Share

Bab 4

Ketika Neilsen melihat Rossa dari kejauhan, sekujur tubuhnya bergetar.

'Bayangan itu, siluet yang sedang berjalan itu benar-benar mirip Rossa!'

Tanpa bisa menguasai dirinya, ia berjalan mendekat, sengaja.

Santo sendiri ternganga melihatnya, ia tidak pernah melihat Neilsen berinisiatif mendekati wanita manapun, terlebih lagi setelah terjadi hal tak terduga pada istrinya enam tahun yang lalu, ia semakin menjadi seperti gunung es saja, membuat orang mau tak mau menghindarinya, baru kali ini dilihatnya ia sengaja mendekati.

Tanpa sadar ia kembali melihat Rossa beberapa kali, namun dalam sekejap ia terpaku oleh paras Rossa yang menakjubkan.

Paras yang begitu sempurna, bak dipahat oleh seniman saja. Tak kurang tak lebih.

Itu juga dirasakan oleh Neilsen, hanya saja Neilsen segera tersadar, ia mengernyitkan alisnya, kakinya tanpa sadar melangkah mundur, lalu berkata dengan dingin, "Kalau jalan lihat-lihat."

Dalam hati Rossa tertawa dingin.

Saat ini wajahnya dengan yang dulu sama sekali berbeda.

la masih ingat rasa sakit yang tak tertahankan ketika api membakar kulitnya, masih ingat bagaimana ia harus menahan sakit selama Sembilan bulan demi menjaga anak dalam kandungannya, dan setelah melahirkannya barulah ia menjalankan operasi plastik.

Siang dan malam ia selalu dihantui mimpi buruk, dan setiap kali juga air matanya membasahi bantalnya. Saat ini dalang dari kecelakaan yang menimpanya ada di depan mata, ia tak tahan lagi ingin mengoyakkan wajahnya, merobek hatinya dan melihat sebenarnya apa warna hatinya itu, dan yang lebih ingin ia tanyakan adalah, apakah dia punya hati?

Tangan Rossa menggenggam lollipop yang belum habis dimakan Wandy, ketika ia menabrak Neilsen, lollipop itu juga mengenai jasnya.

Dia berkata sambil tersenyum.

"Maaf, barusan aku sungguh tidak melihatnya. Jasmu jadi kotor, sebaiknya aku menggantinya, punya telepon? Aku akan meminta orang untuk mengantarnya padamu setelah membelinya."

Suara Rossa serak-serak basah.

Mata Neilsen memancarkan kekecewaan.

'Bukan dia!'

Bukan hanya wajahnya yang tidak sama, suaranya pun juga.

la masih ingat suara Rossa yang nyaring seperti bebek, tapi wanita cantik di depan matanya ini justru bersuara serak basah. Mungkin bagi sebagian orang suara seperti ini sangat menggoda, tapi baginya, tidak ada artinya.

Wajah Neilsen kembali dingin.

"Tidak usah, ini hanya jas saja."

Selesai berbicara, dia langsung melepaskan jas itu, lalu didepan mata Rossa, membuang jas itu kedalam tempat sampah yang tidak jauh dari mereka, seperti membuang sampah yang sangat dibencinya.

Rossa tersenyum.

Dalam mata Neilsen, mungkin dia juga salah satu yang tertarik padanya, seorang wanita yang menginginkan nomor teleponnya untuk mendekatinya.

Rossa tersenyum dingin sambil memperhatikan dirinya, membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya ketika tahu bahwa desainer yang diundangnya itu adalah dirinya.

Entah mengapa Neilsen menjadi sedikit kesal, dia sendiri tak tahu apa yang membuatnya kesal.

'Wanita ini jelas bukan Rossa, tapi mengapa rasanya sangat familiar? Tidak! Bukan dia!'

Kalau Rossa tahu dirinya berinisiatif mendekat, pasti akan senang setengah mati. la tahu perasaan Rossa terhadap dirinya, namun di mata wanita tadi sama sekali tak ada gejolak emosi apapun.

'Kedua matanya sangat mirip Rossa.'

Neilsen tiba-tiba menghentikan langkahnya, Santo yang tidak sigap itu langsung menabrak punggung Neilsen.

"Tuan Neilsen, maaf."

Santo mengusap hidungnya sendiri dan buru-buru mundur dua langkah, dan ia mendapati pandangan Neilsen terus mengikuti Rossa.

Setelah Rossa dan Neilsen bersentuhan selama beberapa saat itu, ia langsung menuju toilet, langkah kaki dan cara jalannya itu sekali lagi membuat Neilsen menyipitkan matanya.

"Tuan Neilsen, apakah Anda tertarik dengan wanita itu?"

Neilsen sontak melotot pada Santo, Santo buru-buru memejamkan matanya.

"Aku ke toilet dulu."

Neilsen juga tak tahu mengapa, ia panik setengah mati, segera berbalik dan bergegas ke toilet.

Jarang-jarang Santo melihat Neilsen seperti ini, ia pun tak berani mengikutinya, akhirnya ia menunggu di luar.

Neilsen berjalan masuk ke toilet, ia membuka keran dan mencuci mukanya, mencoba membuat dirinya tersadar, namun tiba-tiba ada seseorang yang menarik bajunya.

Neilsen menoleh dengan sedikit malas, seorang anak laki-laki berumur 4-5 tahun sedang mendongak ke arahnya, tangan kanannya menarik bawah bajunya, sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu.

"Lepaskan tanganmu!"

Mata Neilsen sedikit dingin, tubuhnya mengeluarkan aura dingin yang membuat orang pada umumnya akan mundur dan menghindarinya, tapi tidak dengan bocah lelaki ini.

la merasa ada kemiripan saat melihat kedua bola matanya.

"Paman, apa kamu bisa membantuku?"

Wandy menatap lurus pada Neilsen, sorot matanya yang meminta membuat hati Neilsen tiba-tiba melembut.

"Orang tuamu?"

"Mamiku tidak bisa masuk ke toilet pria!" Mulut kecil Wandy mengoceh, wajahnya sedikit malu-malu.

Melihat bocah kecil yang mirip boneka di depan matanya ini Neilsen akhirnya menghela nafas dan berkata, "Apa yang ingin dibantu?"

"Resleting celanaku macet, tapi aku sedang buru-buru, Paman, bisa bantu aku bukakan resleting ini?"

Saat mengatakannya, kedua kaki Wandy terus gemetar, sepertinya ia hampir tak dapat menahannya lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status