"Sapiku hu hu hu! Sapiku!" ratapan tangis dari mulut Mbak Meri terus saja keluar. Mak Odah datang langsung menghampiri Mbak Meri. "Mer! Kamu ini, kemarin keponakan ninggal kamu haha hehe, cengengesan! Sekarang sapi mati ditangisi!" tegur Mak Odah kepada Mbak Meri. Wanita tua ini memang suka ceplas-ceplos kalo ngomong. Mbak Meri nggak melawan, tumben! Biasanya senggol dikit langsung sikat. "Mak Odah nggak ngerti rasanya kehilangan. Sakitnya tuh disini, Mak, hu hu hu," ratapan Mbak Meri masih berlanjut. Aku pengen ketawa, takut dosa. Masa iya tertawa diatas penderitaan kakak ipar. Aku tak sekejam itu, tentu. Aku masih punya perasaan, dan insyaallah bisa menjaga perasaan. "Gimana, Kang, jadi nelpon blantik sapi enggak?" Mas Rahman bertanya kepada Kang Handoyo. "Iyalah, Man. Telpon aja. Tak ambil hape dulu." Kang Handoyo lemas. Laki-laki bertelanjang dada hanya memakai kain sarung itu, nampak syok. Sedang Mbak Meri masih duduk sambil menangis memakai baju kebanggaan para emak Mbak
"Kang jangan main tangan sama istri, nanti tuman!" tegur Mas Rahman. "Kamu nggak usah sok belain aku, dasar madesu!" Mbak Meri malah mencibir Mas Rahman. Kesal? Jangan ditanya. Aku kesal sampe ke ubun-ubun. "Mas, kita pulang aja, yuk," ajakku kepada Mas Rahman. Mas Rahman melirikku sebentar, lalu menatap kakaknya. "Pulang sana! Kelamaan disini nanti nularin virus miskin!" hardik Mbak Meri. Aku nggak tahan di hina, mending aku pulang duluan hatiku saja masih sakit. Aku nggak mau sakit lagi. "Aku duluan pulang Mas, Kang. Perutku mendadak mules denger burung beo ngoceh!" Aku langsung pergi. "Heh madesu! Enak aja ngatain aku burung beo! Dasar kamseupay!" Mbak Meri meneriaki aku. Terserah mulutmu Mbak. Aku mau pulang. Terus, belanja bumbu untuk ngolah daging sapi rejeki malam ini. Sampai rumah, aku segera kebelakang, menuju motor lalu kupacu pergi ke warung. "Mas, aku kewarung dulu beli bumbu, ya!" ucapku saat berpapasan dengan suami dijalan. "Ati-ati, Dik." Motor melaju hingg
Aku tetap memberi kakak-kakak ku uang ini. Namun, mereka hanya mau menerima Lima juta saja. Sedang Bapak dan ibuku malah menolak. "Man, Rum. Kalian 'kan belum punya motor, itu motor Mas dirumah nganggur satu, kalau kamu mau, bayari saja matic yang baru. Masih kisaran sepuluh bulan lah, tadinya Mas beli buat Keisha, eh sekarang anaknya masuk asrama, nganggur deh itu motor," ucap Mas Bambang kakak pertamaku. "Berapa, Mas, harganya? Aku pengen sih, beliin Arum motor, tapi ... ini semua uang Arum. Aku nggak kuasa ding," Mas Rahman nyengir. "Jangan gitu, Mas!" tegurku pada Mas Rahman. "Emang Mas mau ngambil motornya Mas Bambang?" tanyaku memastikan. "Kamu ini, Man. Kamu sudah berkorban menjadi suami terbaik untuk Arum anakku, sampai kurus kering begitu. Mulai sekarang makan yang banyak, kerjanya jangan ngoyo, beli ladang karet yang banyak," ucap Bapakku. Mas Rahman mesem ngguyu. "Nggih Pak." Bapakku mengusap lembut bahu menantu paling ragilnya. Ya, Mas Rahman memang menantu laki-laki
Jangan lupa Krisan ya .... "Aku nggak ada tabungan lah, Kang. Tau sendiri aku cuma buruh, Kang." Mas Rahman berbohong. Tentu saja ku bilang suamiku berbohong. Tabungan kami di Bank jumlahnya fantastis. Tapi, biarlah. Lebih baik Kang Handoyo nggak usah tau. Saudara licik seperti mereka, pasti hanya akan memanfaatkan kami. "Masa, nggak punya, Man?" Atau kamu pinjemin sama kakaknya Arum lah, tolong, Man. Aku butuh sekitar tiga puluh lima juta, Man, untuk bayar denda. Belum lagi untuk biaya rumah sakit Tio sama Meri. Mumet aku, Man. Tolong pinjemin sama kakaknya Arum, ya!" Suara Kang Handoyo menghiba lagi. Aku ingin tertawa mendengar derita kakak iparku. Wajah Mas Rahman datar-datar saja. Sepertinya Mas Rahman juga nggak tertarik membantu kesulitan kakaknya itu. "Aku ini sodaramu juga 'kan, Man. Tolong aku, lah!" pinta Kang Handoyo lagi. Huh! Giliran susah ngaku saudara. Giliran senang lupa segalanya. Itu yang dibilang saudara? Hape kurebut paksa lalu ku nonaktifkan. Gemas sekali ak
