Beberapa hari berikutnya, rutinitas berjalan seperti biasa. Arhan dan Nadine yang sempat panik setelah mendengar Alma membicarakan keinginannya untuk kembali bekerja, kini sudah mulai tenang.
Toh, wanita itu masih sibuk dengan urusan rumah dan segala sesuatunya berjalan seperti biasa. Yah, walau ada sedikit perubahan dengan Alma, yang mana wanita itu mulai menelantarkan sejumlah kewajiban rumah tangganya, seperti pagi ini … saat dia tidak menyiapkan sarapan untuk Nadine dan Arhan. "Aku ada urusan dengan temanku, jadi nggak sempat bikin sarapan. Kalian beli sarapan di luar aja ya," ujar Alma sebelum pergi begitu saja, meninggalkan Arhan dan Nadine yang sudah menunggu hidangan pagi dari Alma. “Heran banget deh sama Kak Alma, marah kok nggak kelar-kelar, pake acara mogok masak pula. Udah berapa hari ini begini terus!” gerutu Nadine sambil menyendokkan nasi goreng yang dia beli untuk makan siang ke dalam mulut. Wajahnya tampak kesal saat menatap piring nasi gorengnya. “Nggak seenak buatan Kak Alma ih ….” Arhan yang duduk di sebelahnya di kantin rumah sakit menjawab, "Tunggu aja beberapa hari lagi, nanti juga balik normal." Meskipun dia mengatakan itu, dalam hati Arhan sebenarnya sepakat dengan Nadine. Masakan Alma memang lebih enak. "Tapi ini udah dua minggu loh, Mas. Kak Alma nggak pernah marah selama ini! Biasanya paling lama dua hari, habis itu dia normal lagi. Ini sih udah keterlaluan!" omel Nadine sambil meremas sendoknya. “Lagian emangnya Mas Arhan nggak bisa ngobrol gitu sama Mbak Al? Tegur lah sedikit. Jangan ngambek lama-lama kayak bocil. Kan yang repot kita juga. Coba pikir, berapa banyak uang yang keluar karena kita harus beli makanan terus dari luar?!” Arhan terdiam, merasa Nadine ada benarnya juga. Tapi jujur, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Ego. Biasanya, kalau dia dan Alma bertengkar, pasti istrinya itu yang duluan minta maaf. Tapi, kali ini sudah jalan dua minggu, istrinya tidak kian mengajaknya bicara kecuali ada perlu. Apa benar-benar perlu bagi Arhan untuk menghampiri Alma hanya karena masalah sepele ini? Lagi pula, kenapa sih Alma marah? Apakah hanya karena dia mengungkit masalah kehamilan itu? Padahal ‘kan memang benar Alma sendiri yang tidak berhasil hamil setelah tiga tahun? Kenapa harus menghindar dari fakta dan malah kesal sendiri?! Heran! Kesal memikirkan hal itu, Arhan pun menggeram rendah dan berkata, “Ya, nanti Mas ngomong sama kakakmu. Emang dasar, wanita kalau sudah lama di rumah mentalnya jadi kayak anak bocah. Nggak bisa mikir sendiri!” Usai makan siang, Arhan dan Nadine buru-buru kembali ke aula di lantai dua. Kebetulan, pada hari itu, departemen bedah saraf rumah sakit mereka mengadakan acara meeting bulanan sekaligus perkenalan staf baru, jadi Arhan dan Nadine tidak melanjutkan pembicaraan tentang kelakuan Alma. Setibanya di aula, mereka melihat beberapa dokter dan perawat sudah berkumpul. Suasana cukup santai, semua berbincang sambil menunggu siapa yang akan diperkenalkan. “Tumben banget di bulan segini ada anak baru? Memangnya kapan departemen kita ada buka lowongan?” tanya salah seorang dokter. “Nggak kenal, tapi katanya sih kenalan Prof. Mahendra yang dapat persetujuan khusus dari direktur RS juga.” “Kayaknya orang hebat, ya?” “Bukan hebat lagi, katanya mantan murid Prof. Mahendra yang paling genius. Makanya liat