Bab 3
"Ibu, tolong percaya pada Aini. Aini tidak mungkin melakukan hal keji itu. Janin ini darah daging Aini dengan Mas Hisyam." Aini meraih pergelangan kaki Bu Laras. Ia berharap hati Bu Laras luluh dan mau memaafkan serta memberinya kesempatan sekali lagi.
Tidak ada yang dimiliki oleh Aini selain keluarga dari suaminya. Ia yang berasal dari panti asuhan merasa memiliki keluarga sempurna saat menjalin hubungan dengan Hisyam. Lelaki baik yang mau menerima keadaannya sebagai gadis yatim piatu. Sayangnya laki-laki itu mudah dihasut akan kabar yang belum jelas kebenarannya.
Namun kini, bayangan kisah hidupnya yang malang tengah mengancam masa depan janin yang dikandungnya. Aini tidak mau anaknya merasakan hal yang sama seperti dirinya.
Bu Laras terdiam melihat Aini yang terus memohon padanya. Hati dan pikirannya sedang berperang untuk menolong menantu yang sudah disayangi layaknya anaknya sendiri.
"Maafkan Aini, Bu," lirih Aini lagi.
"Maafkan Ibu, Aini. Ibu hanya bisa memberimu kesempatan sampai bayimu lahir untuk tes DNA agar bisa melihat apakah dia memang darah daging Hisyam atau bukan. Jika memang dia bukan darah daging Hisyam, Ibu minta maaf, terpaksa semuanya Ibu serahkan pada Hisyam," jawab Bu Laras tegas.
"Tidak, Bu. Hisyam tidak mau menampung wanita yang berkhianat," sergah Hisyam lantang. Kilatan amarah tercipta di dalam sorot matanya yang tajam menatap wajah Aini.
"Benar, Mas. Jangan lagi dikasih hati, nanti ngelunjak!" desis Zahra tak terima. Ia bak bahan bakar emosi yang terus saja menyulut amarah laki-laki satu-satunya di ruangan itu.
"Bagaimana pun dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Ngga mungkin asal mengusirnya sebelum benar-benar jelas siapa bapak dari janin yang dikandung Aini." Bu Laras menyela. Ia tak mau dikuasai oleh amarah. Usia yang matang membuatnya lebih bisa mengendalikan gejolak dalam hatinya.
Bu Laras mendekat ke badan Aini. Ia meraih tubuh yang lemas itu, lalu membantunya berdiri dan memapahnya ke dalam kamar.
Aini menurut. Sedikit saja ia merasa bahwa dirinya masih diharapkan di keluarga ini. Sikap Bu Laras yang sedikit lunak dan memberinya kesempatan untuk tetap tinggal membuatnya sedikit lega. Minimal ia memiliki waktu yang cukup untuk mencari bukti bahwa dirinya tidak berselingkuh.
Hisyam memukul tembok dengan tangan yang mengepal. Ia tak rela jika menunggu terlalu lama dengan hidup seatap bersama sang istri yang dituduhnya memiliki selingkuhan. Ucapan Zahra benar-benar membuatnya terbalut sangkaan buruk yang menyebabkan hancurnya kepercayaan terhadap sang istri.
"Makasih ya, Bu," lirih Aini dalam rangkulan Bu Laras.
"Sama-sama. Bukan Ibu tidak marah soal tuduhan perselingkuhan yang kamu lakukan, hanya saja, sebagai wanita Ibu tak mungkin membiarkanmu pergi begitu saja. Sebab tanggung jawab atas dirimu masih ada pada pundak putra Ibu."
"Aini tidak bersalah, Bu. Aini tidak selingkuh."
"Benar atau tidak, kita buktikan setelah bayimu lahir," jawab Bu Laras cepat. Tak ada keramahan dalam wajahnya, ia enggan menatap wajah sendu sang menantu yang sedang memohon ampunan.
Aini menunduk. Tidak ada keraguan dalam hatinya soal janin tersebut. Sikap Bu Laras yang lunak itu membuatnya sedikit lega, minimal ada satu anggota keluarga yang bersikap baik padanya. Meskipun ucapannya sedikit terdengar tidak ramah ditelinga tapi minimal ia mau membuka tangan untuk menerima Aini di rumahnya sampai terbukti bahwa anak itu adalah darah dagingnya.
"Kamu istirahat dulu," ujar Bu Laras setelah membantu Aini duduk di ranjangnya.
Aini mengangguk. Ia meraih badan Bu Laras untuk dipeluknya sebelum membiarkan wanita yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri itu pergi dari kamarnya.
"Makasih ya, Bu, Ibu sudah mau menerima Aini." Mata Aini dipenuhi serpihan air yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Sebagai seorang Ibu, aku tidak mungkin membiarkanmu terlunta-lunta dijalanan dalam kondisi sedang hamil. Apalagi janin itu yang telah lama dinantikan dikeluarga ini, terlepas dari benar atau tidak itu anak hasil selingkuh atau bukan." Bu Laras mengusap punggung Aini. Bagaimana pun, ia sudah menganggap Aini layaknya anak sendiri. Dan kabar ini tidak serta merta ditelan mentah-mentah begitu saja. Harus ada bukti yang memang menjelaskan bahwa Aini memang melakukannya.
Aini terdiam. Ia tak mampu menjawab ucapan mertuanya. Meskipun lunak, tetap saja wajah itu tidak menyiratkan keramahan seperti biasanya.
"Ibu pergi dulu," pamit Bu Laras. Ia berjalan menuju pintu kamar yang tidak ditutup.
Namun baru beberapa langkah, kaki Bu Laras kembali berhenti dan bibirnya mengaduh. Seperti ada yang terasa sakit di kepalanya.
"Bu," panggil Aini saat melihat Bu Laras berdiri sambil memegang kepalanya.
"Ibu kenapa?" tanya Aini lagi. Ia berjalan dengan tergesa mendekati badan mertuanya di ambang pintu.
"Ngga apa-apa. Kamu istirahat saja. Ibu pergi dulu." Bu Laras mengusap lengan Aini sebagai isyarat bahwa dirinya baik-baik saja.
"Baiklah." Aini menjawab dengan ragu. Terbersit rasa khawatir dalam diri Aini saat melihat mertuanya tiba-tiba mengeluh. Tetapi ucapan Bu Laras membuat Aini terpaksa membiarkannya pergi begitu saja.
Mata Aini pun mengikuti gerak mertuanya keluar dari kamar. Hatinya bersyukur Bu Laras masih bersedia memberinya izin untuk tetap tinggal. Sebab ia yakin setelah janinnya lahir, kondisi rumah tangganya akan kembali seperti sedia kala.
Untuk sesaat, Aini lupa akan video yang dikirim oleh Aisha. Ia terlalu larut akan tuduhan sang suami terhadapnya yang tidak pernah ia lakukan.
"Jahat sekali kamu Zahra," ucap Aini kesal. Ia meletakkan kepalanya di sandaran ranjang sambil memejamkan matanya mengenang segala keindahan yang selama ini terjadi. Tetapi, keindahan itu kini berakhir dengan sebuah perselingkuhan.
Sebuah suara kencang terdengar dari luar ruangan dan seketika membuyarkan isi kepala Aini. Ia pun segera berlari keluar untuk melihat apa yang sedang terjatuh itu.
Mata Aini membelalak saat melihat wanita yang disayanginya tergeletak di dalam kamar mandi.
"Ibu!" teriak Aini keras.
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag