“Ris, kamu dari mana saja?”
Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.
“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.
Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.
“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.
“Kami belum makan gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyataan yang sudah kuutarakan sebelum berangkat tadi.
Beliau mencegahku pergi lebih jauh, mencengkeram lenganku begitu erat. Sakit, tapi gegas aku mengentak tangan hingga Perempuan itu terhuyung.
“Kalau mau makan, minta calon mantu kesayanganmu yang masak, Bu. Aku kan sudah bilang, kuizinkan Bang Fahri nikah, tapi syaratnya aku dibebaskan dari semua urusan rumah tangga dan boleh bekerja sesukaku!”
Wajah Bang Fahri berubah, dia kaget. Ekspresi kesalnya sesaat lalu menghilang begitu saja. Kini, Bang Fahri melihat lantai, menggaruk pelipis. Sepertinya, dia tidak menduga kalau ancamanku benar-benar terjadi.
“Loh, kok malah aku yang disuruh masak, sih?” Ninik menyahut.
Kulirik Perempuan itu. Rupanya, dia sama gilanya dengan orang-orang di sini. Belum sehari penuh bersama kami, Ninik sudah berani berpakaian seksi di rumahku. Dasternya sangat pendek, jauh lebih terbuka sampai belahan dadanya terlihat. Sepertinya dia sudah merasa jadi istri Bang Fahri, sampai berani bersikap seperti ini.
“Iya, kok Ninik yang harus masak. Itu tugasnya kamu, Ris. Kamu itu istrinya Fahri!”
“Sebentar lagi Ninik juga jadi istrinya Bang Fahri, kan? Kenapa tidak Ibu minta saja dia yang masak, hitung-hitung uji coba jadi mantu, gitu?” ledekku.
“A-aku nggak bisa masak, jadi kamu aja yang masak!” balas Ninik.
“Oh, gitu? Kalau begitu, perjanjian kita batal? Aku tidak akan setuju dengan pernikahan kalian, lalu kamu bisa pulang dan lupakan mimpimu jadi istri seorang dokter umum bernama Fahri!” paparku sembari melipat kedua tangan di dada.
Ucapanku itu membuat keadaan semakin meruncing. Ibu mertua melirik calon menantunya, kemudian Fahri dan Salma. Kutebak mereka kelaparan sekarang, mungkin masakanku untuk siang juga sudah mereka habiskan.
“Ninik, masak saja sana! Tunjukkan kalau kamu calon istri terbaik untuk Fahri pada Perempuan setres ini!” seru ibu mertua.
“Hah, I-ibu? A-aku yang masak?”
Aku terkikik geli karena Ninik panik. Duduknya yang sedari tadi arogan, asal-asalan hingga paha putihnya terlihat telah berubah total. Ninik melirik Fahri, mungkin meminta pertolongan.
“Hah, sudahlah! Pusing ….” Bang Fahri berseru. Setelahnya, dia masuk ke dalam kamar.
Tinggallah kami di sini, di ruang tamu. Aku benar-benar bahagia melihat keadaan ini, mereka saling melempar tugas, saling memunggungi dan mengabaikan.
“Ya sudah, Bu … aku masuk dulu.”
Obrolan dengan mereka kuakhiri segera. Aku beranjak masuk ke kamar, masih dengan pikiran jernih dan sedikit rasa bahagia karena melihat Ninik gelagapan. Tentu saja dia tidak akan berani menolak perintah ibu mertua. Kutebak, Ninik akan berusaha melakukan segala cara agar bisa menikahi Bang Fahri, meski itu berarti akan menyulitkan dirinya sendiri.
Namun, usai mendorong pintu kamar, kudapati hal paling menjijikkan. Bang Fahri berbaring di ranjang, memainkan gawainya dengan santai sembari berkata padaku, “Ibu yang minta, bukan Ninik. Jadi, tidak perlu protes padanya. Lagi pula, nanti Ninik juga akan tinggal di sini, biar sekarang saja dia masukkan semua barangnya ke kamar ini.”