tuh, Prof. Mahendra seneng banget,” sahut perawat lain. Mendengar percakapan tersebut, Nadine dan Arhan jadi penasaran. Siapa sebenarnya dokter baru ini sampai bisa membuat Profesor Mahendra, yang terkenal jutek dan kejam, jadi sangat senang? Walaupun sifatnya menyebalkan, Profesor Mahendra memiliki reputasi mendunia di bidang bedah saraf. Banyak yang ingin menjadi muridnya, tapi selama hidupnya, pria tua itu hanya pernah mengambil dua murid; satu pria dan satu wanita. Yang pria adalah dokter paling populer di rumah sakit mereka, Felix Alexander, dan yang wanita... tidak ada yang pernah tahu. Katanya, wanita itu berhenti sebelum benar-benar menjadi spesialis beberapa tahun lalu. ‘Jadi, dokter baru ini si wanita itu?’ tebak Arhan dalam hati. “Mas, apa ini perasaanku atau… histori dokter wanita ini kayak Kak Alma, ya?” tanya Nadine tiba-tiba, membuat Arhan kaget. Namun, kemudian pria itu tertawa kecil. “Alma memang pernah disebut-sebut sebagai murid terbaik dulu, tapi nggak sepintar itu buat jadi murid langsung Prof. Mahendra, Nad. Kalau nggak, masa aku nggak tahu?” Nadine mengerutkan kening dan menatap Felix yang duduk di kursi paling depan aula. Tidak ada yang berani mendekati pria itu, terutama karena sikapnya yang dingin, sama seperti Profesor Mahendra. Bahkan, Felix cenderung lebih tajam dalam berbicara. "Tapi Kak Alma pernah bilang dia teman dekat Dokter Felix, jadi mungkin aja mereka belajar di bawah guru yang sama nggak sih?" tebak Nadine. Mendengar itu, Arhan pun menatap Felix yang sedang berbincang dengan dokter lain. Bagi Arhan, Felix Alexander itu seperti duri dalam daging. Selain tampan, dia juga sangat ahli dalam pekerjaannya, sehingga menjadi dokter yang paling dicari pasien. Namun, untungnya Felix bukan orang yang ambisius. Ketika Profesor Mahendra bertanya apakah Felix ingin menggantikan posisinya sebagai kepala bagian dulu, Felix menolak. Jadi, Arhan yang terpilih untuk dibimbing lebih dekat oleh Profesor Mahendra. Sekarang, seorang dokter yang disebut-sebut sebagai murid terbaik Profesor Mahendra akan segera tiba. Jika dokter itu benar-benar hebat dan menarik perhatian Profesor Mahendra, posisi kepala bagian yang Arhan pegang bisa terancam! ‘Semoga seperti Felix, dokter baru itu nggak bikin kacau rencanaku!’ geram Arhan dalam hati. Tepat di saat Arhan memikirkan itu, tiba-tiba manik Felix bergeser dan bertabrakan dengan pandangan Arhan. Tatapan pria itu tajam. Mengerikan. Refleks, Arhan menundukkan wajah. Tapi kemudian dia menyadari, kenapa harus takut? Saat Arhan menoleh kembali, Felix tampak sedang berbincang dengan dokter lain. ‘Apa tadi … aku salah lihat?’ pikir Arhan bingung. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari speaker aula. "Ehem, ehem. Selamat siang semuanya." Semua orang mengalihkan pandangan ke panggung. Seorang pria tua dengan rambut putih dan jenggot agak panjang terlihat berdiri tanpa senyum. Itu adalah Profesor Mahendra. Ruangan pun seketika hening. "Seperti yang kalian tahu, hari ini adalah hari terakhir bulan ini, dan tujuan pertemuan ini adalah untuk membahas..." Profesor Mahendra memulai pidatonya, menyatakan berbagai hal termasuk evaluasi performa bulanan departemen mereka, membuat semua orang mulai mengantuk. Hingga akhirnya, pria tua itu masuk ke poin terakhir pertemuan. "Yang terakhir, seperti yang kalian tahu, akan ada dokter