"Kamu yakin mau nginap di rumahku hari ini, nggak pulang?" Jeslin terkejut.
Rosa yang dulu selalu memperlakukan anak-anak itu seperti bola matanya sendiri, kali ini dia malah bertekad untuk melepaskan mereka begitu saja.
Mereka berdua duduk mengelilingi meja kecil. Jeslin telah menyiapkan banyak camilan larut malam, tetapi Rosa hampir tidak menyentuhnya, dia hanya bersulang tanpa suara dengan Jeslin.
Entah sejak kapan, tetapi dia sudah mulai kecanduan minum untuk melampiaskan kesedihannya.
Rosa tahu itu buruk, tetapi dia tak bisa menahannya.
Begitu sadar, dia akan langsung memikirkan wajah Mario yang kini terasa begitu asing.
"Aku mau cerai," bisik Rosa.
Jeslin tertegun. "Serius? Apa kamu sudah pikirin? Jangan bercanda. Jangan sampai besok menyesal."
Rosa menggeleng dan terkekeh. "Aku nggak pernah menyesal menikahinya. Aku juga nggak akan menyesal bercerai."
Jeslin segera bersulang dengannya. "Kamu sudah menyia-nyiakan masa muda terbaikmu, tapi untungnya kamu pintar. Lepaskan pernikahan seperti ini, kamu bekerja keraslah, dan bersinar lagi. Itu lebih baik, kan?"
Kata orang, lebih baik mendukung orang berbaikan daripada berpisah.
Namun, sebagai teman Rosa, Jeslin benar-benar bersimpati padanya.
Jika mereka benar-benar jatuh cinta, itu nggak masalah. Namun sayangnya, tidak begitu.
"Kamu itu seharusnya jadi putri tunggal dari keluarga terpandang, populer dan berharga. Tapi kamu malah kabur ke Kota Zaruna. Kamu memang berbeda."
Sejak generasi kakek buyut Rosa, Keluarga Tanujaya hanya memiliki anak laki-laki.
Hanya Rosa yang berjenis kelamin perempuan.
Sehingga, dia telah dimanja dan dilindungi sejak kecil. Untungnya, para tetua tahu banyak hal dan tidak membesarkannya menjadi anak manja.
Namun, justu karena hal itu, Keluarga Tanujaya menolak untuk memaafkannya hingga sekarang, karena memutuskan menjadi ibu tiri.
Rosa berbaring, pipinya menempel di lengannya. Dia berkata, "Apa menurutmu, aku ini sudah bikin malu orang tuaku? Aku ini pecundang. Aku nggak pernah bisa buat mereka bangga..."
Air mata mengalir di pipinya.
Sambil menyalakan ponselnya, Rosa yang masih di bawah pengaruh alkohol, menelepon kakaknya, David, di tengah malam.
Dia tidak berani menelepon orang tuanya, takut mereka akan semakin marah.
Panggilan itu tersambung dengan cepat.
Meskipun belum mendengar suara kakaknya, Rosa tak kuasa menahan air matanya yang kini jatuh tak terkendali.
Di luar, guntur memekakkan telinga, tak henti-hentinya.
Dia menutup mulutnya, mati-matian berusaha menahan isak tangis dan napasnya yang berat.
Tetapi orang di ujung sana tetap mendengarkan.
Rosa tersedak, "Kak, aku lagi sedih banget... Aku mau nangis... Maafin aku ya..."
Begitu kata-kata itu terucap, isak tangis Rosa mulai terdengar. Meskipun tertahan, suara itu tetap terdengar memilukan buat yang mendengarnya.
Jeslin bergegas menghampiri dan memeluknya. "Sudah, sudah. Ayo kita tidur. Jangan nangis lagi."
Rosa yang mabuk berat, menjatuhkan ponselnya dan dibantu ke kamar tidur oleh Jeslin.
Namun, panggilan itu masih tersambung.
...
Di Montiwa.
Di sebuah klub eksklusif.
Vincent diam-diam memutuskan panggilan dan meletakkan ponsel itu kembali.
