Tapi, Burman hanya tertawa kecil melihat kekagetan Bang Zul.
“Bang, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”
Pria yang dipanggil itu menatap lamat, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa bisa bekerja di pabrik sebesar ini. Bahkan pakaiannya bagus, keren, dia terlihat jauh lebih berwibawa dibanding terakhir kali kami bertemu.
Saat di desa dulu, aku sering bertemu dengannya, bermain dan bekerja di peternakan bersama. Bang Zul pria rajin, ulet, sangat disenangi Ayah. Sampai, dia tiba-tiba pergi tanpa kabar, tanpa berpamitan. Lalu, kembali ke desa sebentar sebelum kemudian kembali ke kota.
“Riska?” Bang Zul memanggil namaku.
“Riska, kamu kenapa ada di sini?” Bang Zul menghampiriku. Rambutnya terlihat kusut, ada kantong mata yang besar di wajahnya, juga kulit muka yang sedikit kusam. Bang Zul kelelahan!
“Bang, a-aku minta maaf sudah datang mencarimu,” jawabku dengan suara gemetar. Tapi, jika memang Bang Zul bisa membantu, akan kutanggalkan rasa malu.
“Ceritakan, Riska! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu begini?” Bang Zul khawatir. Dia mengitariku dengan sorot mata, dari ujung kepala hingga kaki. Seluruh benda yang ada di badanku benar-benar kumal dan menyedihkan, jauh berbeda dengan seorang Riska saat tinggal di desa.
“Bang, bagaimana kalau ….”
“Kita bicara di ruang rapat saja, ya? Kebetulan di sana kosong.”
“Maaf, ya Bang?” lirihku. Rasa getir itu tidak hilang meski sudah bertemu dengan Bang Zul.
Bang Zul tidak menjawab, dia memimpin jalan untukku dan Burman. Aku duduk, mengisi salah satu kursi saat kami masuk ke ruang rapat yang berukuran sedang . Bang Zul memasang wajah bingung, sedikit gelisah hingga dua alisnya bertautan. Dia lekas duduk di sampingku, lalu Burman di sisi satunya.
“Burman, bawakan kami minum, ya? Sekalian makan siang untukku dan Riska. Pesan saja di warung biasa,” ujar Bang Zul yang membuat Burman lekas undur diri.
Burman pergi, tinggallah aku sendiri dengan pria ini. Dalam-dalam aku menundukkan wajah. Sungguh, seluruh tubuhku tidak mampu berkutik. Dari mana harus kumulai kisah memalukan ini? Bagaimana kuceritakan padanya kalau aku dikhianati Bang Fahri dan sendirian di sini?
“Kenapa, Ris? Apa yang terjadi?”
Aku menegak ludah, sulit sekali untuk bercerita. Tapi, kuberanikan diri. Bang Zul mungkin bisa membantu, atau setidaknya mencarikan jalan keluar dari permasalahan ini. Aku butuh seseorang yang bisa menahanku dari depan, belakang, kiri dan kanan.
“Bang Fahri ….” Lidahku kian kelu. Aku malu sekali dengan nasib ini. Sudah keras kepala menikahi Bang Fahri, meninggalkan desa dan merantau dengannya, sekarang malah diperlakukan dengan hina. Orang-orang desa yang mendengarnya pasti akan menertawaiku dan ayah, bahkan menghina status janda di usia muda, juga mencibir soal aku yang ingin jadi istri seorang dokter.
“Pria itu berkhianat? Sudah kuduga!” sahut Bang Zul yang membuatku terpana, sebab aku belum bercerita padanya.
Seketika air mata mengucur di pipi. Aku menangis tanpa suara. Bang Zul hanya memerhatikan, dia memberiku waktu sampai semua kisah itu mengalir tanpa henti dari bibir ini.
“Kalau begitu ceraikan saja bajingan itu, Ris. Kenapa bertahan dengannya? Apa kamu tidak dengar buruknya sikap Fahri di puskesmas dulu? Dia juga ….”
