"Kenapa kamu menarik ku?" Danu menarik tangannya dari Adisty. Menatap Adisty dengan penuh amarah. Seharusnya Adisty tidak membawanya, karena sekarang Danu jadi tidak tahu Nora ada dimana. Dia tahu kesalahannya tapi dia tidak bisa membiarkan Nora begitu saja dibawa olek laki-laki asing yang tak ia kenal. Bagaimana jika laki-laki itu berbuat sesuatu pada Nora?
Danu kesal memikirkannya. Membayangkan apa yang ia lakukan dengan Adisty bisa saja terjadi pada Nora. Danu semakin marah. Dia tidak mau itu terjadi. "Agghhhhh!" teriaknya sambil menjambak rambutnya sendiri. "Tenanglah Danu!" "Bagaimana aku bisa tenang? Semua ini gara-gara kamu!" balas Danu mendorong Adisty menjauh darinya. "Bagaimana jika laki-laki itu berbuat sesuatu pada Nora?" Rahang Danu semakin mengetat dengan wajah memerah, bahkan urat-urat di wajahnya hampir terlihat. Dia tidak bisa membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Nora. "Kamu mau kemana?" "Menurutmu?" "Dia bukan lawanmu Danu. Dia Naren Dirgantara! Kamu pasti tahu dia kan?" Danu berhenti mendadak. Dia muak mengakui dirinya yang bukan apa-apa melebihi sosok itu. "Lalu apa?" Danu melanjutkan langkah kakinya. "Cowok itu gila Danu. Dia bisa melakukan hal apapun padamu!" Adisty berlari mengejar Danu, menahan Danu dengan melingkarkan kedua tangannya di lingkar pinggang Danu. Menguncinya agar tidak kemana-mana. "Aku mohon jangan berurusan dengannya. Biar aku saja. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu," ujar Adisty dengan nada pelan diiringi tetesan air mata yang mengalir. Adisty yang begitu kuat menjadi lemah dihadapan Danu. Adisty tidak tahu kenapa dia bisa sampai menangis seperti itu karena Danu. Kenapa dia begitu takut terjadi sesuatu pada Danu. Padahal Danu sama sekali tak mempedulikan dirinya. Walau Danu mendengar isak tangis Adisty. Danu tetap meninggalkannya. "Jangan pernah temui aku lagi!" Adisty termenung seorang diri di sana, menatap punggung Danu yang mulai menghilang dari pandangannya. "Sayangnya aku tidak bisa," balas Adisty dan Danu tidak dengar itu. *** Drrrtttt, dering handphone Nora terus bergetar sejak tadi. Nama Danu yang terpampang jelas di layar membangkitkan rasa sakit dan marah di hati Nora. "Apa Mba yakin?" Vivi tidak tahu jika perkataan yang dia lontarkan dianggap begitu serius oleh Nora. Dia agak menyesal sudah mengatakannya. Mengotori sesuatu yang masih putih membuat hati nuraninya merasa bersalah. "Ya." jawab Nora, mematikan handphonenya ke mode off. Dia sudah berjanji akan menghilangkan rasa sakitnya dengan melakukan hal yang sama seperti Danu dan Adisty lakukan. Membuktikan dirinya bahwa diapun bisa melakukan hal yang mereka lakukan. "Ok..," jawab Vivi masih agak khawatir. Mereka berdua pun masuk ke dalam. Suara alunan musik Dj terdengar kencang bercampur riuh suara teriakan orang yang menari. Sebuah pandangan yang membuat Nora berhenti seketika. Ini hal baru bagi Nora. Keluar dari zona nyamannya membuat ia sedikit ragu untuk meyakini keputusannya. Degup jantungnya berdetak kencang seperti tabuhan gendang, namun rasa sakit yang begitu dalam hingga membuat ia sulit untuk bernafas menghilangkan akal pikirannya. Nora memang sudah gila datang ke tempat itu "Kalau mba gak yakin kita bisa pulang!" "Lalu bagaimana? Aku tidak ingin menangis semalaman sampai mati Vi!" ujar Nora, matanya yang sembab tidak bisa disembunyikan oleh polesan warna yang dibubuhkan di wajahnya. "Itu tidak boleh terjadi! Mari kita buktikan bahwa kita juga bisa melakukan hal yang sama seperti mereka!" Vivi ikut terpancing, mengingat dirinya yang juga masih dalam fase menyembuhkan diri dari sang mantan. Tidak ragu-ragu lagi, Vivi menarik tangan Nora melewati beberapa orang di sana. Nora mungkin sudah mati rasa. Nora yang biasanya akan langsung gemetar saat tubuhnya tak sengaja bersentuhan dengan sosok bernama Adam menjadi tak merasakan apa-apa. Ketakutan yang luar biasa itu menghilang dikuasai rasa amarah untuk balas dendam. "Vodka 2!" Vivi memesan. Seorang bartender dengan rambut pirang datang mendekati mereka. "Saya tidak pernah melihat anda sebelumnya. Apa ini pertama kali?" tanyanya ramah, ekor matanya mengarah ke arah Nora yang terlihat begitu gugup. menggagalkan ide yang sudah ia buat tadi. "Ya," jawab Vivi tersenyum lebar. Wajah campuran bartender tersebut membuat Vivi tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya. "Silahkan nikmati minumannya!" ujarnya meletakkan hasil racikannya di depan Nora. "Minuman apa ini?" "Minuman yang bisa membuat Mba lupa akan rasa sakit!" balas Vivi tersenyum senang. Memberikan Nora meminum minuman beralkohol tinggi, pastinya bisa membuat Nora langsung tidur. Setidaknya dengan ini dia tidak merasa bersalah sudah membuat Nora yang polos menjadi anak nakal seperti dirinya. "Terima kasih," Di ujung meja samping kiri, ada Naren dan Andrew yang juga sedang menikmati minuman mereka. "Bukannya itu wanita yang tadi?" tunjuk Andrew ke arah Nora. Membuat Naren melihat ke arah yang ditunjuk. Naren melihat ke arah Nora yang tampak begitu gelisah. Melihat kesana-kemari seperti melihat hal yang menakutkan. Dan siapa wanita yang ada di sampingnya? "Biarkan saja!" ujar Naren, sibuk meneguk minumannya sendiri. Dia pernah berada di posisi Nora. Dia pikir dengan melampiaskan semuanya dengan minum akan membuat rasa sakitnya menghilang tapi nyatanya tidak. 4 tahun lalu. Naren yang baru pulang kerja berniat untuk melihat tunangannya sebentar di apartemen. Setelah lelah bekerja, tentunya bersama dengan orang tercinta akan meredakan kelelahan. Namun apa? Naren malah mendapatkan Alina yang sedang bertelanjang berada di bawah seorang laki-laki. Suara erangannya yang erotis dan kenikmatan yang dua orang itu rasakan saat menyatukan diri menjadi satu, tidak menyadari kehadiran Naren. Saking tidak mengertinya dengan apa yang ia lihat di depan matanya, Naren hanya termenung menonton dua orang yang memadu kasih tersebut. "Oi lihat itu!" "Apa lagi?" keluh Naren malas, tapi tetap melihat ke arah Andrew menunjuk. Setelah meneguk minuman yang diberikan oleh Vivi dalam satu kali tegukan, Nora langsung tenggelam dalam alam bawah sadarnya. Nora berjalan sempoyongan ke arah kerumunan orang-orang yang sedang menari menikmati musik yang tengah dimainkan. "Mba! Mba!" Vivi menahan tubuh Nora yang berjalan ditengah kerumunan. Menarik Nora agar kembali ke tempat duduk mereka. "Lepas Vi! Aku harus membalas