“Jadi maksudmu, kalian akan tidur sekamar mulai dari malam ini?” Aku berseru keras, seluruh tubuhku melemah melihat seisi kamar telah berubah hanya dalam beberapa jam.
Meja rias yang biasanya berisi beberapa skinker murah dan kosmetik milikku, kini dipenuhi berbagai macam merek skinker dan kosmetik dari brand mahal, belum lagi lemari dan seisinya yang tidak lagi milikku.
Ya Allah, tega sekali mereka ….
Belum genap satu hari, tapi kelakuan bejat mereka umbar begitu saja. Apakah mereka tidak takut dosa? Tidak khawatirkah mereka dengan hilangnya keberkahan dalam hidup?
Kutatap Bang Fahri, dia pria yang kunikahi dan kubanggakan di depan ayah dulu. Ternyata, sifat aslinya jauh lebih buruk dari yang bisa kubayangkan, begitu juga dengan keluarganya.
“Biar Ninik tidur di ranjang, aku tidur di lantai saja, Ris.”
“Apa?” pekikku.
Ya Allah, suamiku dan keluarganya sudah kehilangan akal. Seketika aku jijik padanya, tubuh ini meremang membayangkan setiap hari yang akan kuhabiskan dengan Bang Fahri. Dia menganggap mudah perzinahan hingga tega mengusirku ke kamar lain agar bisa berduaan dengan Perempuan itu.
“Ini zina, Bang. Kamu berniat kumpul kebo dengan Ninik?” Aku menujuknya.
Aku berjalan cepat menghampiri Bang Fahri, menarik salah satu bantal lalu menghantam pria itu. Gawai Bang Fahri terlempar, pria itu juga terkejut.
“Ris, kenapa kamu begini, sih?”
“Kalau Abang tetap begini, kalian bakal aku laporin ke Pak RW!” ancamku dengan tangan yang menunjuk sembarang.
Seperti yang kusebut sebelumnya, rumah kami sangat dekat dengan Pak RW. Dia tinggal di seberang, jadi mudah bagiku untuk melapor ke sana. Sedikit saja ada keanehan, Pak RW akan mudah tahu.
“Riska?”
“Kamu pilih, Bang!” Telunjukku mengarah padanya. “Dengerin aku atau kalian kulaporkan ke Pak RW?” manik mata Bang Fahri bergetar. Aku tidak berhenti sampai di situ. “Sadar diri, Bang! Kamu tinggal di rumah yang disewa orang tuaku, bahkan bekerja di puskesmas desaku karena gagal dapat kerja di kota. Sadar diri kamu sebelum kuadukan ini ke Pak RW dan Ayah!”
Wajah Bang Fahri memerah. Pria itu mengusap kedua wajahnya dengan kasar.
Sedang napasku memburu usai meninggikan suara pada Bang Fahri. Padahal, selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik untuknya, tidak banyak tingkah, tidak banyak protes, menerima semua yang ditetapkan olehnya.
Aku ingin berbakti pada suami, seperti yang dilakukan ibu hingga akhir hayat. Aku ingin menjalin rumah tangga yang tenang dan penuh keberkahan, hingga ajal menjemput dan dunia ini kutinggalkan. Tapi, jika begini imam yang kupilih, aku juga tidak ingin diseret ke neraka karena membiarkan perzinahan terjadi.
Gegas kubalikkan badan, aku kalap hingga tidak bisa berpikir jernih.
“Ris, Riska!”
“Riska? Berhenti dulu, Ris!”
Suara Bang Fahri kuabaikan. Gagang pintu kutekan hingga benda pipih itu merenggang, celah lebar membuatku berhasil menghindar darinya.
Aku bergegas, berjalan dengan sangat cepat. Pak RW harus tahu hal ini agar Bang Fahri dan keluarganya mendapat peringatan.
