menghina dan merendahkan, apa tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan kepadaku? Kentara banget ibu mertuaku ini kalau memang tidak suka kepadaku.“Ya sudah, ibu balik ke rumah dulu, urus anakmu dengan baik.” Akhirnya wanita paruh baya itu melangkahkan kaki meninggalkanku berpelukan dengan damai usai kepergiannya.“Huft, sabar – sabar,” ucapku mengelus dada.***Malam menjelang, sudah lama kumenanti sejak Mas Marvin berangkat kerja pagi tadi. Sesuai janjinya, suamiku itu akan membawakan oleh – oleh yang kuidamkan. “Skincare”. Sudah lama tak kubeli barang itu untuk sekedar merawat kulit wajahku yang semakin terasa kering ini.Dan seperti biasanya, kuintip dari jendela kamar, Mas Marvin melangkahkan kaki menuju rumah kami dengan menenteng tas kerjanya. Terlihat wajahnya nampak berseri – seri, mungkin Mas Marvin tidak sabar memberi kejutan skincare itu untukku.Seperti di film – film, suami sangat tidak sabar melihat istrinya jingkrak – jingkrak senang mendapatkan hadiah yang diberikan oleh sang suami.“Mas!” panggilku saat Mas Marvin baru muncul di ruang tengah.Aku memamerkan ringis terbaik menatapnya. Namun, Mas Marvin malah berubah ekspresi. Pria itu membuang nafas panjang, seolah usai melewati hari yang paling melelahkan.“Kenapa? Udah tahu orang capek – capek pulang kerja malah cengar – cengir,” ujar Mas Marvin sewot.Suamiku nyelonong memasuki kamarnya tanpa banyak berkata kepadaku. Padahal, sejak tadi aku menanti kalimat manis darinya sembari memberikan skincare titipanku kemarin.“Mas udah makan?” tanyaku bermanis kata.Mar Marvin menatapku dengan malas sambil melucuti dasi dan juga kemeja kerjanya.“Kenapa? Aku belum makan, ambilin aku makan,” suruhnya kemudian.Bahuku melorot, ekspektasiku lagi – lagi tak kesampeian.Kukira Mas Marvin akan berlaku so sweet seperti awal – awal kami menikah saat hendak memberi sesuatu kepadaku, nyatanya dia sudah berubah. Entah karena apa, mungkin terlalu Lelah seharian bekerja.Segera kuambilkan makan malam untuk Mas Marvin dan menyajikannya di meja makan, kebetulan suamiku itu sudah berganti baju dan asyik emmainkan ponselnya di sana.“Serius banget mas, lihatin apa sih?” tanyaku sok asyik berharap Mas Marvin mengajakku ngobrol santai dan teringat dengan barang titipanku.Mas Marvin hanya menatapku datar dan kembali sibuk dengan ponselnya. Kemudian suamiku bangkit ke dapur dan membuka tudung saji di atas meja makan, wajahnya semakin kusut saja.“Ya ampun dek, masak menunya sama kayak pagi tadi sih!” keluhnya saat melirik sepiring nasi yang kusajikan. Ekspresinya terlihat bete dan aku hanya bisa diam jika dia sudah ngambek nggak jelas seperti ini.“Kan ini pengiritan mas, kemarin Furika udah bilang ke mas, kalau uang dapur adek nggak cukup buat belanja banyak – banyak,” ujarku membela diri.Mas Marvin menatapku sinis dan terpaksa meraih sendok dan menyuapkan nasi ke mulut dengan wajah tersungut. Seolah aku benar – benar sangat salah sudah menyajikan makanan yang sama seperti menu pagi tadi.“Mas,” panggilku di sela – sela Mas Marvin menikmati makan malamnya,Mas Marvin hanya melirikku sinis dan melanjutkan aksi mkanannya. Seolah kentara sekali, ngobrol denganku sudah bukan lagi hal menyenangkan.“Hem.”