Share

Bab 6

Author: Bemine
last update Last Updated: 2025-04-13 10:59:11

Aku tertegun. Apa maksudnya itu?

Namun, aku tidak bertanya lebih lanjut karena Bang Zul segera melanjutkan, “Aku akan bantu kamu. Jika kamu mau menghancurkan hidup suamimu pun, aku akan lakukan.”

“Jadi,” ucapnya lagi. Sorot matanya tampak lembut, tapi juga penuh penyesalan. “Jangan menangis lagi.

***

“Riska? Aku masuk!” 

Aku sedang berbaring di tempat tidur saat  Bang Fahri tiba-tiba berseru keras di depan pintu kamar. Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dadanya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.

“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.

Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya terendus harum. Ditatapnya seluruh isi kamar, bahkan tubuhnya berputar beberapa kali, seolah dirinya sedang berada di taman bunga.

“Nanti, kamu tidur di sini. Ini bakal jadi kamarmu, Ninik.” Bang Fahri kembali berucap. “Kamu suka?”

Kalimat tersebut mengejutkanku. Namun, aku berusaha memasang wajah netral yang biasa saja, tidak ingin memperlihatkan keterkejutanku pada mereka.

“Suka, Bang,” ucap Ninik dengan riang. “Jadi mulai hari ini, aku tidur di sini ya? Tapi Mbak Riska bagaimana? Kamar belakang kan sempit.”

“Tidak apa-apa. Hanya sementara,” sahut Bang Fahri. Lalu padaku, ia berkata, “Ris, mengalah dulu ya? Kamar ini biar dipakai Ninik dan aku. Kamar tamu dipakai Ibu dan Salma. Nanti kalau mereka sudah pulang, kamu bisa pindah ke kamar tamu.”

Aku mengernyit. “Kenapa aku yang digusur, Bang?” tanyaku pada akhirnya.

“Aduh, kamu ini bukan cuma jelek dan kampungan, ternyata bodoh juga,” sambar ibu mertua sebelum Bang Fahri sempat menjawab. Beliau ternyata menyusul ke kamar. “Masa kamu mau buat calon pengantin baru tidur di ruangan kumuh di belakang? Mana gerah pula.”

“Lalu,  aku yang harus tidur di sana, Bu?”

“Kenapa tidak? Bukannya di kampung kamu sudah biasa tidur tanpa AC? Sekalian lah, ingat asalmu,” balas ibu mertua penuh hinaan. “Sudahlah! Ini keputusan final. Nurut sama suami.”

“Ris, mengalah saja, ya?” Bang Fahri berucap lembut, sampai-sampai membuatku tertegun. Untung detik berikutnya aku sadar, ini hanya bujuk rayu. “Nanti kalau Ibu dan Salma sudah balik, kamu tinggal di kamar tamu. Untuk sementara saja.”

“Bang,” balasku. “Ini kamarku. Rumah ini rumah kita, bukan rumah calon istrimu itu. Dia masih tamu di sini. Haarusnya kamu paham soal ini.”

“Ris, Ninik bakal jadi pengantin baru. Masa kamu tega….”

“Kamu pun tega.” 

“Ris, hanya sementara saja.”

“Tidak!” Aku menolak tegas. “Sekali tidak, tetap tidak!” 

“Riska!” jerit ibu mertua padaku. Beliau menatapku berang, seakan-akan aku adalah pengganggu di rumah ini dan hidup mereka. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. “Kamu itu ngeyel sekali sama suami! Harusnya kamu bersyukur, masih dapat tempat buat tidur! Tidak diusir! Banyak-banyak bersyukur karena lelaki seperti Fahri itu masih mau mempertahankan pernikahannya sama kamu! Derajatmu naik karena Fahri, Perempuan macam kamu cuma bisa mimpi bisa nikah sama dokter, paham?”

Seketika aku tertawa. Sungguh, menyedihkan sekali diriku di mata mereka.

Katanya, aku beruntung?

Kuangkat pandangan, wajahku memerah, aliran darah memuncak hingga ke pucuk kepala. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain menjelaskan posisiku.

“Bu, kayaknya ada sedikit kesalahpahaman.” Setelahnya, aku menoleh ke arah Bang Fahri. “Sampai kapan pun, kalian tidak bisa mengusirku, karena yang menumpang di sini bukan aku, melainkan kalian.”

