Share

RESMI BERCERAI

Bab 2

RESMI BERCERAI

"Tinggalkan dia. Mungkin dengan cara itu, aku bisa memaafkan kamu," sahut Irma.

Hisyam tampak terkejut.

"Kenapa? Gak bisa?"

"Maaf, Ir. Apa gak bisa syarat yang lain? Dia sedang hamil. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Dia menuntutku untuk menikahinya sah secara hukum. Tolong, terima dia menjadi madumu. Aku janji, aku akan adil."

Irma tak mampu menjawab. Hatinya begitu sakit. Irma meninggalkan suaminya dan memilih tidur bersama putrinya.

Pagi hari, Irma tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Satu yang berubah, tak ada celotehan darinya.

"Bun, Arum lapar!" ujar Arum. Dia sudah bersiap untuk berangkat sekolah.

"Selamat pagi, anak Ayah!" sapa Hisyam. Arum tak menanggapi. Dia masih marah dengan kejadian kemarin.

"Disapa Ayah kok diam saja, sih?"

Arum masih diam seribu bahasa. Tak habis akal, Hisyam segera menuju ruang tamu. Tak lama kemudian, dia telah kembali dengan membawa boneka beruang warna merah muda seukuran Arum.

"Halo, Kak Arum! Mau main sama aku gak?" ujar Hisyam menirukan suara anak-anak. Arum memandang boneka tersebut dengan mata berbinar.

"Ini buat Arum, Yah?" tanya Arum antusias.

"Iya, dong! Sini, peluk Ayah!"

Arum segera berlari ke pelukan ayahnya. Hisyam mencium kening dan pipi putrinya dengan sayang.

"Selamat ulang tahun, ya, Sayang! Semoga menjadi anak yang shalihah kebanggaan Ayah dan Bunda!" ujar Hisyam.

"Maafkan, Ayah, ya! Lain kali, Ayah pasti ajak Arum jalan-jalan," lanjutnya.

"Janji, ya? Jangan bohong lagi!" ujar Arum sembari mengacungkan kelingkingnya.

"Iya, Ayah janji!" sahut Hisyam menyambut kelingking putrinya dengan kelingkingnya.

"Selamat pagi!" Seorang wanita muda yang sedang hamil nyelonong masuk ke dalam rumah.

"Winda, untuk apa kamu kesini?" tanya Hisyam.

"Mas, Nasha nanyain kamu terus, tuh! Katanya, dia mau berangkat sekolah diantar Papanya!" sahut Winda.

Hisyam merasa salah tingkah. Pasalnya, disitu ada Arum dan istrinya.

"Halo, Mbak Irma! Kenalkan, aku Winda! Istri kedua Mas Hisyam!" ujar Winda sembari mengulurkan tangannya.

Irma tak menanggapi. Dia biarkan tangan Winda menggantung. Akhirnya, Winda menarik tangannya kembali.

"Arum, kamu tunggu Bunda di kamar, ya!"

"Iya, Bun!" sahut Arum. Arum segera melangkah menuju kamarnya. Namun, langkahnya terhenti. Dia bersembunyi dan mengintip dari balik dinding ruangan tersebut.

"Pergilah, Win!"

"Gak bisa gitu, dong, Mas! Lagian, Mbak Irma sudah tahu! Jadi, mulai sekarang, dia harus rela berbagi waktu suaminya!"

"Winda! Jangan ngomong sembarangan!" bentak Hisyam.

"Sembarangan bagaimana? Bukankah kemarin Mas bilang, Mas akan segera menikahi aku secara resmi. Sekarang Mbak Irma sudah tahu hubungan kita, jadi gak ada alasan lagi! Mbak Irma, kamu gak boleh egois! Aku juga istri mas Hisyam dan aku sedang hamil. Jadi, Mbak harus rela berbagi suami sama aku."

"Pergilah! Bawa suamimu! Aku sudah tak sudi!" ujar Irma sarkas.

"Irma! Apa maksudmu?" sahut Hisyam.

"Aku gak sanggup jika harus berbagi suami, Mas. Ceraikan aku!"

"Irma, jaga bicaramu!" bentak Hisyam.

"Aku tidak mau dimadu. Jika Mas ingin menikahinya, ceraikan aku dulu!" ujar Irma tenang.

"Irma!" bentak Hisyam.

Winda tersenyum penuh kemenangan.

"Udah, Mas! Ceraikan saja dia! Aku gak mau, ya, anakku lahir tanpa ayah!" sahut Winda.

"Winda, sebaiknya kamu pulang dulu! Biar aku bicara dulu dengan Irma!" ujar Hisyam.

"Gak perlu, Mas! Gak ada lagi yang perlu dibicarakan!" sahut Irma.