“Mas lupa sesuatu kayaknya,” kucoba memancing Mas Marvin barangkali beneran lupa memberikan barang titipanku tadi pagi.“Lupa apa sih dek! Nggak tahu orang lagi makan malah diajak ngobrol.”Mas Marvin masih saja pasang muka bete nggak jelas, bawaannya pengen marah dan ngambek kepadaku. Padahal, aku sendiri merasa tidak melakukan kesalahan. Kenapa suami semakin aneh!“Mas kan tadi janji mau beliin skincare adek, mana?” dan akhirnya aku beranikan menodong janji kepada Mas Marvin. Dasar suami nggak peka.Mas Marvin menghela nafas dengan muka malas, ia meletakkan sendok pada piring dan bangkit. Hatiku terjingkat melihat tunduknya suamiku yang langsung mengambil barang titipan yang kumau.Akhirnya, setelah sekian lama nggak pakai skincare, sekarang bisa dibelikan sama mas bojo. Hatiku riang gembira sekarang.“Ini dek,” ucapnya menyerahkan plastic kecil berwarna merah marun kepadaku.Segera kuraih tas kecil itu dan buru – buru kubuka. Di kepalaku isinya hanya tebak 0 tebakan kira – kira produk kosmetik apa yang suamiku belikan kepadaku.Namun.Jeng.. jeng…“Mas? Lips tick? Merah banget warnanya?” wajahku langsung layu setelah membuka isi plastic itu.Selalu tak sepadan dengan yang kuduga. Produk skincare yang kuidamkan, ternyata tak bisa kumiliki juga sekarang. Mas Marvin malah belikan aku lipstick warna merah menyala.“Pasti kalau dipakai bakal dikira orang habis makan darah ayam mas!” rengekku kesal.“Terus? Kenapa segelnya udah kebuka? Ini lipstick bekas mas?”“Furika! Berisik banget sih! Nggak bersukur banget jadi istri, udah dibeliin masih aja cerewet!”Mas Marvin tidak mengindahkan aksi protesku sama sekali. Tidak ada tampang merasa bersalah sedikit pun karena melihatku kecewa. Malah balik marah dan marah lagi.Salah ya kalau istri minta skincare ke suami?Andaikan aku masih bekerja, aku tidak akan minta – minta seperti ini kepada suamiku. Apalagi hanya sekedar membeli skincare dan kosmetik. Borong setoko pun aku bisa membelinya. Sejak semalam, hatiku masih dirundung kesal dan nelangsa. Gini banget jadi ibu rumah tangga. Yang tidak pernah dihargai, selalu dituntut dan selalu disalahkan.Ruang gerakku hanya sebatas di rumah saja, mengurus anak tanpa ada yang menggantikan, mengurus keperluan rumah tanpa boleh ada yang salah, dan selalu kekurangan uang karena tidak bisa mencari pemasukan sendiri.“Furika! Kamu ngapain bengong, ayo ke rumah ibu, ada tamu!”Ibu mertuaku memanggilku dengan nada terburu – buru.“Tapi anakku bu?”“Anakmu kan tidur, tinggal saja bentar!” ocehnya memaksa.“Nggak bisa bu, kasihan sendirian di rumah, kalua anaknya bangun terus nangis gimana?” protesku berusaha membela diri.Mana tega aku meninggalkan bayi kecilku sendirian di rumah. Bukannya aku lebay ya!“Halah, alasan! Cepet gendong anakmu, buatkan minuman tamuk
“sudah jam setengah sepuluh malam, tapi mas belum pulang, perutku lapar sekali.”Aku hanya bisa merintih menahan lapar sambal mengelus perutku yang semakin terasa perih saja. Mungkin asam lambungku naik sebab terlalu sering telat makan dan kuabaikan begitu saja. Rasanya pengen mual dan kepala kliyengan.Anakku sudah tidur pulas sejak sore tadi, sementara aku tidak bisa tidur karena perutku yang terus menjerit keroncongan. Sementara di rumah tidak ada makanan sama sekali.Penantianku akhirnya tidak