Hening. Sepertinya semua orang sibuk mencerna informasi tersebut. Termasuk Bang Fahri.

Mungkin dia pikir, sekalipun bawa istri baru, aku tetap akan menurut. Menjaga martabatnya, sebagai suami dan kepala keluarga yang lancar menafkahi istrinya.

Padahal tidak demikian. 

Rumah ini sendiri dibeli oleh ayahku, yang mana kemudian diberikan padaku untuk dihuni oleh aku dan suamiku. Sama sekali bukan milik Bang Fahri seperti yang dipikirkan oleh ibu mertuaku. Selama ini, aku diam saja agar Bang Fahri tidak merasa malu dengan keluarganya. 

Tapi, jika sudah begini, kubuka saja faktanya. 

“Nu-numpang?” Ninik terperangah. Bola matanya hampir saja melompat. Bibirnya ikut bergetar, sepertinya dia syok berat. Mungkin dia membayangkan akan hidup bak ratu di sini, usai menghancurkan pernikahanku.

“Iya, numpang!” sahutku. Ada sedikit rasa senang melihat reaksi mereka. Seperti obat untuk rasa sakit hatiku kemarin. “Ini bukan rumah Bang Fahri.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 180 (Tamat)

    Acara aqiqah di desa berlalu dengan semarak. Meskipun ada bisik-bisik yang kurang menyenangkan, kebahagiaan kami tidak sedikit pun tergoyahkan. Dukungan Ayah dan Ibu Tiri, ditambah kehadiran Bang Zul yang selalu menjadi perisai untukku dan anak-anak, membuatku merasa lengkap, tidak kurang meski hanya sedikit. Kami menghabiskan beberapa hari lagi di desa, membiarkan para kakek-nenek puas menggendong cucu-cucu mereka, sebelum akhirnya kembali ke kota.Kembali ke rumah, rutinitas baru langsung menyapa. Dengan tiga bayi di rumah, suasana tidak pernah sepi. Tangisan, rengekan, suara tawa, semua bercampur aduk menjadi melodi kehidupan yang indah.Beruntungnya aku memiliki Bi Sumi dan ketiga baby sitter profesional yang Bang Zul datangkan. Mereka bekerja dengan sangat sigap, memastikan kebutuhan para bayi terpenuhi dan rumah tetap teratur.Jangan tanya biayanya! Aku yakin Bang Zul harus merogok kocek tiga kali lipat dibanding biasanya setiap bulan. Tapi, tidak sekalipun pria itu mengeluh!Ak

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 179

    "Bang... ini berlebihan sekali!" bisikku padanya saat kami memasuki rumah. "Satu saja sudah mahal, ini langsung tiga! Kita tidak perlu sebanyak ini, Bang. Aku bisa mengurus anak-anak sendiri, kok."Bang Zul menuntunku menuju ranjang di kamar utama yang sudah diatur senyaman mungkin, lengkap dengan bantal-bantal empuk dan selimut hangat."Tidak ada yang berlebihan, Dek. Kamu baru saja melewati masa sulit. Kamu harus fokus pada pemulihanmu. Anak-anak ini butuh perawatan ekstra karena mereka kembar tiga. Abang tidak mau kamu terlalu lelah atau jatuh sakit lagi." Bang Zul duduk di tepi ranjang, menatapku serius, kedua tangannya menggenggam tanganku. "Pokoknya, Abang mau kamu sehat dan baik-baik saja. Kamu mengerti? Istirahatlah. Biarkan mereka yang mengurus semuanya. Ini perintah Abang, bukan cuma permintaan."Aku hanya bisa menghela napas, takjub dengan keputusan Bang Zul. Dia selalu saja melakukan hal-hal di luar dugaanku, selalu memprioritaskan kesehatanku.Aku tahu berapa biaya untuk

