Share

Bab 7

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-13 10:59:37

“B-benar begitu, Bang?” Ninik langsung menoleh pada Bang Fahri yang tampak tegang. 

“Bohong! Kamu sudah gila, ya? Stres? ” tuding ibu mertua sebelum Bang Fahri menyahut. “Kamu ketularan penyakit sapi gila? Kalau sudah kumat berobat sana, jangan asal bicara.”

“Bang, kamu saja yang jelasin ya? Aku ada perlu di luar rumah,” kataku pada Bang Fahri. “Pokoknya, kamar ini milikku. Aku tidak mau diusir cuma karena calon istri barumu itu. Oke?”

Aku lantas melangkah keluar kamar karena saat ini kamar begitu sesak.

“Fahri, apa yang dikatakan perempuan gila itu, hah?” Ibu mertua berteriak. Aku masih bisa mendengar perdebatan mereka saat aku berjalan. “Jawab Ibu!” 

“Bu, tenang dulu. Pokoknya kalian yang tenang, Riska hanya sedang marah. Dia marah, makanya bicara sembarangan,” elak Bang Fahri. “Ini … semuanya ini … rumahku! Sebentar aku tenangkan Riska dulu–” 

“Ris!” panggil Bang Fahri. Dia menarik tanganku agar berbalik menatapnya. Lalu, dia membawaku menyingkir, menjauh dari kamar utama. “Apa maksudmu bilang begitu di depan Ibu dan Ninik?”

“Aku tidak ada maksud apa-apa, Bang. Hanya meluruskan kesalahpahaman,” jawabku. “Ini rumah yang disewakan ayahku. Bukankah kalau dilihat mana yang lebih berhak, aku lebih pantas disebut pemilik tempat ini?”

Sebenarnya, tidak benar begitu. Ini adalah rumahku, yang dibelikan oleh ayahku sebagai bekal aku ke kota. Namun, selama ini aku menutupi kenyataan itu sesuai pesan beliau.

Ternyata, sampai aku pamit merantau pun ayah dan ibu tiriku masih belum sepenuhnya percaya pada Bang Fahri. Namun, kini, aku paham kenapa.

“Tapi ayahmu sendiri memasrahkan kamu padaku, Ris. Aku suamimu,” balas Bang Fahri dengan tegas. “Artinya, kamu adalah tanggung jawabku. Termasuk rumah ini dan segala isinya!”

“Karena itu kamu bawa selingkuhan ke sini, Bang?” balasku. “Karena kamu kira, ayahku memasrahkan semuanya padamu, jadi kamu seenaknya mengurusi semuanya?” 

“Bang, ingat,” kataku kemudian. “Saat kita ke kota, aku yang mengurusi semua biaya perjalanan. Kamu sempat mau cari pinjaman bunga tinggi buat sewa rumah di dekat rumah sakit, tapi akhirnya ayahku yang bantu. Kamu lupa semua itu?”

Bang Fahri diam. Namun, dari raut wajahnya, aku tahu dia tidak terima aku mengungkit semua ini.

Namun, aku tetap lanjutkan, “Semua itu aku bisa lakukan berkat sapi-sapi yang kamu hina itu, Bang. Kamu tidak menyangka uang itu lebih besar dari gaji doktermu, kan?”

“Kurang ajar sekali, Riska. Kamu bandingin anakku sama tukang sapi?” Tiba-tiba ibu mertua kembali mencampuri obrolan kami. Dia datang sambil menuding wajahku. “Anakku ini dokter, kamu tahu dokter? Pendidikannya paling mahal!”

Aku menoleh padanya, lalu pada Ninik yang berdiri di belakang wanita itu.

“Ninik, kalau kamu ngebayangin calon suamimu itu hebat seperti omongan calon ibu mertuamu, kamu salah besar,” ucapku. “Tapi tidak apa-apa. Sekarang, kamu urus Bang Fahri sendiri karena kamu ingin sekali jadi istrinya sampai masuk ke dalam rumah tangga orang lain. Mulai dari makannya, rumah tangganya, pekerjaannya, juga kedua orang yang membawamu itu. Semoga kamu sanggup.

“Ris, cukup! Aku tidak suka kalau kamu begini.”

“Aku sudah selesai,” ucapku. Lalu berlalu dari sana karena aku harus mulai menjalankan pembalasanku.

Diam-diam, kukunci pintu kamar utama dan membawa kunci cadangannya pula. Setelahnya, baru kupacu motor ini ke sebuah klinik kecantikan yang direkomendasikan oleh ibu-ibu paling cantik di kompleks, ibu-ibu yang kukenal saat aku berusaha menaikkan derajat Bang Fahri di mata tetangga.

***

“Ris, kamu dari mana saja!?” 

Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara nyaring itu menyambut diriku. 

Aku baru saja pulang setelah konsultasi kulit dan membeli beberapa stel baju layak pakai yang saat ini ada di dalam jok motor. Namun, tidak kusangka, Bang Zul akan menghubungiku dan mengajakku makan bersama, dengan Burman juga.

Jadilah aku pulang agak larut, meski dengan perut kenyang.

“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung ibu mertuaku lagi.  Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. 

Sementara Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.

“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.

“Kami belum makan gara-gara kamu keluar sampai malam! Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. 

Ah. Kutebak, mereka denial dengan kenyataan yang sudah kuutarakan sebelum berangkat tadi.

“Tadi kan aku sudah bilang kalau aku hari ini keluar, Bu,” ucapku tenang. “Tadi pagi juga Ibu dan Bang Fahri pesan makan. Kalau begitu, seharusnya bisa cari makan malam sendiri, kan?”

“Kamu ini–”

“Lagipula, bukankah kemarin kita sudah sepakat kalau aku sudah lepas tangan untuk urusan rumah ya?”

Wajah Bang Fahri berubah, dia kaget. Ekspresi kesalnya sesaat lalu menghilang begitu saja. Kini, Bang Fahri melihat lantai, menggaruk pelipis. Sepertinya, dia tidak menduga kalau ancamanku benar-benar terjadi.

“Kalau mau makan, tapi tidak mau pesan di luar, mungkin bisa minta calon mantu kesayanganmu yang masak, Bu.” Aku kembali menambahkan. 

“Loh, kok malah aku yang disuruh masak, sih?” Ninik menyahut. 

Kulirik perempuan itu. Rupanya, dia sama gilanya dengan orang-orang di sini. 

Belum sehari penuh bersama kami, Ninik sudah berani berpakaian seksi di rumahku. Dasternya sangat pendek, jauh lebih terbuka sampai belahan dadanya terlihat. Sepertinya dia sudah merasa jadi istri Bang Fahri, sampai berani bersikap seperti ini.

“Iya, kok Ninik yang harus masak. Itu tugasnya kamu, Ris. Kamu itu istrinya Fahri!”

“Sebentar lagi Ninik juga jadi istrinya Bang Fahri, kan? Kenapa tidak Ibu minta saja dia yang masak, hitung-hitung uji coba jadi mantu, gitu?” ledekku.

“A-aku nggak bisa masak, jadi kamu aja yang masak!” balas Ninik.

“Oh, gitu? Kalau begitu, perjanjian kita batal? Aku tidak akan setuju dengan pernikahan kalian, lalu kamu bisa pulang dan lupakan mimpimu jadi istri seorang dokter umum bernama Fahri!” paparku sembari melipat kedua tangan di dada.

Ucapanku itu membuat keadaan semakin meruncing. Ibu mertua melirik calon menantunya, kemudian Fahri dan Salma. Kutebak mereka kelaparan sekarang.

“Ninik, masak saja sana! Tunjukkan kalau kamu calon istri terbaik untuk Fahri pada perempuan stres ini!” seru ibu mertua. Egonya sepertinya terluka.

