Untuk sesaat, tak ada jawaban. Alma nyaris menyesal sudah bicara. Dia … tidak siap bila sahabat lamanya ini menganggap dendam dalam hatinya begitu jelek dan menggelikan.Namun, tiba-tiba Felix menyandarkan tubuhnya selagi menyilangkan tangan di dada.“Kamu hanya ambil yang sudah kamu berikan? Kenapa tidak hancurkan saja karir dan reputasi mereka sekalian?” Mata Felix tampak dingin dan ekspresinya terlihat gelap. “Aku ingin mereka tahu rasanya diinjak.”Alma pun tercengang. Apa … dia tidak salah dengar? Seorang Felix yang paling anti dengan kekerasan dan konflik, sedang menyuruhnya untuk bertindak kejam!?Sontak, Alma tertawa lepas, sampai-sampai air mata berkumpul di sudut matanya.Melihat Alma tertawa begitu keras, Felix menjadi sedikit bingung. “Aku serius, kenapa malah ketawa?” ucapnya.“Ma— maaf,” kata Alma sambil menyeka air matanya. “Aku cuma nggak nyangka … seorang Dokter Felix yang dulu paling nggak suka konflik, sekarang malah bilang begini.” Dia masih sedikit tertawa. “Aku k
“Felix?” sapanya refleks, matanya membulat.Saat namanya dipanggil, pria yang tidak lain adalah Felix itu berbalik dan tampak sama terkejutnya. “Alma?”Mereka saling tatap beberapa detik sebelum Felix tampaknya memutuskan untuk menghentikan percakapan dengan lawan bicaranya dan pamit agar bisa menghampiri Alma.Saat tiba di hadapan Alma, Felix tersenyum tipis. “Kenapa kamu bisa di sini?” tanyanya. Matanya melirik satu dokumen yang Alma pegang. “Kamu ….”Ragu membongkar identitasnya sebagai pemegang saham, Alma hanya menjawab, “Aku kemari untuk ketemu kenalan lama ayahku.” Kemudian, dia balik bertanya, “Kamu sendiri, kenapa di sini?”Pandangan matanya melirik pria yang tadi bersama Felix. Penampilannya formal, dan saat ia berdiri di depan sebuah ruangan, beberapa orang tampak menyapanya penuh hormat. Dari bahasa tubuh mereka, Alma bisa menebak: dia bukan orang biasa di tempat ini.Felix mengikuti arah pandang Alma, lalu tersenyum santai. “Kurang-lebih sama sepertimu, bertemu kenalan la
Bab 18Pak Hendrik menutup map cokelat itu perlahan, seolah tengah menyerap setiap lembar dokumen yang baru saja ia pelajari.“Saya sudah membaca semuanya,” katanya akhirnya. “Termasuk salinan surat wasiat dari mendiang Ayah Anda.”Alma hanya mengangguk. Ekspresinya tampak tenang, namun kedua tangannya yang bertaut di pangkuan tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang bersembunyi di balik ketegasannya.Ia tahu betul kemunculannya akan mengguncang banyak pihak, tapi ia tidak datang untuk meminta belas kasihan. Ia datang untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.“Saya paham ini terdengar mendadak,” ujarnya pelan. “Tapi saya hanya menjalankan hak dan tanggung jawab saya sebagai ahli waris.”Pak Hendrik menghela napas, bibirnya membentuk senyum tipis yang sulit dibaca. “Tak hanya mendadak, tapi juga membingungkan. Anda tahu sendiri, selama ini Anda tak pernah muncul dalam urusan rumah sakit. Bahkan banyak yang tak tahu Anda putri kandung Pak Aditya Kusuma.”Memori lama
“Apa sih maksud kamu, Mas nggak ngerti! Kalau memang Mas Ada salah, ya kamu bilang aja apa susahnya, sih? Mas pasti minta maaf dan berubah!”Mendengar itu, Alma hanya tertawa dingin dalam hati. “Kalau Mas merasa nggak ada salah, ya sudah,” ucapnya seraya berjalan ke arah pintu, lalu mengambil kunci mobil dari atas lemari kecil. “Karena hari ini Mas nggak ke rumah sakit, aku bawa mobil, ya. Mas nggak keberatan, kan?”Arhan belum sempat membalas, tapi Alma sudah lanjut berkata, “Harusnya nggak ya. Toh mobil juga aku yang beli, kan?”Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Alma melangkah keluar dan membanting pintu pelan. Suara langkahnya terdengar jelas, lalu pintu depan dibuka, dan tidak lama kemudian, suara deru mesin mobil terdengar membelah keheningan pagi.“Sialan!” Arhan mengumpat keras sambil menendang sisi ranjang. Suaranya terdengar hingga ke penjuru rumah.Pintu kamar Nadine terbuka. Gadis itu muncul dengan piyama satin warna pink muda, rambutnya dikuncir satu, ekspresi heran ter
Usai makan malam, terlihat Arhan dan sang ibu duduk di ruang tamu.“Tadi Ibu udah lihat sendiri ‘kan gimana Alma sekarang? Kalau terus begini, gimana aku bisa tenang?!” gerutu Arhan.Ferika menghela napas. Dia sendiri merasa masalah ini sedikit rumit karena sikap Alma yang berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi, dia hanya berkata, “Istrimu cuma lagi masa membangkang aja. Nanti kalau bosen juga dia balik lagi.”“Aduh, Bu. Kalau tunggu dia bosen, bisa-bisa posisi kepala bagianku hilang duluan!”Kening Ferika berkerut. Bingung. “Maksudnya?”Arhan menegapkan tubuh, menatap ibunya serius. “Jadi gini loh, Bu. Tadinya aku tuh calon tunggal untuk posisi kepala bagian, ‘kan? Tapi sekarang … gara-gara Alma balik kerja, Prof Mahendra, yang ternyata juga guru Alma, malah lebih perhatian ke Alma dan kayaknya ingin jadiin Alma penggantinya!”Ferika tampak agak kaget. Dia yang sudah tahu sepenting apa Prof. Mahendra di rumah sakit, sulit percaya Alma ternyata adalah murid pria tersebut. Setahu
“Ke mana aja sih kamu jam segini baru pulang?!” Suara Nyonya Ferika menyambut Alma yang baru pulang dan masuk ke ruang makan.Alma yang masih mengenakan jas putihnya hanya menghela napas pelan, menatap ketiganya yang sudah duduk manis di meja makan.Ibu mertua duduk di ujung meja dengan pose angkuh seperti pemilik rumah. Arhan tampak lesu, tapi langsung memasang wajah kesal saat melihat Alma. Sedangkan Nadine duduk di sebelah Arhan dengan senyum bangga.“Ini udah malam, Alma. Kamu itu istri orang, bukan anak kuliahan! Masa suami pulang kamu belum ada di rumah? Untung ada Nadine yang masakin dan nyiapin minum buat Arhan. Kalau nggak, entah jadi apa suamimu itu!”Nadine yang disebut namanya langsung menoleh pada Ferika. Ia tidak menyangka Ferika mengatakan bahwa dialah yang masak, terutama karena sebenarnya dia hanya bantu-bantu saja.“Nadine yang masak?” Alma menatap adiknya itu dengan alis terangkat. Seumur-umur Nadine paling enggan turun ke dapur, jadi dia tidak pernah bisa memasak.