Share

Bab 2

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2023-06-22 14:55:03

"Mas, dengarkan penjelasanku dulu," teriak Aini lantang. Ia berusaha meraih lengan suaminya tetapi Hisyam menggeser badannya. 

Hisyam memalingkan wajahnya dari hadapan Aini. Sakit hati dan kecewa berjejalan dalam hatinya. Ia tak tahu harus bahagia atau bersedih.

"Ngga perlu menjelaskan. Foto itu sudah membuktikan semuanya." Zahra menyahuti. Ia tak mau membiarkan Hisyam luluh akan ucapan Aini.

"Ayo, Mas. Kita pergi saja," ajak Zahra kemudian. Ia memeluk lengan Hisyam dengan eratnya dan menggandengnya menuju mobilnya terparkir.

Seulas senyum miring terbit dari bibir Zahra yang kemerahan. Hatinya bersorak penuh kemenangan. Usahanya dan kesabarannya akhirnya membuahkan hasil.

Aini menunduk sambil menikmati hujan tangis di wajahnya. Betapa suami yang dicintainya tega membiarkannya dalam keadaan seperti ini. Laki-laki yang mengambil alih tanggung jawab dari keluarganya kini telah ingkar akan janji setia yang diucapkannya semasa ijab dulu.

Langkah Aini gontai meninggalkan tempatnya terduduk. Ia terpaksa pergi dari tempat itu seorang diri. Bahagia yang diharapkan nyatanya malah berujung dengan pertikaian yang tak diduga. Bahkan tuduhan atas perselisihan yang terjadi itu membuat hatinya perih.

Selingkuh? Bagaimana mungkin bisa Aini lakukan sementara hidupnya terasa bahagia bisa menjadi Nyonya Hisyam Aditya.

Mata Aini menatap jalan raya dengan pandangan nanar. Ia kembali menelusuri ingatannya saat kejadian dalam foto itu terjadi. Ia tidak bisa mengelak karena kejadian itu memang benar adanya dan ia tak punya daya untuk menyangkalnya.

Aini kembali ke rumahnya. Tak ada tempat untuk pulang selain rumah yang ditempatinya bersama sang suami dan ibu mertuanya. Sebuah harapan timbul dalam hati Aini saat mengingat wajah mertuanya. 

"Lihatlah, Bu. Lihatlah menantu Ibu ini, dia telah berselingkuh dengan laki-laki lain," ucap Zahra menyambut kedatangan Aini. Ia berdiri dan menyambut Aini di depan pintu dengan sorot mata penuh rasa jijik.

Wajah Bu Laras tampak geram. Menantu yang sudah dianggap layaknya anak sendiri ternyata tega melakukan pengkhianatan terhadap putra semata wayangnya. Kesabarannya menantikan seorang cucu dari rahimnya ternyata dibalas dengan perbuatan keji.

Mata Aini menatap sekeliling ruangan dengan pandangan nanar. Ia tak menyangka jika Zahra sedemikian tega melakukan ini terhadapnya, terlebih ada Bu Laras yang sedang duduk bersama mereka. Hubungan baik yang ia kira seperti saudara kini lebih layak disebut sebagai musuh dalam selimut.

"Apa benar kamu telah berselingkuh, Aini?" tanya Bu Laras tegas. Tak ada keramahan dalam pertanyaannya dan itu membuat Aini tak berani membalas tatapan mata mertuanya. Ia lebih memilih diam dan menunduk sambil tangannya memilin ujung baju yang menempel di badannya.

"Aini," panggil Bu Laras lagi.

"Tidak, Bu. Aini tidak sekeji itu." Sekuat tenaga Aini menyangkal. Ingin rasanya ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi melihat kobaran amarah pada bola mata mereka membuat Aini kehilangan nyali.

"Siapapun yang melakukan kesalahan tidak akan dengan mudah mengakui kesalahannya, Bu. Lihatlah, dia bahkan tak berani menatap wajah Ibu dengan tegas." Zahra tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Tidak, Bu. Aini tidak berselingkuh. Aini setia sama Mas Hisyam. Jangan menuduh Aini yang bukan-bukan, karena Aini tak mungkin melakukannya." Aini masih berusaha membela dirinya. Ia membalas tatapn Bu Laras yang masih tajam menatap wajahnya.