David baru saja keluar dari kamar mandi. "Ada apa?"
"Nggak ada."
Vincent menyalakan sebatang rokok dan berkata dengan nada penuh arti, "Aku mau pergi ke Kota Zaruna besok. Mau titip apa?"
Zaruna... sebelumnya tidak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Keluarga Tanujaya.
Keterikatan itu baru muncul setelah Rosa menikah dengan keluarga itu.
David mengerutkan kening, dan terdiam cukup lama. Lalu, berkata, "Aku mau titip sesuatu buat anak itu."
...
Keesokan harinya.
Rosa tidur hingga siang, tidurnya sangat nyenyak.
Dulu, dia sudah harus bangun sebelum jam tujuh untuk mengurus kedua anaknya, menyiapkan mereka, dan mengantar ke sekolah.
Kini seluruh bebannya terasa hilang.
Namun, ponselnya dibanjiri lebih dari dua puluh panggilan dari Mario.
Rosa tidak terburu-buru menelepon balik, dan Mario sudah tidak menelepon lagi.
Rosa baru kembali ke rumah menjelang senja.
Dia kembali untuk mulai mengemasi barang-barangnya terlebih dahulu, agar setelah ulang tahun anak-anaknya, Rosa bisa memberi tahu mereka tentang perpisahannya dengan Mario.
Anak-anak sudah besar dan berhak tahu.
Lagipula, sungguh tidak bertanggung jawab baginya untuk tiba-tiba meninggalkan anak-anak yang telah dibesarkannya tanpa mengucapkan selamat tinggal.
"Mama!"
Begitu dia memasuki ruangan, Kirana dengan bertelanjang kaki dan mengenakan kompres penurun demam, bergegas menghampirinya.
Rosa mengerutkan kening. "Ada apa ini?"
Kirana memeluknya erat-erat. "Ma... Mama ke mana? Apa Mama sudah nggak sayang aku sama adik lagi?"
Rosa patah hati dan memeluknya, mencoba menghiburnya.
"Masih ingat pulang?"
Mario yang hampir tidak tidur semalaman tampak kelelahan, matanya merah.
Rosa seketika kehilangan kelembutannya yang biasa dan tidak menjawab. Dia menggendong Kirana kembali ke kamarnya.
Nada bicara Mario tegas, "Demamnya nggak turun-turun. Aku telepon berkali-kali, tapi ponselmu mati."
Rosa terdiam sejenak, dan menjawab, "Terus kenapa? Kalian kan orang tua kandungnya. Kalian nggak bisa merawat anak sendiri, jadi mau nyalahin aku lagi, si ibu tiri?"
Mario menarik napas dalam-dalam dan mulai menjelaskan masalah itu, "Kemarin aku emosi, salah bicara soal ibu tiri. Tapi kamu yang membesarkan mereka. Pas kamu pergi, Kirana mencarimu sampai kehujanan. Kamu kan juga tahu kalau fisiknya lemah!"
Rosa tak ingin berdebat lagi. "Mario, kalau setiap kali kita bertemu cuma bertengkar, mendingan kita nggak usah ketemu lagi. Aku akan beresin barang-barangku dan pindah."
Rosa merasa Mario telah berubah begitu cepat, hatinya terasa hancur.
Angel muncul dengan wajah panik. "Kalian ini kenapa sih? Berhenti bertengkar di depan anak-anak."
Dia bersikap seolah-olah sangat peduli pada anak-anak itu.
Seolah-olah wajar saja seorang ibu kandung menyalahkan ibu tirinya.
Kata-kata Angel membuat emosi Mario yang baru saja mulai mereda, kembali berkobar.
Kehangatan di sorot matanya perlahan memudar saat dia menatap Rosa. "Kamu beneran kayak bukan seorang ibu."
Setelah itu, Mario berbalik dan pergi.
Perasaan pahit tak berdaya menjalar tanpa henti di hatinya. Rosa menunduk dan menatap Kirana, yang sedang menatapnya dengan penuh harap.
