[Kasih sedang sakit. Mungkin agak lama aku di sini, tidak apa-apa, kan?]
[Iya Mas, tidak apa-apa. Semoga Mbak Kasih lekas sembuh] [Terima kasih] Akhirnya, Faiq Hamzah membalas pesannya, dan Zahra merasa sedikit lega. Begitu mereka sampai di rumah orang tua Faiq. Suaminya itu, langsung menghilang. Padahal layaknya pengantin baru, kisah perjalanan mereka berdua ingin didengar oleh orang tua dan keluarga besar mereka. Faiq tidak bisa dihubungi, chat dan teleponnya tak mendapatkan respon. Zahra tahu, Faiq pasti pulang ke rumah istri pertamanya, dan seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkannya. Namun, tetap saja, rasa khawatir itu menggelayuti pikirannya. “Mbak Kasih sedang sakit? Mas Faiq tentu sangat mencemaskannya. Bagaimana kalau seandainya yang sakit itu aku? Akankah ia secemas itu?” Zahra menghela napas, merasa emosional. Kenapa ia jadi melow begini? Ia termenung, memikirkan hubungan mereka. Sejak awal, Zahra sadar bahwa pernikahan ini tidak akan mudah. Ia bisa menakar rasa yang dimiliki Faiq untuknya, tidak ada apa-apanya dibandingkan Kasih. Sedari mendapat kabar pernikahan Faiq dengan Kasih, ia tahu, perjodohan yang diatur oleh Abah Faiq dan Uminya bukan hal penting untuk pria itu. Sekarang, dirinya telah resmi menjadi bagian keluarga Hamzah. Zahra sedari awal telah dianggap sebagai bagian dari keluarga Faiq. Karena memang kedekatan hubungan antara Aziz, Abah mertua dengan Aini, uminya. Bagaimanapun, mereka telah menjadi suami istri. Zahra berpikir Faiq hanya perlu beradaptasi bersamanya. Tepatnya untuk mencintainya. “Mas Faiq, betapa aku mencintai lelaki itu, sejak dulu sebelum Mbak Kasih hadir dalam hidupnya." . Perjodohan di antara mereka membuat Zahra terus menyebut nama Faiq dalam doanya, berharap memang dia adalah jodoh terbaik untuknya. Tidak ada lagi ruang untuk lelaki lain, perhatian yang pernah datang dari lawan jenis, ditolaknya dengan halus. “Aku sudah punya calon suami. Namanya Faiq Hamzah.” Zahra selalu mengatakan penuh percaya diri, karena dia telah diterima dengan baik oleh keluarga Faiq. Teman dekatnya sering menanyakan seperti apa sosok Mas Faiqnya. Gadis itu, akan menjawab dengan pipi bersemu merah. “Dia baik, tampan, Insyaallah pria yang sholih," jawabnya singkat, sebab selama ini mereka tak pernah bertukar kabar secara pribadi. Namun, setiap berlibur di Jombang, Faiq selalu baik dan sopan padanya. Hingga datang kabar bahwa Faiq telah menikah dengan wanita lain. Remuk redam hatinya kala itu. Tangisnya pecah di hadapan Abi dan Uminya. Aini, uminya pun menangis melihatnya tersedu di pangkuannya. “Bagaimana bisa Mas Faiq mengkhianati perjodohan kami? Apa memang, hanya aku yang setuju dengan perjodohan ini." Benar, selama ini, Zahra menganggap lelaki berhidung bangir itu, juga memiliki rasa yang sama dengan dengannya. Itulah, yang membuatnya sakit. Hidupnya terguncang. Waktu terbuang hanya untuk menangis dan melamun. Ia kehilangan semangat, murojaahnya amburadul. Hingga ia mendapatkan pesan suara yang dikirim langsung oleh Bu Nyai. Bisa dibilang, Zahratun Nahda adalah santiwati kesayangan beliau. “Seorang hafidzah menjaga hafalannya dengan murajaah. Menghafal sulit, tapi lebih sulit lagi, kita memelihara hafalan tersebut. Dan kehilangan yang paling menyakitkan itu adalah kehilangan hafalan karena kita nyengaja tidak mau mengulangnya." Zahra tergugu, menyadari telah menyia-nyiakan waktu hingga merugikan diri sendiri. Bertahun-tahun menimba ilmu, menghafal Al-Qur'an, mana mungkin ia rela semua itu menguap begitu saja. “Sia-sia.” Ya, hafalannya kacau, pikirannya galau, sementara jauh di sana Faiq melenggang bahagia. “Aku harus bangkit.” Di saat, Zahra berusaha mengatasi kesedihannya. Lewat sambungan telepon, di hari keberangkatan Faiq membawa serta Kasih ke Yaman. Orang tua Faiq meminta maaf atas sikap putra sulungnya tersebut. Bahkan, Abah Faiq meyakinkannya bahwa Faiq akan kembali padanya. Hati Zahra mencelos saat mendengarnya. “Mereka pikir aku ini apa? Aku bukan perusak rumah tangga orang.” Sejak saat itu, ia tidak lagi menggaungkan nama Faiq dalam munajat doanya, meskipun wajah pria itu, masih sering mengisi mimpinya. “Ah, Mas Faiq, sebegitu bucinnya aku padamu," Padahal tidak ada kenangan spesial di antara mereka. Setiap kali bertemu, hanya saling senyum, tidak lebih. Mungkin hal inilah yang meyakinkannya bahwa sosok Faiq adalah lelaki baik yang mampu menjaga marwah seorang wanita. Dan Zahra mencintai sosok Faiq dari waktu ke waktu. Namun, apa gunanya sekarang? Faiq telah memilih wanita lain dalam hidupnya. “Aku harus mengubur mimpiku, membina rumah tangga bersama Mas Faiq, bergandeng tangan mengemban amanah pesantren Abi nanti.” 