Home / Romansa / Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu / Bab 7. Cinta Yang Membuat Mati

Share

Bab 7. Cinta Yang Membuat Mati

Author: Liliana3108
last update Last Updated: 2025-04-04 07:15:15

Beberapa menit sebelumnya,

"Kamu sudah selesai?" tanya Alina yang sejak tadi menunggu di depan kamar mandi laki-laki.

Naren diam tak menanggapi. Apa yang sudah terjadi 4 tahun sebelumnya membuat ia tak bisa bersikap baik-baik saja ke Alina. Naren lanjut berjalan, mengabaikan Alina yang terus mengikutinya dari belakang.

Tidak terima dengan sikap Naren yang begitu dingin, Alina berlari kecil untuk bisa menyaingi Naren.

"Naren!" Alina berhasil menahan tangan Naren.

Naren membalikkan badannya. Kedua alisnya menekuk ke bawah dengan otot rahang yang semakin mengetat. Tatapan dingin yang mengisyaratkan kemarahan tersampaikan ke Alina yang menjadi takut.

Bukk.

Naren mendorong tubuh Alina ke dinding cukup keras.

Alina tidak cukup cepat untuk bereaksi. Matanya terbuka lebar menatap Naren. Mata Naren yang dulunya melihatnya dengan penuh cinta sudah tak ada lagi disana.

"Apa kamu tidak punya rasa malu sedikitpun?" tekan Naren, meremas tangan Alina sangat kuat hingga Alina meringis.

"Sa-sakit Naren,"

Tapi hal itu tak menyurutkan niat Naren untuk menghancurkan wanita itu.

Tanpa mereka sadari, lagi-lagi Nora menyaksikan mereka. Nora yang malah berpikir sebaliknya. Berpikir sepasang suami-istri istri itu sedang ingin bercumbu di depan umum. Pelan-pelan berjalan melewati mereka, sebisa mungkin menghilangkan suara langkah kakinya. Tapi gaun panjang yang ia gunakan dan rasa gugup karena melihat adegan itu, membuatnya tidak sengaja menginjak gaunnya.

"Kyaaa!" Nora refleks bersuara saat tubuhnya terhuyung ke depan dan hampir membuat ia mencium lantai yang dingin. Untungnya tak terjadi. Nora mengangkat kedua tangannya mencoba menyeimbangkan dirinya, menguatkan jari-jari kaki kirinya untuk menopang tubuhnya yang lebih besar. Namun sayangnya dia gagal untuk tidak menarik perhatian Naren dan Alina yang sekarang melihat ke arahnya.

"Ma-maaf. Silahkan dilanjutkan!" ujar Nora gugup, segera berlari menjauh.

"Jadi itu suaminya?" gumam Nora. Menyadari sosok laki-laki yang bersama wanita yang baru ia kenal. Laki-laki yang Adisty panggil dengan nama Naren.

"Mereka sangat cocok."

Suara yang mulai terasa tidak asing, wajah yang beberapa kali ia lihat, Naren baru sadar ternyata wanita tadi adalah Nora. Namun ia tak peduli akan hal itu. Saat ini di pikiran Naren hanya pergi dari tempat itu.

"Naren!" panggil Alina lagi, saat Naren memilih untuk melepaskannya.

"Jangan uji kesabaranku Alina!" tekan Naren berlalu pergi.

Naren tak kembali ke tempatnya. Dia berjalan ke arah pintu keluar. Namun langkahnya langsung terhenti saat tiba-tiba Nora datang menghampirinya dan menempelkan bibirnya.

"Apa wanita ini tahu cara berciuman?" batin Naren kesal, lelah bermain sendiri. Bibir Nora yang manis dan kenyal, sama sekali tak memberikan kenikmatan untuk Naren. Seharusnya Noralah yang bekerja lebih keras karena dialah yang lebih dulu melemparkan dirinya ke Naren, tapi nyatanya dia hanya menerimanya saja.

