Sampai salam ketiga tidak juga ada jawaban, Faiq Hamzah memutuskan membuka pintu, ternyata tidak terkunci.
Suasana tampak lengang, beberapa mainan Umar berserakan, sebuah sapu teronggok di pojok dinding. Pertanda bersih-bersih rumah belum tuntas. Melihat kamar tertutup rapat, dapur nampak terang. Ia segera ke dapur. Ada rajangan buncis di wadah, bawang merah-putih yang telah dikupas, potongan wortel masih berada di atas talenan, dan tiga potong tahu terendam di mangkok. Sepertinya mau masak sayur, pikir Faiq. "Kasih kemana?" gumamnya. Faiq bergegas ke halaman belakang, karena pintu dapur terbuka. Siapa tahu, sedang memetik daun salam. Namun, ia tidak juga menemukan istrinya. Tiba-tiba terdengar langkah berat, tampak Kasih sedang berjalan terhuyung. Tangannya meräba dinding samping pintu kamar, supaya tidak limbung. Faiq segera menghampirinya. "Dek," panggilnya, meraih tubuh Kasih yang mulai kehilangan kekuatan. Suhu tubuh istrinya panas. Faiq sigap menggendong dan merebahkannya di ranjang. Umar tampak pulas di sana. "Ya Allah, Kamu sakit, Dek? Kenapa tidak telepon, Mas ...." Hancur hati Faiq, melihat istrinya dalam kondisi sangat lemah. "Aku cuma demam," jawab Kasih lirih. "Enggak apa-apa, istirahat sebentar juga sembuh." Mendengar penuturan Kasih, hati Faiq semakin remuk. "Kita ke dokter." "Mas, aku sudah minum obat tadi, diberi paracetamol sama Mbak Ida." Kasih memegang lengan suaminya. Faiq menatap wajah bidadari hatinya, kemudian mengecup keningnya cukup lama. "Maaf," bisik Faiq. Kasih mengusap pipinya, senyumnya terpancar meskipun ia tampak pucat. "Mas ...." "Hmm." "Temenin aku, ya," pinta Kasih. Faiq mengangguk sambil mengusap air matanya. Faiq memijat kening Kasih, seraya membaca sholawat. Ponsel di saku Faiq bergetar berkali-kali, namun ia abaikan. Ia hanya ingin merawat istrinya, Kasih Lembayung. Sepuluh hari ia tinggalkan, mendulang madu yang telah keluarganya persiapkan. Di luar rencana, Ilyas telah membooking tiket perjalanan untuk Faiq dan Zahra ke Bali dan Raja Ampat. Putri Sulungnya sangat menyukai pemandangan alam dan laut. Karena itulah, hadiah liburan itu, ia berikan sebagai paket bulan madu mereka berdua. Selama itu pula, Faiq berusaha menikmati perjalanan mereka, supaya Zahra tidak kecewa. Ia sering mengintip aplikasi berwarna hijau, berharap ada kabar dari istrinya yang pertama. Nihil, tidak ada chat atau panggilan darinya, pun ia tak berani mengirim pesan, khawatir membuat Kasih semakin gelisah. Faiq berpikir Umi pasti datang melihat dan memperhatikan mereka berdua, setelah ia bercerita yang dilakukan Abahnya pada Kasih. Melihat istrinya sudah terlelap, demikian putranya tidur anteng di sebelahnya. Faiq beranjak dari kamar. Bergegas ia membersihkan rumah. Setelah beres, beranjak ke dapur melanjutkan masak sayur yang sudah disiapkan Kasih. Faiq juga sudah menghubungi Dokter Ahmad. Dokter Umum yang buka praktek, paling dekat dari kontrakannya. Sore, pulang dari RSUD Dokter Ahmad menyanggupi untuk mampir memeriksa istrinya. Umar terbangun. Faiq bergegas ke kamar untuk menggendongnya, menjauhkannya dari ibunya agar Kasih bisa beristirahat. Alhamdulillah, Umar tidak rewel. Bubur yang sengaja disiapkan Faiq, lahap dimakannya hingga habis. Berkali-kali ia mencium putranya, ia sangat merindukannya. Setelah Umar bisa ditinggal dengan mengalihkan bermain di ruang tengah, Faiq menyiapkan makanan untuk Kasih. Bagaimanapun, Umar butuh ASI, karena istrinya bersikeras tidak mau memberikan susu formula untuk Umar. Bubur panas dan sup sayur ala dia sudah disiapkan. "Sayang, tadi kamu mau bikin asem-asem, ya ... Mas buat bubur, kalau dipasangkan asem-asem enggak matuk. Jadinya, Mas bikin sop. Kebetulan Mas lihat, ada ayam di kulkas." Kasih mengangguk lemas. Faiq dengan telaten menyuapi istrinya. "Terima kasih, Mas," ucap Kasih tulus. Faiq mengangguk, menyuapkan bubur terakhir ke istrinya. 