Share

Bab 5

Neilsen menghela napas lagi, kemudian berjongkok.

Bulu mata anak ini panjang, membuat orang tertarik. Biasanya Neilsen tidak akan mau repot-repot menghabiskan waktu untuk hal semacam ini. Namun saat ini, ia merasa dirinya berubah menjadi seperti bukan dirinya lagi.

"Kamu umur berapa? Mamimu memakaikanmu celana seperti ini?"

Tak sabaran ia bertanya pada Wandy setelah melihat resleting celananya benar-benar tersangkut.

Wandy berkata, "Aku umur 4 tahun. Seorang pria yang sudah mau dewasa."

"Pria dewasa bahkan tidak bisa menyelesaikan masalah resleting celananya yang tersangkut sendiri?" ucap Neilsen.

Biasanya Neilsen tidak akan bicara sebanyak ini, tapi entah kenapa ia merasa nyaman dengan anak di depannya sekarang, dan tanpa sadar sedikit banyak bicara.

Mata Wandy sekilas menyiratkan sesuatu, namun secepat kilat sinar itu menghilang, tak sempat ditangkap apa maksudnya.

"Sudah."

Ketika Neilsen membuka resleting celananya, tiba-tiba Wandy berseru.

"Yah, Paman, aku sudah tidak tahan lagi!"

"Apa?"

Baru saja Neilsen selesai bicara, sebuah air yang hangat menyemprot ke wajahnya, "Maaf paman, aku tidak sengaja!"

Wandy buru-buru minta maaf, lalu ia segera melesat ke dalam bilik dan mengunci pintunya.

Neilsen baru tersadar air apa yang baru saja menyemprot ke wajahnya.

'Sialan!'

CEO ternama sepertinya disemprot dengan air seni oleh bocah kecil tepat di wajah?

Neilsen semakin geram.

"Bocah nakal, cepat keluar!"

Sudah berapa tahun ia tidak semarah ini.

Wandy tetap berada di dalam bilik, sudut bibirnya menyunggingkan senyum, namun ia berkata sambil pura-pura menangis.

"Paman, maaf, aku barusan benar-benar tidak tahan lagi. Paman tunggu saja, aku akan minta mamiku mengganti rugi padamu ya? Atau kalau tidak kamu pipisi saja aku balik?"

Kata-katanya ini membuat Neilsen membisu.

CEO ternama sepertinya, mengencingi seorang anak kecil? Apa jadinya?

Neilsen merasa api dalam hatinya membara tanpa bisa tersalurkan, ekspresi di wajahnya lebih menggambarkan kegeraman dalam hatinya.

Cepat-cepat ia mencuci muka dengan air, tapi masih saja merasa tidak nyaman, ia mengulanginya lagi dan menyabuni wajahnya dengan sabun cuci tangan, namun tetap saja bau itu masih terasa.

Wandy yang masih terus mendengar gerakan-gerakan halus di luar sana semakin melebarkan senyumnya.

'Siapa suruh kamu menyakiti mami! Siapa suruh kamu membuang kami!'

'Hari ini biarkan aku memberimu sedikit pelajaran, anggap saja sebagai bunga selama beberapa tahun ini, nanti kami akan pelan-pelan bikin perhitungan denganmu!'

Mata Wandy bersinar kegirangan, namun ia tetap berkata sambil berpura-pura menangis.

"Paman, jangan pukul aku ya? Anggap saja paman sedang dipipisi oleh anakmu sendiri. Aku benar-benar tidak sengaja. Juga jangan beritahu mamiku ya? Dia akan menghajarku. Huhu."

Habislah, Wandy sudah mengeluarkan suara tangis pura-puranya itu.

Neilsen terdiam dan menghentikan apa yang sedang dilakukannya.

'Anak sendiri?'

Kalau tahun itu Rossa tidak meninggal, mungkin anak mereka juga sebesar ini sekarang?

Neilsen menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, ia tidak pernah terlihat begitu menyedihkan, rambutnya basah dan menempel di dahinya, kedua matanya yang menekuk ke atas memancarkan kemarahan.

'Matanya?'

Mendadak Neilsen sadar bahwa anak tadi juga memiliki sepasang lipatan mata yang sama persis dengan miliknya.

Pantas saja ia merasa anak itu tidak asing, ternyata karena kedua matanya.

Di seluruh Manado, orang yang punya mata seperti ini tidak banyak, dan mungkin juga karena alasan itulah, ia menjadi sedikit lebih sabar dengan anak itu.

Neilsen menghela nafas, lalu berkata dengan dingin.

"Kejadian hari ini tidak boleh beritahu siapapun, termasuk mamimu, dengar tidak? Dan jika lain kali kita bertemu, kamu juga tidak boleh bilang kalau mengenalku."

"Oh, aku mengerti Paman! Aku janji tidak akan bilang sama mami!"

Wandy buru-buru menjawab, begitu menurut hingga membuat orang tak sampai hati.

Si bodoh ini, Neilsen anggap sudah membereskannya.

Sekali lagi ia memandang bilik itu dengan jengkel, lalu meninggalkan toilet dengan gusar.

"Tuan Neilsen, kenapa Anda?"

Terdengar suara aisstennya yang terkejut, namun Neilsen malah melangkah besar-besar dan meninggalkan tempat itu.

Begitu merasa di luar tidak ada suara lagi, Neilsen baru keluar dari bilik. la melihat arah Neilsen pergi, sudut bibirnya mengembang, tangannya langsung meraba kamera kecil di bagian bawah wastafel, lalu memasukkan kamera itu ke dalam kantongnya, mencuci tangan, dan barulah ia keluar dari toilet.

Rossa sudah sejak tadi menunggu di luar toilet, namun Wandy tak kunjung muncul, ia sedikit merasa khawatir. Ketika ia sedang ingin meminta seseorang untuk membantunya melihat ke dalam, dilihatnya Neilsen yang keluar dari toilet itu dengan marah dan gusar, rambutnya basah, seperti baru dikeramas saja.

Neilsen adalah seorang pria yang sangat memperhatikan penampilan, untuk hal ini Rossa sangat tahu, namun saat ini ketika melihatnya begitu menyedihkan seperti itu, tak urung ia melongo, dan tanpa sadar bersembunyi di samping, sebisa mungkin mengurangi keberadaan dirinya.

'Dia sudah kembali.'

Hutang mereka enam tahun yang lalu pasti akan ditagihnya perlahan-lahan, tidak perlu buru-buru untuk saat ini.

Setelah Neilsen berlalu sambil uring-uringan, barulah Wandy muncul dari dalam toilet.

"Wandy."

Wandy tahu apa yang dikhawatirkan Rossa, namun ia berpura-pura polos dan bertanya.

"Kenapa mami? Aku hanya ke toilet, kenapa mami begitu gugup? Oh ya, paman yang barusan tampan ya. Bagaimana menurutmu, mami?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status