MasukSuara tangis lirih Irisha, merobek lapisan kemarahan yang selama ini menutupi diri Revan.
Revan setengah berlari untuk sampai pada mereka, lalu ia jongkok di belakang Irisha yang masih memeluk ibunya berharap dunia bisa direkatkan kembali lewat pelukan itu. “Risha?” panggil Revan. Irisha memalingkan wajahnya, senyum getir merekah di bibirnya. “Om sudah puas melihat aku dan ibuku menderita? Apa salah ibuku?” Revan meraih pergelangan ibunya, hendak meraba denyut nadi wanita tua itu. Namun, Irisha menepis tangan itu dengan gerakan kasar. “Jangan sentuh ibuku dengan tangan kotormu itu!” pekiknya, kata-katanya tajam. Revan tak terpancing. Ia menahan napas, menunduk, dan suaranya tetap dingin. “Risha, kendalikan dirimu. Kalau kamu terus seperti ini, ibumu—” ia berhenti, matanya bertemu dengan mata Irisha, ada peringatan di sana, bukan ancaman yang kosong. “— kamu bisa kehilangan dia.” Irisha terdiam. Ada ledakan emosi di dadanya, marah, takut, bersalah, semua bercampur menjadi sesuatu yang membuat tubuhnya gemetar. Ia tahu bahwa menolak bisa sama dengan menyerahkan segalanya. Dengan napas berat, setelah memeriksa denyut nadi wanita tua itu, Revan segera mengangkat tubuhnya. Denyut nadinya terasa lemah di bawah ujung jarinya. “Kita bawa ke rumah sakit,” katanya singkat, lebih perintah daripada saran. Irisha membisu. Ia menatap wajah ibunya, garis halus, rambut yang mulai menipis dan sesuatu di dalamnya runtuh. Dengan tangan gemetar ia membantu mengangkat, tetapi matanya tidak pernah lepas dari Revan. Ada pertanyaan yang tidak berani ia ucapkan, dan amarah yang ditelan sekarang berubah menjadi tekad yang dingin. “Ayok?” ajak Revan agar Irisha naik ke dalam mobilnya. Irisha tak menjawab, ia pun segera naik tanpa banyak kata atau bertanya. Saat pintu mobil ditutup, udara malam seakan menahan napas mereka berdua untuk saling bicara. Di kursi belakang, tubuh tua yang rapuh itu tergulung di dalam dekapan Irisha, dan antara dua orang yang sama-sama memilih untuk saling menyakiti. Setibanya di rumah sakit milik Revan, langkah-langkahnya terdengar cepat saat membawa tubuh ibunya Irisha ke dalam, Revan bahkan berlari. “Perawat! Segera ke sini!” Beberapa perawat muncul terburu-buru. Dalam hitungan detik, tubuh ibu Irisha sudah terbaring di atas tandu. “Siapkan ruang operasi sekarang juga!” perintah Revan dengan nada tegas, tajam. “Baik, Dok!” sahut para perawat serempak, sebelum mendorong tandu itu ke ujung koridor. Irisha mengikuti langkah-langkah mereka tanpa sadar, seperti tubuh tanpa arah. Sepatu flat-nya bergesekan dengan lantai, mengeluarkan bunyi lirih yang tenggelam oleh suara roda tandu. “Bu, silakan tunggu di luar,” ujar salah satu perawat dengan sopan. Irisha berhenti di depan pintu ruang operasi. Tatapannya kosong. Ia menoleh sekilas, lalu menunduk tanpa suara, seolah sebagian dirinya ikut dibawa masuk bersama ibunya. Ia berjalan pelan ke kursi tunggu. Tubuhnya duduk, tapi jiwanya entah di mana. Kedua tangannya saling meremas, dingin, gemetar. Dari balik kaca besar, Revan sudah berganti pakaian operasi. Masker dan sarung tangan menutupi hampir seluruh wajahnya, tapi matanya tetap menatap ke arah Irisha, diam, menyesal, sekaligus ragu untuk mendekat. Ia tahu gadis itu membencinya. Tapi ia juga tahu, malam ini bukan tentang kebencian. Malam ini tentang