Pov Riko
[Di mana kamu sembunyikan kunci semua kamar di rumah ini?! Kamu jangan macam-macam, ya, Lis. Ini rumahku, hasil dari keringatku. Kamu tidak berhak satu persen pun atas rumah ini, ingat itu!]Terkirim.Kita liat saja, Lisa. Apa yang bisa kamu lakukan tanpa aku?"Bagaimana, Sayang?" tanya Alin sambil mendekat dan meraih tanganku."Wanita itu tidak mau mengangkat teleponku!""Mungkin sedang sibuk mengurus Kayla atau bisa jadi sedang di jalan, jadi nada deringnya tidak kedengaran."Aku tahu Alin sedang berusaha membuatku tenang, tapi dalam keadaan emosi seperti ini, mendengar Alin berkata seperti itu aku jadi tambah emosi."Jadi kamu membela Lisa?""Loh, Mas, bukannya aku membela Mbak Lisa, tapi itu bisa saja terjadi 'kan?"Aku membuang nafas kasar lalu mencoba sekali lagi menghubungi ponsel Lisa. Akan tetapi seperti tadi, wanita itu tidak menerima teleponku. Lalu saking kesalnya aku pun kembali mengirim pesan.[Aku tahu kamu cemburu, Lis. Tapi bukan begini caranya. Kamu tahu enggak, dengan cara seperti ini aku makin ilfeel sama kamu!]Terkirim."Lebih baik kita kembali lagi ke kantor, Mas. Soal kunci, nanti kita bisa pikirkan lagi." Alin mengusap dadaku membuatku menoleh dan mendapati wajah cantiknya tengah tersenyum.Ucapan Alin ada benarnya juga, maka tanpa berkata apapun aku mendahului Alin berjalan menuju pintu."Sayang, tungguin, dong. Kok, aku ditinggal?" Suara manja Alin menghentikan langkahku. Tanpa menoleh aku pun menunggu wanita itu hingga sampai disampingku dan tangannya langsung menggamitku, kemudian kami berjalan bersisian keluar dari rumah dan memasuki mobil."Bukain, dong .... "Setelah kau meninggalkan Alin di sisi pintu sebelah kiri aku segera berjalan mengitari mobil bermaksud untuk masuk dari arah lainnya. Namun suara Alin barusan membuatku kembali menghentikan langkah dan kembali pada posisi di mana wanita itu berada, lalu membukakan pintu agar Alin bisa masuk.Padahal ini tidak pernah aku lakukan pada Lisa. Wanita itu selalu kerepotan membukakan pintu sambil menggendong Kayla, putri kami. Sekalipun dia tidak pernah merengek minta dibukakan pintu. Tapi aku harus ingat, bahwa Alin lebih menarik dari Lisa, pantas saja kalau aku memperlakukannya sedikit lebih baik.Hingga kami sampai di kantor dan hampir saja terlambat, pikiranku masih terasa kacau. Kalau sampai pulang kantor nanti pintu itu belum bisa terbuka, terpaksa aku harus pulang ke apartemen Alin. Di sana memang ada beberapa baju kantorku, juga baju untuk bersantai. Tapi sebagian besar barang-barangku ada di kamar yang terkunci itu.Dan ternyata benar, hingga aku pulang dari kantor pun, Lisa belum juga membalas pesan. Sebenarnya ke mana wanita itu? Atau jangan-jangan dia juga asik dengan pria lain? Ah, sudahlah, memangnya pria mana yang mau dengan wanita bulukan seperti Lisa?Akhirnya aku pulang ke apartemen Alin dan memakai baju seadanya."Sayang, aku capek, males masak. Kita pesan makanan aja, ya," ucap Alin manja. Setelah selesai membersihkan, wanita itu tampil dengan gaun yang hampir memperlihatkan keseluruhan lekuk tubuhnya. Coba saja dulu Lisa berani memakai gaun seperti ini, mungkin aku tidak akan berpaling pada Alin. Eh, tapi bukankah Lisa juga pernah meminta dibelikan gaun serupa, tapi aku menolaknya."Mas, coba deh, sekali-kali belikan aku baju seperti ini." Saat itu aku sedang berjalan-jalan di mall untuk sekedar mengajak Kayla mandi bola."Halah, mau kapan makenya. Kamu 'kan sibuk terus mengurus Kayla. Mana ada waktu untuk memakai baju seperti itu.""Ya, kalau Kayla sudah tidur, dong.""Sudahlah, jangan