Membuka matanya dan melihat ekspresi Nora yang sama sekali tak bergairah saat menempelkan bibirnya, Naren merasa terhina.

"He," senyum di sudut bibir Naren mengembang. Saat sebuah ide muncul di benaknya. Naren menggigit bibir Nora hingga memberikan luka di tengah bibir Nora. Seharusnya Nora bereaksi dengan membuka matanya atau menarik bibirnya kembali, tapi ini tidak. Nora masih saja menempelkan bibirnya ke Naren.

"Apa sesakit itu?" batin Naren, menyadari tetesan air mata yang mengalir dari kedua pelupuk mata Nora. Suara tangis yang tak bersuara namun mengisyaratkan luka yang begitu dalam. Selain itu, tubuhnya juga gemetar hebat, keringat dingin bermunculan mengelilingi area keningnya. Suara nafas hangat yang memburu di setiap tarikan. Nora tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Nafasnya terlalu cepat," Naren menyadari.

Nora membuka matanya, tatapannya sangat kosong. Nafasnya tiba-tiba menjadi melemah. Perona pipi yang cerah luntur memperlihatkan wajahnya yang pucat.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Nora terjatuh di depan Naren. Naren sigap menangkapnya, mendekapnya dalam pelukannya.

"Nora!" Danu berjalan mendekat. Dia ingin memegangi Nora, namun ditepis Naren.

"Dia Pacarku!" tekan Danu dengan wajah memerah.

"Ku rasa tidak lagi!" balas Naren datar. Ia mengangkat tubuh Nora dengan entengnya, mungkin karena tubuh Nora tidak terlalu besar.

Naren membopong Nora, membawanya pergi bersama dengannya.

"Tunggu! Kamu mau bawa kemana Pacarku?" tahan Danu, mencengkram pundak Naren dengan sangat kuat. Matanya merah menyala, mencoba mengintimidasi Naren. Sayangnya itu tidak berguna.

"Naren!" Alina mendekat.

"Sebaiknya kamu tidak ikut campur,"

Naren tersenyum getir. "Lalat memang selalu tahu jenis mereka!" ucap Naren menajamkan matanya. Ia melihat ke arah Danu, dengan tatapan yang sama dengan Danu. Sama-sama memperlihatkan tatapan tidak suka.

"Lepaskan tanganmu jika tidak ingin patah!"

"Seharusnya aku yang bilang begitu!"

"Danu! Lepaskan!" Adisty ikut bergabung. Adisty berusaha menarik tangan Danu dengan tangan gemetar. Karena Adisty tahu, laki-laki itu tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Dia adalah orang yang Danu harus hindari.

"Danu!" bentak Adisty kesal. Dia menarik Danu menjauh dari sana dan Naren bisa berjalan kembali.

Setelah mereka berdua berhasil keluar, sebuah mobil datang mendekat. Laki-laki berkacamata keluar dari mobil dan memberikan mereka tumpangan.

***

Laki-laki berkacamata itu masih memandangi kaca spion, memastikan keadaan Nora yang duduk di belakang.

Keringat yang terus bermunculan di area wajah Nora. Suara nafas yang tak beraturan, dan wajah yang semakin pucat, memicu kecemasan laki-laki berkacamata itu.

"Dia tidak mati kan?"

Dia tidak tahu saat ini dia sedang berada di situasi seperti apa, yang jelas dia cukup menyesal langsung datang setelah mendapatkan panggilan dari Naren yang memintanya untuk datang menjemputnya.

"Orang tidak akan mati hanya karena pingsan."

"Kata siapa? Emang kamu dokter?"

"Jangan banyak bicara. Aku mau tidur!"

"Kamu memang tidak punya hati!"