baru yang mengisi posisi ketiga spesialis bedah saraf. Beliau merupakan salah satu lulusan terbaik dan sudah berpengalaman di bidangnya. Tak cuma itu, beliau juga murid terbaikku!" Senyum terlukis di wajah Profesor Mahendra seiring dia mengulurkan tangan ke arah pintu aula yang terbuka. “Mari kita sambut, Dokter Alma Azzahra!” Sontak, Nadine dan Arhan pun terdiam. Mereka secepat kilat menoleh ke arah pintu aula. Dan wajah mereka pun memucat begitu melihat siapa yang berdiri di sana. Tersenyum sambil melangkah tenang menuju panggung, Alma mengenakan jubah dokternya dan berjalan penuh wibawa. Tubuh Arhan bergetar. Bagaimana bisa istri yang dia remehkan itu berakhir di sini!? (Bersambung)Alma dan Felix serempak menoleh ke arah suara yang memanggil mereka. Seorang pria paruh baya dengan jas dokter berwarna putih mendekat dengan senyum ramah. Rambutnya sudah mulai memutih di sisi pelipis, namun tatapan matanya tajam dan berwibawa. “Dokter Alma, akhirnya saya bisa bertemu langsung dengan dokter yang selama ini sering dibicarakan di kalangan medis,” ucapnya dengan nada hangat. Felix segera tersenyum dan memperkenalkan. “Alma, ini Dokter Frans, dokter senior di Majestic Hospital. Beliau sudah lama menjadi konsultan di bidang onkologi dan juga anggota dewan kehormatan rumah sakit ini.” “Senang sekali bisa bertemu, Dokter Frans,” sahut Alma sopan, menyalami tangan pria itu. Frans terkekeh. “Ah, saya yang lebih senang, Dokter Alma. Siapa, sih, yang tidak kenal dengan Anda? Dokter muda berbakat yang berhasil menyelamatkan nyawa banyak pasien di RS Annisa. Kalau Dokter Alma bisa praktek di Majestic Hospital, saya yakin pasien akan berbondong-bondong datang ke sini. Nama Maj
Sore itu, ruang kerja Vico dipenuhi aroma kopi yang baru saja diseduh oleh Felice. Meja besar di tengah ruangan dipenuhi berkas-berkas tender dan laporan hasil kerja. Di salah satu sisi ruangan, Leonard berdiri bersandar pada dinding, tangan dimasukkan ke saku celana, sementara Vico duduk di kursinya dengan wajah serius. “Leonard, ayah butuh bantuanmu,” ujar Vico membuka pembicaraan, suaranya terdengar tegas. Leonard mengangkat alis. “Bantu apa, Yah?” Vico menatap Leonard lurus-lurus. “Ayah ingin kamu undang Alma makan malam. Ayah ingin mengenalnya lebih dekat. Lagipula, ayah rasa dia cocok untukmu.” Leonard memutar pandangannya, menatap ke luar jendela beberapa detik sebelum berbalik kembali. “Maksud Ayah?” Vico menghela napas. “Kau tahu kan, Alma yang menyelamatkan perusahaan kita. Ayah ingin membalas budi. Dan ayah pikir, kalau kau bisa bersama dengan Alma … hubungan bisnis kita akan semakin kuat. Sekaligus ayah tahu, Alma perempuan luar biasa. Ayah tidak ingin dia jat
Alma turun dari panggung matanya masih memandang ke arah hadirin yang masih berdiri. MC akhirnya menutup acaraa “Bapak-Ibu yang kami hormati, silakan menikmati hidangan yang telah disediakan di ruang prasmanan.” Suara obrolan di antara para pengusaha masih terdengar, deru langkah kaki melintas di aula. Para pengusaha dan hadirin mulai bergerak ke arah Alma, tersenyum dan menyapa. Beberapa orang berjabat tangan dengannya, mengucapkan selamat dan ingin berbincang lebih dekat. Alma pun menjawab dengan ramah, dengan senyum hangat ia bicara dengan sopan, sesekali menganngguk ramah. Ia tetap menjaga wibawa, tak terlalu melepas jarak, namun cukup dekat agar mereka merasa terhormat. Di kursinya, Vico dan Hilmawan masih terpaku. Vico mematung, bibirnya gemetar, matanya memandang ke panggung kosong yang baru saja ditinggalkan Alma. Hilmawan menoleh, lalu menunduk. Keduanya belum bergerak, seperti kaku di tempat masing-masing. Tak lama kemudian, Alma melirik jam tangannya, wajahnya seketik
