Setelah Salma masuk ke dalam ruangan Seno, Arini, sekretaris Seno langsung menghubungi Adila, istri sah Seno. Dia melaporkan pada wanita itu tentang kedatangan Salma ke kantor mereka. "Oke, Rin! Makasih atas infonya! Sekarang juga, saya otw ke sana. Kebetulan, saya memang lagi di mall mentari." Adila mematikan ponselnya setelah mendengar laporan Arini. Sambil berusaha mengatur ritme napasnya agar kembali normal, Adila terus beristighfar sembari mengusap air mata yang perlahan mulai menetes. "Awas kamu, Mas! Aku akan balas semua perbuatan kamu secara tunai!" gumamnya sebelum memantapkan hati untuk menyelesaikan semuanya. Hanya berkendara sekitar lima menit lebih, Adila akhirnya tiba di perusahaan yang saat ini dipimpin oleh sang suami. Penuh ketegasan dan percaya diri, Adila berjalan memasuki lobi dan meminta kedua security yang berjaga untuk mengikutinya ke ruangan sang suami. "Bu...," sambut Arini begitu lift terbuka dan Adila keluar dari sana bersama dua orang sekuriti yang dia
Salma tak pernah menduga jika ternyata Seno jauh lebih menyedihkan dibanding Bian. Dia pernah berpikir bahwa Seno yang selalu mengendarai mobil mewah itu adalah sosok pria yang kaya raya. Namun, ternyata lelaki itu tak lebih dari seorang budak, yang diperas keringatnya oleh sang istri tanpa bisa berkutik sedikitpun.Terbukti, saat perselingkuhan mereka terbongkar hari ini, Seno langsung diusir tanpa diberi apa-apa. Bahkan, uang sepeser pun, tak ada Adila sisakan untuk suaminya.Seno ditendang hanya dengan bekal pakaian yang dia kenakan. Bahkan, jam tangan serta sepatu pantofel miliknya juga diambil paksa oleh sang istri sah."Kamu jangan keterlaluan, Dil! Masa' sepatu sama jam tanganku mau kamu ambil juga?" protes Seno."Jam dan sepatu ini, aku yang beli, Mas!" sahut Adila dengan mata yang masih dipenuhi kilat amarah."Kalau begitu, beri aku sedikit uang tunai! Setidaknya, cukup untuk sewa kontrakan dan biaya makanku selama beberapa bulan ke depan." Seno masih berusaha menawar.Percum
"Kamu benar, Salma, kan?" tanya wanita berhijab itu sekali lagi.Dia menghampiri Salma lalu berusaha melihat wajah wanita itu. Namun, Salma terus berusaha untuk menghindar dan melindungi wajahnya."Salah orang," kata Salma dengan suara yang sengaja dibuat serak. Berharap, bisa mengecoh perempuan berhijab itu."Mana mungkin aku salah orang. Kamu memang Salma, kok." Wanita berhijab itu melipat kedua tangannya sambil memindai penampilan Salma yang terlihat berantakan."Ya, ini memang aku. Puas kamu, Mbak?" Akhirnya, Salma mengaku juga. Ia memperlihatkan wajahnya yang dihiasi dengan tatapan yang begitu angkuh."Penampilan kamu kenapa, Salma? Kok, berantakan gini? Tuh, kancing baju kamu bahkan belum ditutup semua."Salma yang semakin malu karena teguran wanita berhijab itu langsung mengancingkan bajunya secepat kilat.Air mata yang mendesak keluar, berusaha ia tahan sebisa mungkin. Gengsi, dong! Masa' dia harus menangis dihadapan Najwa?Ya, wanita berhijab itu memang Najwa. Mantan kakak ma
"Ibu! Bangun, Bu!" panggil Salma panik.Dipangkunya kepala sang Ibu sambil menepuk-nepuk pipinya. Barangkali, upaya itu bisa membuat Ibunya sadar kembali. Namun, hingga beberapa detik kemudian, tanda-tanda sang Ibu akan sadar belum terlihat juga."Mas Seno! Mas!!!" teriak Salma. "Mas Seno!""Apa, sih?" tanya Seno yang keluar dari kamar dengan tampang yang kusut. Roman wajahnya terlihat agak kesal."Ibuku pingsan, Mas! Tolong bantu aku bawa Ibu ke klinik!" pinta Salma dengan panik."Arghhh!!! Ngerepotin aja, sih!" gerutu Seno.Untungnya, lelaki yang baru saja dibuang istrinya itu mau membantu Salma. Dia segera mengangkat tubuh Bu Dian menuju ke mobil rentalan yang untungnya belum dikembalikan Salma."Kamu yang nyetir, ya, Mas! Aku... aku nggak bisa nyetir dalam keadaan panik.""Ya," angguk Seno setuju.Perjalanan menuju ke klinik terdekat hanya memakan waktu kurang lebih sepuluh menit. Bu Dian langsung ditangani oleh tenaga medis sementara Salma menunggu dengan gelisah, ditemani oleh l