Laki-laki itu sangat kaget melihat Naren keluar sambil membopong seorang wanita yang tidak dikenalnya. Yang lebih mengejutkannya, cara Naren meletakkan Nora. Ia melempar Nora begitu saja ke tempat duduk seperti barang mati. Saat inipun begitu, Nora dibiarkan duduk sendiri di belakang dengan kepala beberapa kali terbentur kaca. Entah sampai kapan posisi itu bertahan sampai mobil berbelok mungkin tubuhnya akan jatuh bergelinding ke bawah.

"Kenapa mobil ini berubah seperti kura-kura?" tegur Naren. Mobil merah sporty yang harusnya bisa melesat cepat di jalanan bergerak pelan karena takut membuat Nora jatuh.

"Kamu sudah gila? Bagaimana kalau dia jatuh ke bawah? Kepalanya terbentur? Terus dia amnesia?"

"Bagus kalau begitu,"

Jika bisa begitu, mungkin itu akan menjadi anugerah terbesar Nora. Dia bisa melupakan rasa sakit yang membuatnya merasa sakit hati, batin Naren.

"Kamu memang laki-laki tak berperasaan!"

Naren tidak menyangkalnya. Apapun yang dikatakan laki-laki berkacamata itu memang benar. Naren memejamkan matanya pura-pura tidur agar temannya tidak mengoceh lagi.

Mereka akhirnya memutuskan membawa Nora ke rumah sakit. Vivi yang kebetulan berjaga hari itu kaget mendapatkan bahwa pasien darurat yang datang adalah Nora dan yang membawanya adalah laki-laki berkacamata.

"Anda pacar Mba Nora?" Bukannya langsung memanggil temannya yang lain, Vivi lebih tertarik dengan sosok laki-laki tinggi tampan itu.

"Bu-bukan. Ini. Mau ditaruh dimana?" tanya laki-laki kacamata cemas.

"Di sana!" tunjuk Vivi menunjuk salah satu ranjang yang kosong.

"Kenapa ini?" tanya kepala perawat. Ikut mendekat setelah melihat pasien yang datang adalah Nora.

"Saya tidak tahu."

"Tidak tahu?" Vivi dan kepala perawat melempar tatapan tidak percaya.

"Saya memang tidak tahu!" laki-laki berkacamata itu mengangkat kedua tangannya. Dia datang ke sana hanya dasar keterpaksaan. Naren yang menyuruhnya membawa wanita itu ke sana. Tadinya dia sudah menolak tapi...

"Kamu ingin melihat wanita itu mati di dalam mobilmu?" kata-kata itu membuat laki-laki itu langsung membopong Nora dan membawanya masuk ke dalam.

"Tidak mungkin anda tidak tahu. Lalu kenapa anda bisa membawanya ke sini?" bentak kepal perawat. Nadanya yang kencang dan raut wajahnya yang jutek menekan laki-laki itu yang langsung menciut.

"Saya menemukannya dalam keadaan tidak sadar!" Laki-laki itu tidak sepenuhnya bohong, karena saat melihatnya dia sudah tidak sadar dalam pelukan Naren.

"Dimana?" tanya Vivi dia lebih penasaran dengan apa yang terjadi daripada keadaan Nora.

"Di Le Paradise."

"Vivi infus PCT!"

"Ya Bu!"

"Saya boleh pergi kan? Saya hanya datang membantu!"

"Ya."

Laki-laki berkacamata itu segera pergi dari sana. Menyerahkan sepenuhnya Nora pada tim medis.

"Bagaimana?" tanya Naren saat laki-laki itu membuka pintu mobil.

"Kalau kamu khawatir seharusnya kamu yang membawanya masuk!"

"Aku tidak tanya itu!" tekan Naren, nadanya sangat serius lebih serius dibandingkan tadi.

"Lalu?"

"Kamu tidak mau menjelaskan sesuatu padaku?" Tatapan dingin Naren membuat suasana di dalam mobil ikut dingin.

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Aku bertemu dengan wanita itu."

"Wanita?"