🍁🍁🍁 “Nak, Faiq bersedia menikah denganmu,” tutur Ilyas ketika berkunjunginya tiga bulan lalu. Zahra terperanjat mendengarnya. Abinya pasti bercanda, pikirnya. Ilyas menatapnya serius, sementara Zahra tertawa sumbang, tidak percaya. "Abi jangan mengada-ada. Aku sudah ikhlas, Mas Faiq bukanlah jodohku." Namun, melihat wajah serius kedua orangtuanya terutama uminya, Zahra memilih mendengarkan kalimat selanjutnya dari kedua orang tuanya. “Faiq sudah bersedia menikahimu, Zahra." Kali ini, uminya yang mengulang ucapan Abinya. "Dari awal umi yakin dan percaya, Faiq adalah orang paling tepat untuk meneruskan pesantren kita," lanjut Aini. Tak ada nada gurau di dalamnya. “Tapi, Mas Faiq sudah menikah, Mi. Mana boleh!" Ketus Zahra, terbayang tuduhan keji yang akan ditujukan padanya oleh masyarakat. “Andai dia tetap mau menikahimu, apa kamu bersedia, Nak?" "Hah?" Ya Tuhan, Zahra kehilangan kata-kata saat ditanya demikian oleh Abinya. “Berbesar hatilah, karena kamu dinikahi Faiq sebagai istri kedua,” lanjut Aziz. Zahra menggeleng tak percaya, Abi merengkuh bahunya. “Istrinya setuju, Nak. Kalian menikah. Mungkin inilah, jawaban dari doamu dulu. Untuk berjodoh dengan Faiq." Air mata Zahra mengucur deras, tiada sanggahan yang mampu terucap. Bayangan Faiq mengemuka kembali. Asa itu, kembali ia rajut, karena nyatanya cinta untuk calon suami itulah, masih ada hingga kini. . Pernikahan mereka berlangsung meriah. Faiq selalu menampakkan senyum ramah, membuat Zahra yakin bahwa hubungan ini adalah jawaban atas doanya tentang pasangan hidup. Bersamanya, ia akan bahagia, meskipun harus menjadi yang kedua. “Aku tak minta empati, tapi janganlah kalian menghujatku sebagai perempuan bodoh. Karena aku hanya seorang hamba yang berusaha ikhlas menjalani takdir.” . Next ...Kasih menangis dalam dekapan Faiq Hamzah, tubuhnya bergetar di tengah rasa takut yang tak tertahankan. Isaknya terdengar lirih, namun tangannya menggenggam lengan Faiq dengan kuat, seolah ingin menahan waktu agar semua ini tidak perlu terjadi.Kasih secara tak sengaja mendengar Faiq berbicara dengan Abahnya lewat telepon. Dari pembelaan yang suaminya ucapkan, sudah dipastikan bapak mertuanya sedang murka di rumahnya sana."Mas pergilah. Seharusnya kamu masih mendampingi Zahra di Jombang. Aku sudah baikan, berangkatlah sekarang." Faiq menghembuskan napas beratnya. Belum ada dua pekan kehidupan poligami yang dijalani. Pagi ini, Abahnya sudah memarahinya karena mengabaikan Zahra di rumah mereka."Nantilah itu, Dek. Pasti Mas bakalan ke Jombang. Tapi, belum bisa hari ini. Sebentar Mas akan pergi ke Azmania. Tiga hari yang lalu, Mas ditelepon Ustad Taufik menanyakan kebenaran akan keluar dari Yayasan pindah ke Lampung."Padahal, program pembelajaran barusan dirombak. Dengan porsi pembela
[Kasih sedang sakit. Mungkin agak lama aku di sini, tidak apa-apa, kan?][Iya Mas, tidak apa-apa. Semoga Mbak Kasih lekas sembuh][Terima kasih]Akhirnya, Faiq Hamzah membalas pesannya, dan Zahra merasa sedikit lega. Begitu mereka sampai di rumah orang tua Faiq. Suaminya itu, langsung menghilang. Padahal layaknya pengantin baru, kisah perjalanan mereka berdua ingin didengar oleh orang tua dan keluarga besar mereka.Faiq tidak bisa dihubungi, chat dan teleponnya tak mendapatkan respon. Zahra tahu, Faiq pasti pulang ke rumah istri pertamanya, dan seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkannya. Namun, tetap saja, rasa khawatir itu menggelayuti pikirannya.“Mbak Kasih sedang sakit? Mas Faiq tentu sangat mencemaskannya. Bagaimana kalau seandainya yang sakit itu aku? Akankah ia secemas itu?” Zahra menghela napas, merasa emosional. Kenapa ia jadi melow begini?Ia termenung, memikirkan hubungan mereka. Sejak awal, Zahra sadar bahwa pernikahan ini tidak akan mudah. Ia bisa menakar rasa yang
