”Will, kau baik-baik saja? Aku sangat mengkhawatirkanmu. Kau terlihat kurang sehat?” Kimberley menyusul Will.
”Aku tidak apa-apa Kim. Makan siang hari ini kita batalkan saja ya.” Will melirik Kimberley.
Bibir Kimberley melengkung kebawah. Ia merasa kecewa. Padahal dari semalam ia sudah membayangkan hari ini ia dan Will berlovey dovey. Yah, apa mau dikata Will sudah bilang batal ya batal. Bahkan Kimberley pun tidak bisa berbuat apa-apa.
”Ya, kita masih bisa atur ulang besok atau lusa. Kau mau pulang? Biar aku antar.” Tawar Kimberley.
Will tersenyum. Sejenak ia menepuk-nepuk lengannya yang kotor terkena pasir saat terjatuh tadi. ”Kau yang terbaik. Aku bisa pulang sendiri. Kau tidak marah, kan?”
”Enggak kok.” Kimberley melirik siku tangan Will yang lecet. ”Tanganmu tergores. Mari aku bersihkan lukanya.”
Bibir Will mengembang. ”Ini bukan apa-apa. Aku bisa melakukannya sendiri.” Tolak Will sembari menjauhkan tangannya dari jari Kimberley yang ingin menyentuh lukanya.
Kimberley merasa kesal dengan sikap Will. Setiap kali ia ingin menyentuh, Will selalu menghindar. Meskipun demikian Kimberley tetap memuja Will. Ia yang paling mengenal Will. Bahkan sampai kebiasaan Will yang suka mengoleksi tanaman anggrek dan mawar, Kimberley juga tahu itu. Bagi seorang Kimberley Lim hatinya hanya ada Will Greyson seorang. Ia selalu berharap Will menyatakan perasaannya. Namun, laki-laki ini malah terus saja menghindarinya.
”Kalau begitu kau obati saja sendiri.” Ujar Kimberley dengan nada ketus.
”Kau merajuk?” Will tertawa melihat Kimberley yang cemberut.
Gadis itu tidak senang dengan tawa Will yang lebih berkesan ke mengolok-olok dirinya.
”Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak.” Rungutnya sembari menjauhkan pandangannya ke jalanan.
”Sekalipun sedang marah kau tetap terlihat manis.” Goda Will.
Seketika wajah Kimberley merona mendengar ucapan Will.
Beberapa gadis yang sedang berjalan di trotoar memperhatikan Will. Mereka menyadari pria itu adalah Will Greyson si penyanyi tampan yang dingin. Tanpa pikir panjang gadis-gadis yang tengah mabuk kepayang itu mengerumuni Will seperti semut-semut yang mengerumuni gula.
Will mulai panik. Philophobia-nya kembali kambuh. Namun, ia tetap tersenyum di depan para fans itu.
”Apa kau Will Greyson?” Tanya salah satu dari mereka.
Sebuah senyuman terkembang di wajahnya. Will tidak berkata-kata. Tangan Will bergetar menahan rasa sakit di dadanya. Will tidak ingin menunjukkan penyakitnya di depan fansnya. Kimberley menyadari Will yang kesakitan. Dengan sigap Kimberley menghalangi mereka yang ingin memeluk Will.
”Apa mata kalian buta? Tidak bisa kah kalian melihat dia kesakitan. Kalian sama sekali tidak memiliki empati.” Bentak Kimberley sembari melebarkan tangannya melindungi Will.
”Hei, jangan menghalangi kami! Apa kau tahu, betapa sulitnya untuk melihat Will dari dekat? Biarkan kami menemuinya.” Teriak gadis yang lainnya.
Mereka saling dorong bahkan hampir membuat Will tersungkur. Salah seorang gadis itu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia mengeluarkan ponselnya merekam adegan itu dan mengunggah video itu ke internet.
Will memilih menjauh dari kerumunan gadis-gadis itu. Meninggalkan Kimberley yang sedang berdebat disana.
”Hei stop berdebat. Lebih baik kita kejar Will sebelum jauh. Ini kesempatan langka bisa bertemu dengannya.” Ajak salah satu dari mereka.
Para gadis itu pun saling pandang dan sedetik kemudian mengejar Will yang mulai menjauh. Kimberley berusaha menahan mereka namun gagal. Apatah dayanya ia hanya seorang, sementara mereka berempat. Kimberley merapikan rambutnya yang berantakan akibat di tarik para gadis itu.
”Will, aku sudah berusaha. Selanjutnya tergantung padamu.” Ia berbicara kepada dirinya sendiri.