Bian sudah menebak jika reaksi Neti akan seperti ini. Sang adik sudah terlanjur cinta mati pada laki-laki yang usianya jauh lebih muda itu."Net, dengar penjelasan Mas dulu! Mas punya alasan, kenapa Mas sampai melakukan hal itu," bujuk Bian sambil berusaha memegang kedua tangan Neti yang terus berusaha untuk memukul dadanya."Apa? Apa lagi yang mau Mas jelaskan, hah? Paling, suamiku hanya minta dibayarin uang kontrakan aja kan, Mas? Iya, kan? Dan, seharusnya Mas bayarin aja! Masa' duit segitu, Mas perhitungan dan lebih memilih mengusir suamiku, sih?""Bukan karena itu, Net!" geleng Bian menyangkal."Terus apa? Cicilan motor? Iya?""Bukan juga," jawab Bian lagi."Terus apa? Kesalahan apa yang suamiku lakukan sampai-sampai Mas tega ngusir dia, hah?"Mata Neti yang membulat, tampak dipenuhi kilat amarah. Baginya, Dika adalah segalanya. Dunianya. Dan, jika Dika pergi, maka Neti tak akan pernah bisa bertahan lagi."Dika selingkuh sama Salma!" ujar Bian dengan suara yang lumayan tinggi.Deg
"Kita lihat nanti saja ya, Mas!" jawab Najwa.Dia tak bisa berjanji. Takut, janji itu tak akan bisa dia tepati."Aku permisi dulu! Assalamualaikum!" pamitnya pada pria berambut gondrong itu. "Wa-waalaikumsalam," jawab Deva.Dia menyaksikan punggung Najwa yang perlahan hilang saat berbelok melewati rak berisi barisan Snack. Sementara, dirinya masih berdiam di sana hingga beberapa menit berlalu."Kali ini, aku nggak akan nyerah, Wa! Aku pasti akan berjuang untuk mendapatkan kamu. Tunggu, saja!" * Ting! Ting! Ting! Najwa membunyikan klaksonnya berkali-kali saat seorang pria berdiri sambil merentangkan tangan, menghalangi laju kendaraannya yang ingin masuk ke halaman rumahnya sendiri. Saat Najwa mengerem, laki-laki itu langsung menghampiri pintu pengemudi kemudian mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil Najwa. "Ada apa lagi, sih, Mas?" tanya Najwa dengan tampang yang terlihat teramat kesal. "Mas mau bicara! Tolong turun dulu!" pinta Bian. "Ck! Aku capek habis pulang kerja, Mas! Apa ngg
"Maaf, aku menolak!" jawab Najwa dengan tegas.Sementara, senyum di wajah Bian seketika sirna. Dia kecewa dengan jawaban Najwa."Loh, kenapa? Apa kamu takut, Ibu akan merepotkan kamu? Tenang aja! Begitu Mas sudah dapat kerjaan, Mas akan rutin mengirim uang untuk biaya hidup Ibu selama tinggal sama kamu.""Bukan hanya uang yang jadi masalah!" bantah Najwa. "Bi Iroh aku pekerjakan hanya untuk mengurus rumah. Kalau aku minta dia untuk merawat Ibu kamu juga tanpa tambahan bayaran sepeserpun, pasti dia bakalan nolak dan memilih untuk resign saja.""Kan a...,""Begitu pun dengan Ibu aku! Aku ngajakin Ibu ke sini hanya untuk liburan dan senang-senang. Bukan untuk disuruh merawat mantan besan yang dari dulu nggak pernah bisa menghargai beliau." Cepat, Najwa memotong kalimat Bian dengan kata-kata yang tajam dan begitu menohok.Seharusnya, Bian masih memiliki muka untuk sedikit tahu diri akan posisinya. Selama ini, dia dan Ibunya selalu menghina profesi kedua orangtua angkat Najwa yang hanya p
Bian terdiam sesaat. Dia mencerna tawaran Arlo dengan baik. Investasi? Ah, rasanya Bian kurang yakin dengan cara yang satu ini. "Nggak, ah!" tolak Bian. Dia kembali memasukkan satu suapan nasi ke dalam mulut. "Loh, kenapa? Padahal, gue udah baik banget loh, mau tawarin lu buat ikut investasi ini." Bian melirik Arlo sesaat. Kemudian, fokusnya kembali pada nasi yang kini hampir tandas diatas piring. "Entar, lu malah nipu gue, lagi." "Mana mungkin, Yan!" sangkal Arlo seraya berdecak kesal. Dia terlihat keberatan saat Bian mengatakan hal seperti itu tentang dirinya. "Gue ini sebenarnya cuma kasihan aja sama Lu. Makanya, gue nawarin lu buat ikut sama gue di investasi ini. Tapi, kalau lu nggak mau, ya udah! Gue sih, nggak ada masalah kalau misalnya lu memang nggak mau ikut. Tapi, jangan sebut gue penipu juga, dong! Tersinggung nih, gue!" "Ya, maaf, Lo! Kan, gue cuma waspada aja. Masalahnya, penipuan berkedok investasi udah mulai marak akhir-akhir ini." "Itu sih, kalau Lu memang nggak