Sampai salam ketiga tidak juga ada jawaban, Faiq Hamzah memutuskan membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Suasana tampak lengang, beberapa mainan Umar berserakan, sebuah sapu teronggok di pojok dinding. Pertanda bersih-bersih rumah belum tuntas. Melihat kamar tertutup rapat, dapur nampak terang. Ia segera ke dapur. Ada rajangan buncis di wadah, bawang merah-putih yang telah dikupas, potongan wortel masih berada di atas talenan, dan tiga potong tahu terendam di mangkok. Sepertinya mau masak sayur, pikir Faiq. "Kasih kemana?" gumamnya. Faiq bergegas ke halaman belakang, karena pintu dapur terbuka. Siapa tahu, sedang memetik daun salam. Namun, ia tidak juga menemukan istrinya. Tiba-tiba terdengar langkah berat, tampak Kasih sedang berjalan terhuyung. Tangannya meräba dinding samping pintu kamar, supaya tidak limbung. Faiq segera menghampirinya. "Dek," panggilnya, meraih tubuh Kasih yang mulai ke
"Assalamualaikum, Abah, Umi," sapa Kasih dengan suara bergetar begitu mendapati kedua mertuanya berdiri di teras."Waalaikum salam," balas Afiah sementara Aziz hanya menggumam."Mari masuk, saya baru dari tempat Mbah Mi untuk memijatkan Umar." Kasih memutar kunci, membuka pintu, mempersilakan kedua mertuanya masuk."Biar umi yang gendong Umar, Sih.""Nggih Mi, agak demam Umar dari kemarin," ujar Kasih seraya melepaskan simpul selendang di punggungnya. Sedangkan Afiah memegang tubuh cucunya."Innalillahi... Sudah ke dokter, Sih?" Afiah meräba kening Umar."Belum sempat Mi, semalam saya kompres.""Sudah tahu, demam malah dipijet! Mau bilang pendidikan tinggi itu, enggak penting. Nyatanya hal sepele seperti ini saja, kamu enggak tahu," sengah Aziz dengan suara datar namun begitu menusuk Kasih."Sebentar nggih, Mi. Saya ke belakang dulu ... oh, iya Abah dan Umi mau minum teh atau kopi?""Enggak usah repot, kita
Sekarang, di tengah malam yang dingin, Faiq merindukan Kasih dan anak mereka, Umar. Ia membuka galeri di ponselnya, menelusuri foto-foto keluarga kecilnya. Ia mencari kedamaian di antara kegundahan hatinya.Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Faiq menemukan pesan di aplikasi WhatsApp yang menunjukkan bahwa nomor Kasih telah dikirim ke kontak Abahnya.“Kok bisa?” Faiq merasa curiga.Pertanyaan demi pertanyaan terus berkelindang dalam pikiran Faiq. Ia segera menelepon Mutia, adiknya, untuk mencari tahu. Diliriknya jarum jam di angka satu, panggilan berulang ia lakukan.Panggilan keempat kalinya, baru dijawab Mutia. Faiq langsung melontarkan pertanyaan tajam, "Mutia, selama acara ponsel Mas Faiq kamu yang pegang. Apakah kamu yang kirim nomor Kasih ke Abah?" tanya Faiq penuh penekanan."Maaf, Mas ... Abah yang minta nomer Kasih," jawab Mutia dengan suara ragu."Untuk apa?" Faiq merasa cemas."A-Abah ....""Iya, Abah m
Malam itu, setelah Umar tertidur, Kasih membereskan mainan yang berserakan di kamar, memeriksa pintu dan jendela, dan mematikan lampu ruang tamu. Ketika hendak beristirahat, ponselnya berbunyi.Ting... Ting...Beberapa pesan dari nomor tak dikenal masuk. Ada satu video dan beberapa foto. Dengan rasa penasaran, Kasih membuka satu per satu file yang dikirim.Foto pertama menampilkan pesta pernikahan. Keluarga besar Faiq berdiri rapi, tersenyum bahagia bersama Faiq dan Zahra yang tampak sebagai mempelai. Pandangan Kasih tertuju pada Zahra, mempelai wanita yang mengenakan gaun mewah terlihat sangat anggun.Foto berikutnya memperlihatkan Zahra dan Faiq memamerkan buku nikah mereka. Wajah Kasih memucat, namun ia terus membuka foto demi foto.Kasih mendowload video yang sebenarnya bisa ia perkirakan isinya. Benar saja, saat terputar video tersebut berisi ijab kabul. Faiq tampak mantap mengucapkannya. Doa dan restu dari para tamu undangan terdeng