Sudut Pandang Leo.Aku duduk di apartemen yang kosong dengan sebotol wiski di tanganku.Mereka membawa jenazah Via tiga jam lalu.Darahnya masih menodai ubin kamar mandi. Tim kebersihan akan mengurusnya besok.Seharusnya aku merasa sakit dan bersalah.Tapi aku tidak merasakannya.Yang kurasa justru lega.Sangat lega.Dulu, aku adalah orang bodoh yang sombong, aku pikir dia ingin membuktikan sesuatu, aku pikir dia sedang memberiku pelajaran. Aku pikir, pada akhirnya, dia akan menungguku membawanya pulang.Aku sangat salah. Sangat, benar-benar salah.Pernikahanku dengan Via adalah sangkar, neraka sejak hari pertama.Sifatnya yang posesif, histerisnya, kecemburuannya pada setiap wanita yang menatapku...Rasanya mencekik.Aku mulai menghindari Via.Aku pulang larut malam, menerima lebih banyak dinas, kuambil alasan apa pun untuk pergi.Di hari Via keguguran, aku bahkan tidak ada di rumah.Aku pergi dengan wanita lain, mencoba melupakan wajah Jeny.Ketika Mark memberitahuku Via jatuh dari t
"Dua setengah." Suaraku sedingin es. "Ada masalah, Pak Leo?"Mata Leo membelalak, terpaku pada wajah Adrian.Sepasang mata cokelat itu yang identik dengan miliknya, membakarnya seperti bara.Garis waktunya sederhana, tidak perlu kalkulator."Nggak… nggak mungkin… " Darah mengering dari wajah Leo."Apa yang nggak mungkin?" Aku berdiri, merapikan gaunku. "Setelah aku meninggalkan Casida, aku bertemu Juan. Kami menikah di Landan, dan Adrian lahir di Wisi, semuanya sempurna.""Tapi kamu hamil!" Leo nyaris berteriak, "Kamu hamil anakku!"Seluruh ruangan menahan napas."Oh, ya?" Aku terkekeh pelan, dingin. "Lucu juga, seingatku aku cuma pergi dengan sisa martabatku, nggak lebih. Anak ini bermarga Daven. Nggak ada urusannya sama kamu atau Keluarga Moro."Leo ambruk ke kursinya. "Kamu… kamu nikah sama orang lain… Kamu biarin anakku manggil pria lain ‘Ayah’…""Dia bukan anakmu," koreksiku."Hak buat jadi ayahnya?" Aku tersenyum tajam dan kejam. "Hak itu kamu bakar jadi abu di hari kamu ninggali
Tiga tahun kemudian."Nyonya Daven, ini laporan triwulanan dari cabang Zerta."Asistenku, Sofia meletakkan berkas di depanku.Di luar jendela dari lantai ke langit-langit tampak Pegunungan Alapa bersalju.Di sini sunyi, dingin, bagus untuk berpikir, bagus untuk melupakan.Tiga tahun lalu, aku datang ke Aropa dengan harta Keluarga Arosa dan anak di dalam kandunganku.Di sini, aku bertemu Juan Daven, pria yang benar-benar paham rasa hormat dan kesetiaan.Dia menerima masa laluku, menyayangiku, dan mencintai putraku seperti anaknya sendiri.Kami menikah, dan aku melipatgandakan empat kali lipat harta Keluarga Arosa.Bukan dengan pistol, tapi dengan pengambilalihan paksa, jual kosong, dan LBO. Aku bukan hanya hiu, aku adalah monster yang ditakuti para serigala pusat saham."Ada lagi?" tanyaku sambil menandatangani dokumen."Ada kabar dari Casida." Sofia ragu. "Leo Moro menikahi gadis itu, Via, setahun lalu."Penaku sempat berhenti, lalu lanjut lagi. "Terus?""Kudengar pernikahan itu nggak
"Kamu gila?!"Jeritan Leah memecah kesunyian.Dia berlutut di samping Leo, mencoba menghentikan pendarahan."Jeny, dia anak kita!" Leo memaksa kata-kata itu keluar sembari menahan sakit dengan suara bergetar."Nggak." Aku menyerahkan pistol itu kembali kepada ayahku. "Dia akan memakai margaku dan warisanku, titik. Dia nggak ada urusannya sama Keluarga Moro atau sama kamu."Ruangan menjadi sunyi senyap.Via bangkit dari lantai, air mata mengalir deras. "Nggak... kamu nggak bisa... Dia darah daging Leo… ""Diam," kataku sembari menatapnya. "Kamu nggak punya hak bicara tentang anakku."Leo mencoba berdiri. "Jeny, kumohon... Kita bisa mulai dari awal. Aku bisa mengusirnya pergi. Aku bisa… ""Terlambat." Aku berbalik dan kembali berkemas.Via hancur, ambruk histeris di lantai. "Ini semua salahku! Ini semua karena aku!"Dia berlari ke pintu. "Aku akan ke kepolisian! Aku bakal katakan semuanya dengan jujur! Biar mereka membakar semuanya!""Via, jangan!" Leo meronta mencoba mengejarnya.Leah m
Aku melihat sekeliling rumah yang kutinggali bersama Leo, hatiku terasa perih.Aku tidak bisa tinggal di sini.Besok, aku harus pergi.Namun pertama-tama, aku pergi ke klinik pribadi Dokter Romeo.Dia memberiku beberapa pil, katanya itu akan membantu pada awal kehamilan.Aku menatap pil-pil itu lama sebelum membuangnya ke toilet.Area parkir klinik itu sunyi.Casida adalah kota berbahaya setelah gelap. Namun malam ini, akulah monster yang lebih berbahaya.Lalu aku melihat mereka.Leo dengan lembut menyampirkan jaket jasnya di bahu seorang gadis.Dia kurus, kecil, seperti rusa ketakutan.Tangannya gemetar, dan Leo menghiburnya dengan suara pelan.Via Cokro.Cara Via memandang Leo dipenuhi ketergantungan dan kekaguman.Cinta yang murni dan polos.Perutku mual. Bukan karena kehamilan, tetapi karena jijik.Leo menyadari keberadaanku. Dia berbalik dan melihatku berdiri di pintu klinik.Alisnya langsung mengernyit."Jeny, ngapain kamu di sini?" Suaranya rendah, mengandung peringatan dan keti
Leo akhirnya muncul enam jam kemudian.Pintu terbuka dengan kasar.Dia berdiri di sana dengan keadaan basah kuyup.Dia tampak seperti baru saja diseret dari neraka.Jasnya berantakan, rambutnya menempel di kulit kepala.Matanya dipenuhi kelelahan dan keputusasaan."Jeny." Suaranya terdengar serak. "Maaf."Ayahku dan para tetua langsung berdiri. Tangan mereka semua bergerak ke senjata di pinggang."Keluar," ucapku dengan suara sangat rendah dan berbahaya. "Tinggalkan kami.""Jeny… " Ayahku ragu-ragu."Keluar!"Ruangan itu kosong kecuali aku dan Leo.Leo hanya berdiri di sana, tampak seperti baru saja ditarik keluar dari sungai."Dia masih hidup?" tanyaku.Leo mengangguk. "Aku bawa dia ke rumah sakit swasta, dia bakal baik-baik saja.""Jadi, kamu selamatkan dia..." Suaraku terdengar tenang yang menakutkan. "Sesuai janjimu.""Jeny, kumohon, biarin aku jelasin… ""Jelasin apa?" potongku. "Jelasin kenapa kamu kabur dari pernikahan kita demi menyelamatkan wanita lain? Jelasin kenapa kamu bia