perbuatan mereka." Vivi cukup menyesal memberi saran agar Nora juga bisa melakukan one night stand dengan laki-laki asing. "Jangan Mba. Kita sebaiknya pulang!" tarik Vivi. Dia pikir Nora akan langsung tidur setelah meminum minuman yang beralkohol tinggi, ternyata tidak. Nora masih bisa bergerak. "Tidak! Aku harus melepas kesucianku hari ini juga!" teriak Nora membuat semua mata melihat ke arahnya. Andrew tertegun tapi Naren malah tersenyum getir. "Sepertinya dia patah hati!" komentar bartender tadi, mengisi kembali gelas kosong milik Naren. "Benar begitu?" tanya Andrew ke Naren, tentunya Naren pasti tahu. Naren diam tak menjawab, ia kembali meneguk minumannya seperti orang yang gila minum. "Kamu gak mau coba yang beralkohol?" "Tidak!" "Dia akan langsung berubah seperti orang yang berbeda kalau minum yang beralkohol," balas Andrew dengan senyuman di bibirnya. Terakhir kali dia melihat Naren minum dia bertingkah seperti bocah ingusan yang terus menangis seperti anak kecil yang tidak diberikan permen. "Kamu mau tahu ceritanya?" Andrew menawarkan diri namun Naren langsung melemparkan tatapan peringatan. "Aku bercanda," balas Andrew, sesekali dia masih begitu tertarik untuk melihat Nora yang masih saling tarik menarik dengan temannya. "Kamu tidak ingin membawanya pergi dari sini? Lalat-lalat itu terlihat mulai tertarik pada bunga itu!" "Hanya lebah yang suka bunga dan lalat selalu tertarik pada sampah!" Komentar Naren secara tidak langsung mengatakan bahwa Nora hanyalah gadis sampah. Andrew sampai kehabisan kata-kata dibuatnya. "Sepertinya memang benar dia tidak memiliki ketertarikan apapun pada wanita itu," gumam Andrew dalam hati. Ketidakpedulian Naren terlihat begitu jelas. Brukkk. "Mba Nor!" teriak Vivi, saat Nora tiba-tiba terjatuh ke lantai. Suaranya yang kencang menarik semua perhatian orang-orang di sana tak terkecuali Andrew, Naren, dan Jeden, bartender yang merupakan pemilik tempat itu. "Maaf!" Jeden melepaskan celemek yang mengikat di pinggangnya, segera menghampiri kerumunan yang mengerumuni Nora. Semuanya adalah laki-laki. "Biar aku bantu!" Setelah apa yang dikatakan Nora tadi, banyak laki-laki hidung belang yang datang menawarkan diri. "Lihat lalat-lalat itu! Kamu akan diam saja?" tanya Andrew memastikan. Dia hendak turun untuk melihat saat Naren tiba-tiba meletakkan gelasnya dengan kencang di atas meja, membuat langkah Andrew terhenti. Naren meninggalkan tempatnya dan pergi ke arah kerumunan. Mungkin karena Nora mengingatkannya pada dirinya yang dulu. Andrew diam di tempatnya menonton Naren yang menjadi pahlawan bagi sang puteri. Senyuman sumringahnya memperlihatkan dirinya yang begitu senang. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Naren menyerobot masuk dan mengangkat tubuh Nora yang ternyata begitu panas seperti api menyala. Seharusnya Nora tidak minum setelah pingsan tadi. Sekarang keadaannya pasti akan tambah buruk. "Hei!" baru saja Vivi akan menegur Naren sampai sorot lampu mengarah ke wajah Naren yang kemudian memperlihatkan keindahan duniawi itu. Wajah tampan Naren membungkam mulut Vivi dan orang-orang yang ada di sana. Andrew yang menonton tidak terkejut sama sekali karena memang Naren sangat