Lampu sorot berhenti pada sosok yang duduk di deretan tengah, agak ke belakang. Sejenak, semua orang menahan napas. Kursi-kursi berderit pelan saat kepala para tamu serentak menoleh. Wajah-wajah tegang, dahi berkerut, bahkan beberapa mulut terbuka lebar, tak percaya pada apa yang baru mereka saksikan. Sinar lampu jatuh tepat pada Alma Azzahra, duduk tenang dengan balutan dress hitam elegan dan blazer putih. “Tidak …” bisik Vico dengan suara tercekat. Tangannya meremas lutut, keringat dingin mulai membasahi pelipis. “Tidak mungkin perempuan itu … lampu itu pasti salah.” Ia menelan ludah dengan susah payah, tetapi sorot lampu tak bergeser sedikit pun. Jantungnya berdebar tak beraturan, seakan mau meloncat keluar dari tempatnya. Hilmawan, yang duduk tak jauh dari sana, ikut ternganga. Matanya melebar, tubuhnya sedikit condong ke depan. Sejak awal ia memang sempat curiga Alma punya kaitan dengan PT Angkasa, tapi cara bicara Alma yang selalu merendah membuatnya menepis dugaan itu. Kini,
Semua orang di dalam aula menahan napas. Tatapan penuh harap mengarah ke MC yang berdiri tegak di atas panggung dengan map hitamnya. Ia kembali membuka lembaran catatan, sementara suasana mendadak hening. “Lima perusahaan yang berhasil memenangkan tender ini adalah…” suaranya lantang namun penuh jeda, membuat detik-detik itu terasa semakin tegang. “Pertama, PT Gelora Mandiri milik Bapak Vico Mahesa.” Seketika, senyum lebar merekah di wajah Vico. Dagu terangkat, tatapannya berkilat penuh kemenangan. Ia menoleh ke arah Alma, menunjukkan senyum penuh kesombongan seakan ingin berkata, lihat sendiri kan, aku memang layak bersaing di sini. “Yang kedua, PT Sejati Abadi milik Bapak Hilmawan.” Hilmawan tersenyum percaya diri. Tangannya bersedekap, ekspresi puas jelas terpancar di wajahnya. Ia bahkan sempat melirik Alma, seolah menegaskan bahwa semua ucapannya tadi bukan sekadar kesombongan belaka. Tiga nama perusahaan lain pun diumumkan, dan suasana semakin riuh. Para hadirin bertepuk ta
Felix masih duduk di balik kemudi, kedua tangannya masih menggenggam setir. Matanya kosong menatap kaca depan, tapi pikirannya tertuju pada satu hal. Jawaban Alma tadi terngiang-ngiang di telinganya. “Itu Riko, asistenku. Dia mengantar berkas penting yang harus aku tanda tangani.” Asisten? Berkas? Kenapa Alma harus punya asisten? Bukankah ia seorang dokter? Dokter spesialis bedah saraf, tepatnya. Rasanya tidak masuk akal seorang dokter punya “asisten” yang bertugas mengantar berkas malam-malam. Dan Alma sama sekali tidak terlihat seperti ingin menjelaskan lebih jauh. Felix mengembuskan napas panjang, menyandarkan punggung ke jok. Rasa cemburu yang sejak tadi bergejolak kini berubah jadi sesal. Seharusnya ia tidak menekan Alma dengan pertanyaan-pertanyaan penuh curiga. Seharusnya ia menahan diri. “Mungkin Alma punya alasan. Mungkin aku harus sabar menunggu dia cerita sendiri,” gumamnya lirih. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan kurang lima belas. Ia tidak ada rapat pagi ini, h