Kebingungan laki-laki itu membuat Naren semakin meruncingkan pupilnya. Aura dingin yang terasa berubah menjadi berapi-api.

"Aku benar-benar nggak ngerti maksudmu!" balas laki-laki itu menghindari tatapan membunuh Naren.

"Alina?" Tebaknya, siapa lagi wanita yang dimaksudkan Naren yang bisa membuat Naren berubah seperti serigala seperti saat ini.

"Hmm,"

"Aku ingin memberitahumu tapi kamu langsung mematikan handphone mu!"

Naren teringat saat hujan waktu itu.

"Lalu bagaimana?"

"Aku yang harusnya tanya. Apa tujuannya kembali?"

"Aku tidak tahu. Kakekku sama sekali tidak bilang apa-apa. Menurutmu?"

"Aku tidak tahu."

Pastinya itu tidak menjadi hal yang baik untuknya.

***

Nora terbangun setelah beberapa menit tak sadarkan diri. Tatapannya masih kosong seperti tadi. Ingatan saat ia melihat Adisty yang begitu berkeringat duduk di atas laki-laki bertelanjang, bagaikan pedang tajam yang kembali merobek jantung Nora.

"Hiks. Hiks. Hiks." Nora kembali menangis, tangannya meremas dadanya yang terasa begitu sakit. Luka dalam yang sama sekali tak berdarah.

"Ada apa Mba?" Vivi berlari cepat setelah mencari suara tangis yang ia dengar.

"Sakit. Dadaku rasanya sangat sakit!" ujar Nora.

"Tunggu sebentar. Aku panggilkan dokter!" Vivi yang berlari memanggil dokter yang berjaga.

"Bagaimana rasa sakitnya?" tanya Dokter itu sambil memeriksa keadaan Nora.

"Sangat sakit." tangis Nora, semakin meremas dadanya. Dokter yang merasa tidak ada yang aneh dengan detak jantung Nora merasa bingung dengan apa yang terjadi.

"Kita rontgen saja!" ujar Dokter untuk mencari tahu masalah yang terjadi karena dia tidak bisa menyimpulkan penyakit yang terjadi.

"Hiks. Hiks. Hiks." Tangis Nora masih berlanjut. Rasanya, Nora ingin membuang jantungnya, agar dia tidak merasakan rasa sakit yang hampir membuatnya merasa mati. Rasa cinta yang begitu dalam pada Danu bagaikan ribuan pedang tajam yang merobek setiap bagian tubuhnya. Nora sampai memukul-mukul dadanya agar rasanya bisa reda. Tapi bukannya reda, malah setiap ingatan manis yang pernah dilalui bersama datang menghampiri seperti ribuan panah yang menusuk jantung.

"Mba!" ujar Vivi menenangkan. Vivi tidak mengerti apa yang terjadi.

"Mba kenapa?" tanya Vivi menyadari sesuatu yang tidak beres.

Pakaian yang cantik dan polesan wajah yang begitu anggun, datang dengan wajah pucat dan mata sembab.

"Mba putus?" tanya Vivi, membuat Nora terdiam. Dia tidak tahu hubungannya akan seperti apa sekarang. Dia belum mengucapkan kata putus, tapi juga dia tidak ingin kembali pada hubungan yang sudah mengkhianatinya.

"Vivi tolong aku. Rasanya sakit sekali!" ujar Nora terlihat sangat lemah. Vivi yang biasanya ceplas ceplos dan tidak terlalu peka dengan perasaan orang lain, ikut merasakan kesedihan Nora.

"Tenang Mba! Tenang! Aku pasti akan membantu Mba!" ujar Vivi memeluk Nora.

"Rasanya begitu sakit hingga membuatku ingin mati." ujar Nora lirih. Perkataan bodoh yang seharusnya Nora tidak pernah ucapkan.

"Bukan begitu caranya. Saat Mba mati apa Mba pikir pacar Mba akan merasa sedih?" bentak Vivi penuh emosi.