Dia tersenyum manis namun getir. "Mama suapin obat, ya?"
Kirana berseri-seri menjawab, "Iya!"
Wajah putrinya masih kemerahan, tetapi bibirnya pucat pasi, membuatnya tampak sangat rapuh.
...
Di kamar tidur anak-anak.
"Kenapa kemarin kamu cari Mama? Mama itu kan sudah dewasa, nggak akan hilang." Rosa menyisir rambut Kirana.
Kirana mengerucutkan bibirnya dan berbisik, "Kalau tante itu pergi saja, dicariin. Masa Mama pergi, nggak dicari? Ma, Mama nggak sendirian. Mama punya aku sama adik. Jangan takut, ya."
Reyan mengangguk berat. "Iya, Ma."
Rosa mengira air matanya sudah habis kemarin, tetapi sekarang tiba-tiba meluap lagi.
Sebenarnya, dia tidak kehilangan semuanya selama enam tahun ini. Dia masih punya dua anak yang menggemaskan.
Meskipun mereka bukan anak kandungnya.
Dia seharusnya bangga pada dirinya sendiri, bukan dipenuhi keraguan dan kebencian pada diri sendiri.
"Kirana, Reyan. Mama mau kasih tahu sesuatu."
Kirana agak khawatir. "Apa?"
"Kalian kan sudah SD sekarang, jadi Mama mau mulai bekerja. Nanti, Mama mungkin nggak bisa selalu nemenin kalian. Kalian harus belajar mandiri ya?"
Kirana dan Reyan terdiam.
Rosa memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan bekerja agar secara bertahap bisa mengurangi ketergantungan anak-anak padanya. Dengan begitu, ketika dia memberi tahu tentang perceraian mereka, anak-anak tidak akan terlalu sulit menerimanya.
Tetapi dia lupa, anak umur enam tahun sudah tidak mudah untuk dibohongi.
Kirana mengerjap dan berkata, "Ma, apa Mama mau berpisah sama Papa?"
Rosa terkejut dan berkata, "Nggak, Mama cuma..."
"Ma, apa aku sama adik sudah buat Mama kecapean ya?" Kirana buru-buru berkata, "Kami nggak usah dijemput lagi. Kami juga sudah bisa makan, belajar, dan mengerjakan PR sendiri. Mama jangan..."
Rosa memeluk kedua anak itu erat-erat, air mata mengalir di wajahnya.
Dia menahan suaranya yang gemetar. "Nggak, bukan itu. Kalian akan selalu jadi anak-anaknya Mama yang paling berharga. Mama nggak pernah capek kok. Mama beneran mau bekerja. Kalian juga nggak mau kan kalau Mama cuma tinggal di rumah selamanya, iya kan?"
Reyan bertanya, "Ma, tapi kalau malam, Mama tetap pulang ke rumah kan?"
Rosa memejamkan mata, air mata mengalir di wajahnya. "Iya."
"Oke, nggak apa-apa!"
Rosa berpikir, seandainya saja dia bisa mengeraskan hatinya sekarang juga...
Seandainya saja dia bisa segera memutuskan perasaannya terhadap kedua anak itu...
Tetapi meskipun sulit, dia tetap harus melakukannya.
Mario memang benar.
Dia hanyalah seorang ibu tiri.
Sekarang setelah Angel kembali, dia akan merelakan tempatnya.
...
Sore harinya
Rosa sedang dalam suasana hati yang buruk dan tidur siang selama dua jam.
Ketika terbangun, kedua anak itu sudah tak ada di rumah.
"Anak-anak ke mana?"
Pelayan itu terlihat ragu sejenak, lalu berkata, "Bu, waktu Ibu masih tidur, Pak Mario bawa mereka keluar."
Wajar baginya untuk pergi keluar.
Mereka mungkin sedang bersama Angel.
Hati Rosa perlahan-lahan menjadi tenang.
Namun, kata-kata pelayan berikutnya membuatnya patah hati.
"Kirana masih agak demam pas pergi."