Will Greyson berlari secepat mungkin menghindari kejaran gadis-gadis itu. Keringat dingin mengalir dari pori-pori kulitnya. Detak jantungnya tak lagi seirama. Will semakin kesulitan bernapas.
Di balik tembok toko bunga, Hanna bersembunyi dari kejaran Sean. Sesekali ia mengintai dari balik bunga-bunga yang berbaris di tepi toko, memastikan Sean tidak menemukankan persembunyiannnya. Hanna menunduk ketika Sean melintas di depan toko bunga. Sean celingak-celinguk mencari Hanna. Raut wajahnya sangat kecut. Tak sedap dipandang. Dengan kesal Sean menendang kaleng minuman kosong yang terabaikan di tepi jalan.
Akhirnya Sean pergi dengan rasa putus asa yang menggunung. Hanna tersenyum-senyum melihat Sean yang sudah pergi. Dalam hatinya, ia mencemooh Sean.
”Sean, lain kali aku akan memberimu pelajaran yang tak akan bisa kau lupakan seumur hidupmu.” Hanna menggerutu sembari mendongakkan kepalanya.
Will yang sudah kelelahan berlari, memutuskan untuk bersembunyi. Tanpa pikir panjang Will segera berlari ke samping toko bunga. Tapi, ia malah berakhir menabrak Hanna yang hendak keluar dari perlindungannya.
”Awh!” Hanna mengelus kepalanya yang berbenturan dengan dada bidang Will. ”Hei, kalau jalan lihat-lihat dong!” Bentak Hanna.
Will segera mendekap mulut Hanna agar tidak menarik perhatian para gadis yang mengejar Will tadi. Hanna meronta-ronta berusaha melepaskan dekapan Will. Dalam sekali sikutan ke belakang Will tumbang menahan rasa sakit tumbukan di perutnya.
Sungguh malang nasib Will. Berurusan dengan gadis yang bar-bar. Will Greyson meringis kesakitan bersandar di tembok itu. Hanna menyipitkan matanya.
”Segitu saja sudah K.O.” Hanna mempecundangi Will.
”Kau gadis yang kasar.” Tuduh Will, tangannya masih memegangi perutnya yang sakit.
”Cih! Kau saja yang terlalu lemah.” Ejek Hanna, sedetik kemudian Hanna termenung memperhatikan Will.
Dipandanginya dari sisi kiri dan kanan. Tangan kanannya menopang dagu. Keningnya mengkerut seperti kulit pare. Otaknya sedang bekerja mencari data dalam kepalanya.
”Sepertinya aku pernah melihat mu.” Jidatnya semakin keriput. ”Aha! Kau pria yang di depan restoran tadi kan?” Tuding Hanna menjulurkan telunjuknya ke arah Will Greyson.
Will tersenyum sinis. Tangannya menjelajahi permukaan tembok mencari tumpuan untuk berdiri. Lama Will terdiam. Ia mematung di sana sedang mencerna hal yang barusan ia alami. Lagi, rasa paniknya hilang. Tak ada lagi sesak yang menghimpit dadanya.
'Ini aneh. Setiap kali menyentuh gadis ini, semua kecemasanku hilang.' Will membatin dalam hati.
”Hei! Apa kau masih disini?” Hanna melambaikan tangannya di depan wajah Will.
”Bisakah aku menyentuhmu?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Will.
Hanna tercengang mendengarnya. Sedetik kemudian ia tersenyum nakal. ”Menyentuh ya? Baiklah.”
Plakk!
Sebuah tamparan mendarat di wajah mulus Will. Jejak telapak tangan Hanna meninggalkan bekas kemerahan di kulit yang pucat itu. Will meringis.
”Dasar gadis gila! Beraninya kau menampar aku. Apa kau tak tahu aku siapa, hah?” Will membentak Hanna yang berdiri di hadapannya.
Hanna berkacak pinggang. Mencondongkan tubuhnya mencemooh Will tepat di depan wajahnya. Bibir Hanna melengkung sebelah mencibir Will.
”Aku tidak gila. Kau saja yang mesum. Baru bertemu sudah minta disentuh. Ih, pria aneh.”
Mata biru Will yang tadinya terlihat dingin, membara menahan amarah. Ini kali pertama ia dipecundangi seorang gadis. Ia tarik kasar lengan Hanna mendekat hingga tidak ada jarak diantara mereka.