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 178

    Aku membuka mata perlahan. Langit-langit putih rumah sakit yang steril menyambut pandanganku. Samar-samar kudengar suara mesin infus di samping ranjang, ritmis dan menenangkan. Seluruh tubuhku terasa lemah, nyeri di bagian perut masih sangat terasa, namun rasa pusing hebat yang kemarin kurasakan sudah jauh berkurang. Sebuah kelegaan membanjiri diriku. Aku berhasil melewati ini. Aku selamat.Sebuah gerakan kecil di samping ranjang membuatku menoleh. Bang Zul duduk di kursi lipat, wajahnya tampak sangat lelah dengan kantung mata menghitam, namun matanya memancarkan kelegaan luar biasa saat melihatku sadar. Bang Zul langsung sigap menggenggam tanganku."Dek... kamu sudah sadar?" Suaranya serak, seperti menahan tangis. Bang Zul mengecup punggung tanganku berulang kali.Aku mengangguk lemah, berusaha tersenyum. "Bang... anak-anak kita bagaimana?"Senyum lebar merekah di wajahnya, mengalahkan segala kelelahan. Diusapnya keningku yang berpeluh walau ruangan luas ini berpendingin udara."Alha

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 177

    Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti neraka. Setiap kontraksi yang menghantam membuatku menggigit bibir hingga perih, berusaha menahan suara. Bang Zul terus menoleh ke belakang, khawatir dengan aku yang tidak bisa menahan rasa sakit ini. Seperti, tubuhku dirobek menjadi dua bagian."Sabar ya, Dek. Sebentar lagi sampai. Kamu kuat, Sayang. Demi anak-anak kita," suaranya bergetar, lebih dari biasanya. Aku tahu dia juga panik.Akhirnya, mobil berhenti di depan IGD rumah sakit. Tanpa menunggu, Bang Zul langsung menggendongku lagi keluar dari mobil, menerobos keramaian menuju pintu masuk. Ayah, Ibu Tiri, dan Bi Sumi mengikuti di belakang, wajah mereka semua dipenuhi kecemasan."Dokter! Suster! Istri saya mau melahirkan! Kembar tiga!" teriak Bang Zul, suaranya lantang, menarik perhatian para petugas medis.Beberapa perawat dan seorang dokter jaga segera menghampiri kami dengan ranjang dorong. "Segera bawa ke ruang bersalin!" perintah dokter. Aku dipindahkan ke ranjang, dan para perawat m

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 176

    Kabar kehamilan kembar tiga membawa kebahagiaan tidak terhingga, namun juga menjadi kenyataan baru yang menantang. Dokter Arini yang Bang Zul pilih sebagai dokterku telah menjelaskan bahwa kehamilan ini akan jauh lebih berat daripada kehamilan tunggal. Aku harus ekstra hati-hati, menjaga asupan nutrisi, dan sangat membatasi aktivitas fisik. Bang Zul menjadi sangat protektif, bahkan lebih dari sebelumnya."Dek, Abang sudah siapkan supir pribadi untukmu. Jadi kamu tidak perlu naik taksi online lagi," katanya pagi ini saat aku menemaninya sarapan di meja. "Pokoknya, jangan sampai kamu kecapekan. Kalau ada apa-apa, langsung bilang Abang atau Bi Sumi, ya."Aku mengangguk patuh, merasa beruntung memiliki suami seperti Bang Zul. Dia benar-benar memastikan semua kebutuhanku terpenuhi, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Bi Sumi juga sangat perhatian, selalu menyiapkan makanan bergizi dan mengingatkanku untuk beristirahat.Semester terakhir kuliahku adalah ujian sesungguhnya. Perutku mulai membesa

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 175

    Setelah keluar dari klinik dokter, perasaan syok bercampur kebahagiaan masih menyelimuti kami berdua. Bang Zul sesekali mengusap keningnya, dan aku masih sering melamun, membayangkan tiga bayi mungil di dalam perutku. Rasanya seperti mimpi. Selama ini kami hanya membayangkan satu atau dua anak, tapi ini... tiga sekaligus."Jadi, kamu mau kita langsung ke desa atau bagaimana, Dek?" tanya Bang Zul, memecah keheningan saat mobil melaju di jalanan kota. Pria itu melirikku.Aku berpikir sejenak. Aku tahu Ayah dan Ibu Tiri pasti akan sangat senang mendengar kabar ini. Tapi..."Bagaimana kalau kita pulang dulu, Bang? Kita bereskan barang-barang, lalu nanti sore atau besok pagi kita ke desa. Abang juga kan harus ke pabrik lagi." Aku merasa perutku sedikit tidak nyaman dan ingin segera beristirahat di rumah. Ada rasa mual yang tiba-tiba menyeruak saat mobil melaju. "Oke, kalau begitu kita pulang saja dulu, ya," jawab Bang Zul, mengangguk setuju. "Apa kamu mau belanja perlengkapan bayi?""Eh?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status