Nora terdiam, bahkan walau Vivi sudah mengatakannya. Nora masih terlihat enggan untuk menerima. Seluruh hidupnya ada di Danu. Semua hal yang ia lakukan selama hidup ini selalu berkaitan dengan Danu dan sekarang bagaimana ia bisa menjalani hidup tanpa Danu? Haruskah dia memakluminya? atau mengakhiri hubungannya? atau mengakhiri dirinya agar Danu terus dihantui rasa bersalah? Mungkin itu adalah pembalasan terbaik yang ada di pikiran Nora.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 85. Menikahlah Denganku Nora

    Naren masih berdiri mematung di tempatnya, hingga suara Nora memecah lamunannya.“Kenapa kamu masih diam di sana?! Ikut aku!” bentaknya, nada marah namun terdengar seperti perhatian yang terselubung.Naren langsung melangkah mengikuti perintah. Ia memberi isyarat halus pada dua bodyguard-nya agar tidak ikut. Mereka hanya mengangguk dan mundur menjauh.Tak jauh dari tempat itu, rumah sederhana milik Nora tampak tenang di antara rumah-rumah kecil lainnya. Naren melangkah masuk setelah dipersilakan atau lebih tepatnya, diseret oleh amarah lembut Nora.“Duduk.” perintah Nora. Naren pun duduk patuh di ruang makan, sementara Nora masuk ke dapur, menyiapkan sesuatu. Tak butuh lama, aroma telur dadar dan teh hangat mengisi ruangan. Nora meletakkan piring di depannya.“Aku tahu kamu pasti belum makan. Makanlah!” bentaknya, sambil menyodorkan sendok.Naren, seperti anak kucing yang dimarahi induknya, hanya diam dan mulai makan dengan patuh

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 84. Untuk Apa Kembali?

    Naren duduk diam di kursi menghadap jendela, sementara Dokter Hadi, pria paruh baya yang bersahaja, berdiri menyandarkan diri pada meja kerjanya. Pandangannya tertuju pada Naren dengan sorot tajam namun hangat."Jadi tujuanmu sebenarnya adalah Nora, kan?" tanyanya tanpa basa-basi.Naren terkejut. Bahunya menegang. Ia menoleh perlahan, tapi tak menjawab. Hanya sorot matanya yang berubah gelap."Kamu tidak perlu kaget," lanjut Dokter Hadi."Saat kamu koma, ayahmu selalu datang ke sini. Hampir setiap bulan. Dia menceritakan semuanya padaku tentang kamu."Naren masih diam. Seolah kata-kata Dokter Hadi menyayat bagian terdalam dari jiwanya."Jadi… kamu masih mencintai istrimu?"Naren Diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Suasana yang menjadi sunyi seketika, seperti menyembunyikan perasaan yang tak pernah bisa ia buang."Ayahmu memintaku menjaga Nora dan anakmu," ujar Dokter Hadi lebih lembut,"Karena dia ya

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 83. Tidak Benar-benar Melupakan

    Suasana klinik sangat ramai. Pasien silih berganti datang. Nora berdiri tenang dengan stetoskop tergantung di lehernya, memeriksa seorang pasien anak-anak dengan telaten."Tidak apa-apa, nanti Tante kasih stiker ya," ucap Nora sambil tersenyum lembut, membuat anak itu berhenti menangis. Namun, di belakang, di ruang istirahat perawat, suara begitu heboh dan bisik-bisik terdengar semakin riuh."Kamu udah lihat belum? Ini lho! Naren Dirgantara! Ganteng banget, parah!""Gila sih, itu cowok kayak keluar dari lukisan!""Katanya dia ahli waris satu-satunya, dan sekarang resmi pegang semua aset Dirgantara Grup!"Nora yang sedang menuliskan catatan medis pasien hanya mendengarkan. Nama Naren berulang kali terdengar di telinganya, menerobos masuk ke dalam pikirannya yang sudah berusaha keras untuk melupakannya."Liat deh wajahnya,""Kok bisa ya ada laki-laki setampan dan sekaya itu hidup di dunia nyata?"Beberapa perawat tertawa cekikik