🍁🍁🍁 Sepulang dari jamaah Isya di masjid, Faiq perhatikan kondisi Kasih sudah lebih baik setelah dr. Ahmad memeriksanya tadi sore. Ia berpesan agar Kasih banyak beristirahat, dengan satu pesan yang paling menyentuh. "Jangan stres, ya ... biasanya ibu muda, anak lagi aktif-aktifnya, kerjaan rumah banyak. Eh, malamnya harus tetap ngurusin bayi besarnya." Ughh.. Seolah Faiq ditampar, jelas kondisi dropnya Kasih adalah akibat ulahnya. Memberi madu pada ibu putranya. "Siap, Dokter," jawab Kasih tersenyum. Faiq merasa kikuk. Ia pun hanya bisa menggenggam erat tangan Kasih seraya merengkuh bahu dengan tangan kirinya. . . "Mas, apa kabar?" Kasih canggung, begitu Faiq berbaring di sampingnya. "Alhamdulillah, baik, Sayang," jawabnya. Kasih tersenyum, namun kemudian diam. Ia berusaha keras menyembunyikan luka di hadapan Faiq, hatinya tidak baik-baik saja. Namun, ia ingin terlihat tegar dan berseri-seri. Hal ini membuat Faiq semakin iba padanya. Faiq tahu, ia juga tak bisa berbuat banyak. Selain mencoba menegarkan hatinya, tidak menabur garam dalam pedihnya hati wanita terkasihnya, dengan tetap mencintainya. Poligami .... Ahh ... mengapa begitu gencar dielukan dan dibahas para suami? Beberapa menikmatinya, sementara Faiq terus-menerus terjebak dalam dilema. Ia jujur merasa belum siap. Lelaki itu, tetiba menghela napas beratnya. "Apa, Mas?" Kasih Lembayung mengangkat wajahnya, menatap Faiq seolah mendengar keluhannya. "Enggak ... enggak apa-apa, Sayang. Istirahatlah, supaya besok bangun. Badan sudah segar kembali." Faiq, meraih kepalanya, mencium keningnya lagi. . . Pukul 21:00 Faiq menekan tombol on di ponsel. Dalam hitungan detik, puluhan chat masuk, di antaranya dari Zahra. Zahra menanyakan kabarnya, resah karena tidak ada jawaban darinya. Faiq hanya membalas chat saat Zahra menanyakan kabar Kasih Lembayung dan Umar. [Kasih sedang sakit. Mungkin agak lama aku di sini, tidak apa-apa, kan?] Pesan terkirim, namun masih centang dua abu-abu. Kasih bergerak, segera Faiq menaruh ponselnya. Istrinya pulas kembali. Faiq merasa seperti pecundang, yang takut ketahuan selingkuh. Huff ... Pesan dari Zahra masuk [Iya Mas, tidak apa-apa. Semoga Mbak Kasih lekas sembuh] [Terima kasih] Balas Faiq, kemudian ia mematikan ponsel kembali. Mendekati Kasih, Faiq menatap wajah lelapnya, lalu tidur di sampingnya, berdoa dalam hati agar dapat menjalani hari sebaik mungkin. Ia berharap tidak ada yang akan tersakiti, baik Kasih Lembayung maupun Zahratun Nahda. Faiq Hamzah tengah berusaha menjalankan perannya seadil mungkin pada kedua istrinya. . . Next...Sampai salam ketiga tidak juga ada jawaban, Faiq Hamzah memutuskan membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Suasana tampak lengang, beberapa mainan Umar berserakan, sebuah sapu teronggok di pojok dinding. Pertanda bersih-bersih rumah belum tuntas. Melihat kamar tertutup rapat, dapur nampak terang. Ia segera ke dapur. Ada rajangan buncis di wadah, bawang merah-putih yang telah dikupas, potongan wortel masih berada di atas talenan, dan tiga potong tahu terendam di mangkok. Sepertinya mau masak sayur, pikir Faiq. "Kasih kemana?" gumamnya. Faiq bergegas ke halaman belakang, karena pintu dapur terbuka. Siapa tahu, sedang memetik daun salam. Namun, ia tidak juga menemukan istrinya. Tiba-tiba terdengar langkah berat, tampak Kasih sedang berjalan terhuyung. Tangannya meräba dinding samping pintu kamar, supaya tidak limbung. Faiq segera menghampirinya. "Dek," panggilnya, meraih tubuh Kasih yang mulai ke
"Assalamualaikum, Abah, Umi," sapa Kasih dengan suara bergetar begitu mendapati kedua mertuanya berdiri di teras."Waalaikum salam," balas Afiah sementara Aziz hanya menggumam."Mari masuk, saya baru dari tempat Mbah Mi untuk memijatkan Umar." Kasih memutar kunci, membuka pintu, mempersilakan kedua mertuanya masuk."Biar umi yang gendong Umar, Sih.""Nggih Mi, agak demam Umar dari kemarin," ujar Kasih seraya melepaskan simpul selendang di punggungnya. Sedangkan Afiah memegang tubuh cucunya."Innalillahi... Sudah ke dokter, Sih?" Afiah meräba kening Umar."Belum sempat Mi, semalam saya kompres.""Sudah tahu, demam malah dipijet! Mau bilang pendidikan tinggi itu, enggak penting. Nyatanya hal sepele seperti ini saja, kamu enggak tahu," sengah Aziz dengan suara datar namun begitu menusuk Kasih."Sebentar nggih, Mi. Saya ke belakang dulu ... oh, iya Abah dan Umi mau minum teh atau kopi?""Enggak usah repot, kita
