Share

Bab 3

Penulis: Cocojam
Aku melihat sekeliling rumah yang kutinggali bersama Leo, hatiku terasa perih.

Aku tidak bisa tinggal di sini.

Besok, aku harus pergi.

Namun pertama-tama, aku pergi ke klinik pribadi Dokter Romeo.

Dia memberiku beberapa pil, katanya itu akan membantu pada awal kehamilan.

Aku menatap pil-pil itu lama sebelum membuangnya ke toilet.

Area parkir klinik itu sunyi.

Casida adalah kota berbahaya setelah gelap. Namun malam ini, akulah monster yang lebih berbahaya.

Lalu aku melihat mereka.

Leo dengan lembut menyampirkan jaket jasnya di bahu seorang gadis.

Dia kurus, kecil, seperti rusa ketakutan.

Tangannya gemetar, dan Leo menghiburnya dengan suara pelan.

Via Cokro.

Cara Via memandang Leo dipenuhi ketergantungan dan kekaguman.

Cinta yang murni dan polos.

Perutku mual. Bukan karena kehamilan, tetapi karena jijik.

Leo menyadari keberadaanku. Dia berbalik dan melihatku berdiri di pintu klinik.

Alisnya langsung mengernyit.

"Jeny, ngapain kamu di sini?" Suaranya rendah, mengandung peringatan dan ketidakpercayaan. "Aku sudah bilang akan mengurus ini. Jangan bikin ribut."

Buat keributan?

Dia khawatir aku akan membuat keributan?

Via bersembunyi di balik Leo, tapi matanya mengintip ke arahku dari balik bahunya.

Dan di sana, aku melihatnya. Bukan ketakutan, bukan rasa ingin tahu. Namun, itu adalah kepuasan angkuh dari seorang pemenang yang mengamati orang yang dikalahkan.

Aku berjalan perlahan ke arah mereka.

"Kamu terlihat luar biasa sehat untuk seseorang yang baru saja mencoba bunuh diri," kataku pada Via, suaraku dipenuhi kemanisan yang berlebihan. "Selamat ya."

Via langsung mundur, berpura-pura takut. "Maaf… aku nggak bermaksud… aku cuma… "

"Cukup," kata Leo yang melangkah ke depan gadis itu. "Jeny, kamu tahu kondisinya. Jangan lakukan ini padanya."

Aku berhenti hanya tiga langkah dari mereka.

"Kondisinya?" Rasa mual menghantamku, air mata mengalir dari mataku. "Leo, yang ingin kutahu, saat kamu bersamaku tadi malam, kamu lagi mikirin dia?"

Wajah Leo memerah. "Jeny!"

"Aku ingin tahu, saat bibirmu menempel pada bibirku tadi malam, itu cuma latihan untuknya?"

"Diam!" Leo melangkah maju. "Kamu sudah gila?!"

Aku menatap Via.

Sekilas kilatan kemenangan melintas di matanya sebelum dia menutupinya dengan ketakutan.

Sungguh aktris ulung.

Jariku bergerak ke bagian dada gaun pengantin rusakku. Dengan gerakan pelan yang disengaja, aku membuka kancing depannya, memperlihatkan kulit di atas jantungku.

Ada tato di sana…

Yaitu sebuah mawar hitam.

Tanda Keluarga Moro.

"Jeny, mau ngapain kamu?" Leo memperhatikanku dengan waspada.

Dari sarung tersembunyi yang terikat di pahaku, di balik lapisan sutra dan renda, aku mengeluarkan pisau kecil yang tampak menyeramkan.

Itu hadiah ulang tahunku yang ke-16 tahun dari ayahku, namaku terukir di gagang peraknya.

"Tanda ini..." kataku sambil menekan ujung pisau tajam itu ke kulitku, tepat di atas mawar. "Artinya aku milik Keluarga Moro, aku milikmu." Bisikanku beracun. "Dan aku nggak bisa menoleransi pengkhianat."

"Jeny, jangan!" Leo menerjang ke arahku.

Terlambat.

Aku menekan pisau itu ke bawah dengan kuat.

Sebuah garis api dan darah membelah tinta, menghancurkan mawar itu.

Dagingku robek, tapi aku tidak merasakan sakit.

Via menjerit sembari menutup matanya.

Leo terpaku, menatap darah yang mengalir di dadaku. "Jeny… kamu… "

"Tanda ini bukan milik Keluarga Moro lagi," kataku sambil mengusap darah dengan sapu tangan. "Sama sepertiku."