"Ir, tolong pikirkan baik-baik! Bagaimana dengan Arum jika kita bercerai!"

"Arum akan ikut aku, Mas! Jangan khawatir! Dia tidak akan merepotkan kamu!" sahut Irma.

"Bukan itu maksudku! Dia butuh sosok seorang Ayah!"

"Kamu tetap Ayahnya, Mas! Aku tidak akan menghalangi kalian bertemu!"

"Irma … Arum masih kecil. Dia butuh keluarga yang lengkap."

"Untuk apa keluarga lengkap jika didalamnya hanya ada api? Lepaskan aku, Mas! Aku tidak mau dimadu!"

Hisyam menghembuskan nafas panjang.

"Baiklah, jika memang itu keputusanmu! Irmawati binti Abdurrohman, dengan ini aku jatuhkan talak padamu! Mulai hari ini, kamu bukan istriku lagi!"

"Ayo, Mas, kita pergi! Nasha sudah nunggu dari tadi!" ujar Winda, lalu menarik Hisyam meninggalkan rumah tersebut dengan senyum kemenangan.

Irma terduduk di lantai. Dia menangis tergugu. Rumah tangga yang dia perjuangkan, kini telah berakhir. Arum keluar dari persembunyiannya, lalu berlari mengejar ayahnya.

"Ayah ... jangan pergi! Jangan tinggalin Arum!"

Langkah Hisyam terhenti. Dia menoleh. Dilihatnya, putrinya berlari ke arahnya. Dia segera membawa Arum ke dalam pelukannya. Setelah puas memeluknya, Hisyam mencium kening dan pipi putrinya.

"Arum … Arum disini jaga Bunda, ya! Jangan nakal!"

"Ayah mau kemana?"

"Ayah harus pergi! Tapi Arum gak usah khawatir, Ayah akan sering-sering mengunjungi Arum."

Tin tin tiiiin ....

Winda memencet klakson dengan tak sabar.

"Ayah pergi dulu, ya!" Hisyam melepas pelukan putrinya, lalu segera masuk ke dalam mobil, dan melaju meninggalkan rumah tersebut.

"Ayah ...," ujar Arum lirih. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Yang dia tahu, wanita hamil di samping ayahnya dan gadis kecil yang duduk di bangku belakang itu telah merebut ayahnya.

Irma memeluk putrinya.

"Bun ... Ayah pergi!" ujar Arum sembari terisak.

"Gak papa, Sayang! Biarkan saja! Masih ada Bunda disini!" sahut Irma sembari menghapus air matanya.

Dua bulan setelah kejadian itu, surat cerai mereka telah keluar. Hak asuh Arum jatuh ke tangan Irma. Rumah yang mereka tempati selama ini diserahkan kepada Irma sebagai harta gono gini.

Tiga bulan pertama, nafkah untuk Arum masih berjalan lancar. Namun, memasuki bulan keempat, Hisyam sudah tidak mengirim uang untuk Arum.

Irma pun tak mau mengemis. Dia berjuang seorang diri untuk membesarkan putrinya. Irma tak bisa bekerja karena tidak tega meninggalkan putrinya sendirian. Tabungannya mulai menipis. Satu persatu aset telah terjual.

"Arum, boleh Bunda bicara sebentar?" tanya Irma.

"Ada apa, Bun?" tanya Arum. Dia menghentikan aktivitasnya mengerjakan PR.

"Rencananya, Bunda mau mengajak Arum pindah ke Surabaya. Bagaimana menurut Arum?"

"Kalau kita pindah kesana, trus, sekolah Arum bagaimana?"

"Ya … sekolahnya pindah, Sayang! Bunda rencananya mau buka catering disana."

"Kenapa gak disini saja, Bun?" tanya Arum.

"Arum gak mau, ya?" tanya Bundanya sedih.

"Arum mau, Bun, cuma …."

"Cuma apa, Sayang?"

"Kalau kita pindah kesana, apa kita masih bisa bertemu Ayah?" tanya Arum sedih.

Melihat hal itu, Irma pun turut sedih.

"Arum kangen ya, sama Ayah?" tanya Irma.

Arum mengangguk.

"Sudah lama Ayah gak nengok Arum," ujarnya sedih.

"Bagaimana kalau besok kita temui Ayah ke rumah barunya?"

"Memangnya boleh, Bun?"

Irma mengangguk.

"Hore! Terimakasih, Bunda!" ujar Arum, lalu memeluk Bundanya erat. Tanpa terasa, air mata Irma menetes. Namun, dia segera menghapusnya. Dia tak ingin putrinya melihat air matanya. Semoga besok tidak terjadi masalah, harapnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status