Sekarang, di tengah malam yang dingin, Faiq merindukan Kasih dan anak mereka, Umar. Ia membuka galeri di ponselnya, menelusuri foto-foto keluarga kecilnya. Ia mencari kedamaian di antara kegundahan hatinya.Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Faiq menemukan pesan di aplikasi WhatsApp yang menunjukkan bahwa nomor Kasih telah dikirim ke kontak Abahnya.“Kok bisa?” Faiq merasa curiga.Pertanyaan demi pertanyaan terus berkelindang dalam pikiran Faiq. Ia segera menelepon Mutia, adiknya, untuk mencari tahu. Diliriknya jarum jam di angka satu, panggilan berulang ia lakukan.Panggilan keempat kalinya, baru dijawab Mutia. Faiq langsung melontarkan pertanyaan tajam, "Mutia, selama acara ponsel Mas Faiq kamu yang pegang. Apakah kamu yang kirim nomor Kasih ke Abah?" tanya Faiq penuh penekanan."Maaf, Mas ... Abah yang minta nomer Kasih," jawab Mutia dengan suara ragu."Untuk apa?" Faiq merasa cemas."A-Abah ....""Iya, Abah m
Malam itu, setelah Umar tertidur, Kasih membereskan mainan yang berserakan di kamar, memeriksa pintu dan jendela, dan mematikan lampu ruang tamu. Ketika hendak beristirahat, ponselnya berbunyi.Ting... Ting...Beberapa pesan dari nomor tak dikenal masuk. Ada satu video dan beberapa foto. Dengan rasa penasaran, Kasih membuka satu per satu file yang dikirim.Foto pertama menampilkan pesta pernikahan. Keluarga besar Faiq berdiri rapi, tersenyum bahagia bersama Faiq dan Zahra yang tampak sebagai mempelai. Pandangan Kasih tertuju pada Zahra, mempelai wanita yang mengenakan gaun mewah terlihat sangat anggun.Foto berikutnya memperlihatkan Zahra dan Faiq memamerkan buku nikah mereka. Wajah Kasih memucat, namun ia terus membuka foto demi foto.Kasih mendowload video yang sebenarnya bisa ia perkirakan isinya. Benar saja, saat terputar video tersebut berisi ijab kabul. Faiq tampak mantap mengucapkannya. Doa dan restu dari para tamu undangan terdeng
Kasih terisak sambil menyeka air matanya yang tak kunjung reda. Tangan kecil Umar mencoba meraih wajahnya, seolah ingin memberikan penghiburan dengan sentuhan lembutnya.Kasih mencium tangan mungil itu berkali-kali, menahan gejolak hatinya. "Maafkan ibu, Nak," bisiknya.Keadaan psikis Kasih benar-benar berada di titik terendah, memengaruhi produksi ASI yang ia berikan untuk Umar. Walau sudah dikenalkan MPASI untuk putranya yang berumur delapan bulan itu. Namun, tetap ASI ibunya yang dicari setiap lapar maupun haus.Karena menyadari hal itulah, Kasih bergegas ke dapur, mencoba mengalihkan segala hal yang menjadi beban pikirannya. Perempuan yang dipersunting Faiq tiga tahun lalu itu, mengayunkan langkah menuju kulkas yang berseberangan dengan kompor di dapurnya.Kasih mengambil sayur segar yang masih tersisa dalam box kulkas paling bawah. Ia mengambil sayur pare, tempe yang tinggal separuh. Kasih mulai mengiris tipis tempe, merajang pare d
"Maaf, Dek," ucap Faiq dengan suara pelan, tangannya terulur menyentuh pundak istrinya.Mata Kasih terpejam, mencoba menahan perasaan yang menyakitkan. Kata-kata Faiq, alih-alih menenangkan, yang ada malah memperdalam luka di hatinya."Aku mencintaimu, dan itu tidak akan pernah berubah, Sayang," bisik Faiq mendekat untuk merengkuh tubuh istrinya.Pelukannya membuat hati Kasih semakin lemah. Dipelukan pemilik segenap jiwanya tangisnya kian tersedu. Begitu dalam kesedihan yang ia rasakan."Menangislah, Dek. Marahi suamimu yang pengecut ini ... tapi, jangan pernah meminta Mas pergi darimu. Mas enggak akan sanggup," pinta Faiq dengan suara bergetar. Penuh rasa bersalah.Tangis Kasih pecah, dan mereka menangis bersama, terjebak dalam pelukan yang menyayat hati.Bayangan hari-hari yang tak lagi sama menghantui mereka. Rasa yang dulu utuh, sebentar lagi harus terbagi.Tuhan, bersalahkah kami, kalau hanya ingin saling mencintai dan memiliki?..Satu jam sebelumnyaHati Kasih berbunga-bunga s