“Hah, I-ibu? A-aku yang masak?” Ninik terkejut. Dan sedikit panik.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
widha.87
bagus ceritanya... smoga dilanjut,, gak kayak karya yg sebelumnya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 180 (Tamat)

    Acara aqiqah di desa berlalu dengan semarak. Meskipun ada bisik-bisik yang kurang menyenangkan, kebahagiaan kami tidak sedikit pun tergoyahkan. Dukungan Ayah dan Ibu Tiri, ditambah kehadiran Bang Zul yang selalu menjadi perisai untukku dan anak-anak, membuatku merasa lengkap, tidak kurang meski hanya sedikit. Kami menghabiskan beberapa hari lagi di desa, membiarkan para kakek-nenek puas menggendong cucu-cucu mereka, sebelum akhirnya kembali ke kota.Kembali ke rumah, rutinitas baru langsung menyapa. Dengan tiga bayi di rumah, suasana tidak pernah sepi. Tangisan, rengekan, suara tawa, semua bercampur aduk menjadi melodi kehidupan yang indah.Beruntungnya aku memiliki Bi Sumi dan ketiga baby sitter profesional yang Bang Zul datangkan. Mereka bekerja dengan sangat sigap, memastikan kebutuhan para bayi terpenuhi dan rumah tetap teratur.Jangan tanya biayanya! Aku yakin Bang Zul harus merogok kocek tiga kali lipat dibanding biasanya setiap bulan. Tapi, tidak sekalipun pria itu mengeluh!Ak

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 179

    "Bang... ini berlebihan sekali!" bisikku padanya saat kami memasuki rumah. "Satu saja sudah mahal, ini langsung tiga! Kita tidak perlu sebanyak ini, Bang. Aku bisa mengurus anak-anak sendiri, kok."Bang Zul menuntunku menuju ranjang di kamar utama yang sudah diatur senyaman mungkin, lengkap dengan bantal-bantal empuk dan selimut hangat."Tidak ada yang berlebihan, Dek. Kamu baru saja melewati masa sulit. Kamu harus fokus pada pemulihanmu. Anak-anak ini butuh perawatan ekstra karena mereka kembar tiga. Abang tidak mau kamu terlalu lelah atau jatuh sakit lagi." Bang Zul duduk di tepi ranjang, menatapku serius, kedua tangannya menggenggam tanganku. "Pokoknya, Abang mau kamu sehat dan baik-baik saja. Kamu mengerti? Istirahatlah. Biarkan mereka yang mengurus semuanya. Ini perintah Abang, bukan cuma permintaan."Aku hanya bisa menghela napas, takjub dengan keputusan Bang Zul. Dia selalu saja melakukan hal-hal di luar dugaanku, selalu memprioritaskan kesehatanku.Aku tahu berapa biaya untuk

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 178

    Aku membuka mata perlahan. Langit-langit putih rumah sakit yang steril menyambut pandanganku. Samar-samar kudengar suara mesin infus di samping ranjang, ritmis dan menenangkan. Seluruh tubuhku terasa lemah, nyeri di bagian perut masih sangat terasa, namun rasa pusing hebat yang kemarin kurasakan sudah jauh berkurang. Sebuah kelegaan membanjiri diriku. Aku berhasil melewati ini. Aku selamat.Sebuah gerakan kecil di samping ranjang membuatku menoleh. Bang Zul duduk di kursi lipat, wajahnya tampak sangat lelah dengan kantung mata menghitam, namun matanya memancarkan kelegaan luar biasa saat melihatku sadar. Bang Zul langsung sigap menggenggam tanganku."Dek... kamu sudah sadar?" Suaranya serak, seperti menahan tangis. Bang Zul mengecup punggung tanganku berulang kali.Aku mengangguk lemah, berusaha tersenyum. "Bang... anak-anak kita bagaimana?"Senyum lebar merekah di wajahnya, mengalahkan segala kelelahan. Diusapnya keningku yang berpeluh walau ruangan luas ini berpendingin udara."Alha