Sayangnya, wajah wanita paruh baya yang tak merespon itu membuat Aini merasa khawatir.

"Lalu apa artinya foto itu? Apa kurang jelas bahwa yang ada di dalam foto itu adalah kamu?" sahut Zahra lagi. 

"Sudah cukup!" pekik Hisyam. Hatinya yang hancur, makin hancur karena mendengar pertikaian tiga wanita di hadapannya. Ia berdiri dan berjalan menuju sisi Aini.

"Mas ngga nyangka kamu tega melakukan ini pada Mas. Mas setia sama kamu tapi nyatanya, kamu menduakan Mas dengan begitu keji. Penampilanmu yang polos dan apa adanya nyatanya jauh berbanding terbalik dengan kelakuanmu!"

"Tidak, Mas. Tidak begitu. Dengarkan penjelasanku dulu," rintih Aini dalam tangisnya. Ia tak tega mendengar ucapan suaminya yang terlihat jelas bahwa ia sakit hati atas foto itu.

"Penjelasan apa lagi? Semuanya sudah jelas!" sahut Zahra.

"Kamu jangan ikut campur dalam masalah ini. Aku tadi datang untuk melihat perbuatan keji kalian, tapi mengapa kalian malah berbalik menuduhku yang bukan-bukan?" ucap Aini akhirnya. Entah ia dapat kekuatan dari mana sehingga bisa berkata lantang seperti itu.

"Mas dan Zahra tidak ada apa-apa. Kamu tahu kami berteman sejak dulu, bahkan kamu juga mengenal dia dengan baik."

"Berteman baik bukan berarti bebas makan berdua di tempat yang sepi seperti itu. Bahkan Mas sampai mengusap sisa makanan di sudut bibir Zahra. Hal itu tidak wajar bagi teman biasa. Pasti ada sesuatu yang tak biasa antara kalian." 

"Sebagai teman yang sudah seperti saudara, hal itu biasa bagi kami," sela Hisyam lagi. "Kamu yang lebih tega sampai masuk ke dalam hotel. Apa yang kalian lakukan di sana?"

"Mas, aku tidak mela-"

"Halah. Semua yang bersalah juga akan mengatakan hal yang sama. Tidak ada penjahat yang mengaku bahwa dirinya adalah penjahat." Zahra tak mau kalah. Ia tak akan membiarkan usahanya sia-sia.

Aini menatap geram wajah Zahra yang tengah tersenyum miring menatapnya. Hatinya marah pada wanita yang telah ia anggap layaknya saudara sendiri tapi kini, sepertinya ia sengaja melakukan hal ini.

"Janin itu, jangan-jangan hasil perselingkuhan kalian?" tuduh Hisyam lantang setelah beberapa saat terdiam.

Kalimat itu cukup menampar kesadaran Aini. Hatinya hancur bak remahan beling. Usaha keras yang dilakukan telah membuahkan hasil tetapi bukan pelukan hangat atau ucapan selamat yang ia dapatkan melainkan tuduhan keji membuat Aini kecewa seketika.

"Pergi saja kamu, buat apa masih di sini?!" seru Hisyam keras. Cintanya luruh seiring dengan foto Aini dengan lelaki lain yang berkelindan dalam kepalanya.

"Tunggu!" pekik Bu Laras keras.

"Bu, dia sudah berselingkuh, buat apa dipertahankan?"

"Janin itu, harus bisa membuktikan bahwa dia adalah darah daging kamu," ucap Bu Laras dengan pandangan tak lepas dari wajah sembab Aini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Jufri Arifin
2 bab hanya mengulang ulang kalimat yg sama
goodnovel comment avatar
Ema maria Ulfah
geram bgt,kali2 jadi istri pemberani tampar aja tu pelakornya
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Aini yang malang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 105

    "Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 104

    "Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 103

    Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 102

    Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 101

    Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 100

    "Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status