“Tapi, kalau dilepas sekarang, mereka akan terlalu bahagia, Bang. Aku dibuatnya menderita selama ini, Bang. Semua janji Bang Fahri dulu pada ayah, semuanya dusta!” aduku padanya sembari mengepalkan tangan.
Bang Zul diam lagi, dia terlihat berpikir.
“Ris, besok kerja saja di sini. Ada posisi kosong yang bisa kamu isi. Tidak perlu susah payah menahan diri lagi dengan Fahri. Pria macam itu, jangankan peduli dengan nafkahmu, dirinya saja luntang-lantung!” papar Bang Zul lagi. “Atau kalau kamu mau seperti di desa ….”
Hatiku seketika menghangat, Bang Zul menawarkan bantuan sebelum aku meminta. Memang inilah sebenarnya niatku datang, meminta bantuan yang sesuai agar aku tidak jatuh terlalu dalam saat Bang Fahri kulepaskan.
“Tapi, aku akan hubungi ayahmu di desa. Beliau berhak tahu, Ris. Kalau memang perlu, kuantar saja kamu ke desa, tinggalkan Fahri dan semua kehidupan di kota ini.” Suara Bang Zul goyah, manik matanya bergetar.
Dulu, Bang Zul bahkan menyalahkan dirinya sendiri saat aku ditendang sapi dan terpelanting, tanganku retak hampir tidak bisa digerakkan. Dia memohon maaf pada Ayah sampai satu minggu lamanya. Aku tahu benar, Bang Zul tidak akan berpaling dariku.
“Bang, jangan. Aku tidak ingin melakukannya. Ayah dan istrinya sedang bahagia. Mereka baru saja punya anak Perempuan, Bang. Jangan rusak kebahagiaan mereka,” jelasku penuh harap.
Bang Zul malah menghela napas. Pria itu tidak sepakat denganku. Hanya saja, alasanku cukup kuat untuk itu. Ayah benar-benar sedang menikmati masa-masa indah ini, begitu juga dengan ibu tiriku. Jika mereka tahu apa yang terjadi, aku khawatir senyum mereka akan sirna. Aku juga tidak ingin pulang ke desa karena dibuang oleh Bang Fahri, jikapun pulang itu berarti aku yang sudah membuang pria itu.
“Kali ini saja, hanya sebentar. Aku punya rencana untuk Bang Fahri dan Ninik, Bang. Setidaknya sampai waktu itu, tolong bantu aku dan jangan hubungi ayah di desa,” pintaku penuh harap. “Aku tidak tega kalau pulang dalam keadaan hancur, Ayah akan bersedih dan menyalahkan dirinya sendiri. Kalaupun aku pulang nanti, aku ingin datang dalam keadaan terbaik.”
“Fahri dan keluarganya belum tahu soal hidupmu yang sebenarnya?” terka Bang Zul.
Aku mengerjapkan mata saat mendengarnya.
“Belum, Bang.”
“Jangan sampai mereka tahu. Biarkan saja dulu.” Senyum Bang Zul merekah tipis. Pria itu menungguku memberi jawaban.
“Tentu, Bang.”
Bang Zul mengangguk. Tidak berapa lama Burman kembali dengan makan siang pesanan Bang Zul.
“Makanlah, kamu akan butuh banyak tenaga.”
Pria ini memang tidak rupawan seperti Bang Fahri, tapi sampai detik ini dia adalah pria baik lainnya yang kukenal setelah Ayah. Entah apa yang terjadi dengannya saat itu sampai Bang Zul pergi tanpa berpamitan padaku. Bahkan Ayah enggan menjawab setiap kali kutanyakan. Lalu, kutahu satu hal soal Bang Zul dari orang desa, jika dia menaruh hati padaku, namun tidak punya keberanian untuk menemui Ayah yang merupakan salah satu orang berpengaruh di desa.
“Kalau gitu, aku pamit dulu, Bang. Tidak enak berlama-lama, Bang Zul pasti punya banyak pekerjaan.” Aku bertutur seraya bangkit dari sofa.