tampan. Keindahan duniawi itu menurun dari sang ibu. "Mba harus berterimakasih padaku!" ucap Vivi membiarkan Nora dibawa pergi oleh Naren. "Kamu mendapatkan laki-laki yang tampan untuk melepaskan kesucianmu!" sambungnya lagi dengan suara tawa licik. "Kenapa wanita itu?" gumam Andrew merinding melihat Vivi yang tertawa seperti iblis nakal. "Kenapa kamu masih diam di sana?" panggil Naren melirik Andrew. "Aku ikut?" Andrew kaget. "Kamu mau mobil kesayanganmu ada di tempat rongsokan?" "Jangan! Aku baru saja membelinya!" Andrew langsung berlari ke arah Naren. Lagi-lagi dia harus mengantar kedua orang itu. Tapi sekarang kemana? "Kamu mau tidur dengannya?" "Aku bukan laki-laki brengsek sepertimu!" balas Naren. Berhasil membuat Andrew terdiam. "Tolong pintunya!" "Kamu gak mungkin nyuruh aku jadi depan kan?" Andrew sudah minum beberapa teguk Taquila. Walau masih sadar tapi dia sudah meminum minuman beralkohol tinggi. "Buka saja pintunya!" balas Naren malas. Seperti terakhir kali, Naren kembali melemparkan Nora ke tempat duduk, kepalanya terbentur keras ke pintu mobil tapi tak membuat Nora terbangun dari alam bawah sadarnya. "Merepotkan!" ucap Naren kesal melakukan hal untuk kedua kalinya dalam satu hari adalah hal bodoh yang pernah ia lakukan. Karena ingin istirahat. Andrew pun ikut duduk di belakang. "Mau ngapain kamu? Keluar!" "Aku mau istirahat!" "Duduk di depan!" perintah Naren. Akhirnya Andrew keluar lagi dan duduk di sebelah Naren yang sudah bersiap menjalankan mobil. Baru menyandarkan kepalanya ke tempat duduk. Mobil langsung melesat cepat. Andrew sampai membuka matanya lebar. "Naren. Kamu serius?" ujar Andrew menoleh ke belakang, memastikan keadaan Nora. Nora yang saat itu juga langsung terlempar ke depan kursi. Wajahnya menabrak tempat duduknya, itulah yang membuat Andrew sangat kaget. "Kamu sudah gila!" oceh Andrew, walau dia tahu dirinya laki-laki brengsek setidaknya dia tahu cara memperlakukan wanita dengan baik. Andrew membalikkan badannya, menahan wajah Nora dengan kedua tangannya. Wajah Nora yang lembut dan memerah seperti kepiting rebus membuat Andrew ikut memerah. Dia baru melihat dari dekat ternyata wanita itu sangat cantik bahkan saat tidur. Merasakan ada sesuatu yang menyentuhnya, Nora membuka matanya dan melihat laki-laki di depannya. "Kacamata?" gumamnya tertawa, karena mengingat dirinya. Senyumannya membuat Andrew tertegun dengan degup jantung tak karuan. "Apa karena pengaruh alkohol?" gumamnya, dia terpesona melihat wajah Nora yang memiringkan kepalanya bertingkah seperti anak kecil yang meminta untuk dimanja. Sampai tiba-tiba Andrew tersadar dari lamunannya. "Owekkk!" Nora memuntahkan semua isi perutnya ke depan mengenai kursi bahkan kedua tangan Andrew. Andrew yang tidak bisa berada di situasi seperti itu, merasa ikut mual dan bahkan ikut memuntahkan isi perutnya juga. "Owekkk!" "Sial!" umpat Naren mengetat. Menutup hidungnya dengan sebelah tangannya. Semakin mempercepat laju mobil. *** Naren membopong Nora sampai ke tempat tidur dan kemudian melemparkannya begitu saja. Bau busuk dari muntahan perut Nora membuat rahang Naren mengeras dengan wajah memerah karena amarah. "Seharusnya aku membuangnya di jalan!" gerutunya