Share

Bab 155

Author: Bemine
last update Last Updated: 2025-07-21 23:07:42

Setelah percakapan panjang dan penuh pengakuan dengan Bang Zul di peternakan, kami akhirnya berpisah. Bang Zul kembali ke urusannya, pulang entah ke tempat mana yang disebutnya rumah, sementara aku pulang ke rumah bersama Ayah dan ketiga saudara tiriku.

Hari sudah menjelang senja, langit mulai memudar dari jingga ke ungu, menciptakan siluet pohon-pohon di kejauhan. Bahkan saat aku mengintip dari jendela mobil, puluhan burung berterbangan, hendak pulang.

Setibanya kami di depan gerbang rumah, aku melihat Ibu Tiriku sedang berdiri di depan rumah, mengobrol serius dengan istri Pak RT. Raut wajah Ibu Tiriku nampak tegang dan kesal. Ada aura kekhawatiran yang terpancar jelas darinya, sesuatu yang jarang kulihat. Selama ini, beliau sangat tegar, bahkan tidak gentar saat seluruh desa menghujatnya sebab menikahi ayah yang merupakan suami dari sahabatnya sendiri.

Begitu mobil Ayah berhenti dan aku melangkah keluar, Ibu Tiri langsung bergegas menghampiriku. Wajahnya yang biasanya tenang k
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 159

    Mentari pagi di desa terasa berbeda. Hangat, tapi tidak menyengat seperti di kota. Suara kokok ayam dan kicauan burung menyambutku saat aku membuka mata. Udara segar yang bersih memenuhi paru-paru, jauh dari polusi knalpot kendaraan. Inilah rumah, tempat aku bisa kembali menjadi diriku sendiri.Aku bangun, merapikan ranjang yang menemaniku tumbuh dewasa dan pergi dari desa ini demi sebuah harapan yang pada akhirnya musnah. Suasananya masih sama, bahkan seluruh tata letaknya juga serupa dengan kali terakhir aku mengingatnya.“Sarapan, Ris?” sambut ibu tiriku saat aku keluar dari kamar.Di meja makan, semua anggota keluarga sudah berkumpul. Mereka duduk melingkari meja makan yang di atasnya terhampar makanan, nasi goreng, ayam goreng, kerupuk, serta teh hangat.Setelah sarapan sederhana buatan Ibu Tiri dan Bik Yum yang hangat dan lezat, aku memutuskan untuk pergi ke warung. Persediaan di rumah masih minim setelah perjalanan. Aku bahkan tidak punya sikat gigi dan sabun mandi.Aku mengena

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 158

    Pertanyaan Ibu Tiriku tentang Bang Zul menggantung di udara, membebani benakku. Namun, setelah beberapa saat diam, aku perlahan menggelengkan kepala. Aku sudah menyiapkan diri untuk meninggalkan kota ini, meletakkan semua kenangan pahit di belakangku. Bahkan, peternakan sudah diambil alih oleh pabrik Bang Zul, sebuah keputusan final yang menandakan babak baru dalam hidupku.Ibu Tiriku menatapku lekat, senyumnya memudar, digantikan oleh tatapan pengertian. Beliau mengangguk pelan, seolah memahami sepenuhnya isi hatiku yang masih terlalu rapuh untuk membangun impian baru."Baiklah, Nak," ucapnya lembut, mengusap punggungku begitu lembut. "Ibu mengerti. Kamu sudah terlalu banyak melewati hal berat. Biarlah semua ini jadi pelajaran."Lalu, ibu tiriku beranjak, beliau berjalan pelan keluar dari kamar. Kuantar kepergiannya dengan sorot mata sayu. Hatiku pilu, tapi aku tidak mau berharap pada siapapun.Sore menjelang. Langit berubah lebih kelabu, angin sepoi dan sunyi, memancarkan perpisahan