Namun, saat keluar dari kamar, aku hanya melihat kabut gelap di seluruh penjuru rumah. Seolah-olah ada sesuatu yang sedang di bakar.“Astagfirullah!” pekikku sembari menahan napas dan mengipas tangan di depan muka.Kabut hitam itu rupanya asap, sangat pekat dan menyesakkan. Entah apa yang telah terjadi hingga seluruh rumah jadi begini.Aku teringat jika sesaat lalu Ninik diminta untuk memasak. Lalu, kuarahkan tujuan menuju dapur dengan perasaan tidak karuan, bahkan Bang Fahri di belakang kuabaikan seperti tidak terlihat.Benar saja, saat aku tiba di dapur, kudapati Ninik sedang mencolek-colek wajan berasap dengan sutil. Dia meringis beberapa kali, kemudian mencolek lagi.“Apa yang kamu lakukan, Ninik? Kamu mau bakar rumah ini?” jeritku.Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arahnya kemudian mematikan kompor yang menyala. Ninik sedang menggoreng telur di dalam minyak gosong karena api yang terlalu besar.“Apa lagi, aku lagi masak telur!” sahutnya. Perempuan itu masih mencolek-colek minya
Begitulah semuanya berlalu dengan lambat dan sakit. Dua hari menjelang pernikahan Bang Fahri dengan Ninik, aku kenyang jadi buah bibir Masyarakat. Mereka menyalahkanku yang tidak pandai mengurus diri, tidak modis dan hanya berpakaian sederhana, sampai akhirnya pria itu memilih menikahi Ninik. Tapi sekalipun begitu, aku tidak pernah menundukkan kepala, kutelan bulat-bulat semuanya sebelum Bang Fahri dan Ninik menikah.Aku sudah keluar sejak siang, mengendarai motor, seorang diri. Semua ini demi menghindari pertikaian di rumah yang tidak berkesudahan, tentunya untuk melindungi mentalku sendiri.“Beneran kamu bakal diam saja, Ris?” Salah satu Perempuan yang jadi teman baru di kota itu berbicara lantang saat aku muncul di warungnya.Kak Nah- begitulah beliau dipanggil. Semua orang tahu kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan di masa lalu. Bahkan saat kuperlihatkan foto keluargaku, beliau bilang ingin jadi istri Ayah andai belum menikah. “Biarkan saja, Kak. Aku sudah tidak peduli lag
“Ris, aku belum selesai bicara!” tahannya dengan intonasi yang tidak jelas.Saat aku berbalik, mulut Bang Fahri dipenuhi mi instan, bahkan ada yang menggelantung keluar dari bibirnya. Entah kenapa Bang Fahri jadi semakin menyedihkan. Ke mana perginya harga dirinya yang tinggi itu?“Kenapa lagi, Bang? Aku mau keluar, mau masak makan malam!” sahutku sembari mencebik.“Itu, Ris … ibu bilang kamu punya banyak uang. Kamu sering keluar akhir-akhir ini, mungkin sudah dapat kerja dan digaji. Bisa enggak uangnya buat aku dulu? Biaya nikah belum cukup, Ris.”“Hah?” Aku memekik sampai urat di leherku bermunculan.Menyesal sekali aku bersikap baik pada pria itu. Apa dia mengira kalau aku sudah melunak saat seluruh perasaanku dicabik-cabik olehnya sesuka hati?“Iya, transfer saja ya, Ris? Ibu bilang, kamu lagi pegang banyak duit. Aku butuh sedikit lagi buat tambah seserahan, bayar catering dan dekor. Enggak banyak, Ris … barang delapan juta lagi,” jelas Bang Fahri yang membuatku mengepalkan tangan
“Fahri itu suamimu!”“Bang Fahri juga anak Ibu, bukannya Ibu yang selalu bilang kalau anak lelaki adalah milik ibunya sampai kapanpun? Lalu kenapa bukan Ibu yang turun tangan membantu Bang Fahri?” paparku sembari membuang pandangan.Kedua mataku sakit karena harus melihat orang-orang ini. Entah sejak kapan … mereka sudah berganti pakaian mewah, memakai perhiasan yang kutebak palsu semuanya, bahkan menyemprot minyak wangi sampai hidungku jadi gatal.Apalagi Ninik yang sudah seperti gadis India saja. Dia memakai pakaian yang mirip dengan sari India, lalu headpiece di kepala serta anting yang besar.