Makan siang yang lezat sudah terlewati. Sisa waktu kami habiskan dengan beberapa diskusi kecil, tentang rencana ke depan dan hal-hal yang harus kulakukan untuk bertahan.
“Iya, pergilah, Ris.”
Aku mengangguk, lalu hendak berbalik. Perasaanku bercampur aduk, tidak menentu.
“Ris?” panggil Bang Zul.
Kutolehkan wajah. Pandangan kami bertemu.
“Harusnya, aku yang datang, Ris. Maaf karena tidak punya keberanian itu,” ujar Bang Zul.
“Tidak apa, Bang. Sudah jalanku begini,” lirihku.
“Mau makan malam bersama? Bagaimana kalau makanan kesukaanmu?” tawarnya.
“Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyataan ya
Namun, saat keluar dari kamar, aku hanya melihat kabut gelap di seluruh penjuru rumah. Seolah-olah ada sesuatu yang sedang di bakar.“Astagfirullah!” pekikku sembari menahan napas dan mengipas tangan di depan muka.Kabut hitam itu rupanya asap, sangat pekat dan menyesakkan. Entah apa yang telah terjadi hingga seluruh rumah jadi begini.Aku teringat jika sesaat lalu Ninik diminta untuk memasak. Lalu, kuarahkan tujuan menuju dapur dengan perasaan tidak karuan, bahkan Bang Fahri di belakang kuabaikan seperti tidak terlihat.Benar saja, saat aku tiba di dapur, kudapati Ninik sedang mencolek-colek wajan berasap dengan sutil. Dia meringis beberapa kali, kemudian mencolek lagi.“Apa yang kamu lakukan, Ninik? Kamu mau bakar rumah ini?” jeritku.Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arahnya kemudian mematikan kompor yang menyala. Ninik sedang menggoreng telur di dalam minyak gosong karena api yang terlalu besar.“Apa lagi, aku lagi masak telur!” sahutnya. Perempuan itu masih mencolek-colek minya
Begitulah semuanya berlalu dengan lambat dan sakit. Dua hari menjelang pernikahan Bang Fahri dengan Ninik, aku kenyang jadi buah bibir Masyarakat. Mereka menyalahkanku yang tidak pandai mengurus diri, tidak modis dan hanya berpakaian sederhana, sampai akhirnya pria itu memilih menikahi Ninik. Tapi sekalipun begitu, aku tidak pernah menundukkan kepala, kutelan bulat-bulat semuanya sebelum Bang Fahri dan Ninik menikah.Aku sudah keluar sejak siang, mengendarai motor, seorang diri. Semua ini demi menghindari pertikaian di rumah yang tidak berkesudahan, tentunya untuk melindungi mentalku sendiri.“Beneran kamu bakal diam saja, Ris?” Salah satu Perempuan yang jadi teman baru di kota itu berbicara lantang saat aku muncul di warungnya.Kak Nah- begitulah beliau dipanggil. Semua orang tahu kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan di masa lalu. Bahkan saat kuperlihatkan foto keluargaku, beliau bilang ingin jadi istri Ayah andai belum menikah. “Biarkan saja, Kak. Aku sudah tidak peduli lag
“Ris, aku belum selesai bicara!” tahannya dengan intonasi yang tidak jelas.Saat aku berbalik, mulut Bang Fahri dipenuhi mi instan, bahkan ada yang menggelantung keluar dari bibirnya. Entah kenapa Bang Fahri jadi semakin menyedihkan. Ke mana perginya harga dirinya yang tinggi itu?“Kenapa lagi, Bang? Aku mau keluar, mau masak makan malam!” sahutku sembari mencebik.“Itu, Ris … ibu bilang kamu punya banyak uang. Kamu sering keluar akhir-akhir ini, mungkin sudah dapat kerja dan digaji. Bisa enggak uangnya buat aku dulu? Biaya nikah belum cukup, Ris.”“Hah?” Aku memekik sampai urat di leherku bermunculan.Menyesal sekali aku bersikap baik pada pria itu. Apa dia mengira kalau aku sudah melunak saat seluruh perasaanku dicabik-cabik olehnya sesuka hati?“Iya, transfer saja ya, Ris? Ibu bilang, kamu lagi pegang banyak duit. Aku butuh sedikit lagi buat tambah seserahan, bayar catering dan dekor. Enggak banyak, Ris … barang delapan juta lagi,” jelas Bang Fahri yang membuatku mengepalkan tangan