penuh emosi. Melihat bajunya yang ikut ternodai. Naren berjalan pergi dari sana, meninggalkan Nora seorang diri di tempat gelap itu. "Tolong bersihkan tubuhnya!" pinta Naren pada seseorang yang baru datang. Seorang pelayan wanita yang langsung naik ke atas setelah tahu bahwa yang datang adalah Naren Dirgantara. "Baik tuan!" jawab wanita itu. Pagi harinya, Nora yang baru bangun langsung berteriak kencang membuat kehebohan. "Kyaaakkkkkkk. Apa ini? Apa aku sudah melepaskan kesucianku?" ucap Nora gemetar dengan wajah pucat. Mendapati bahwa baju yang ia pakai bukanlah baju yang ia kenakan tadi malam. Lalu sekarang dia ada dimana? Suara air keran yang menyala menjadi perhatian Nora yang menjadi semakin tegang. Siapa laki-laki yang sudah menidurinya?Naren masih berdiri mematung di tempatnya, hingga suara Nora memecah lamunannya.“Kenapa kamu masih diam di sana?! Ikut aku!” bentaknya, nada marah namun terdengar seperti perhatian yang terselubung.Naren langsung melangkah mengikuti perintah. Ia memberi isyarat halus pada dua bodyguard-nya agar tidak ikut. Mereka hanya mengangguk dan mundur menjauh.Tak jauh dari tempat itu, rumah sederhana milik Nora tampak tenang di antara rumah-rumah kecil lainnya. Naren melangkah masuk setelah dipersilakan atau lebih tepatnya, diseret oleh amarah lembut Nora.“Duduk.” perintah Nora. Naren pun duduk patuh di ruang makan, sementara Nora masuk ke dapur, menyiapkan sesuatu. Tak butuh lama, aroma telur dadar dan teh hangat mengisi ruangan. Nora meletakkan piring di depannya.“Aku tahu kamu pasti belum makan. Makanlah!” bentaknya, sambil menyodorkan sendok.Naren, seperti anak kucing yang dimarahi induknya, hanya diam dan mulai makan dengan patuh
Naren duduk diam di kursi menghadap jendela, sementara Dokter Hadi, pria paruh baya yang bersahaja, berdiri menyandarkan diri pada meja kerjanya. Pandangannya tertuju pada Naren dengan sorot tajam namun hangat."Jadi tujuanmu sebenarnya adalah Nora, kan?" tanyanya tanpa basa-basi.Naren terkejut. Bahunya menegang. Ia menoleh perlahan, tapi tak menjawab. Hanya sorot matanya yang berubah gelap."Kamu tidak perlu kaget," lanjut Dokter Hadi."Saat kamu koma, ayahmu selalu datang ke sini. Hampir setiap bulan. Dia menceritakan semuanya padaku tentang kamu."Naren masih diam. Seolah kata-kata Dokter Hadi menyayat bagian terdalam dari jiwanya."Jadi… kamu masih mencintai istrimu?"Naren Diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Suasana yang menjadi sunyi seketika, seperti menyembunyikan perasaan yang tak pernah bisa ia buang."Ayahmu memintaku menjaga Nora dan anakmu," ujar Dokter Hadi lebih lembut,"Karena dia ya
Suasana klinik sangat ramai. Pasien silih berganti datang. Nora berdiri tenang dengan stetoskop tergantung di lehernya, memeriksa seorang pasien anak-anak dengan telaten."Tidak apa-apa, nanti Tante kasih stiker ya," ucap Nora sambil tersenyum lembut, membuat anak itu berhenti menangis. Namun, di belakang, di ruang istirahat perawat, suara begitu heboh dan bisik-bisik terdengar semakin riuh."Kamu udah lihat belum? Ini lho! Naren Dirgantara! Ganteng banget, parah!""Gila sih, itu cowok kayak keluar dari lukisan!""Katanya dia ahli waris satu-satunya, dan sekarang resmi pegang semua aset Dirgantara Grup!"Nora yang sedang menuliskan catatan medis pasien hanya mendengarkan. Nama Naren berulang kali terdengar di telinganya, menerobos masuk ke dalam pikirannya yang sudah berusaha keras untuk melupakannya."Liat deh wajahnya,""Kok bisa ya ada laki-laki setampan dan sekaya itu hidup di dunia nyata?"Beberapa perawat tertawa cekikik
