Akhirnya Aku mengalah, memaksakan diri duduk di samping pria yang aku tahu menyimpan perasaan padaku. Sepanjang perjalanan Joan sibuk mengajak bicara pada Kayla. Gayung bersambut, Kayla yang memang sangat rindu perhatian seorang Ayah, akhirnya seperti menemukan sosok yang dia inginkan. Aku pun pasrah, menjadi pendengar mereka berdua. Tiba di sebuah cafe yang menjadi tempat teman-temanku berkumpul, aku disambut meriah terutama oleh teman-teman perempuan yang hadir beberapa orang. Sepanjang kami lulus, memang aku jarang bertemu dengan mereka. Apalagi setelah aku menikah dengan Mas Riko, aku sama sekali tidak diizinkan untuk bertemu dengan teman-teman SMA-ku. "Ya ampun Lis, aku kangen banget," seru Meti yang langsung berhambur ke memelukku. "Jadi sekarang kamu tinggal di sini?" tanya Sheila setelah aku melepas pelukan Meti dan beralih padanya."Aku ada pekerjaan di sini, jadinya kemungkinan akan sering ke sini." Terpaksa aku berbohong untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan berikutnya
Selepas menerima telepon, Joan terlihat bingung. Berkali-kali ia melirik padaku lalu pada teman-teman. Sebentar kemudian dia melihat ponselnya. Aku yakin yang barusan menelepon adalah Bu Anita. Dari sejak kami bertemu di butik waktu itu, memang Bu Anita sudah nampak tidak senang padaku. Terlebih setelah mengetahui aku sudah punya anak, dia langsung mengajak Joan pulang.Padahal aku juga cukup tau diri, meskipun Joan menaruh rasa padaku tapi aku tidak akan segampang itu menerima cinta Joan dalam keadaanku seperti ini. Apalagi statusku masih istri orang, sebelum sidang pengadilan agama memutuskan bahwa aku sudah bercerai dengan mas Riko aku juga tidak akan menjalin hubungan dengan pria mana pun. Setelah itu pun rasanya aku tidak akan mudah memulai hubungan lantaran masih ada trauma. Pernikahanku dengan Mas Riko menyisakan trauma yang mendalam. Meskipun tidak semua laki-laki sama. Saat ini aku hanya ingin fokus pada butik dan Kayla. Aku ingin membuktikan pada Mas Riko, bahwa hidup tanpa
"Saya tahu, orang seperti Bu Anita itu tipe-tipe wanita yang gila pujian dan biasanya mereka itu sangat mudah disogok. Soalnya, kalau Bu Anita belanja itu senangnya dipuji. Makanya saya selalu bilang baju yang dia pilih itu cocok dan membuatnya semakin cantik juga awet muda. Ini rahasianya lho, kenapa Bu Anita selalu memborong di sini." Guna tertawa lucu sambil menutup mulutnya.Mendengar penuturan Gina, aku langsung tertawa. Rupanya selama ini Gina pandai mengambil hati pelanggan terutama Bu Anita."Berarti kamu pernah berbohong, dong, sama pelanggan.""Pernah. Saya bilang, warnanya kurang cocok dan Bu Anita marah-marah. Kata dia, saya itu tidak bisa menghargai pilihan orang lain. Ya sudah, besoknya lagi saya tidak pernah membantah, selalu bilang iya dan bagus."Kadang orang memang seperti itu, ia memaksakan sempurna di mata orang lain. Tanpa ingat bahwa semua orang punya pendapat yang berbeda. Mendengar cerita Gina mengenai Bu Anita, aku jadi berpikir. Kenapa karakter Joan tidak sep
Pertanyaan macam apa itu? Aku melempar pandang, merasa kalau Joan tengah mengintrogasi."Sebenarnya ini bukan urusanmu. Tapi oke, aku kasih tahu. Sekarang kamu coba pikirkan apa seseorang yang masih sayang itu akan pergi dan memilih meninggalkan semuanya?"Aku menatap wajah Joan yang berubah menjadi gugup"Ah ya, eum ... maksudku bukan seperti itu. Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, El. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja dan pastinya tidak rela kalau kamu terus-terusan disakiti.""Terima kasih atas perhatiannya, tapi kamu tidak usah khawatir. Aku sudah mengambil keputusan ini dan berarti sudah siap menjalani hidup sendirian.""Aku minta maaf jika aku terlalu bersemangat." Jo menatap penuh penyesalan."Apa ada yang ingin kamu sampaikan lagi, Jo?""Sepertinya tidak ada, memangnya kenapa?""Kalau begitu, aku permisi dulu. Aku khawatir Kayla bangun.""Tapi makannya?" Joan menunjuk makanan yang masih banyak tersisa."Jo, aku tidak bisa makan dengan tenang kalau Kayla jauh