Mario bawa mereka ke mana? Padahal demamnya belum turun.
"Apa mereka pergi ke rumah sakit?"
Pelayan itu berkata, "Kayaknya bukan Bu, soalnya para pengawal bawa beberapa hadiah."
Jelas mereka akan bertemu seseorang.
Namun kemudian dia ingat bahwa Mario adalah ayah kandung anak-anak itu, dia tidak akan menyakiti mereka.
Meskipun khawatir, dia tidak menelepon untuk menanyakan.
Namun kemudian telepon berdering.
Itu bukan Mario.
Itu nomor Montiwa. Jantung Rosa berdebar kencang. "Halo."
Hening di ujung telepon selama beberapa detik.
Tak lama kemudian, terdengar suara laki-laki yang berat dan tenang, "Ini aku, Vincent."
Rosa terkejut. "Kak Vincent? Apa terjadi sesuatu di rumah?"
Dia hanya pernah bertemu Vincent saat kecil bersama kakaknya, tetapi mereka belum pernah dekat secara pribadi.
Jadi ketika Vincent menelepon, dia refleks berasumsi ada yang tidak beres.
"Nggak," kata Vincent. "Aku di Zaruna ada urusan bisnis. Kakakmu minta aku membawakanmu sesuatu."
Kakak mengirimkan sesuatu untuknya?
Pertama kali dalam enam tahun!
Rosa dengan bersemangat berkata, "Kamu di mana? Aku akan ke sana."
"Di depan rumahmu."
...
Lima menit kemudian.
Rosa berlari kecil ke pintu masuk kompleks perumahan.
Sebuah mobil berplat Montiwa dengan lampu hazard menyala terparkir di pinggir jalan.
Mobil mewah seperti ini jarang ada di Zaruna, kecuali dua mobil milik Mario.
Rosa bergegas menghampiri.
Jendela mobil diturunkan.
Melihat pria di kursi belakang, Rosa sedikit terkejut.
Dia sudah bertahun-tahun tidak bertemu Vincent. Rosa selalu merasa Vincent lebih tampan dan menarik daripada kakaknya, tetapi dia tidak menyangka pria itu akan berubah menjadi lebih tenang dan pendiam saat usianya mendekati tiga puluh.
Rosa kembali tenang dan tersenyum. "Halo, Kak Vincent."
Mata cokelat tua Vincent menyapu wajah Rosa.
Matanya tidak bengkak, dan suaranya normal.
Itu berarti dia tidak terlalu kesal kemarin.
Sopir Vincent keluar dan menurunkan seluruh barang dari bagasi belakang. "Bu Rosa, apa Anda nggak bawa pelayan?"
Ada begitu banyak barang, Rosa tidak mungkin membawanya sendiri.
Semuanya adalah makanan khas Montiwa, banyak di antaranya merupakan favorit Rosa.
Namun, sejak tiba di Zaruna, dia hanya pernah memakannya sekali saat mengajak anak-anak ke Taman Hiburan Montiwa.
Hati Rosa dipenuhi kehangatan. "Aku sendiri bisa kok."
Dia berterima kasih, "Terima kasih, Kak Vincent."
Vincent hanya berkata, "Masuk ke mobil dulu."
Rosa tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dia mengira ada hal lain yang ingin disampaikan, jadi dia dengan patuh naik ke dalam mobil.
Jendela mobil pun dinaikkan, membuatnya sangat kedap udara.
Sopirnya juga tidak masuk.
Sekotak tisu tiba-tiba dilempar ke pangkuan Rosa, dia membeku.
Setelah beberapa saat, melihat Rosa tidak bergerak, Vincent menoleh ke arahnya dan berkata, "Bukannya semalam kamu bilang mau nangis?"
"Nangis saja, aku nggak akan ketawa."
Rosa tertegun.
Dia mabuk.
Tapi dia juga ingat sudah menelepon kakaknya tadi malam.
Pagi ini, dia merasa agak menyesal, tapi semua sudah terlanjur.
Jadi...
"Kamu yang angkat teleponnya?"