Waktu berlalu dengan cepatnya. Setelah Noah dinyatakan sembuh total, mereka kembali ke rumah. 2 TAHUN BERLALU, Langit gelap bergemuruh. Hujan turun perlahan sebelum berubah menjadi deras. Payung-payung hitam terbuka di antara orang-orang berpakaian gelap yang berdiri dalam diam dan duka.Noah berdiri tegak sambil menggenggam tangan ibunya erat. Wajahnya kecil, tapi tajam. Sorot matanya menyiratkan kecerdasan dan keberanian yang belum pantas dimiliki anak seusianya.Tiba-tiba petir menyambar dari langit, kilat itu menyinari bola matanya yang berwarna abu-abu keperakan. Mata yang familiar, mata dari seorang Dirgantara.Semua orang menoleh. Seolah dunia diam hanya untuk menatap anak itu.“Kenapa kita harus ke sini, Ibu?” tanya Noah pelan. Nada suaranya dewasa.Nora menunduk dan membelai rambut Noah dengan lembut.“Karena kita keluarga.” jawabnya lirih. Mata Nora tetap mengarah pada liang lahat di kejauhan, tempat tubu
“Stabil! Detak jantungnya kembali!”“Sambungkan ke mesin bantu. Lanjutkan penyesuaian implan!” ucap Dokter yang bertanggung jawab atas operasi Noah. Ruangan itu kembali tenang, tapi mencekam. Nora nyaris jatuh bersimpuh di lantai. Grizell yang melihat hendak mendekat, tapi langsung berhenti saat melihat seorang perawat keluar dan memegang bahu Nora. “Bu, operasinya belum selesai. Tapi kami berhasil mengatasi krisisnya.” beritahunya. Grizell merasa lega. Nora hanya bisa menangis. Tangis yang membuncah karena terlalu lama ia tahan. Ia menunduk, menyentuh lantai rumah sakit dan memejamkan matanya dalam sujud syukur.6 jam sudah berlalu, Nora tak berhenti menatap ruangan. Saat lampu operasi akhirnya padam. Pintu ruang operasi terbuka perlahan. Seorang dokter dengan pakaian bedah masih lengkap keluar dengan senyum lelah tapi tulus. Grizell dan Nora langsung berdiri.“Operasinya berhasil,” ujar sang dokter.Nora membek
Di rumah sakit. Nora duduk diam di sisi ranjang sambil menggenggam tangan Noah yang sedang tertidur lemah. Selang infus terpasang di tangannya. Nafasnya sudah lebih stabil dari sebelumnya, tapi suara alat bantu di samping terus berbunyi, seolah mengingatkan penyakit Noah belum benar-benar pergi.Nora menunduk lesu, memijat pelipisnya yang berdenyut. Matanya sembab, wajahnya pucat. Di depannya, map-map laporan medis dan brosur dari berbagai rumah sakit berserakan. Semua tentang implan jantung anak-anak. Semua dengan satu kesimpulan, mahal, rumit, tidak ada, dan harus segera.Sepuluh hari ia berjuang sendiri. Bertanya kepada teman-teman lamanya, dokter kenalan, yayasan sosial, bahkan mencoba mencari daftar donor. Tapi semua jawabannya sama, waktu yang ia miliki terlalu sempit. Dan itu membuat Nora merasa seperti terperangkap dalam ruang sempit tanpa jalan keluar.Dengan tangan gemetar, Nora menunduk, mencium punggung tangan Noah yang mulai hangat. Air m