“Fahri itu suamimu!”“Bang Fahri juga anak Ibu, bukannya Ibu yang selalu bilang kalau anak lelaki adalah milik ibunya sampai kapanpun? Lalu kenapa bukan Ibu yang turun tangan membantu Bang Fahri?” paparku sembari membuang pandangan.Kedua mataku sakit karena harus melihat orang-orang ini. Entah sejak kapan … mereka sudah berganti pakaian mewah, memakai perhiasan yang kutebak palsu semuanya, bahkan menyemprot minyak wangi sampai hidungku jadi gatal.Apalagi Ninik yang sudah seperti gadis India saja. Dia memakai pakaian yang mirip dengan sari India, lalu headpiece di kepala serta anting yang besar.
Bang Fahri yang mendengar hal itu gegas berdiri. Tubuhnya tegang, matanya membola. Dia menatap lurus ke arah pintu, lalu mengepalkan kedua tangan.Di belakangnya, Ninik menundukkan muka. Dia tidak mampu berkutik meski hanya sedetik.Wajah cantiknya yang berpoles riasan juga tidak mampu menutupi betapa gelisahnya dia saat ini. Bahkan saat hendak berdiri dari sofa, Ninik goyah, hampir saja dirinya rubuh ke samping.“Enak saja kamu, Ninik! Ini tugasmu jagain anak-anak. Aku sudah bilang, aku tidak sempat mengurus anak-anak, jadi kukirimkan uang nafkah mereka tiap bulan. Tapi kemarin aku ngalah karena kukira kamu beneran kesulitan dan sakit, rupanya kamu ngec
“Rencana?” Aku bergidik ngeri.Kuulas senyum ke arah Ninik. Perempuan itu sudah bersimbah air mata, riasan cantiknya rusak tidak berupa, bahkan rambutnya yang disanggul juga mulai tidak berbentuk. Dibanding pengantin, Ninik lebih mirip depresi.“Kamu sengaja ngelakuin ini semua biar aku dan Bang Fahri tidak jadi nikah, kan?” pekiknya meski ketiga anaknya ada bersamanya. “Tega kamu, Riska!”“Tega? Aku tega gimana, Ninik? Kamu mau nuduh aku gagalin pernikahan kalian, tapi kalian sudah nikah,” balasku dengan suara yang lembut.
“Apa, Bang?” Aku tercengang mendengar permintaan Bang Fahri.Pria itu bergeming. Tubuhnya hanya condong padaku, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mulai memperhatikan. Entah itu Ninik, kerabatnya, atau mungkin ibu mertua dan Salma. Aku tidak begitu yakin, karena saat ini seluruh tubuhku hanya tertaut pada Bang Fahri.“Iya. Riska, kamu kembali ke kamar kita, ya? Abang izinkan kamu untuk tinggal di sana lagi. Nanti, Ninik yang akan menetap di kamar itu,” ujarnya seraya menunjuk kamar belakang yang beberapa malam ini kutempati dengan ujung mata.Seketika aku tergelak. Perut ini tergelitik mendengar konyolnya perkataan Bang Fahri. Ap