neko-neko! Jadi diri sendiri aja, pake daster seperti biasa."Saat itu aku terang-terangan menolaknya, lantaran kulihat baju setipis itu, harganya kok selangit. Dan wanita lugu seperti Lisa, memakai baju seperti apapun tetap saja bulukan. Kenapa dulu tidak kuizinkan saja Lisa mencari pekerjaan, dengan begitu dia bisa cantik dan menarik tanpa harus capek-capek aku membiayainya. Dan aku terlambat menyadari itu, Lisa keburu punya anak dan jika dia bekerja pun malah akan semakin merepotkan, sebab Kayla tidak akan ada yang mengasuh."Mas, kok kamu enggak jawab, sih, kita mau pesan makanan atau mau makan di luar?""Kita pesan makanan saja, soalnya aku capek kalau harus pergi lagi." Akhirnya aku memberi keputusan supaya bisa memesan makanan secara online saja. Saat ini aku benar-benar capek terutama otakku yang masih memikirkan soal kunci kamar itu.Sebenarnya sayang juga mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk membeli makanan. Padahal kalau dulu bersama Lisa aku masih bisa berhemat. Tapi ya sudahlah seharusnya aku tidak membanding-bandingkan Lisa dan Alin. Wanita yang ada di sampingku ini 'kan terawat, jadi setiap jengkal tubuhnya harus dijaga supaya tetap terlihat cantik dan menarik.Sebelum aku terlelap, menyempatkan diri untuk melihat pesan yang tadi aku kirim pada Lisa. Wanita itu belum mau juga membalasnya padahal sudah terbaca sejak tadi. Ponsel Lisa hanya ada aplikasi W******p saja, dia tidak bermain media sosial lain. Lalu aku mencoba menghubunginya lagi, namun seperti yang sudah-sudah, Lisa tidak mau menerima teleponku. Sebenarnya apa yang diinginkan wanita itu, bukankah dia sendiri yang memilih pergi. Kenapa dia harus mempersulit aku. Aku sudah memberinya pilihan untuk bertahan asal mau berbagi dengan Alin, tapi secara tidak langsung dia menolak dengan memilih meninggalkanku.Benar-benar sialan.***Esok harinya aku bangun hampir kesiangan, dengan tergesa-gesa berjalan ke kamar mandi. Sementara Alin masih terlelap. Keluar dari kamar mandi, wanita pujaanku ini belum juga mengubah posisi tidurnya hingga aku terpaksa membangunkannya."Jam berapa sih, Mas?""Ini sudah hampir jam 07.00, Sayang, kita harus segera pergi ke kantor.""Oh ya, ampun. Kok, sudah siang, sih?"Aku tak menjawab. Selesai memakai dasi bergegas kemeja pantry untuk membuatkan kopi dan mengoles roti untuk sarapan."Sayang, tolong buatkan sekalian. Aku 'kan harus bersiap-siap." Terdengar suara Alin dari dalam kamar. Tanpa menjawab, aku pun membuatkan sarapan untuk Alin. Padahal sebelumnya aku biasa dilayani. Ah, Alin dan Lisa memang berbeda.Sambil menunggu Alin yang masih merias dirinya di kamar, aku menikmati roti selai sambil membuka ponsel. Ternyata Lisa sudah membalas pesan yang kukirim semalam.[Maaf Mas, aku baru bales. Soalnya sibuk sekali mengurus pindahan dan beres-beres di tempat tinggal baru.]Itu pesan pertama yang aku baca, membuatku mengangkat satu sudut bibir. Rupanya dia mau pamer kalau dia sudah punya tempat tinggal. Punya uang dari mana? Atau jangan-jangan hanya omong kosong, heh![Soal kunci itu, aku lupa, Mas. Karena terburu-buru dan terbiasa mengunci pintu sebelum pergi aku sampai lupa membawanya. Sepertinya terjatuh di halaman rumah atau mungkin di saluran air depan rumah waktu aku akan mengambil dompet. Soalnya kunci itu sudah tidak ada di tasku.]Apa?! Jadi kuncinya kecebur got. Sialan, aku tidak percaya kalau Lisa tidak sengaja menjatuhkannya, ini pasti akal-akalan dia untuk mengerjaiku.BersambungAku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin