Brukkk!
Rekam medis yang tergenggam di tangannya terlepas begitu saja. Matanya terbuka lebar dengan kedua alis terangkat, jantungnya berdegup kencang dengan perasaan yang tidak ia mengerti. Nora sangat kaget, ketika laki-laki tinggi itu berpindah mengecup telinganya dengan gairah yang tidak terkendali. Semua terjadi begitu cepat.Cup! Cup!Nora melihat mata berwarna abu-abu itu. Tatapan Naren yang biasanya begitu dingin berubah dengan tatapan penuh nafsu. Nora gemetar ketakutan."Jangan!" pinta Nora memohon. Mendorong tubuh Naren yang menindih tubuh kecil miliknya. Tapi kata-katanya seperti buih yang menghilang begitu saja. Naren tetap mencium telinganya bahkan sampai ke lehernya yang ramping, jenjang dan mulus. Semua ditandai dengan kecupan yang terasa seperti gigitan binatang. Perih dan menyiksa. Hembusan hangat dari setiap nafas yang keluar dari mulut Naren yang begitu brutal, menyiksa batin Nora yang tidak bisa berbuat apa-apa. Naren tidak berhDi ruang makan, suasana begitu canggung. Naren duduk tegak, tangannya rapi di pangkuan, matanya menyapu meja makan tanpa benar-benar melihat. Ayah Nora duduk di hadapannya dengan ekspresi kaku. Nadin di samping mereka, berusaha menjaga senyum."Ini Nora yang masak!" ujar Nadin tiba-tiba, mencoba memecah keheningan yang menggantung.Nora hanya melirik cepat ke arah Naren, dan tanpa disangka, Naren juga melirik padanya. Pandangan mereka bertemu. Naren diam memandangi, tidak menyangka Nora bisa memasak. Ia diam sejenak sampai perhatiannya teralihkan oleh pertanyaan Ayah mertuanya, "Apa kamu mencintai putriku?" Nora refleks menoleh ke arah Ayahnya. Jantungnya berdetak kencang, takut jika Naren menjawab hal yang tidak seharusnya diketahui oleh Ayahnya. Namun yang paling mengejutkannya adalah reaksi Naren yang malah tersenyum. Senyum itu... Nora mengenalnya. Bukan senyum hangat, tapi senyum formal dengan niat tersembunyi. "Tentu saja. Kalau tidak
Nora berdiri di depan pintu gedung. Matanya sesekali menatap ke arah jalan, menunggu kedatangan Nadin, yang berjanji akan menjemput.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria muda dengan pakaian rapi dan wajah familiar berhenti tepat di hadapannya."Hallo, Mba Perawat. Anda masih ingat saya?" sapanya sambil tersenyum ramah.Nora sempat bingung beberapa detik, namun matanya menyipit saat meneliti sosok di hadapannya. Di leher pria itu tergantung kartu identitas dengan logo media terkenal."Saya laki-laki yang pernah Mba tolong, malam itu di depan toko. Saya reporter,” jelasnya sambil tersenyum, menunjukkan kartu identitasnya. Nora langsung teringat. "Bagaimana keadaan Anda sekarang?" tanya Nora hangat.“Saya baik-baik saja, berkat Anda,” jawab pria itu tulus. Kemudian, matanya melirik ke arah gedung di belakang Nora. “Anda tinggal di sini?”“Iya…” jawab Nora sedikit canggung, memutar b
Naren kembali masuk ke ruangan pesta dengan langkah berat. Matanya langsung menelusuri kerumunan, mencari sosok pria yang tadi dengan lancang menyentuh Nora.Begitu melihatnya tertawa bersama rekan-rekannya, amarah Naren meledak. Ia menghampiri tanpa aba-aba, lalu menarik tangan pria itu dan memutarnya dengan kasar.“Krekk!”“Aghhh, tanganku! Tanganku!” pekik pria itu kesakitan. Wajahnya memucat, tubuhnya gemetar. Beberapa tamu di sekitar terkejut. Musik berhenti seketika. Semua mata tertuju pada Naren.“Aku sudah memperingatkan dia. Aku bilang wanita itu datang denganmu!” ujar seorang rekan pria itu dengan panik, mencoba menjelaskan dan menyelamatkan diri.Naren tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh ancaman. Setelah memastikan pria itu cukup menderita, ia melepas tangannya dan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan keributan kecil di tengah pesta.Andrew yang melihat semua itu, berdiri membeku
“Tidak ada gunanya aku tetap di sini,” ucap Nora, lantang tapi bergetar. “Keberadaan ku hanya akan menghambat hubunganmu dengan Alina. Bukankah kamu ingin kembali padanya? Jadi mari akhiri hubungan ini. Untuk kerugianmu, aku berjanji akan membayarnya. Aku tidak bohong. Aku tidak akan lari!” sambung Nora, suaranya terdengar tegar meski masih bergetar. Naren hanya menatapnya. Wajahnya datar, tapi matanya menajam. Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. Dengan tangan dingin tapi mantap, Naren mengangkat dagu Nora dan memegangi wajah kecil itu dengan tekanan yang tidak menyakitkan, tapi cukup untuk membuat Nora menahan napas.“Apa kamu sudah selesai bicara?” tanya Naren pelan, nyaris seperti bisikan tapi mengandung ancaman halus di balik tenangnya.Nora tak menjawab. Sorot matanya tetap kuat menatap Naren.“Apa kamu tidak paham dengan perkataanku? Dengarkan ini baik-baik. Setelah kamu berani masuk, jangan harap bisa keluar begi
Nora terbangun dengan kepala yang masih terasa berat. Tatapannya mengarah pada sofa di sudut ruangan, tempat Naren tadi beristirahat. Namun kini kosong. Tak ada siapa pun di sana. Yang tersisa hanya keheningan, menyisakan sunyi yang terasa menusuk.“Kamu sudah bangun?” suara lembut namun tegas terdengar dari balik pintu. Nadin masuk dengan membawa nampan berisi makanan dari rumah sakit.“Kakak?” Nora terkejut.“Fera yang bilang ke Kakak kamu di sini,” jawab Nadin sambil menaruh makanan di meja kecil dekat tempat tidur. “Mana suamimu? Dia nggak datang?”“Dia tadi ada di sini,” jawab Nora lirih.“Kapan? Kakak sudah di sini dari tadi,” tanya Nadin curiga.“Sebelum Kakak datang,” jelas Nora pelan, matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang. Memperkirakan kapan Naren pergi, sebelum ia tertidur tadi waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Nadin mendesah panjang. “Kamu belum cerita semuanya k
Naren baru saja tiba di kantor ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar, dan seperti biasa, ia mengabaikannya. Tapi notifikasi pesan masuk membuat jemarinya berhenti di atas layar. Naren membacanya,("Maaf. Nomor anda di daftarkan sebagai nomor darurat. Saya ingin memberitahukan, Nona Alina Brechtje mengalami kecelakaan tunggal. Saat ini sudah dilarikan ke Rumah Sakit Harapan.")Tanpa pikir panjang, Naren berbalik, keluar dari ruangannya, dan melajukan mobil secepat mungkin ke rumah sakit. Jalanan terasa lebih panjang dari biasanya, dan pikirannya penuh oleh bayangan-bayangan masa lalu yang berusaha ia singkirkan selama bertahun-tahun.Sesampainya di rumah sakit, langkah Naren langsung terhenti ketika melihat Grizell, baru saja keluar dari ruang perawatan.“Wajahmu panik sekali,” ujar Grizell dengan senyum menggoda. “Sepertinya kamu sudah jatuh cinta pada istrimu.”Namun senyum itu lenyap seketika saat mendengar jawa