Bang Fahri yang mendengar hal itu gegas berdiri. Tubuhnya tegang, matanya membola. Dia menatap lurus ke arah pintu, lalu mengepalkan kedua tangan.Di belakangnya, Ninik menundukkan muka. Dia tidak mampu berkutik meski hanya sedetik.Wajah cantiknya yang berpoles riasan juga tidak mampu menutupi betapa gelisahnya dia saat ini. Bahkan saat hendak berdiri dari sofa, Ninik goyah, hampir saja dirinya rubuh ke samping.“Enak saja kamu, Ninik! Ini tugasmu jagain anak-anak. Aku sudah bilang, aku tidak sempat mengurus anak-anak, jadi kukirimkan uang nafkah mereka tiap bulan. Tapi kemarin aku ngalah karena kukira kamu beneran kesulitan dan sakit, rupanya kamu ngec
“Rencana?” Aku bergidik ngeri.Kuulas senyum ke arah Ninik. Perempuan itu sudah bersimbah air mata, riasan cantiknya rusak tidak berupa, bahkan rambutnya yang disanggul juga mulai tidak berbentuk. Dibanding pengantin, Ninik lebih mirip depresi.“Kamu sengaja ngelakuin ini semua biar aku dan Bang Fahri tidak jadi nikah, kan?” pekiknya meski ketiga anaknya ada bersamanya. “Tega kamu, Riska!”“Tega? Aku tega gimana, Ninik? Kamu mau nuduh aku gagalin pernikahan kalian, tapi kalian sudah nikah,” balasku dengan suara yang lembut.
“Apa, Bang?” Aku tercengang mendengar permintaan Bang Fahri.Pria itu bergeming. Tubuhnya hanya condong padaku, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mulai memperhatikan. Entah itu Ninik, kerabatnya, atau mungkin ibu mertua dan Salma. Aku tidak begitu yakin, karena saat ini seluruh tubuhku hanya tertaut pada Bang Fahri.“Iya. Riska, kamu kembali ke kamar kita, ya? Abang izinkan kamu untuk tinggal di sana lagi. Nanti, Ninik yang akan menetap di kamar itu,” ujarnya seraya menunjuk kamar belakang yang beberapa malam ini kutempati dengan ujung mata.Seketika aku tergelak. Perut ini tergelitik mendengar konyolnya perkataan Bang Fahri. Ap
Kutatap Ninik lalu Bang Fahri. Pria itu malah berjalan ke arahku.“Iya, Dek. Iya … aku tidak akan menjual rumah ini. Aku juga akan pindah ke kamar belakang, jadi kamu jangan marah-marah lagi, ya?” bujuknya seraya mengangkat tangan.Bang Fahri hendak menyentuhku, tapi buru-buru aku mundur. Seluruh tubuh ini jijik, tidak lagi ingin disentuh oleh pria sepertinya.“Sudah, aku tidak mau dengar apa-apa.”Kudorong Bang Fahri agar jarak membentang di antara kami. Kemudian, sorot mata jatuh pada Salma yang kini melirik. Akhirnya, dia tertari
“Kamu selalu menjawabku, Ris! Kamu itu memang tidak bisa diajak bicara, sudah rendah pendidikannya, rendah juga etikanya.”“Ya memang sudah sewajarnya, Nik. Aku ini istri pertamanya Bang Fahri, sedangkan kamu istri kedua yang bahkan dinikahinya siri, tidak punya buku nikah dan pengakuan dari negara. Tahu kan bedanya? Ya jelas aku tidak bisa diajak bicara, apa lagi sama perempuan yang ngarepin suami orang lain,” balasku kembali dengan seutas senyum yang mengembang.Wajah Ninik sudah seperti buah tomat, bahkan dia mengepalkan tangan, entah ingin meninju atau mungkin mencakarku. Tapi, aku lekas membuat jarak dengannya agar tidak sampai terluka jika dia memang menyerang. Masalah bisa jadi makan melebar kalau aku tidak hati-hati. Mengguyurnya dengan air bak sudah cukup untuk saat ini, aku tidak boleh bertindak gegabah dan berakhir menyesal.Setahuku, Ninik perempuan licik dan banyak akal. Aku tidak bol