Aku berbalik dan berjalan ke mobilku.

Sopirku, Toni sudah menunggu.

"Nona, kamu berdarah," kata Toni dengan suara menegang.

"Telepon Ayah," perintahku sambil duduk di kursi belakang. "Bilang padanya aku sudah selesai. Aku mau semua barangku keluar dari apartemen itu malam ini."

Mobil mulai melaju.

Dari kaca spion, kulihat Leo masih berdiri di sana sembari menatap kepergianku.

Satu jam kemudian, aku berdiri di apartemen mewah yang kutinggali bersama Leo.

Tiga tahun kenangan ada di tempat ini.

Sejak pertunangan kami hingga sekarang, kami menghabiskan banyak malam di sini.

Anak buahku sudah mengemasi barang.

Pakaian, perhiasan, dokumen, dan foto-foto.

Pintu lift terbuka.

Leo keluar.

Via berada tepat di belakangnya, matanya merah bengkak karena menangis.

"Jeny, kamu nggak bisa melakukan ini," kata Leo, melihat kotak-kotak di mana-mana. "Ini rumah kita."

"Bukan," kataku membelakanginya. "Dulu ini rumah kita, sekarang rumahmu. Aku cuma menjaganya tetap hangat buat dia."

"Aku nggak akan biarkanmu pergi." Leo meraih lenganku.

Aku menghempaskan tangannya. "Kamu nggak punya pilihan."

Via memilih saat itu untuk bicara, suaranya lemah menyedihkan. "Mungkin… mungkin aku sebaiknya pergi… "

"Nggak," kata Leo, langsung menoleh padanya, suaranya melunak. "Kamu bakal tinggal di sini di kamar tamu. Kamu bakal aman, aku akan melindungimu."

Aku membeku.

Leo akan membawa Via tinggal di rumah kami?

"Leo." Suaraku tenang, seperti badai sunyi yang membuat udara di ruangan bergetar. "Bilang apa kamu barusan?"

"Dia butuh tempat aman," jawab Leo sembari menatapku. "Tempat ini punya keamanan terbaik."

Via berjalan ke sofa, lalu duduk dengan hati-hati.

Dia tampak seperti sedang merebut takhtanya.

Pintu didorong terbuka.

Ayahku, Steve, masuk diiringi tiga orang kami.

"Sudah selesai berkemas?" tanyanya padaku.

"Hampir selesai," jawabku.

Steve menatap Leo, matanya menyala. "Leo, yang kamu lakukan hari ini termasuk penghinaan bagi putriku dan seluruh keluargaku."

"Pak Steve Arosa, aku bisa jelaskan… "

"Jelaskan apa?" kata ayahku sambil mendekat. "Jelaskan kenapa kamu meninggalkan putriku di pernikahan suci demi selamatkan orang asing?"

"Dia bukan orang asing. Dia… "

"Siapa dia?" suara Steve makin dingin. "Selingkuhanmu?"

"Bukan!" Leo membantah dengan keras. "Dia cuma… aku punya kewajiban melindunginya."

Tiba-tiba, Steve menarik pistolnya. Laras hitamnya diarahkan tepat ke kening Via.

"Ayah, jangan!" teriakku.

Via menjerit dan jatuh ke lantai.

Leo mencoba melindunginya, tapi dua orang ayahku menangkap Leo.

Sedangkan Leo, tanpa ragu sedikit pun bergerak untuk melindungi Via dengan tubuhnya sendiri.

"Di dunia kita, penghinaan itu harus dibalas." Suara Steve sedingin es. "Dan keberadaan gadis ini termasuk penghinaan pada garis keturunanku."

"Tolong… jangan… " Via terisak histeris.

"Lepaskan dia!" Leo berjuang. "Kalau kamu mau bunuh orang, bunuh saja aku!"

Aku menyaksikan semuanya, menyaksikan Leo siap mati demi Via.

Hanya satu pikiran tersisa di kepalaku.

Leo akan mati demi Via, tetapi tidak akan hidup demi aku.

Aku merebut pistol dari tangan ayahku.

"Jeny!" Semua orang berteriak.

Aku berbalik dan mengarahkan bidikan ke dinding di belakang bahu kiri Leo.

Dor!

Peluru itu menghancurkan vas porselen di meja belakangnya.

Pecahannya melesat seperti rudal, lalu menancap dalam di bahu Leo.

