Home / Rumah Tangga / Kau Peras Peluhku Demi Madu / 3. Usaha Mulai Berkembang

Share

3. Usaha Mulai Berkembang

Author: Shaveera
last update Huling Na-update: 2023-05-31 10:09:35

Ide dari ponakanku itu akhirnya aku utarakan pada suamiku, lama lelaki itu termenung memikirkan untung dan ruginya. Dua hari aku baru mendapat persetujuan darinya. Akhirmya usaha ayam bakar pun mulai aku rintis bersama ponakanku tersebut. Setiap pagi Andi sudah datang untuk menyembelih ayam merah atau sering disebut ayam petelur.

Sempat aku bertanya mengapa harus ayam itu pada Andi, dia menjawab bahwa daging ayam tersebut terasa legit dan tebal. Jika kematangannya pas maka rasanya tidak kalah dengan Ayam kampung. Maka aku pun setuju saja dengan semua argumentnya itu. Untuk awal Andi menyarankan memasak lima ekor saja dulu, nanti jika sudah mulai berjalan barulah ditambah jumlah ayamnya.

"Sepeerti itu ya, Ndi. Baik, aku ikut saja apa yang kamu katakan," jawabku dengan nada rendah.

Kebetulan posisi rumahku ada di pinggir jalan besar, jadi lumayan ramai dilewati banyak orang. Bahkan Andi sangat optimis usaha ini akan berjalan lancar. Mungkin tidak perlu waktu lama ayam bakar yang di olah Andi akan laku terjual. Aku selalu mmebantu dan mengamati apa saja bumbu yang digunakan oleh ponakanku itu.

Semua proses perebusan ayam sudah selesai, waktu yang dibutuhkan untuk merebus ayam hingga lunak cukup lama. Semua siap membutuhkan waktu sekitar empat jam. Kemudian Andi membikin bumbu untuk bakar ayamnya. Dia pun mengambil saos dan direbus sebentar dengan sesendok atau dua sendok margarin. Setelah mendidih baru dicampur dengan kecap, maka siaplah bumbu untuk polesan sebelum ayam dibakar.

"Apakah semua ini sudah siap, Ndi? Terus untuk sambal bagaimana?" tanyaku pada Andi.

"Aku pakai cabai merah keriting saja, Bulek. Dia memiliki geatur yang kesat dan pedas jadi kita tidal perlu memakai cabe rawit," jawab Andi kala itu.

"Nah ini sudah aku bersihkan semua cabenya, tinggal goreng," kataku.

Andi pun kulihat sangat cekatan dalam mengolah sambelnya. Semua aku lihat dan hapalkan dengan seksama. Tidak ada sedikitpun yang aku lewatkan kesemua kegiatan Andi mulai dari awal hingga akhir. Hanya satu yang belum aku kuasai yaitu membelah ayam agar membuka.

Andi mengatakan jika aku tidak usah ikut membelah jika nanti sudah ada dia. Aku hanya menerima pembeli dan bagian membakar saja. Aku pun menurut pada ponakanku itu. Setelah semua siap, Andi aku suruh untuk istirahat sebentar karena sesaat lagi adan luhur segera berkumandang.

Namun, betapa terkejutnya aku mendengar suara hentakan Yahya pada ponakanku itu. Aku sampai terlinjak kaget, dia dengan mata masih sedikit tertutup dengan lantangnya membentak Andi yang baru saja mengistirahatkan tubuhnya setelah sekian jam bergelut dengan ayam agar segera siap jual menjelang makan siang.

"Hai, enak sekali kamu duduk saat Bulek kamu bekerja sendiri!" Hentak Yahya dengan lantang, "apa semua sudah kamu selesaikan?" lanjutnya

"Santai sebentar, Om. Semua sudah siap jual hanya menunggu pembeli," jawab Andi sedikit menetralkan suaranya agar tidak ikut meninggi.

Aku langsung mengusap dadaku sendiri dan mensugesti diri ini untuk bersabar. Kemudian Yahya masuk, pandangannya menyapu seluruh ruangan melihat bagaimana hasil kerja ponakanku itu. Aku menghela napas panjang, dalam hati begiti kecewa dengan sikapnya itu. Padahal dia sejak subuh asyik berselimut di atas ranjang. Lalu menjelang luhur dengan santainya membentak Andi yang terlihat kelelahan.

Ada nyeri di dadaku melihat perlakuannya pada ponakanku. Selama ini dia itu siapa? Bukankah sebelum dia menikah denganku hanyalah duda yang tidak memiliki rumah? Lalu mengapa di saat aku ditolong kerabatku untuk bangkit dia menjadi seperti itu.

