Share

3. Usaha Mulai Berkembang

Ide dari ponakanku itu akhirnya aku utarakan pada suamiku, lama lelaki itu termenung memikirkan untung dan ruginya. Dua hari aku baru mendapat persetujuan darinya. Akhirmya usaha ayam bakar pun mulai aku rintis bersama ponakanku tersebut. Setiap pagi Andi sudah datang untuk menyembelih ayam merah atau sering disebut ayam petelur.

Sempat aku bertanya mengapa harus ayam itu pada Andi, dia menjawab bahwa daging ayam tersebut terasa legit dan tebal. Jika kematangannya pas maka rasanya tidak kalah dengan Ayam kampung. Maka aku pun setuju saja dengan semua argumentnya itu. Untuk awal Andi menyarankan memasak lima ekor saja dulu, nanti jika sudah mulai berjalan barulah ditambah jumlah ayamnya.

"Sepeerti itu ya, Ndi. Baik, aku ikut saja apa yang kamu katakan," jawabku dengan nada rendah.

Kebetulan posisi rumahku ada di pinggir jalan besar, jadi lumayan ramai dilewati banyak orang. Bahkan Andi sangat optimis usaha ini akan berjalan lancar. Mungkin tidak perlu waktu lama ayam bakar yang di olah Andi akan laku terjual. Aku selalu mmebantu dan mengamati apa saja bumbu yang digunakan oleh ponakanku itu.

Semua proses perebusan ayam sudah selesai, waktu yang dibutuhkan untuk merebus ayam hingga lunak cukup lama. Semua siap membutuhkan waktu sekitar empat jam. Kemudian Andi membikin bumbu untuk bakar ayamnya. Dia pun mengambil saos dan direbus sebentar dengan sesendok atau dua sendok margarin. Setelah mendidih baru dicampur dengan kecap, maka siaplah bumbu untuk polesan sebelum ayam dibakar.

"Apakah semua ini sudah siap, Ndi? Terus untuk sambal bagaimana?" tanyaku pada Andi.

"Aku pakai cabai merah keriting saja, Bulek. Dia memiliki geatur yang kesat dan pedas jadi kita tidal perlu memakai cabe rawit," jawab Andi kala itu.

"Nah ini sudah aku bersihkan semua cabenya, tinggal goreng," kataku.

Andi pun kulihat sangat cekatan dalam mengolah sambelnya. Semua aku lihat dan hapalkan dengan seksama. Tidak ada sedikitpun yang aku lewatkan kesemua kegiatan Andi mulai dari awal hingga akhir. Hanya satu yang belum aku kuasai yaitu membelah ayam agar membuka.

Andi mengatakan jika aku tidak usah ikut membelah jika nanti sudah ada dia. Aku hanya menerima pembeli dan bagian membakar saja. Aku pun menurut pada ponakanku itu. Setelah semua siap, Andi aku suruh untuk istirahat sebentar karena sesaat lagi adan luhur segera berkumandang.

Namun, betapa terkejutnya aku mendengar suara hentakan Yahya pada ponakanku itu. Aku sampai terlinjak kaget, dia dengan mata masih sedikit tertutup dengan lantangnya membentak Andi yang baru saja mengistirahatkan tubuhnya setelah sekian jam bergelut dengan ayam agar segera siap jual menjelang makan siang.

"Hai, enak sekali kamu duduk saat Bulek kamu bekerja sendiri!" Hentak Yahya dengan lantang, "apa semua sudah kamu selesaikan?" lanjutnya

"Santai sebentar, Om. Semua sudah siap jual hanya menunggu pembeli," jawab Andi sedikit menetralkan suaranya agar tidak ikut meninggi.

Aku langsung mengusap dadaku sendiri dan mensugesti diri ini untuk bersabar. Kemudian Yahya masuk, pandangannya menyapu seluruh ruangan melihat bagaimana hasil kerja ponakanku itu. Aku menghela napas panjang, dalam hati begiti kecewa dengan sikapnya itu. Padahal dia sejak subuh asyik berselimut di atas ranjang. Lalu menjelang luhur dengan santainya membentak Andi yang terlihat kelelahan.

Ada nyeri di dadaku melihat perlakuannya pada ponakanku. Selama ini dia itu siapa? Bukankah sebelum dia menikah denganku hanyalah duda yang tidak memiliki rumah? Lalu mengapa di saat aku ditolong kerabatku untuk bangkit dia menjadi seperti itu.

"Tuhan kuatkan aku, selalu bimbing aku menuju keiklasan dan kesabaran," doaku selalu aku panjatkan pada Robbku.