Dia menjerit sambil terhuyung ke belakang, darah mekar di atas putih kemejanya.

"Jeny!" Ibu Leo, Leah berteriak, menerobos masuk ke ruangan.

Leo tergeletak di lantai, menekan lukanya sambil menatapku.

Matanya penuh keterkejutan dan kebingungan.

Aku berjalan ke arahnya selangkah demi selangkah, dan mengeluarkan foto USG yang masih hangat dari tas.

Aku berlutut, menatap mata Leo saat Leo berdarah di lantai.

Lalu kuselipkan lembar kertas rapuh itu ke tangan Leo yang berlumur darah.

Leo berusaha duduk dan menatap gambar itu.

Cahaya menyala di matanya.

"Jeny… ini… "

"Jangan berpikir macam-macam," bisikku, bibirku menyentuh telinga Leo, napasku seperti bayangan di kulitnya.

"Bayi ini nggak akan pernah jadi bagian Keluarga Moro, nggak akan ada pernikahan, bukan untuk kita."

"Aku akan menghapusmu dari hidupku, aku bersumpah atas namaku."
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 7

    Sudut Pandang Leo.Aku duduk di apartemen yang kosong dengan sebotol wiski di tanganku.Mereka membawa jenazah Via tiga jam lalu.Darahnya masih menodai ubin kamar mandi. Tim kebersihan akan mengurusnya besok.Seharusnya aku merasa sakit dan bersalah.Tapi aku tidak merasakannya.Yang kurasa justru lega.Sangat lega.Dulu, aku adalah orang bodoh yang sombong, aku pikir dia ingin membuktikan sesuatu, aku pikir dia sedang memberiku pelajaran. Aku pikir, pada akhirnya, dia akan menungguku membawanya pulang.Aku sangat salah. Sangat, benar-benar salah.Pernikahanku dengan Via adalah sangkar, neraka sejak hari pertama.Sifatnya yang posesif, histerisnya, kecemburuannya pada setiap wanita yang menatapku...Rasanya mencekik.Aku mulai menghindari Via.Aku pulang larut malam, menerima lebih banyak dinas, kuambil alasan apa pun untuk pergi.Di hari Via keguguran, aku bahkan tidak ada di rumah.Aku pergi dengan wanita lain, mencoba melupakan wajah Jeny.Ketika Mark memberitahuku Via jatuh dari t

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 6

    "Dua setengah." Suaraku sedingin es. "Ada masalah, Pak Leo?"Mata Leo membelalak, terpaku pada wajah Adrian.Sepasang mata cokelat itu yang identik dengan miliknya, membakarnya seperti bara.Garis waktunya sederhana, tidak perlu kalkulator."Nggak… nggak mungkin… " Darah mengering dari wajah Leo."Apa yang nggak mungkin?" Aku berdiri, merapikan gaunku. "Setelah aku meninggalkan Casida, aku bertemu Juan. Kami menikah di Landan, dan Adrian lahir di Wisi, semuanya sempurna.""Tapi kamu hamil!" Leo nyaris berteriak, "Kamu hamil anakku!"Seluruh ruangan menahan napas."Oh, ya?" Aku terkekeh pelan, dingin. "Lucu juga, seingatku aku cuma pergi dengan sisa martabatku, nggak lebih. Anak ini bermarga Daven. Nggak ada urusannya sama kamu atau Keluarga Moro."Leo ambruk ke kursinya. "Kamu… kamu nikah sama orang lain… Kamu biarin anakku manggil pria lain ‘Ayah’…""Dia bukan anakmu," koreksiku."Hak buat jadi ayahnya?" Aku tersenyum tajam dan kejam. "Hak itu kamu bakar jadi abu di hari kamu ninggali

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 5

    Tiga tahun kemudian."Nyonya Daven, ini laporan triwulanan dari cabang Zerta."Asistenku, Sofia meletakkan berkas di depanku.Di luar jendela dari lantai ke langit-langit tampak Pegunungan Alapa bersalju.Di sini sunyi, dingin, bagus untuk berpikir, bagus untuk melupakan.Tiga tahun lalu, aku datang ke Aropa dengan harta Keluarga Arosa dan anak di dalam kandunganku.Di sini, aku bertemu Juan Daven, pria yang benar-benar paham rasa hormat dan kesetiaan.Dia menerima masa laluku, menyayangiku, dan mencintai putraku seperti anaknya sendiri.Kami menikah, dan aku melipatgandakan empat kali lipat harta Keluarga Arosa.Bukan dengan pistol, tapi dengan pengambilalihan paksa, jual kosong, dan LBO. Aku bukan hanya hiu, aku adalah monster yang ditakuti para serigala pusat saham."Ada lagi?" tanyaku sambil menandatangani dokumen."Ada kabar dari Casida." Sofia ragu. "Leo Moro menikahi gadis itu, Via, setahun lalu."Penaku sempat berhenti, lalu lanjut lagi. "Terus?""Kudengar pernikahan itu nggak

