Share

6. Kecebur Got

Pov Riko

[Di mana kamu sembunyikan kunci semua kamar di rumah ini?! Kamu jangan macam-macam, ya, Lis. Ini rumahku, hasil dari keringatku. Kamu tidak berhak satu persen pun atas rumah ini, ingat itu!]

Terkirim.

Kita liat saja, Lisa. Apa yang bisa kamu lakukan tanpa aku?

"Bagaimana, Sayang?" tanya Alin sambil mendekat dan meraih tanganku.

"Wanita itu tidak mau mengangkat teleponku!"

"Mungkin sedang sibuk mengurus Kayla atau bisa jadi sedang di jalan, jadi nada deringnya tidak kedengaran."

Aku tahu Alin sedang berusaha membuatku tenang, tapi dalam keadaan emosi seperti ini, mendengar Alin berkata seperti itu aku jadi tambah emosi.

"Jadi kamu membela Lisa?"

"Loh, Mas, bukannya aku membela Mbak Lisa, tapi itu bisa saja terjadi 'kan?"

Aku membuang nafas kasar lalu mencoba sekali lagi menghubungi ponsel Lisa. Akan tetapi seperti tadi, wanita itu tidak menerima teleponku. Lalu saking kesalnya aku pun kembali mengirim pesan.

[Aku tahu kamu cemburu, Lis. Tapi bukan begini caranya. Kamu tahu enggak, dengan cara seperti ini aku makin ilfeel sama kamu!]

Terkirim.

"Lebih baik kita kembali lagi ke kantor, Mas. Soal kunci, nanti kita bisa pikirkan lagi." Alin mengusap dadaku membuatku menoleh dan mendapati wajah cantiknya tengah tersenyum.

Ucapan Alin ada benarnya juga, maka tanpa berkata apapun aku mendahului Alin berjalan menuju pintu.

"Sayang, tungguin, dong. Kok, aku ditinggal?" Suara manja Alin menghentikan langkahku. Tanpa menoleh aku pun menunggu wanita itu hingga sampai disampingku dan tangannya langsung menggamitku, kemudian kami berjalan bersisian keluar dari rumah dan memasuki mobil.

"Bukain, dong .... "

Setelah kau meninggalkan Alin di sisi pintu sebelah kiri aku segera berjalan mengitari mobil bermaksud untuk masuk dari arah lainnya. Namun suara Alin barusan membuatku kembali menghentikan langkah dan kembali pada posisi di mana wanita itu berada, lalu membukakan pintu agar Alin bisa masuk.

Padahal ini tidak pernah aku lakukan pada Lisa. Wanita itu selalu kerepotan membukakan pintu sambil menggendong Kayla, putri kami. Sekalipun dia tidak pernah merengek minta dibukakan pintu. Tapi aku harus ingat, bahwa Alin lebih menarik dari Lisa, pantas saja kalau aku memperlakukannya sedikit lebih baik.

Hingga kami sampai di kantor dan hampir saja terlambat, pikiranku masih terasa kacau. Kalau sampai pulang kantor nanti pintu itu belum bisa terbuka, terpaksa aku harus pulang ke apartemen Alin. Di sana memang ada beberapa baju kantorku, juga baju untuk bersantai. Tapi sebagian besar barang-barangku ada di kamar yang terkunci itu.

Dan ternyata benar, hingga aku pulang dari kantor pun, Lisa belum juga membalas pesan. Sebenarnya ke mana wanita itu? Atau jangan-jangan dia juga asik dengan pria lain? Ah, sudahlah, memangnya pria mana yang mau dengan wanita bulukan seperti Lisa?

Akhirnya aku pulang ke apartemen Alin dan memakai baju seadanya.

"Sayang, aku capek, males masak. Kita pesan makanan aja, ya," ucap Alin manja. Setelah selesai membersihkan, wanita itu tampil dengan gaun yang hampir memperlihatkan keseluruhan lekuk tubuhnya. Coba saja dulu Lisa berani memakai gaun seperti ini, mungkin aku tidak akan berpaling pada Alin. Eh, tapi bukankah Lisa juga pernah meminta dibelikan gaun serupa, tapi aku menolaknya.

"Mas, coba deh, sekali-kali belikan aku baju seperti ini." Saat itu aku sedang berjalan-jalan di mall untuk sekedar mengajak Kayla mandi bola.

"Halah, mau kapan makenya. Kamu 'kan sibuk terus mengurus Kayla. Mana ada waktu untuk memakai baju seperti itu."

