“Ayah, kenapa tiba-tiba bahas ini?” protesku menggema pelan. Melihat Ayah bicara sangat serius bahkan tanpa berkedip, membuat keraguan membanjiri benakku. Rasa sakit dari masa lalu masih begitu nyata. Apakah aku siap untuk membuka hati lagi? Apakah aku bisa mempercayai seorang laki-laki setelah pengkhianatan yang begitu dalam? Bahkan membayangkan hari-hari kelam yang dulu kulalui sebagai istri Bang Fahri membuat perutku mual seperti terlilit. Namun, di tengah semua keraguan itu, satu kebenaran menonjol dengan sangat jelas: sejak dulu, satu-satunya laki-laki lain yang peduli denganku selain Ayah adalah Bang Zul.Pria itu selalu ada. Entah itu saat aku terpuruk karena perceraian, saat aku kehilangan peternakan, bahkan saat aku dihina dan direndahkan oleh semua orang. Dia selalu menjadi penolong, tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balasan. Dia melihat potensiku, mendukung impianku, dan bahkan memberiku harapan ketika aku sendiri sudah kehilangan hal itu.Aku menarik napas dalam-dalam, m
Akhir pekan akhirnya tiba, membawa serta kelegaan yang amat sangat setelah seminggu penuh dengan tugas kuliah dan jadwal padat. Aku merindukan suasana desa, ketenangan rumah, dan tentu saja, Ayah serta Ibu Tiri dan adik mungil yang menggemaskan. Dengan menumpang bus antar kota, aku berangkat, meninggalkan hiruk pikuk kota dan semua ingatan pahit tentang pertemuanku dengan mantan ibu mertua dan Ninik. Sejak kejadian itu, aku memang sengaja menghindari area sekitar warung mereka, tidak ingin lagi menelan drama yang tidak berujung. Aku hanya ingin fokus pada kuliah dan menata hidup, bukannya mengumbar pada setiap orang soal masa laluku yang pahit dan kelam.Perjalanan dengan bus lumayan menguras tenaga, tapi semangat untuk pulang ke rumah mengalahkan rasa lelahku. Saat bus akhirnya berhenti di terminal desa, udara pedesaan yang akrab langsung menyambutku. Aku mengambil tasku dari bagasi, lalu berjalan kaki menuju rumah yang sudah sangat kurindukan.Beberapa warga nampak santai menyapaku,
Mobil Bang Zul melaju tenang meninggalkan area kampus, membelah jalanan kota yang mulai ramai. Aku masih duduk membeku di kursi penumpang, pikiranku kacau balau, mencoba mencerna kata-kata terakhir Bang Zul."Menikahlah denganku, Riska. Supaya status jandamu yang kamu anggap memalukan itu hilang." Kalimat itu terus berputar-putar di kepalaku, seperti kaset rusak yang tak kunjung berhenti.Apakah ini sebuah lamaran serius? Atau hanya cara Bang Zul untuk membangkitkan semangatku agar berani menghadiri reuni? Wajah Bang Zul saat mengucapkannya terlihat serius, begitu tulus, tapi klakson di belakang kami mengakhiri momen itu dengan begitu tiba-tiba, membuatku tidak sempat bereaksi.Aku melirik Bang Zul. Dia tampak tenang, fokus pada kemudi. Wajahnya menunjukkan konsentrasi, seolah apa yang baru saja dia katakan hanyalah hal sepele yang tidak perlu dipikirkan lebih lanjut. Namun, aku tahu, itu jauh dari kata sepele."Bang Zul," panggilku pelan, suaraku sedikit parau.Dia menoleh sekilas, m
Pertanyaan Bang Zul yang menggantung di udara, diiringi keheningan yang menyesakkan, membuatku terpatung. Aku menatapnya, mataku mungkin memancarkan seribu pertanyaan dan seribu ketakutan sekaligus. Namun, bibirku kelu, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun untuk menghadapi pria tinggi ini.Sebuah gumpalan tebal terasa mengganjal di tenggorokanku, menahanku untuk menjawab semua pertanyaan itu.Apakah semua ini benar-benar nyata? Apakah Bang Zul serius dengan semua ucapannya?Setelah semua yang aku lalui, setelah semua pengkhianatan, rasa sakit dan kekecewaan yang kualami, mungkinkah ada harapan baru yang begitu besar, begitu tulus, datang dari seseorang seperti Bang Zul?Bang Zul menatapku lekat, seolah mencari jawaban di mataku yang kosong. Senyum tipis terukir di bibirnya, sebuah senyum yang penuh pengertian, namun juga ada jejak kesedihan yang samar di sana. Dia menghela napas pelan, seperti menerima kebisuan sebagai jawaban sementara. Mungkin Bang Zul tahu, aku butuh waktu, ya
Aku berjalan menuju mobilnya, dan saat membuka pintu, sebuah kilas balik memori langsung menghantamku. Ini adalah mobil yang sama, mobil yang dulu sering aku tumpangi saat masih bersama Bang Fahri, saat dia masih memperlakukanku dengan baik. Ingatan itu membuatku sedikit meringis, rasa pahit muncul kembali. Aku masuk ke dalam, duduk di kursi penumpang. Aroma khas mobil itu masih sama. Bang Zul duduk di belakang kemudi, lalu mulai melajukan mobil dengan tenang, membelah jalanan pagi yang mulai ramai."Jadi, apa kegiatanmu sekarang?" Bang Zul memulai percakapan, mencoba memecah keheningan yang sedikit canggung di antara kami berdua."Aku hanya kuliah saja, Bang," jawabku, pandanganku tertuju pada jalanan di depan. "Di bagian Agribisnis."Bang Zul mengangguk. "Agribisnis, ya. Itu pilihan yang bagus sekali, Ris. Sesuai dengan latar belakangmu di peternakan. Aku tahu kamu memang punya bakat di sana." Dia tersenyum, lalu menoleh sekilas padaku. "Aku senang melihat kamu yang sekarang. Kamu
Setelah pertemuan tidak terduga dengan Bang Zul dan drama di warung makan, aku kembali ke kos dengan langkah gontai. Pikiran dan perasaanku campur aduk.Siapa sangka, di tengah kota yang begitu luas ini, takdir kembali mempertemukanku dengan masa lalu yang ingin kuhindari, dan masa lalu yang selalu memberiku pertolongan. Aroma masakan dari warung itu, disusul jeritan Ibu Mertua, masih terngiang di telingaku. Aku mencoba mengenyahkannya, fokus pada tugas-tugas kuliah yang menumpuk, sembari duduk di lantai beralaskan karpet, serta meja lipat pendek berwarna biru dan segelas minuman dingin.Saat aku sedang sibuk mengerjakan tugas yang rumit di meja belajarku, ponselku berdering nyaring di atas bantal. Nama Ibu Tiri tertera di layar. Sebuah senyum tipis terukir di bibirku. Sudah kuduga, beliau pasti akan menghubungiku. Kalau Bang Zul bisa muncul di dekatku, pastilah keluarga yang ada di desa pelakunya."Halo, Bu?" sapaku, sengaja sedikit ceria, mencoba menyembunyikan sisa-sisa kelelahan.