waktu yang berpacu dengan kematian. Sesaat sebelum ia masuk ke ruang operasi, Revan sempat berbisik pada dirinya sendiri, “Maaf ….” Dan untuk pertama kalinya, dokter Revan Dirgantara, yang dikenal dingin dan tak berperasaan itu merasa takut. Bukan takut gagal di meja operasi, tapi takut menatap mata Irisha setelah semuanya usai. Operasi berlangsung berjam-jam. Jarum jam di dinding seolah berhenti berputar, menahan napas bersama Irisha yang menunggu di luar. Di kursi tunggu, Irisha duduk membatu. Tangannya terlipat di pangkuan, jari-jarinya kaku, matanya terpaku ke lantai. Ia tak menangis, tak berdoa, bahkan tak berkedip terlalu lama. Ia hanya diam, seperti patung yang siap menerima apa pun yang akan datang, entah keajaiban, atau kehilangan. Sementara itu, di ruang operasi, Revan menunduk di bawah cahaya putih menyilaukan. Keringat bercucuran di pelipisnya meski suhu ruangan terasa dingin. Suara alat monitor berdetak pelan … lalu melemah … lalu— Bipp ... bipp ... “Tekanan darah turun drastis, Dok!” seru salah satu perawat panik. “Naikkan dosis epinefrin! Cepat!” balas Revan sambil menekan dada pasien dengan ritme pasti. Namun, setiap tekanan hanya memperdalam keheningan. Gumpalan darah di otak wanita itu terlalu parah, jaringan vitalnya sudah tak merespons. Detak jantung di monitor akhirnya berubah menjadi satu garis lurus panjang— tiiiiiiiit … Revan terdiam. Tangannya masih di dada pasien, tetapi jiwanya seperti runtuh di tempat. Ia menunduk dalam, lalu melepaskan masker operasi. “Sus …?” panggilnya. “Catat waktu kematiannya.” Ia menatap wajah pucat wanita itu dengan sorot mata yang penuh penyesalan. “Biar saya yang memberitahukan kepada anaknya.” Suster itu menelan ludah, lalu menjawab lirih, “Baik, Dok.” Revan berdiri kaku di depan pintu, sementara di luar sana, Irisha masih duduk di kursi yang sama, belum tahu bahwa dunia yang tersisa untuknya baru saja berhenti berputar. Ia pun memberanikan diri untuk keluar. Ketika pintu ruang operasi terbuka perlahan, suara engselnya terdengar nyaring di tengah keheningan. Revan berdiri di ambang pintu, tubuhnya masih terbalut pakaian operasi yang bernoda darah. Ia menarik napas berat, menatap sosok Irisha yang masih duduk di kursi tunggu dengan posisi yang sama seperti beberapa jam lalu, tak bergerak, tak bersuara, seolah waktu benar-benar berhenti di sana. Langkah Revan terasa berat. Setiap hentakan sepatu di lantai koridor bergema seperti dentuman di dadanya sendiri. Saat tiba di hadapan Irisha, ia menunduk, lalu berjongkok perlahan. “Risha?” panggilnya ragu. Tak ada respons apa pun dari Irisha. Tatapan gadis itu masih terpaku pada pintu ruang operasi, seolah menunggu ibunya keluar sambil tersenyum, memeluknya, dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Tapi pintu itu tetap diam tak ada siapa pun di sana. Revan menelan ludah, menundukkan kepala sedikit. “Maafkan saya, Risha…,” katanya akhirnya, dengan suara yang pecah di ujung kalimat. “Saya sudah berusaha … tapi saya gagal menyelamatkan ibumu.” Waktu berhenti seketika. Irisha menarik napas panjang, sangat panjang, seperti berusaha menahan sesuatu yang hendak pecah di dalam dadanya. Napas itu tersendat, nyeri, dan akhirnya meluruh bersama air mata yang jatuh tanpa suara. “Terima kasih, Dok …,” ucapnya lirih, hampir tanpa emosi. “Izinkan saya