sampai lama. Mas Marvin dan ibu mertua akhirnya sudah pulang. Dari luar terdengar sebuah mobil terparkir di teras samping, dan aku yakin itu adalah mobil Giandra yang mengantarkan ibu mertua, mas marvin dan kakak ipar usai acara makan – makan di restoran.Iya. Makan – makan! Mereka enak – enakan menikmati makan enak tanpa mengajakku. Dengan alasan, anakku masih bayi dan tidak boleh di bawa ke mana – mana.Begitu nelangsanya aku menyaksikan mereka dari balik jendela kamar, namun apa boleh bua
"Dulu ibu bisa mengurus tiga anak sekaligus padahal jadi janda, sedangkan kamu mengurus satu anak saja nggak becus!"Lontaran kalimat pedas itu kembali menyembur dari mulut ibu mertua. Bukannya menguatkan aku yang benar - benar rapuh karena buah hatiku terkapar dengan selang infus, tak hentinya wanita tua itu terus menyalahkanku."Istrimu memang nggak becus Marvin, untung saja Aghis tidak parah.""Jika ibu kemari hanya untuk marah - marah teriak -teriak saja, lebih baik pulang," ucapku sedikit memberanikan diri."Kamu ngusir ibumu? Lihatlah Marvin, istrimu makin hari makin kurang ajar. Tak tahu terima kasih dijenguk malah mengusirku.""Furika, tolonglah jangan memancing keributan," sahut Mas Marvin yang meraih pundak ibu dan mangusapnya.Bukannya menenangkanku, mas Marvin lagi - lagi berpihak kepada mak lampir."Biaya rumah sakit kan mahal, kamu mampu bayar semua?" Sentak ibu lagi sambil melengos.Aku tak berkomentar memilih meninggalkan suami dan ibu mertua di luar ruangan dan meneng
"Kenapa mas Marvin menikah lagi? Apa kurangku mas? Kenapa nggak kita bicarakan dulu?"Seperti dugaanku, Isyani Giandra adalah wanita yang akan menjadi istri kedua suamiku. Isyani beserta keluarga sudah datang di rumah kami, sementara penghulu masih dalam perjalanan.Isyani memutuskan melangsungkan akad nikah di rumah mas Marvin dan seminggu kemudian diboyong ke kota untuk resepsi di rumah orangtuanya. Begitu adat di sini.Mas Marvin hanya memandangku dengan muka tak nafsu, malah sibuk menata kerah baju.Padahal sejak tadi aku menangis maraung - raung, namun tak diindahkan."Mas jawab pertanyaanku!" Sedikit kutinggikan suaraku karena aku semakin gemas.Ingin sekali aku mengacak - ngacak muka pria tak tahu malu sepertinya, sayangnya gerakku terbatas karena sedang menggendong Aghis."Apaan sih dek, berisik tauk!""Apa katamu berisik? Kamu mau aku berteriak lebih kencang lagi?" ancamku sambil terisak."Furika! Ini bukan hutan, pelankan suaramu!" Ibu mertua memasuki kamar tanpa diundang, l
"Apa?""Aku ingin mengajarimu menjadi istri yang baik, biar mas Marvin makin cinta sama kamu.""Maksudnya mbak?"Kuseret Isyani yang kebetulan tengah bangkit berdiri dari meja makan. Wanita itu begitu pasrah saat kutarik tangannya.Kemudian, kami memasuki kamar mas Marvin. Isyani nampak kebingungan dengan tingkahku."Masukkan dompet, hp dan buku catatan ke dalam tas ini."Suruhku menyodorkan tas berwarna coklat kepada Isyani. Wanita itu manut aja tanpa keberatan."Cek apa ada barang penting yang belum masuk di tas kerja mas Marvin, kalau sudah. Bawa dasi, jaket, kaus kaki dan sepati serta tas ini ke ruang tengah. Kasihkan ke mas Marvin.""Cuma gini aja mbak?""Tidak, masih banyak hal -hal yang bisa bikin mas Marvin tambah cuinta sama kamu, ntar mbak ajarin.""Ribet banget mau kerja barang mas banyak banget sih," keluh Isyani sambil memunguti barang - barang yang kumaksud."Nggak papa ribet, nanti lama - lama akan terbiasa kok sayang, makasih yah sudah merawat mas." Mas Marvin menyungg