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 157

    Lampu jalanan yang menyala sejak magrib tiba, menyorot samar langkah kaki kami saat aku dan keluargaku keluar dari rumah Pak RT. Wajah Bang Fahri, Ibu Mertua, Ninik yang tadinya congkak kini pucat pasi, terpaku dalam keheningan yang mematikan di depan rumah Pak Rt. Mereka seperti patung, dililit mimpi buruk yang baru saja kubuka di depan mata mereka. Awalnya aku kira mereka sudah pulang, ternyata mereka masih punya secuil sopan santun pada Pak Rt yang sudah membanru mereka. Ekspresi ibu mertua bengis saat melihatku. Empat ratus juta rupiah utang pada Bang Zul, serta ancaman tuntutan dari pabrik besar Bang Zul. Itu pasti menjadi pukulan telak yang membuat mereka tidak bisa bernapas. Aku bisa melihat keputusasaan dan ketakutan merayap di wajah mereka. Aku berjalan menjauh, memunggungi mereka yang terdiam kaku. Ada rasa lega yang meluap, bercampur sedikit rasa puas yang tidak bisa kuabaikan. Setidaknya, mereka kini merasakan sebagian kecil dari penderitaan yang telah mereka timp

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 156

    Ibu mertua tidak menunggu, beliau langsung menegaskan tujuannya bersedia datang ke rumah Pak RT. Begitu juga anggota keluarga yang lain, langsung duduk di sofa seolah ini adalah rumahnya. Bang Fahri mengangguk sombong, menyeringai ke arahku. Ninik dan Salma juga ikut tersenyum puas, seolah mereka sudah memenangkan pertarungan ini. Mereka duduk sembari menyilang kaki, memasang wajah penuh kepuasan, seolah kemenangan sudah di tangan mereka. Aku hanya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tidak bisa diartikan oleh lawan-lawanku ini. Aku memilih untuk duduk tenang, membiarkan Ibu Mertua terus mengoceh tentang rencana mereka, tentang bagaimana mereka akan menghabiskan uang hasil pembagian peternakan, tentang betapa aku akan menyesal. "Nanti kalau peternakan itu sudah dibagi, kita bisa beli mobil baru, Fahri! Dan Ibu bisa beli perhiasan yang banyak, kita bisa pindah dari kamar reyot itu!" celoteh Ibu Mertua, nadanya penuh semangat. "Memang nasib kita baik! Si Riska ini bodoh sekali membeli

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 155

    Setelah percakapan panjang dan penuh pengakuan dengan Bang Zul di peternakan, kami akhirnya berpisah. Bang Zul kembali ke urusannya, pulang entah ke tempat mana yang disebutnya rumah, sementara aku pulang ke rumah bersama Ayah dan ketiga saudara tiriku. Hari sudah menjelang senja, langit mulai memudar dari jingga ke ungu, menciptakan siluet pohon-pohon di kejauhan. Bahkan saat aku mengintip dari jendela mobil, puluhan burung berterbangan, hendak pulang. Setibanya kami di depan gerbang rumah, aku melihat Ibu Tiriku sedang berdiri di depan rumah, mengobrol serius dengan istri Pak RT. Raut wajah Ibu Tiriku nampak tegang dan kesal. Ada aura kekhawatiran yang terpancar jelas darinya, sesuatu yang jarang kulihat. Selama ini, beliau sangat tegar, bahkan tidak gentar saat seluruh desa menghujatnya sebab menikahi ayah yang merupakan suami dari sahabatnya sendiri. Begitu mobil Ayah berhenti dan aku melangkah keluar, Ibu Tiri langsung bergegas menghampiriku. Wajahnya yang biasanya tenang k

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 154

    Suasana di rumah pondok hening, hanya suara angin sepoi-sepoi yang sesekali menerobos celah dinding kayu. Aku, Ayah, dan Bang Zul duduk saling berhadapan, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi ruang pada pengakuan yang akan mengubah segalanya.Setelah pengakuan Bang Zul tentang Ninik dan Burman, ada satu pertanyaan lain yang mengganjal di benakku, namun Ayah-lah yang lebih dulu bertanya. Sedangkan aku sendiri lebih banyak diam dengan bibir gemetar.“Jadi, benar kamu sudah nikah?” Ayah masih tidak percaya meski sudah mendengarnya sendiri.Bang Zul menghela napas panjang, tatapannya menerawang jauh, seolah kembali ke lorong waktu yang gelap, penuh kenangan pahit."Ya, Pak. Aku memang sudah menikah." Nada suaranya dipenuhi kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Dia mengepalkan tangan di pangkuan, seolah menahan gejolak batin. "Selama ini, aku tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Tidak ada yang akan percaya jika aku mencoba menjelaskannya di tengah keramaia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status