membawa jenazah ibu saya pulang.” Revan menatap wajah gadis itu, pucat, datar, tapi di balik ketenangan yang dibuat-buat itu, ada luka yang tak bisa disembunyikan. Tatapannya kosong, seperti jiwa yang baru saja kehilangan tempat pulang. “Risha …” Ia ingin menahan, ingin menjelaskan sesuatu, entah apa, tapi kata-kata itu tak pernah keluar. Ia hanya bisa menatap mata gadis itu, yang kini seterang sekaligus segelap kehampaan. Irisha berdiri, lalu berbalik masuk ke dalam ruangan ibunya. Di sana, mayat sang ibu terbaring dengan tubuh tertutup kain putih. “Bu ... tunggu Risha, ya? Setelah dendam kita terbalas, Risha akan susul ibu,” bisiknya lirih.Irisha sudah lebih dulu mencium bibirnya, membuat tubuh Revan menegang. Efek obat membuatnya tak mampu melawan, hanya bisa memejam dan merasakan bagaimana ciuman itu menuntut lebih. “Kau hanya diam?” gerutu Irisha di sela napasnya yang terengah. “Aku bahkan belum berpengalaman. Jangan buat aku bekerja sendirian.” Revan membuka mata perlahan, napasnya naik-turun tak teratur. “Dasar payah,” ledek Irisha sambil mendorong dada Revan dengan jari telunjuknya. Senyuman miring muncul di bibir Revan, tantangan itu justru membakar sisanya yang masih sadar. Dalam satu gerakan cepat, ia membalikkan tubuh Irisha hingga gadis itu terperanjat. “Om—pelan! Kau gila!” pekiknya, tapi wajahnya memerah antara kaget dan tak percaya. “Kau yang memulainya,” ucap Revan rendah, parau, dan berbahaya. “Sekarang … biarkan aku yang mengakhirinya.” Irisha yang tadi begitu berani menantang, kini berubah total, matanya melembut, tubuhnya mengecil seperti seekor anak kucing yang ketakutan namun te
Revan spontan merapatkan celananya, ekspresi terkejutnya begitu jelas sampai Irisha menahan tawa. Melihat wajah pria itu yang memerah, ia akhirnya tak sanggup dan tertawa gemas, bahunya sampai bergetar. “Om, kamu kenapa sih?” ujarnya sambil mendekat, suaranya turun satu oktaf lebih menggoda. “Aku kan istri Om. Masa sama istri sendiri malu?” Revan mengembuskan napas panjang, ketiga kalinya sejak tadi. “Risha, sebaiknya kamu ke kamar sekarang.” “Enggak mau,” sahutnya cepat, mendongak menantang. “Risha!” tegur Revan lebih keras. “Aku lagi masak makan malam,” ucap Irisha, tiba-tiba berubah ceria. “Mau aku buatin?” “Tidak perlu,” jawabnya tegas, berusaha memulihkan kewibawaannya yang tercabik sejak sentuhan tadi. “Ya sudah …” Irisha mengangkat alis, menahan tawa nakalnya. “Aku masak dulu ya? Nanti malam kita lanjutin lagi.” Ia menyipitkan mata, menggoda setengah mati sebelum berbalik menuju dapur. Revan hanya bisa memejamkan mata, menahan frustasi yang menumpuk karena sikap istriny
Reino menatap layar ponselnya sesaat setelah sambungan terputus, lalu menghembuskan napas pelan, namun senyum dingin tetap terukir di wajahnya.“Kau terlalu ikut campur dengan urusanku, Revan?” gumamnya pelan, “Kalau bukan karena hartamu dan nama besar yang menempel di belakangku, sudah lama aku menyingkirkanmu dari dunia ini.”Nada suaranya tak lagi terdengar seperti seorang anak yang berbicara tentang ayahnya, melainkan seperti musuh yang berbicara tentang target berikutnya, bahkan sisa rasa hormat di matanya telah lenyap.Setelah mengatakan itu, Reino berbalik menuju ruang rawat Vania. Senyum manipulatif kembali muncul di wajahnya saat tangannya memutar gagang pintu.“Sekarang, saatnya memastikan Vania tetap berada dipelukanku,” ucapnya pelan, sebelum menghilang ke dalam ruangan.Sementara itu, di kediaman Revan, suasana terasa begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak pelan di ruang tamu.Di lantai atas, Irisha berguling malas di tempat tidur, sampai perutnya tib