Kulihat dia berusaha menggapai tangan Bang Fahri beberapa kali. Namun, belum sempat tergenggam, Ninik langsung ditolak dengan kasar.Aku tidak mengerti kenapa sikap Bang Fahri begitu kasar, padahal kemarin dia masih tenang. Bahkan sampai tega menolak sentuhan dari Perempuan itu. Seingatku, sebelum mereka menikah, beberapa kali kudapati keduanya bermesraan, bahkan berciuman setiap kali ada kesempatan. Meski tahu aku melihat, keduanya tidak menujukkan penyesalan.Lantas, kenapa begitu mudah berubah?“Jangan banyak bicara, Nik! Aku cinta sama Nik yang kemarin, bukan Ninik anak tiga, si penipu dan pendusta.” Bang Fahri berteriak. Urat-urat di balik kulit lehernya tercetak.“Bang, kamu ini kelewatan banget, ya? Aku datang ke sini karena kamu yang janji bakalan jadiin aku istri yang paling bahagia di dunia ini. Kamu bilang, aku bebas melakukan apapun yang aku mau, asalkan aku hidup sama k
Kuabaikan mereka, kepalaku bisa sakit parah jika terus bertahan di rumah. Tapi, melihat mereka mulai bertengkar satu sama lain dan berdebat begini, membuatku sedikit senang. Ninik sudah tidak lagi jadi idaman ibu mertua, dan Bang Fahri yang selalu mengira dirinya paling hebat itu pusing tujuh keliling karena tertimbun hutang.Kuputuskan untuk keluar usai menghubungi Bang Zul. Kami akan bertemu, membahas beberapa hal dan merencanakan sesuatu. Saat matahari meninggi, aku tiba di sebuah restoran. Dari kejauhan, kulihat punggung pria itu. Dia sedang berkutat dengan laptop dan gawai seorang diri.“Aku sudah datang, Bang.”Senyumku merekah, melihat Bang Zul yang kebingungan, sedikitpun aku tidak bisa mengungkiri kalau aku bahagia dengan kejadian kemarin. Bang Fahri yang kaget dan kesal, ibu mertua yang tertipu serta Ninik yang kini diperlakukan seperti pembantu.Bukankah ini baru permulaan? Tapi rasanya sudah sangat mendebarkan.“Duduk di sini Ris. Aku bau! Habis ngecek pasokan daging di Gu
Kutatap Ninik lalu Bang Fahri. Pria itu malah berjalan ke arahku.“Iya, Dek. Iya … aku tidak akan menjual rumah ini. Aku juga akan pindah ke kamar belakang, jadi kamu jangan marah-marah lagi, ya?” bujuknya seraya mengangkat tangan.Bang Fahri hendak menyentuhku, tapi buru-buru aku mundur. Seluruh tubuh ini jijik, tidak lagi ingin disentuh oleh pria sepertinya.“Sudah, aku tidak mau dengar apa-apa.”Kudorong Bang Fahri agar jarak membentang di antara kami. Kemudian, sorot mata jatuh pada Salma yang kini melirik. Akhirnya, dia tertari
“Apa, Bang?” Aku tercengang mendengar permintaan Bang Fahri.Pria itu bergeming. Tubuhnya hanya condong padaku, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mulai memperhatikan. Entah itu Ninik, kerabatnya, atau mungkin ibu mertua dan Salma. Aku tidak begitu yakin, karena saat ini seluruh tubuhku hanya tertaut pada Bang Fahri.“Iya. Riska, kamu kembali ke kamar kita, ya? Abang izinkan kamu untuk tinggal di sana lagi. Nanti, Ninik yang akan menetap di kamar itu,” ujarnya seraya menunjuk kamar belakang yang beberapa malam ini kutempati dengan ujung mata.Seketika aku tergelak. Perut ini tergelitik mendengar konyolnya perkataan Bang Fahri. Ap
“Rencana?” Aku bergidik ngeri.Kuulas senyum ke arah Ninik. Perempuan itu sudah bersimbah air mata, riasan cantiknya rusak tidak berupa, bahkan rambutnya yang disanggul juga mulai tidak berbentuk. Dibanding pengantin, Ninik lebih mirip depresi.“Kamu sengaja ngelakuin ini semua biar aku dan Bang Fahri tidak jadi nikah, kan?” pekiknya meski ketiga anaknya ada bersamanya. “Tega kamu, Riska!”“Tega? Aku tega gimana, Ninik? Kamu mau nuduh aku gagalin pernikahan kalian, tapi kalian sudah nikah,” balasku dengan suara yang lembut.