"Ya, kalau Kayla sudah tidur, dong."

"Sudahlah, jangan neko-neko! Jadi diri sendiri aja, pake daster seperti biasa."

Saat itu aku terang-terangan menolaknya, lantaran kulihat baju setipis itu, harganya kok selangit. Dan wanita lugu seperti Lisa, memakai baju seperti apapun tetap saja bulukan. Kenapa dulu tidak kuizinkan saja Lisa mencari pekerjaan, dengan begitu dia bisa cantik dan menarik tanpa harus capek-capek aku membiayainya. Dan aku terlambat menyadari itu, Lisa keburu punya anak dan jika dia bekerja pun malah akan semakin merepotkan, sebab Kayla tidak akan ada yang mengasuh.

"Mas, kok kamu enggak jawab, sih, kita mau pesan makanan atau mau makan di luar?"

"Kita pesan makanan saja, soalnya aku capek kalau harus pergi lagi." Akhirnya aku memberi keputusan supaya bisa memesan makanan secara online saja. Saat ini aku benar-benar capek terutama otakku yang masih memikirkan soal kunci kamar itu.

Sebenarnya sayang juga mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk membeli makanan. Padahal kalau dulu bersama Lisa aku masih bisa berhemat. Tapi ya sudahlah seharusnya aku tidak membanding-bandingkan Lisa dan Alin. Wanita yang ada di sampingku ini 'kan terawat, jadi setiap jengkal tubuhnya harus dijaga supaya tetap terlihat cantik dan menarik.

Sebelum aku terlelap, menyempatkan diri untuk melihat pesan yang tadi aku kirim pada Lisa. Wanita itu belum mau juga membalasnya padahal sudah terbaca sejak tadi. Ponsel Lisa hanya ada aplikasi W******p saja, dia tidak bermain media sosial lain. Lalu aku mencoba menghubunginya lagi, namun seperti yang sudah-sudah, Lisa tidak mau menerima teleponku. Sebenarnya apa yang diinginkan wanita itu, bukankah dia sendiri yang memilih pergi. Kenapa dia harus mempersulit aku. Aku sudah memberinya pilihan untuk bertahan asal mau berbagi dengan Alin, tapi secara tidak langsung dia menolak dengan memilih meninggalkanku.

Benar-benar sialan.

***

Esok harinya aku bangun hampir kesiangan, dengan tergesa-gesa berjalan ke kamar mandi. Sementara Alin masih terlelap. Keluar dari kamar mandi, wanita pujaanku ini belum juga mengubah posisi tidurnya hingga aku terpaksa membangunkannya.

"Jam berapa sih, Mas?"

"Ini sudah hampir jam 07.00, Sayang, kita harus segera pergi ke kantor."

"Oh ya, ampun. Kok, sudah siang, sih?"

Aku tak menjawab. Selesai memakai dasi bergegas kemeja pantry untuk membuatkan kopi dan mengoles roti untuk sarapan.

"Sayang, tolong buatkan sekalian. Aku 'kan harus bersiap-siap." Terdengar suara Alin dari dalam kamar. Tanpa menjawab, aku pun membuatkan sarapan untuk Alin. Padahal sebelumnya aku biasa dilayani. Ah, Alin dan Lisa memang berbeda.

Sambil menunggu Alin yang masih merias dirinya di kamar, aku menikmati roti selai sambil membuka ponsel. Ternyata Lisa sudah membalas pesan yang kukirim semalam.

[Maaf Mas, aku baru bales. Soalnya sibuk sekali mengurus pindahan dan beres-beres di tempat tinggal baru.]

Itu pesan pertama yang aku baca, membuatku mengangkat satu sudut bibir. Rupanya dia mau pamer kalau dia sudah punya tempat tinggal. Punya uang dari mana? Atau jangan-jangan hanya omong kosong, heh!

[Soal kunci itu, aku lupa, Mas. Karena terburu-buru dan terbiasa mengunci pintu sebelum pergi aku sampai lupa membawanya. Sepertinya terjatuh di halaman rumah atau mungkin di saluran air depan rumah waktu aku akan mengambil dompet. Soalnya kunci itu sudah tidak ada di tasku.]

Apa?! Jadi kuncinya kecebur got. Sialan, aku tidak percaya kalau Lisa tidak sengaja menjatuhkannya, ini pasti akal-akalan dia untuk mengerjaiku.

Bersambung

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status