"Benar - benar kelewatan Marvin, sudah menelantarkanmu menduakanmu juga? Astaga, manusia berhati jahat ternyata."Terlihat wajah marah Irzam setelah mendengsrkan panjang ceritaku. Ah, kenapa dia yang emosi ya? Aku jadi heran."Kamu jangan diam saja Furi, mendingan kamu balas dia, bikin dia menyesal.""Makannya, aku ingin kerja dan buktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa uluran tangannya, aku lelah ibunya terus merendahkanku seolah aku hanya beban untuk anaknya.""Oke, aku ada bisnis yang bisa kamu jalankan, kebetulan aku biuh tim marketing, kalau kamu berhadil 80% keuntungan bisa kamu ambil.""80% itu banyak Irzam, kebanyakan!""Nggak masalah, kalau perlu bikin mereka bersujud kepadamu lagi," ujar Irzham tersenyum jahat, namun akupun mengikuti tingkahnya."Iya, benar katamu.""Oke kita bahas di telepon saja, dan sembunyikan pekerjaanmu dari suami dan keluarganya sampaii waktu yang telat bisa kamu tunjukan..""Lah? emang kenapa harus disembunyiin? bukannya aku harus tunjukan kala
" Apa syaratnya?"Bukannya langsung menjawab pertanyaanku, Irzam malah memandangku genit dengan mengedipkan sebelah matanya. Sehat tidak nih orang?"Irzham! kok malah gitu ih, nggak jelas," proteskuIrzham tertawa melihat gelagatku yang tak nyaman karena sikapnya. "Iya - iya, maaf Furi. Aku cuma bercanda.""Aku akan beri kamu bonus kalau kamu mau memenuhi syarat dariku.""Ih, to the point kan bisa Zam! malah bikin penasaran!" protesku" kamu lucu pas marah.""Jadi syaratnya, kamu bakal dapat bonus semakin banyak kalau kamu berhasil jual produkku 2x lipat dari ini.""Hemm, itu mah bukan bonus Zam!" lirikku kesal. Menurutku yang namanya bonus tuh ngasih banyak tanpa banyak embel - embel syarat. Sementara, syarat yang diajukan Irzam sedikit memberatkan untukku."Jadi gimana? merasa tertantang nggak tuh?" ucapnya menanting. Karena aku paling suka tantangan, akhirnya tanpa berpikir panjang kujawab."Ehm, boleh dicoba.""Aku suka gayamu Furi! Kamu selalu percaya diri dan optimis. Oke seman
"Apa benar kata Isyani kamu nggak mau masak hari in?""Iya mas, kenapa?" jawabku sekenanya. Sepertinya pelan - pelan memang harus sedikit kutunjukan taringku kepada Mas Marvin dan Isyani serta ibu mertua, biar mereka nggak seenaknya kepadaku."Iya? berani - beraninya kamu jawab aku sesantai itu."Mas Marvin sangat kaget melihat caraku menjawab pertanyaannya. Seumur - umur aku tidak pernah erani kepadanya, aku selalu menurut bahkan terkesan takut saat melihat wajah marahnya."Lah? emang salah mas?" tanyaku tertawa miring. Mas Marvin semakin kesal melihat mukaku dan merasa kuejek."Furika - Furika, kuamat - amati akhir - akhir ini kamu mulai belagu, susah di suruh dan males ngerjain pekerjaan rumah, kamu kira aku menikahi Isyani untuk dijadikan pembantu untukmu? hah?" ucapnya dengan suara ditinggikan.Pulang - pulang kerja nggak bikin rumah tambah tenang, malah memancing keributan. Hemm, bagaimana sih suamiku ini?"Apaan sih mas ngomel - ngomel terus, kasihan Aghis dia baru aja tidur.""