Meski sudah terpuruk di halaman rumah, Ibu Mertua masih mencoba membela dirinya. Wajahnya yang basah oleh air mata dan debu tampak penuh dendam, terutama padaku."Ini rumah anakku! Kalian tidak bisa begini! Riska ini pezina! Dia main api dengan laki-laki lain! Harusnya kalian bersyukur, kami masih mau menerimanya!"Tidak mau kalah, Ninik bangkit tertatih, matanya melotot tajam ke arahku. "Betul! Riska ini pelacur! Dia berzina dengan Bang Zul! Bahkan dia jual diri di luar sana! Makanya dia punya banyak uang untuk beli peternakan itu! Dia membeli dengan uang haram!" Cercaan itu meluncur deras, menusuk-nusuk telingaku, menggores hatiku yang baru saja dingin dan tenang. Kata-kata Ninik yang menuduhku jual diri dan mengatai uangku haram, sebuah tuduhan keji yang jauh melampaui batas, sontak membuat suasana yang sudah tegang semakin memanas. Tiba-tiba, dari dalam rumah, terdengar derap langkah cepat. Sesosok perempuan muncul dari ambang pintu, wajahnya memerah padam karena marah. Dia adal
Motorku melaju pelan saat memasuki pagar rumah. Malam sudah larut, dan suasana kompleks perumahan tampak tenang. Hal inilah yang kuharapkan, jauh dari tatapan penuh penghinaan dari para tetangga, serta pertanyaan yang tidak pernah mau mendengar penjelasan.Aku bahkan belum memarkir motorku, sebab perasaanku langsung berombak tidak menentu. Setelah beberapa langkah, aku terdiam cukup lama di depan rumah. Sebab, aku merasa heran melihat dua buah mobil berjejer di halaman rumahku.Mobil-mobil itu tidak asing, salah satunya adalah mobil pikap yang biasa dipakai di peternakan desa, dan satu lagi adalah mobil mewah yang asing untukku. Jantungku berdesir. Aku tidak tahu kenapa ada mobil yang tidak asing di halamanku.Sebuah firasat muncul seiring dengan ayunan kaki menuju rumah. Apa ini? Kenapa ada mobil Ayah di rumah? Apa Ayah yang datang?Aku melangkah mendekat, rasa penasaran mengalahkan rasa lelah dan takutku.Lalu, semuanya terjawab saat aku sudah masuk ke halaman.Dari dalam rumah, ter
Aku menatap kosong ke arah jalan, mataku masih saja terpaku pada siluet Bang Fahri dan Ninik yang berboncengan mesra di motor, semakin menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan.Pemandangan itu bagai belati yang menusuk, seolah membenarkan semua dugaanku. Mereka berdua seperti menunjukkan kalau mereka adalah dalang di balik semua kekacauan ini, lalu hidup bahagia setelah menghancurkan hidupku.Dadaku begitu sesak, amarah membakar dan kekesalan menumpuk di kepala. Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan mereka."Kak Nah, mereka... mereka pelakunya, kan?" bisikku, suaraku tercekat. Entah harus bagaimana lagi, tapi aku ingin Kak Nah berkata iya.Kak Nah mengangguk, rahangnya mengeras. "Sudah jelas, Riska. Mereka yang merencanakan ini semua." Kak Nah mengusap bahuku. "Tapi sekarang, kita harus fokus. Apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu punya ide?"Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Otakku berputar mencari jalan keluar. Kejadian semalam yang masih membuat lututk
Aku melawan dengan sekuat tenaga, mengumpulkan semua amarah dan rasa putus asa yang menghimpitku. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil alih hidupku lagi. Tidak akan pernah. Namun, satu melawan empat adalah pertarungan yang sia-sia. Tenagaku terkuras, tubuhku yang sudah lelah akibat kejadian di pondok dan penggerebekan itu terasa semakin berat. Meskipun aku berhasil melayangkan beberapa tendangan dan dorongan, mereka terus mendesak, seperti ombak yang tidak ada habisnya. Akhirnya, dengan napas terengah-engah dan air mata yang kembali membasahi pipi, aku menyerah. Aku mundur beberapa langkah, membiarkan Bang Fahri dan yang lainnya menerobos masuk ke dalam rumahku. Mereka melangkah dengan angkuh, seolah-olah merekalah pemilik sah rumah ini. Sebuah senyum kemenangan tipis terukir di bibir Ninik dan Ibu Mertua. Bang Fahri hanya menatapku dengan sorot mata puas. Aku tidak lagi melawan. Aku membiarkan mereka sesuka hati menguasai ruang tamuku. Aku hanya berbalik, melangkah
Darahku mendidih melihat mereka berempat berdiri di depan rumahku, seolah mereka adalah pemiliknya. Rasa lelah, marah, dan terhina yang baru saja kurasakan di peternakan kembali menyeruak, berkali-kali lipat. Mereka pasti sudah mendengar kabar penggerebekan itu, dan ini adalah kesempatan emas bagi mereka untuk menekanku.Aku menghentikan langkah, aku sendirian di sini, bahkan gadis muda keponakan Pak RT sudah naik ojol."Lihat, Bu! Si Pezina itu sudah pulang!" teriak Ninik, suaranya melengking tajam, memecah keheningan malam. Dia melangkah maju dengan angkuh, diikuti oleh ibu mertua dan Bang Fahri."Dasar wanita murahan! Baru saja digerebek, sudah berani pulang ke sini?!" timpal Ibu Mertua, matanya menyala-nyala. "Kamu ini sudah membuat malu keluarga kami! Kamu itu masih istrinya Fahri! Beraninya berzina dengan laki-laki lain!"Ucapan itu bagai pukulan langsung ke ulu hatiku. Rasa sakit dan amarah bercampur aduk. Aku bahkan belum sempat mencerna tuduhan serta fitnah tadi, kini mereka
“Mau pergi ke mana kamu? Enak saja, sudah berbuat hina sekarang mau kabur?” Salah satu warga menekan pundak Bang Zul, membuat pria yang sudah sangat sakit itu terduduk kembali di sofa.“Ya, benar itu! Mau ke mana kamu? Kamu kira ini masalah sepele?” sambar yang lainnya tidak mau kalah.“Kalau saja perempuan itu tidak punya suami, sudah kami nikahkan kalian! Apa kalian tidak tahu kalau berzina bisa membawa azab? Kami tidak mau menanggung azab karena ulah kalian.”Aku hampir saja menangis lagi. Namun, Pak RT tiba-tiba berdiri tegak menghentikan warga yang masih riuh, wajahnya memancarkan kemarahan dan kekecewaan. "Cukup! Kalian semua dengar saya! Ini hanyalah fitnah, paham?” Suaranya menggelegar, memotong bisikan-bisikan protes warga. "Apa kalian tidak bisa melihat situasinya? Apa kalian bisa membuktikan kalau mereka berzina? Jangan sampai kalian menyesal karena bertindak gegabah!"Warga yang termakan provokasi itu masih tampak keberatan. Beberapa di antara mereka mencoba mempertahankan