Aku puas sekali hari ini. Wajah kesal Ninik, rasa malu ibu mertua dan Bang Fahri, semuanya masih terekam di kepala. Mereka pantas mendapatkannya mengingat apa yang sudah mereka lakukan padaku selama ini.Syukurlah, pelan-pelan aku bisa mengontrol diri agar tidak tertekan oleh mereka. Aku juga bisa membalas Ningsih dan ibu mertua hingga mereka ngacir pergi begitu saja.Aku tersenyum tanpa henti sambil mengendarai motor, sampai akhirnya tiba di sebuah supermarket yang paling dekat dengan rumah. Niat hati membeli camilan dan susu untuk kunikmati malam nanti sambil memeriksa hasil keliling tadi.“Aku bisa bantu kamu untuk urus semuanya, Ris. Kalau kamu suka peternakan ini, kita bisa minta harga terbaik. Sapi-sapinya juga bagus, bisa langsung masuk ke pabrik begitu peternakan ini kamu beli!” Ucapan Bang Zul di akhir pertemuan kami tadi membuat hatiku kian berbunga.Alangkah indahnya jika
“Kamu selalu menjawabku, Ris! Kamu itu memang tidak bisa diajak bicara, sudah rendah pendidikannya, rendah juga etikanya.”“Ya memang sudah sewajarnya, Nik. Aku ini istri pertamanya Bang Fahri, sedangkan kamu istri kedua yang bahkan dinikahinya siri, tidak punya buku nikah dan pengakuan dari negara. Tahu kan bedanya? Ya jelas aku tidak bisa diajak bicara, apa lagi sama perempuan yang ngarepin suami orang lain,” balasku kembali dengan seutas senyum yang mengembang.Wajah Ninik sudah seperti buah tomat, bahkan dia mengepalkan tangan, entah ingin meninju atau mungkin mencakarku. Tapi, aku lekas membuat jarak dengannya agar tidak sampai terluka jika dia memang menyerang. Masalah bisa jadi makan melebar kalau aku tidak hati-hati. Mengguyurnya dengan air bak sudah cukup untuk saat ini, aku tidak boleh bertindak gegabah dan berakhir menyesal.Setahuku, Ninik perempuan licik dan banyak akal. Aku tidak bol
Kulihat dia berusaha menggapai tangan Bang Fahri beberapa kali. Namun, belum sempat tergenggam, Ninik langsung ditolak dengan kasar.Aku tidak mengerti kenapa sikap Bang Fahri begitu kasar, padahal kemarin dia masih tenang. Bahkan sampai tega menolak sentuhan dari Perempuan itu. Seingatku, sebelum mereka menikah, beberapa kali kudapati keduanya bermesraan, bahkan berciuman setiap kali ada kesempatan. Meski tahu aku melihat, keduanya tidak menujukkan penyesalan.Lantas, kenapa begitu mudah berubah?“Jangan banyak bicara, Nik! Aku cinta sama Nik yang kemarin, bukan Ninik anak tiga, si penipu dan pendusta.” Bang Fahri berteriak. Urat-urat di balik kulit lehernya tercetak.“Bang, kamu ini kelewatan banget, ya? Aku datang ke sini karena kamu yang janji bakalan jadiin aku istri yang paling bahagia di dunia ini. Kamu bilang, aku bebas melakukan apapun yang aku mau, asalkan aku hidup sama k
Kuabaikan mereka, kepalaku bisa sakit parah jika terus bertahan di rumah. Tapi, melihat mereka mulai bertengkar satu sama lain dan berdebat begini, membuatku sedikit senang. Ninik sudah tidak lagi jadi idaman ibu mertua, dan Bang Fahri yang selalu mengira dirinya paling hebat itu pusing tujuh keliling karena tertimbun hutang.Kuputuskan untuk keluar usai menghubungi Bang Zul. Kami akan bertemu, membahas beberapa hal dan merencanakan sesuatu. Saat matahari meninggi, aku tiba di sebuah restoran. Dari kejauhan, kulihat punggung pria itu. Dia sedang berkutat dengan laptop dan gawai seorang diri.“Aku sudah datang, Bang.”Senyumku merekah, melihat Bang Zul yang kebingungan, sedikitpun aku tidak bisa mengungkiri kalau aku bahagia dengan kejadian kemarin. Bang Fahri yang kaget dan kesal, ibu mertua yang tertipu serta Ninik yang kini diperlakukan seperti pembantu.Bukankah ini baru permulaan? Tapi rasanya sudah sangat mendebarkan.“Duduk di sini Ris. Aku bau! Habis ngecek pasokan daging di Gu