"Langsung aja ya, Mas, aku nggak punya banyak waktu. Ada perlu apa Mas Riko sampai mencariku jauh-jauh ke sini?""Yang jelas bukan karena kangen sama Mbak Lisa, jangan geer, ya." Bukannya Mas Riko yang menjawab tapi malah wanita itu yang mendahului dengan mencibirku."Lagian siapa juga yang mau dikangenin sama dia. meskipun Mas Riko saat ini masih berstatus sebagai suamiku, tapi aku sudah tidak punya perasaan." Aku menjawab ucapan Alin dengan tenang."Sudahlah, Sayang. Jangan memperkeruh suasana. Aku bilang juga tadi apa, kalau kamu mau ikut kamu jangan macam-macam." Mas Riko melirik Alin, rasanya aku ingin mengeluarkan isi perutku melihat tatapan keduanya."Kamu yang memancingku datang untuk ke sini, Lis. Aku sudah teleponin kamu tapi ponselnya tidak aktif-aktif. Kalau kamu ganti nomor kenapa tidak memberitahuku?" "Apa urusannya kalau aku gak ngasih tahu Mas Riko, nanti ada yang cemburu. Di antara kita sudah tidak ada keperluan lagi, hubungan rumah tangga kita juga sebentar lagi akan
Pov RikoTernyata Lisa bukan karyawan di butik itu, melainkan ownernya. Kenapa dulu aku tidak mempertanyakannya sewaktu kami masih pacaran. Memang dulu kami hanya kenal selama satu bulan sebelum memutuskan untuk menikah. Waktu itu kutahu Lisa adalah gadis yatim piatu yang tinggal bersama kakak sepupunya, Mbak Tika. Itu sebabnya dia memintaku untuk segera melamarnya. Tanpa pikir panjang aku pun melamarnya lalu kami pun menikah. Namun sialnya aku tidak sempat bertanya tentang butik itu sebab Lisa tidak pernah bercerita kalau dia adalah pewaris tunggal usaha itu. Kenapa juga aku harus menegaskan, bahwa aku tidak suka wanita bekerja dan berpenghasilan. Dulu, semata-mata itu kulakukan supaya aku lebih mudah mengatur hidup Lisa. Sebab jika Lisa tidak berpenghasilan maka hidupnya akan tergantung padaku dan ia tidak mungkin macam-macam. Walau bagaimana aku butuh seorang Ibu dan istri yang bisa mengurus rumah dan anakku. Tapi kenyataannya berkata lain, Lisa ternyata punya usaha sendiri tanpa
Alin bangkit sambil menarik tanganku, mau tidak mau aku pun harus berdiri. Tidak enak kalau berlaku seperti anak kecil di depan Lisa. Kulirik Lisa sedang memijit pelipisnya, meski tanpa kata, aku tahu bagaimana penilaian Lisa terhadap Alin."Aku pulang dulu, Lis, dan aku harap kamu berpikir ulang tentang gugatan cerai itu.""Mas!!"Tanpa diduga Alin mencubit tanganku hingga aku meringis."Kalau sudah tidak ada keperluan lagi, silakan." Lisa ikut berdiri lalu menunjuk ke arah pintu keluar menuju tangga.Di sini perbedaan keduanya, jelas terlihat Lisa bersikap tenang dan berwibawa. Sementara Alin begitu kekanakan dan tidak bisa menahan emosi. Ya Tuhan, ternyata cantik saja tidak cukup untuk menyenangkan hati.Alin berjalan tergesa-gesa sambil menarik tanganku. Aku sudah mirip anak TK yang dipaksa pulang oleh Ibunya. Berkali-kali aku mencoba menarik tangan untuk melepaskan diri dari cengkraman Alin, namun semakin ditarik wanita itu semakin kuat mencengkram pergelangan tanganku. Sampai di
Pov LisaKedatangan Mas Riko memang benar untuk mempertanyakan tentang beberapa tagihan di rumah. Menurutku, dia tidak seharusnya sampai se-repot itu. Apalagi datang menemuiku untuk urusan yang tidak penting lagi bagiku. Seharusnya Mas Riko bertanggung jawab, pasalnya dia kepala rumah tangga di rumahnya.Apa itu alasannya saja supaya bisa bertemu denganku. Kalau benar seperti itu, kok, aku merasa lucu. Apalagi kedatangannya bersama Alin. Wanita itu seakan tidak mau jauh barang sebentar pun. Takut kalau Mas Riko kuambil alih lagi? Tidak ada kata balikan bagiku, apalagi bobroknya pria itu sudah diketahui. Mas Riko kaget ketika aku memberitahu bahwa gugatan cerai sudah kuajukan. Sepertinya ia tidak rela menceraikan aku. Serakah sekali kamu, Mas. Dulu dia mengabaikan aku karena Alin, dan sekarang dia malah tidak ingin berpisah. Mas Riko berusaha menahanku dengan alasan Kayla. Kenapa baru sekarang dia memikirkan Kayla, padahal dulu waktu dia berselingkuh dengan Alin, aku yakin Mas Riko sam