Bang Fahri yang mendengar hal itu gegas berdiri. Tubuhnya tegang, matanya membola. Dia menatap lurus ke arah pintu, lalu mengepalkan kedua tangan.Di belakangnya, Ninik menundukkan muka. Dia tidak mampu berkutik meski hanya sedetik.Wajah cantiknya yang berpoles riasan juga tidak mampu menutupi betapa gelisahnya dia saat ini. Bahkan saat hendak berdiri dari sofa, Ninik goyah, hampir saja dirinya rubuh ke samping.“Enak saja kamu, Ninik! Ini tugasmu jagain anak-anak. Aku sudah bilang, aku tidak sempat mengurus anak-anak, jadi kukirimkan uang nafkah mereka tiap bulan. Tapi kemarin aku ngalah karena kukira kamu beneran kesulitan dan sakit, rupanya kamu ngec
“Fahri itu suamimu!”“Bang Fahri juga anak Ibu, bukannya Ibu yang selalu bilang kalau anak lelaki adalah milik ibunya sampai kapanpun? Lalu kenapa bukan Ibu yang turun tangan membantu Bang Fahri?” paparku sembari membuang pandangan.Kedua mataku sakit karena harus melihat orang-orang ini. Entah sejak kapan … mereka sudah berganti pakaian mewah, memakai perhiasan yang kutebak palsu semuanya, bahkan menyemprot minyak wangi sampai hidungku jadi gatal.Apalagi Ninik yang sudah seperti gadis India saja. Dia memakai pakaian yang mirip dengan sari India, lalu headpiece di kepala serta anting yang besar.
“Ris, aku belum selesai bicara!” tahannya dengan intonasi yang tidak jelas.Saat aku berbalik, mulut Bang Fahri dipenuhi mi instan, bahkan ada yang menggelantung keluar dari bibirnya. Entah kenapa Bang Fahri jadi semakin menyedihkan. Ke mana perginya harga dirinya yang tinggi itu?“Kenapa lagi, Bang? Aku mau keluar, mau masak makan malam!” sahutku sembari mencebik.“Itu, Ris … ibu bilang kamu punya banyak uang. Kamu sering keluar akhir-akhir ini, mungkin sudah dapat kerja dan digaji. Bisa enggak uangnya buat aku dulu? Biaya nikah belum cukup, Ris.”“Hah?” Aku memekik sampai urat di leherku bermunculan.Menyesal sekali aku bersikap baik pada pria itu. Apa dia mengira kalau aku sudah melunak saat seluruh perasaanku dicabik-cabik olehnya sesuka hati?“Iya, transfer saja ya, Ris? Ibu bilang, kamu lagi pegang banyak duit. Aku butuh sedikit lagi buat tambah seserahan, bayar catering dan dekor. Enggak banyak, Ris … barang delapan juta lagi,” jelas Bang Fahri yang membuatku mengepalkan tangan