Pria itu malah tertawa. Dia langsung membuka dompet, mengeluarkan dua lembar uang seratusan yang tersimpan rapi di dalamnya. Diserahkannya uang itu pada Kak Nah dengan setengah membentak. Aku tersinggung, hendak menegurnya. Tapi Kak Nah mencegah, tangannya terlentang di depanku, menahanku. “Oke, anggap kita tidak pernah bertemu!“ Kak Nah memutus hubungannya dengan pria itu. Membuatku menelan ludah di sampingnya. Pria itu mencibir Kak Nah, mengatai Kak Nah tidak tahu diri. Padahal, untung saja perempuan sepertinya ada yang mau, tapi malah membuat masalah dan berakhir dengan perpisahan. “Tentu saja aku memilih pisah. Untuk apa hidup dengan pria busuk macam kamu?“ ujar Kak Nah. Kak Nah langsung menarikku, kami hendak berlalu. Namun, terhenti karena kami mendengar ucapan Ninik pada Pria itu. “Ah, makasih, ya? Aku kenyang.“ Aku menoleh, Ninik sudah bangun dari kursi. Dia sibuk membenarkan daster seksi yang dipakainya sejak siang. “Tentu, Nik. Kamu mau pesan apa lagi?“ Pria
Aku berusaha mengalihkan perhatian Kak Nah agar perempuan itu tidak berteriak. Jika hal itu terjadi, maka ketenangan di kafe ini akan rusak karena kami. “Itu si Pelakor, kan?” tanya Kak Nah padaku sembari menunjuk meja yang ada di serambi Cafe. Kami memilih meja yang ada di dalam Cafe agar bisa foto-foto dengan konsep estetik. Sedangkan di luar Cafe ada beberapa meja lain yang beratapkan pepohonan dan langit malam. Tinggal pilih mau duduk di mana. Untungnya jarak meja kami dengan meja yang ditempati oleh perempuan itu cukup jauh, ditambah lagi dia terlihat sangat bahagia dengan seseorang yang saat ini menemaninya. Karena itulah kehadiran kami tidak disadari olehnya. Beberapa kali aku melirik ke arahnya, tapi Kak Nah malah menatapnya terang-terangan. Meski sudah ku peringatkan, Kak Nah tetap tidak mundur. Bibirnya komat-kamit, mata perempuan itu bergetar, sepertinya Kak nah benar-benar tertarik dengan kehadiran Ninik di cafe ini. Pantas Ninik belum pulang ke rumah, ternya
“Tidak ada yang minta pendapatmu, paham?” sergah ibu mertua padaku meski orang yang aku ajak bicara bukanlah dirinya. “Aku juga tidak minta pendapat Ibu, karena ini adalah motorku. Tapi aku minta kalian jangan bersikap semena-mena hanya karena aku tidak melawan selama ini. Kalian tidak punya hak untuk mengambil motor milikku,” jelasku pada ibu mertua dan Bang Fahri. Namun ibu mertua malah mencibir. Perempuan itu tidak peduli dengan semua kata yang aku ucapkan barusan. Dia malah sibuk melihat motor baru yang dibawa oleh Bang Fahri. Motor itu berwarna hitam, ukurannya sangat besar, jauh lebih besar daripada motor miliknya kemarin apalagi dibandingkan motorku. Terlihat sangat nyaman untuk dikendarai apalagi digunakan saat perjalanan jarak jauh.Mendadak, aku juga ingin punya kendaraan seperti milik Bang Fahri. Terlihat cukup nyaman digunakan saat bolak-balik dari rumah ke peternakan.“Kamu lihat ini? Kamu lihat motor bagusnya Fahri?” Ibu mertua mencibirku.“Sudahlah Bu, tidak perlu b
Aku pulang sebelum asar dengan diantar Bang Zul sampai ke persimpangan. Dari sana, aku menumpang ojek hingga sampai ke rumah.Perasaanku berdebar, ada bahagia yang tidak bisa kuceritakan. Membeli sebuah peternakan di pinggiran kota dengan harga fantastis? Ah, aku tidak bisa berhenti tersenyum.Bagaimana pendapat ayah saat beliau tahu nanti?“Bu, aku sudah sejauh ini. Terima kasih sudah melahirkanku,” batinku terus.Sepoi angin mengembus jilbab persegi yang aku pakai. Rasanya juga menenangkan, meresap dalam hingga ke hati.Aku pulang dari arah berbeda, berharap dengan perputaran arah ini bisa membawa banyak kebaikan. Alhasil, aku melewati warung Kak Nah yang sedang ramai.Perempuan itu sedang melayani para pelanggan kecilnya. Bocah yang doyan jajan berkerumun di depan toko.“Riska????“Kak Nah berteriak memanggil, tangannya mengayun. Aku juga membalas, seolah-olah kami sudah lama berpisah dan baru bertemu kembali.“Iya Kak, nanti aku mampir, ya?““Tunggu aja di rumah, biar aku yang ke
“Ini, Ris. Sudah selesai semua. Abang sudah bereskan, tinggal kamu lengkapi datanya untuk dibuat sertifikat hak milik,” jelas Bang Zul setelah aku duduk di sisinya.Sesaat, aku terdiam. Bang Zul memberiku beberapa berkas penting terkait peternakan incaran itu. Semuanya tersusun rapi di dalam sebuah amplop cokelat.Aku membukanya, melihat satu demi satu lembaran yang ada di amplop oitu.“Sudah dibeli?“ tanyaku bingung.Ada selembar kwitansi dengan nilai fantastis tertera di atasnya. Diselesaikan kemarin dan sudah dilunasi.“Sudah, kamu mau ke peternakan milikmu?“ Bang Zul bertanya. “Kita bisa bertemu dengan pemilik sebelumnya saat sore.”Bibirnya melengkung, senyum tipis membuat wajahnya tampak ramah dan bersahaja. Biasanya Bang Zul serius, dingin dan tegas.“Sudah? Mana mungkin, aku belum bayar. Dan ini jumlahnya, aku tidak punya uang sebanyak ini, Bang.“Bang Zul tersenyum lagi. Dia mengambil berkas-berkas dari tanganku, lalu disimpan di dashboard.“Sudah dibayar, pabrik jadi pemodal
Aku berdiri di belakang keduanya saat Ninik merengek uang belanja pada Bang Fahri, lalu menyunggingkan senyum. Ternyata aku tidak perlu bersusah payah mencari cara untuk membalas mereka. Pembalasan itu datang dengan sendirinya, membuat mereka kembali adu mulut dan pecah kongsi.“Maksud kamu apa, Bang? Kenapa kamu nyuruh aku pakai uangku sendiri? Aku sudah ngalah sama Ibumu, ATM yang kamu kasih juga dipegang Ibu. Sekarang aku bahkan enggak bisa minta duit sama kamu?”“Kamu selalu dapat kiriman uang dari mantan suamimu, pakai itu saja.” Bang Fahri berbicara sembari menikmati sarapan yang dibuatkan oleh Ninik.“Tidak ada, sudah habis, Bang. Semua uang itu kupakai buat kamu dan keluargamu,” balas Ninik. “Apa kamu lupa uang siapa yang kamu pakai beli baju di mall? Uang yang kamu pakai beli ayam utuh, beli jajan, beli makan malam?”Bukannya peduli, Bang Fahri malah tetap santai. “Minta lagi, biasa juga begitu, kan?”“Minta lagi? Mana mungkin, Bang. Aku dapat uang kiriman karena merawat anak