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 177

    Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti neraka. Setiap kontraksi yang menghantam membuatku menggigit bibir hingga perih, berusaha menahan suara. Bang Zul terus menoleh ke belakang, khawatir dengan aku yang tidak bisa menahan rasa sakit ini. Seperti, tubuhku dirobek menjadi dua bagian."Sabar ya, Dek. Sebentar lagi sampai. Kamu kuat, Sayang. Demi anak-anak kita," suaranya bergetar, lebih dari biasanya. Aku tahu dia juga panik.Akhirnya, mobil berhenti di depan IGD rumah sakit. Tanpa menunggu, Bang Zul langsung menggendongku lagi keluar dari mobil, menerobos keramaian menuju pintu masuk. Ayah, Ibu Tiri, dan Bi Sumi mengikuti di belakang, wajah mereka semua dipenuhi kecemasan."Dokter! Suster! Istri saya mau melahirkan! Kembar tiga!" teriak Bang Zul, suaranya lantang, menarik perhatian para petugas medis.Beberapa perawat dan seorang dokter jaga segera menghampiri kami dengan ranjang dorong. "Segera bawa ke ruang bersalin!" perintah dokter. Aku dipindahkan ke ranjang, dan para perawat m

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 176

    Kabar kehamilan kembar tiga membawa kebahagiaan tidak terhingga, namun juga menjadi kenyataan baru yang menantang. Dokter Arini yang Bang Zul pilih sebagai dokterku telah menjelaskan bahwa kehamilan ini akan jauh lebih berat daripada kehamilan tunggal. Aku harus ekstra hati-hati, menjaga asupan nutrisi, dan sangat membatasi aktivitas fisik. Bang Zul menjadi sangat protektif, bahkan lebih dari sebelumnya."Dek, Abang sudah siapkan supir pribadi untukmu. Jadi kamu tidak perlu naik taksi online lagi," katanya pagi ini saat aku menemaninya sarapan di meja. "Pokoknya, jangan sampai kamu kecapekan. Kalau ada apa-apa, langsung bilang Abang atau Bi Sumi, ya."Aku mengangguk patuh, merasa beruntung memiliki suami seperti Bang Zul. Dia benar-benar memastikan semua kebutuhanku terpenuhi, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Bi Sumi juga sangat perhatian, selalu menyiapkan makanan bergizi dan mengingatkanku untuk beristirahat.Semester terakhir kuliahku adalah ujian sesungguhnya. Perutku mulai membesa

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 175

    Setelah keluar dari klinik dokter, perasaan syok bercampur kebahagiaan masih menyelimuti kami berdua. Bang Zul sesekali mengusap keningnya, dan aku masih sering melamun, membayangkan tiga bayi mungil di dalam perutku. Rasanya seperti mimpi. Selama ini kami hanya membayangkan satu atau dua anak, tapi ini... tiga sekaligus."Jadi, kamu mau kita langsung ke desa atau bagaimana, Dek?" tanya Bang Zul, memecah keheningan saat mobil melaju di jalanan kota. Pria itu melirikku.Aku berpikir sejenak. Aku tahu Ayah dan Ibu Tiri pasti akan sangat senang mendengar kabar ini. Tapi..."Bagaimana kalau kita pulang dulu, Bang? Kita bereskan barang-barang, lalu nanti sore atau besok pagi kita ke desa. Abang juga kan harus ke pabrik lagi." Aku merasa perutku sedikit tidak nyaman dan ingin segera beristirahat di rumah. Ada rasa mual yang tiba-tiba menyeruak saat mobil melaju. "Oke, kalau begitu kita pulang saja dulu, ya," jawab Bang Zul, mengangguk setuju. "Apa kamu mau belanja perlengkapan bayi?""Eh?

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status