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 4

    "Kamu gila?!"Jeritan Leah memecah kesunyian.Dia berlutut di samping Leo, mencoba menghentikan pendarahan."Jeny, dia anak kita!" Leo memaksa kata-kata itu keluar sembari menahan sakit dengan suara bergetar."Nggak." Aku menyerahkan pistol itu kembali kepada ayahku. "Dia akan memakai margaku dan warisanku, titik. Dia nggak ada urusannya sama Keluarga Moro atau sama kamu."Ruangan menjadi sunyi senyap.Via bangkit dari lantai, air mata mengalir deras. "Nggak... kamu nggak bisa... Dia darah daging Leo… ""Diam," kataku sembari menatapnya. "Kamu nggak punya hak bicara tentang anakku."Leo mencoba berdiri. "Jeny, kumohon... Kita bisa mulai dari awal. Aku bisa mengusirnya pergi. Aku bisa… ""Terlambat." Aku berbalik dan kembali berkemas.Via hancur, ambruk histeris di lantai. "Ini semua salahku! Ini semua karena aku!"Dia berlari ke pintu. "Aku akan ke kepolisian! Aku bakal katakan semuanya dengan jujur! Biar mereka membakar semuanya!""Via, jangan!" Leo meronta mencoba mengejarnya.Leah m

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 3

    Aku melihat sekeliling rumah yang kutinggali bersama Leo, hatiku terasa perih.Aku tidak bisa tinggal di sini.Besok, aku harus pergi.Namun pertama-tama, aku pergi ke klinik pribadi Dokter Romeo.Dia memberiku beberapa pil, katanya itu akan membantu pada awal kehamilan.Aku menatap pil-pil itu lama sebelum membuangnya ke toilet.Area parkir klinik itu sunyi.Casida adalah kota berbahaya setelah gelap. Namun malam ini, akulah monster yang lebih berbahaya.Lalu aku melihat mereka.Leo dengan lembut menyampirkan jaket jasnya di bahu seorang gadis.Dia kurus, kecil, seperti rusa ketakutan.Tangannya gemetar, dan Leo menghiburnya dengan suara pelan.Via Cokro.Cara Via memandang Leo dipenuhi ketergantungan dan kekaguman.Cinta yang murni dan polos.Perutku mual. Bukan karena kehamilan, tetapi karena jijik.Leo menyadari keberadaanku. Dia berbalik dan melihatku berdiri di pintu klinik.Alisnya langsung mengernyit."Jeny, ngapain kamu di sini?" Suaranya rendah, mengandung peringatan dan keti

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 2

    Leo akhirnya muncul enam jam kemudian.Pintu terbuka dengan kasar.Dia berdiri di sana dengan keadaan basah kuyup.Dia tampak seperti baru saja diseret dari neraka.Jasnya berantakan, rambutnya menempel di kulit kepala.Matanya dipenuhi kelelahan dan keputusasaan."Jeny." Suaranya terdengar serak. "Maaf."Ayahku dan para tetua langsung berdiri. Tangan mereka semua bergerak ke senjata di pinggang."Keluar," ucapku dengan suara sangat rendah dan berbahaya. "Tinggalkan kami.""Jeny… " Ayahku ragu-ragu."Keluar!"Ruangan itu kosong kecuali aku dan Leo.Leo hanya berdiri di sana, tampak seperti baru saja ditarik keluar dari sungai."Dia masih hidup?" tanyaku.Leo mengangguk. "Aku bawa dia ke rumah sakit swasta, dia bakal baik-baik saja.""Jadi, kamu selamatkan dia..." Suaraku terdengar tenang yang menakutkan. "Sesuai janjimu.""Jeny, kumohon, biarin aku jelasin… ""Jelasin apa?" potongku. "Jelasin kenapa kamu kabur dari pernikahan kita demi menyelamatkan wanita lain? Jelasin kenapa kamu bia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status