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 82. Tidak Berharap Lagi

    Waktu berlalu dengan cepatnya. Setelah Noah dinyatakan sembuh total, mereka kembali ke rumah. 2 TAHUN BERLALU, Langit gelap bergemuruh. Hujan turun perlahan sebelum berubah menjadi deras. Payung-payung hitam terbuka di antara orang-orang berpakaian gelap yang berdiri dalam diam dan duka.Noah berdiri tegak sambil menggenggam tangan ibunya erat. Wajahnya kecil, tapi tajam. Sorot matanya menyiratkan kecerdasan dan keberanian yang belum pantas dimiliki anak seusianya.Tiba-tiba petir menyambar dari langit, kilat itu menyinari bola matanya yang berwarna abu-abu keperakan. Mata yang familiar, mata dari seorang Dirgantara.Semua orang menoleh. Seolah dunia diam hanya untuk menatap anak itu.“Kenapa kita harus ke sini, Ibu?” tanya Noah pelan. Nada suaranya dewasa.Nora menunduk dan membelai rambut Noah dengan lembut.“Karena kita keluarga.” jawabnya lirih. Mata Nora tetap mengarah pada liang lahat di kejauhan, tempat tubu

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 81. Noah Yang Baru

    “Stabil! Detak jantungnya kembali!”“Sambungkan ke mesin bantu. Lanjutkan penyesuaian implan!” ucap Dokter yang bertanggung jawab atas operasi Noah. Ruangan itu kembali tenang, tapi mencekam. Nora nyaris jatuh bersimpuh di lantai. Grizell yang melihat hendak mendekat, tapi langsung berhenti saat melihat seorang perawat keluar dan memegang bahu Nora. “Bu, operasinya belum selesai. Tapi kami berhasil mengatasi krisisnya.” beritahunya. Grizell merasa lega. Nora hanya bisa menangis. Tangis yang membuncah karena terlalu lama ia tahan. Ia menunduk, menyentuh lantai rumah sakit dan memejamkan matanya dalam sujud syukur.6 jam sudah berlalu, Nora tak berhenti menatap ruangan. Saat lampu operasi akhirnya padam. Pintu ruang operasi terbuka perlahan. Seorang dokter dengan pakaian bedah masih lengkap keluar dengan senyum lelah tapi tulus. Grizell dan Nora langsung berdiri.“Operasinya berhasil,” ujar sang dokter.Nora membek

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 80. Noah

    Di rumah sakit. Nora duduk diam di sisi ranjang sambil menggenggam tangan Noah yang sedang tertidur lemah. Selang infus terpasang di tangannya. Nafasnya sudah lebih stabil dari sebelumnya, tapi suara alat bantu di samping terus berbunyi, seolah mengingatkan penyakit Noah belum benar-benar pergi.Nora menunduk lesu, memijat pelipisnya yang berdenyut. Matanya sembab, wajahnya pucat. Di depannya, map-map laporan medis dan brosur dari berbagai rumah sakit berserakan. Semua tentang implan jantung anak-anak. Semua dengan satu kesimpulan, mahal, rumit, tidak ada, dan harus segera.Sepuluh hari ia berjuang sendiri. Bertanya kepada teman-teman lamanya, dokter kenalan, yayasan sosial, bahkan mencoba mencari daftar donor. Tapi semua jawabannya sama, waktu yang ia miliki terlalu sempit. Dan itu membuat Nora merasa seperti terperangkap dalam ruang sempit tanpa jalan keluar.Dengan tangan gemetar, Nora menunduk, mencium punggung tangan Noah yang mulai hangat. Air m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status