"Tuhan kuatkan aku, selalu bimbing aku menuju keiklasan dan kesabaran," doaku selalu aku panjatkan pada Robbku.

Usaha ayam bakar mulai berkembang, aku terus bergelut dengan waktu menyiapkan segala keperluan untuk jualannya. Sedangkan suamiki seperti biasa dia selalu tidur lagi setelah menjalankan salat subub berjamaah, bangun pun sudah siang satu jam sebelum waktu luhur.

Kali ini yang bekerja di warung ayam bakar tidak hanya Andi melainkan ada satu lagi dari ponakan Yahya. Dia juga seorang laki-laki yang usianya lebih muda dari Andi, lelaki itu bernama Prasetyo kami biasa memanggilnya dengan sebutan Pras. Kedua karyawanku itu terlihat kompak, hanya Yahya yang masih bertingkah selayaknya bos besar.

"Jika bakar ayam itu daerah tulangnya agak lama waktu bakarnya, biar bumbu meresap dan tulangnya lunak," parintah Yahya.

"Woke, Bos. Jangan khawatir," jawab Prasetyo.

Aku selalu menyiapkan lalapan untuk setiap ayam bakar, jadi aku kerja bagian yang ringan saja karena saat itu aku sedang hamil lagi. Usia kandunganku sudah empat minggu, usia yang masih rawan. Prasetyo dan Andi tidak ingin kejadian keguguran itu terjadi lagi. Aku tersenyum setiap keduanya mengkhawatirkan aku.

Namun, berbeda dengan Yahya. Suamiku itu dia sungguh keterlaluan. Dia juga tahu bahwa aku pernah keguguran tetapi dengan santainya dia selalu menyuruhku untuk aktif bergerak agar janinnya tidak malas dan tumbuh sehat. Aku diam meski sakit kurasakan di ulu hati. Sungguh perlakuannya semakin lama semakin berubah.

Luhur pun sudah berlalu, Yahya tidak kunjung keluar berganti denganku untuk menunggu warung ayam bakar. Entah apa yang dia pikirkan selama ini. Hingga waktu menjelang ashar barulah Yahya muncul menggantikan aku berjualan. Aku dan yang lain hanya mendesah lirih.

"Bagaimana jualan hari ini?" tanya Yahya dengan nada rendah.

Kemudian lelakiku itu pun mulai membuka panci satu per satu. Omset jualan ayamku sudah meningkat awal jualan aku hanya mengambil lima ekor sekarang sehari bisa sampai 10-20 ekor sehari. Apalagi jika hari sabtu dan minggu. Omsetku bisa naik hingga 50 ekor.

"Bagus, jualannya semakin lancar saja. Pertahankan kwalitas dan mutu ayam bakar kita, Umi!" ucapnya sambil dia masuk kembali.

Beberapa saat kemudian suamiku itu keluar dari rumah sudah dalam keadaan rapi dan siap pergi. Aku hanya menatapnya saja tanpa kata. O ya, setelah usaha ayamku maju, aku sudah bisa membeli sepeda motor matic. Namun, setiap hari selalu dipakai Yahya untuk beribadah jamaah diwaktu jam salat.

"Punya kendaraan itu harus digunakan untuk ibadah bukan untuk bersenang-senang saja, Umi!" ucapnya saat itu padaku.

Aku hanya diam mendengarkan semua perkataannya. Saat adan ashar lelaki itu pun keluar dengan ijin ikut jamaah ashar di masjid. Aku mengangguk saja. Usia kandunganku sudah menginjak sepuluh minggu, dan untung saja kehamilanku ini tidak manja. Meskipun aku bekerja dengan dua karyawanku itu dia masih tumbuh sehat.

Namun, hingga larut malam Yahya tidak kunjung pulang setelah pamit untuk salat ashar berjamaah tadi. Aku pun segera berberes jualanku dan menutupnya. Karena kedua karyawanku hanyabkerja selama delapan jam. Keduanya mulai bekerja dari jam delapan pagi hingga jam empat sore. Sebelum dan setelah mereka aku lah yang mengerjakan tanpa bantuan suami sedikit pun.

Pernah aku bertanya pada suamiku itu, mengapa tidak pernah membantu di warung. Dan jawabnya apa, dia pun menjawab bahwa sudah ada karyawan kok aku ikut kerja lebih baik aku berdakwah membuka jalan rezeki kalian berjualan. Mendengar jawabannya aku pun diam memcoba menelaah jawaban itu. Namun, hingga saat ini aku masih bimbang akan tujuan dari jawaban tersebut.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
IM Lebelan
Pengen tak tabokin si Yahud ...... keren kak Otor...
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status