Reino tampak gugup, tangannya gemetar saat membuka map yang dibawa ayahnya. Ia berusaha terlihat tenang, pura-pura membalikkan lembar demi lembar berkas seolah mencari sesuatu yang penting. Namun, Revan sudah kehilangan kesabaran. “Reino!” bentaknya keras. Tubuh Reino menegang, pandangannya terangkat perlahan menatap ayahnya. “P–pah, maksudnya apa?” tanyanya bergetar, mencoba terdengar polos. Revan melangkah maju, wajahnya mendekat hingga hanya berjarak sejengkal. “Jangan pura-pura bodoh! Gara-gara ulahmu itu, ibunya Irisha mati!” Nada suaranya tajam, membuat udara di balkon seakan ikut menegang. Reino terdiam sesaat, matanya membulat kaget. “Papah … Papah menuduh aku yang membunuhnya?” “Ya!” jawab Revan meninggi. “Kalau bukan karena kamu membiarkan ibunya Risha tanpa pengobatan, ini semua nggak akan terjadi! Enam bulan, Reino! Enam bulan pasien itu dibiarkan begitu saja tanpa tindakan!” Reino menghela napas berat, kemudian menatap ayahnya dengan ekspresi getir. “Ayolah,
Malam itu, perut Irisha mulai keroncongan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk sekadar keluar kamar.“Sialan, kenapa Om Revan nggak manggil-manggil aku sih?” gerutunya kesal, sambil menatap pintu kamar yang tetap diam.Ia akhirnya melangkah ke balkon, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Lampu kota berkelip lembut, menambah sunyi yang tiba-tiba terasa menelusup. “Bu … Ibu lagi ngapain di atas sana? Ibu lihat Risha, nggak?” ucapnya lirih. “Risha kangen sama Ibu.”Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Seandainya saja Reino tidak menunda pengobatan ibunya mungkin ibunya saat ini masih ada, dan Risha tidak akan terjebak dalam pernikahan kejam ini, menikahi ayah dari kekasihnya sendiri.“Bu, setelah semua ini selesai … setelah dendam kita terbalaskan, Risha janji, Risha bakal pergi ke kampung. Kota ini … terlalu kejam buat kita.”Hingga pukul sepuluh malam, Irisha masih betah di balkon. Angin malam meniup lembut rambutnya, sementara pikirannya melayang entah ke mana
Revan mengepalkan tangan. Rasa muak menyesak di dadanya. Ia memilih pergi sebelum emosinya benar-benar meledak. Pintu kamar tertutup dengan suara blam, yang membuat udara seketika hening. Irisha menegakkan tubuhnya, menahan napas sesaat sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. “Huh … dasar pria keras kepala,” gumamnya. “Apa benar yang Reino bilang dulu, kalau ayahnya itu pengecut? Dan ibunya selingkuh karena muak hidup dengan pria seperti dia?” Suara lembutnya terdengar getir. Ingatannya melayang pada ucapan Reino di masa lalu, ucapan yang dulu sempat ia abaikan, tapi kini mulai terasa masuk akal. “Ya,” bisiknya lagi. “Aku harus cari tahu semuanya. Mungkin saja benar ... kalau Om Revan bukan ayah kandung Reino.” Setelah menenangkan diri, Irisha mulai membereskan pakaiannya dan beranjak ke kamar mandi. Tapi baru beberapa langkah masuk, matanya membulat tak percaya. “Ini … kamar mandi?” ujarnya terperangah. “Atau kamar hotel bintang tujuh?” Segalanya tampak begitu me