Hem, ternyata Mbak Anisa peka sama aku. Bahkan meskipun ku sembunyikan kegundahan hati ini, dia tetap tau. Aku mencuci daun singkong rebus ini. "Kangen Yazid, Mbak. Dua hari kemarin nggak ke makamnya." Aku menunduk. Mbak Anisa mengusap bahuku. "Sabar, Rum, sabar! Nanti, kunjungilah makam anakmu setelah kamu pulang, ya!" Mbak Anisa menghiburku. Saat sedang bercakap-cakap, hape jadul Mas Rahman yang sedang di cas diatas kulkas. Hem, siapa yang nelpon sepagi ini? "Mbak, aku angkat telpon dulu," ucapku pada Mbak Anisa. Dia mengangguk. Kuhampiri ponsel yang berteriak nyaring ini. Lho, Kang Handoyo? Sepagi ini nelpon ada apa lagi sih? "Hallo, assalamualaikum, Kang. Ada apa?" Rasanya malas sekali bicara sama orang ini. "Rum, mana Rahman?" Ya ampun, bukannya jawab salam dulu, malah langsung nanya. "Mas Rahman lagi bantuin bapak bersihin kandang sapi. Kenapa Kang?" Ih, asli malas banget ngobrol sama orang ini. "Rum, kamu sama Rahman hari ini tolong bisa nggak bisa, pulang. Aku butuh
Aku terpaksa menjawab telepon Kang Handoyo. Suara hape ini ku lospek. "Assalamualaikum, Kang! Ada apa lagi?" Ku putar bola mata malas saat menjawab telepon. "Rum, pokoknya, bisa nggak bisa hari ini kalian harus pulang. Aku mumet disini!" Suara Kang Handoyo memaksa. Alisku bertaut. Ku tatap Mas Rahman, ia nampak tak suka. "Lho, ya nggak bisa gitu lah, Kang. Kalo urusan disini belum selesai gimana? Lagian emangnya gampang nyari trepel." Suaraku sengaja ku buat lembut. Mas Rahman berpaling menatap kejalan. Wajahnya nampak bete. "Aku nggak mau tau, Rum. Kalian harus pulang, bantu aku mengurus Meri sama Tio di rumah sakit. Ingat, Rum, Rahman itu adik kandungku, aku ini saudaranya, kamu nggak berhak melarang Rahman untuk membantu kakaknya." Lho, enak saja Kang Handoyo bilang begitu. Dasar nggak tau diri! Giliran susah aja nganggap saudara. Pas seneng ngilang kaya jin. "Siapa yang ngelarang Mas Rahman untuk bantuin sampean? Selama ini setiap sampean susah, Mas Rahman selalu ada buat
"Wa'alaikum salam, Di. Kok lemes?" tanyaku spontan. Telpon ku lospek lagi. "Iya, Mbak. Ibu semalam asam urat nya kambuh, Tiara istriku juga meriang. Eh, barusan di telpon Kang Handoyo, dia mau pinjem emas Tiara, sama minta Ibu datang ke rumah sakit. Maksa lagi, aku jengkel, Mbak. Telponnya langsung tak matiin." Suara Hadi terdengar kesal. Ya Allah, ibu mertua sama adik iparku sakit. Kasihan Hadi. Kang Handoyo emang nggak tau diri banget sih. "Terus kamu bilang apa sama Kang Handoyo? Ibu sekarang gimana? Istrimu juga gimana?" Ku berondong pertanyaan pada Hadi. "Kaki ibu masih sakit, susunya habis, Mbak, aku belum sempat beli, belum gajian karet. Tiara demam. Aku tadi bilang sama Kang Handoyo kalau ibu sakit. Eh, dia malah marah-marah. Aku emosi telpon tak putus. Kang Handoyo itu kebiasaan, kalo susah sodara di uber-uber, giliran seneng sodara dilupain. Jengkel aku, Mbak." Suara Hadi terdengar kesal. Bener-bener pengen menang sendiri itu Kang Handoyo. Dasar nggak tau diri. Mas Rahm
"Biarin ajalah Mas, jangan dibalas. Kita main cantik aja. Orang kalo butuh biasanya ngejar terus." Ponsel jadul Mas Rahman ku berikan kepadanya. "Rum, minta nomer WA nya, biar enak kalo mau Vc," ucap Mbak Anisa." Ku ambil hape baruku yang keren, hape ini kubeli semalam di konter langganan Mbak Dewi. "Nih, Mbak catet sendiri," kuulurkan ponselku kepada Mbak Anisa. Aku memilih bersiap-siap, tas jinjing khas ibu-ibu kepasar, kubenahi. Jika dilihat tas ini biasa saja, tapi isinya, luar biasa. Bisa untuk beli motor baru lebih dari satu. "Ya ampun, nggak keliatan kalo bawa uang. Orang taunya situ habis belanja dari pasar, Rum," kelakar Mas Ari. "Ya, begitulah kamuflase kalo bawa duit banyak. Tuh, gurunya!" Mas Jono menunjuk ke arah ibuku. "Jangan salah, cara itu ampuh 'kan? Lebih baik nampang ndeso rejeki Kuto, ketimbang nampang Kuto rejeki raono!" Ceplos ibu membuat kami semua tertawa. Keluarga besarku memang rata-rata orang berada. Hanya aku saja yang ekonominya rendah. Tapi, semu