Kutatap Ninik lalu Bang Fahri. Pria itu malah berjalan ke arahku.“Iya, Dek. Iya … aku tidak akan menjual rumah ini. Aku juga akan pindah ke kamar belakang, jadi kamu jangan marah-marah lagi, ya?” bujuknya seraya mengangkat tangan.Bang Fahri hendak menyentuhku, tapi buru-buru aku mundur. Seluruh tubuh ini jijik, tidak lagi ingin disentuh oleh pria sepertinya.“Sudah, aku tidak mau dengar apa-apa.”Kudorong Bang Fahri agar jarak membentang di antara kami. Kemudian, sorot mata jatuh pada Salma yang kini melirik. Akhirnya, dia tertari
“Apa, Bang?” Aku tercengang mendengar permintaan Bang Fahri.Pria itu bergeming. Tubuhnya hanya condong padaku, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mulai memperhatikan. Entah itu Ninik, kerabatnya, atau mungkin ibu mertua dan Salma. Aku tidak begitu yakin, karena saat ini seluruh tubuhku hanya tertaut pada Bang Fahri.“Iya. Riska, kamu kembali ke kamar kita, ya? Abang izinkan kamu untuk tinggal di sana lagi. Nanti, Ninik yang akan menetap di kamar itu,” ujarnya seraya menunjuk kamar belakang yang beberapa malam ini kutempati dengan ujung mata.Seketika aku tergelak. Perut ini tergelitik mendengar konyolnya perkataan Bang Fahri. Ap
“Rencana?” Aku bergidik ngeri.Kuulas senyum ke arah Ninik. Perempuan itu sudah bersimbah air mata, riasan cantiknya rusak tidak berupa, bahkan rambutnya yang disanggul juga mulai tidak berbentuk. Dibanding pengantin, Ninik lebih mirip depresi.“Kamu sengaja ngelakuin ini semua biar aku dan Bang Fahri tidak jadi nikah, kan?” pekiknya meski ketiga anaknya ada bersamanya. “Tega kamu, Riska!”“Tega? Aku tega gimana, Ninik? Kamu mau nuduh aku gagalin pernikahan kalian, tapi kalian sudah nikah,” balasku dengan suara yang lembut.
Bang Fahri yang mendengar hal itu gegas berdiri. Tubuhnya tegang, matanya membola. Dia menatap lurus ke arah pintu, lalu mengepalkan kedua tangan.Di belakangnya, Ninik menundukkan muka. Dia tidak mampu berkutik meski hanya sedetik.Wajah cantiknya yang berpoles riasan juga tidak mampu menutupi betapa gelisahnya dia saat ini. Bahkan saat hendak berdiri dari sofa, Ninik goyah, hampir saja dirinya rubuh ke samping.“Enak saja kamu, Ninik! Ini tugasmu jagain anak-anak. Aku sudah bilang, aku tidak sempat mengurus anak-anak, jadi kukirimkan uang nafkah mereka tiap bulan. Tapi kemarin aku ngalah karena kukira kamu beneran kesulitan dan sakit, rupanya kamu ngec
“Fahri itu suamimu!”“Bang Fahri juga anak Ibu, bukannya Ibu yang selalu bilang kalau anak lelaki adalah milik ibunya sampai kapanpun? Lalu kenapa bukan Ibu yang turun tangan membantu Bang Fahri?” paparku sembari membuang pandangan.Kedua mataku sakit karena harus melihat orang-orang ini. Entah sejak kapan … mereka sudah berganti pakaian mewah, memakai perhiasan yang kutebak palsu semuanya, bahkan menyemprot minyak wangi sampai hidungku jadi gatal.Apalagi Ninik yang sudah seperti gadis India saja. Dia memakai pakaian yang mirip dengan sari India, lalu headpiece di kepala serta anting yang besar.