Usaha ayam bakar mulai berkembang, aku terus bergelut dengan waktu menyiapkan segala keperluan untuk jualannya. Sedangkan suamiki seperti biasa dia selalu tidur lagi setelah menjalankan salat subub berjamaah, bangun pun sudah siang satu jam sebelum waktu luhur.

Kali ini yang bekerja di warung ayam bakar tidak hanya Andi melainkan ada satu lagi dari ponakan Yahya. Dia juga seorang laki-laki yang usianya lebih muda dari Andi, lelaki itu bernama Prasetyo kami biasa memanggilnya dengan sebutan Pras. Kedua karyawanku itu terlihat kompak, hanya Yahya yang masih bertingkah selayaknya bos besar.

"Jika bakar ayam itu daerah tulangnya agak lama waktu bakarnya, biar bumbu meresap dan tulangnya lunak," parintah Yahya.

"Woke, Bos. Jangan khawatir," jawab Prasetyo.

Aku selalu menyiapkan lalapan untuk setiap ayam bakar, jadi aku kerja bagian yang ringan saja karena saat itu aku sedang hamil lagi. Usia kandunganku sudah empat minggu, usia yang masih rawan. Prasetyo dan Andi tidak ingin kejadian keguguran itu terjadi lagi. Aku tersenyum setiap keduanya mengkhawatirkan aku.

Namun, berbeda dengan Yahya. Suamiku itu dia sungguh keterlaluan. Dia juga tahu bahwa aku pernah keguguran tetapi dengan santainya dia selalu menyuruhku untuk aktif bergerak agar janinnya tidak malas dan tumbuh sehat. Aku diam meski sakit kurasakan di ulu hati. Sungguh perlakuannya semakin lama semakin berubah.

Luhur pun sudah berlalu, Yahya tidak kunjung keluar berganti denganku untuk menunggu warung ayam bakar. Entah apa yang dia pikirkan selama ini. Hingga waktu menjelang ashar barulah Yahya muncul menggantikan aku berjualan. Aku dan yang lain hanya mendesah lirih.

"Bagaimana jualan hari ini?" tanya Yahya dengan nada rendah.

Kemudian lelakiku itu pun mulai membuka panci satu per satu. Omset jualan ayamku sudah meningkat awal jualan aku hanya mengambil lima ekor sekarang sehari bisa sampai 10-20 ekor sehari. Apalagi jika hari sabtu dan minggu. Omsetku bisa naik hingga 50 ekor.

"Bagus, jualannya semakin lancar saja. Pertahankan kwalitas dan mutu ayam bakar kita, Umi!" ucapnya sambil dia masuk kembali.

Beberapa saat kemudian suamiku itu keluar dari rumah sudah dalam keadaan rapi dan siap pergi. Aku hanya menatapnya saja tanpa kata. O ya, setelah usaha ayamku maju, aku sudah bisa membeli sepeda motor matic. Namun, setiap hari selalu dipakai Yahya untuk beribadah jamaah diwaktu jam salat.

"Punya kendaraan itu harus digunakan untuk ibadah bukan untuk bersenang-senang saja, Umi!" ucapnya saat itu padaku.

Aku hanya diam mendengarkan semua perkataannya. Saat adan ashar lelaki itu pun keluar dengan ijin ikut jamaah ashar di masjid. Aku mengangguk saja. Usia kandunganku sudah menginjak sepuluh minggu, dan untung saja kehamilanku ini tidak manja. Meskipun aku bekerja dengan dua karyawanku itu dia masih tumbuh sehat.

Namun, hingga larut malam Yahya tidak kunjung pulang setelah pamit untuk salat ashar berjamaah tadi. Aku pun segera berberes jualanku dan menutupnya. Karena kedua karyawanku hanyabkerja selama delapan jam. Keduanya mulai bekerja dari jam delapan pagi hingga jam empat sore. Sebelum dan setelah mereka aku lah yang mengerjakan tanpa bantuan suami sedikit pun.

Pernah aku bertanya pada suamiku itu, mengapa tidak pernah membantu di warung. Dan jawabnya apa, dia pun menjawab bahwa sudah ada karyawan kok aku ikut kerja lebih baik aku berdakwah membuka jalan rezeki kalian berjualan. Mendengar jawabannya aku pun diam memcoba menelaah jawaban itu. Namun, hingga saat ini aku masih bimbang akan tujuan dari jawaban tersebut.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
IM Lebelan
Pengen tak tabokin si Yahud ...... keren kak Otor...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status