”Setiap aku bertemu denganmu, aku selalu sial. Lihat!” Will mengangkat siku tangannya, memperlihatkan luka lecet itu kepada Hanna. ”Tanganku yang mulus jadi lecet. Perutku yang malang juga kena hantaman darimu. Dan sekarang wajahku yang tampan ini, malah kau tato dengan bekas tanganmu. Kau harus membayar pengobatan yang mahal untuk ini.”
Hanna menatap Will dengan sinis. Bibir mungil itu bergerak-gerak menahan tawa.
”Kau terlalu percaya diri. Bagiku kau pria terjelek dan sombong yang pernah ku temui. Ah, juga mesum.” Balas Hanna, sementara itu ia mengangkat kakinya dan menendang sesuatu di antara selangkangan Will dengan lututnya.
Suara pekikan jerit kesakitan Will menggema di antara bangunan itu. Hanna tersenyum puas menyaksikan Will yang tengah histeris. Oh, Will yang malang. Hanna bukan gadis yang bisa di intimidasi. Ia terlalu tangguh untuk dijadikan lawan.
Hanna secepat kilat berlari meninggalkan Will yang tengah bergelut dengan rasa perih yang menyayat di bawah sana. Sampai terbungkuk-bungkuk Will mengerang jerit kesakitan.”Aku akan membalasmu gadis gila!” Pekik Will, tangannya mengepal keras buku-buku jarinya. ”Mimpi apa aku semalam, harus mengalami kesialan ini.” Will menggerutu.Hanna tidak menggubris ancaman Will. Ia teruskan berlari, tangannya memeluk erat-erat kertas selebaran agar tetap pada tempatnya. Sesaat kemudian, ia menghentikan langkahnya di bawah pohon besar. Ia hempaskan dengan kasar bokongnya ke atas kursi, yang ada di samping pohon itu. Kaki yang lelah berlari itu, ia luruskan ke depan.Sejenak ia beristirahat di bawah pohon itu. Napasnya masih tersengal-sengal. Tiba-tiba ia terusik dengan suara bunyi dering ponselnya. Dengan malas ia ambil ponsel itu dari dalam tas.”George.” Batin Ha
Sore itu, Will Greyson mengunjungi dokter George, psikolog yang selama ini melakukan terapis pada Will. Pria manis itu duduk di depan Will. Ia memegang selembar kertas di tangannya. Alisnya yang tebal itu sedikit naik, aura bahagia terpancar dari wajah tirus itu.”Kulihat, kau sedikit mengalami perubahan. Emosi dan kecemasanmu sedikit terkontrol. Aku jadi penasaran dengan gadis itu.” Ujar George sembari meletakkan kertas itu di atas meja.Will yang sedari tadi duduk bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada, mengubah posisi duduknya. Raut wajahnya berubah masam. Ia masih memendam rasa kesalnya kepada Hanna.”Dia itu gadis tergila yang pernah kutemui. Sangat kuat seperti pria saja. Sedikit pun tidak anggun seperti Kimberley. Tapi, kau tahu sekalipun ia gadis yang bar-bar, ada pria yang berlutut mengemis cinta padanya.” Will bangkit berdiri, berjalan menuju jendela.Ia perhatikan sejenak pemandangan di luar. Pandangan Ge
'Will, pada akhirnya kau menjatuhkan harga dirimu, demi kimberley.' Ucap Will pada diri sendiri.Kemudian ia mengambil ponselnya dan menekan nomor yang tertera di kertas itu. Will menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Beberapa detik kemudian, panggilan itu tersambung.Hanna yang tengah menyantap barbeque-nya terusik dengan dering ponselnya. Ia menyipitkan mata bulat itu ketika melihat nomor tidak di kenal menghubunginya. Dengan malas ia menjawab panggilan itu.”Ya, halo. Hanna di sini.” Suara Hanna terdengar kurang jelas sebab mulutnya masih penuh dengan barbeque.[ Hai gadis gila. Apa kau mengingat aku? ]Sesaat mulut Hanna berhenti mengunyah. Ia tengah mengingat suara si penelepon itu. Ketika ia menyadari suara itu milik Will Greyson, Hanna membelalakkan mata dan tersedak. George segera berdiri dan menyodorkan air mineral. Hanna mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada George untuk tetap di kursin
Semalam Hanna tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya dipenuhi dengan tawaran pekerjaan Will. Kadang keningnya mengkerut dan kadang juga alisnya terangkat. Tak perlu dijelaskan, ia pasti sedang mengalami kesulitan dalam mengatasi pikiran anehnya itu. Ia melirik jam yang berdiri tegak di atas meja riasnya, sudah pukul 10 pagi. Terdengar suara gemeretak ketika jarinya mengetuk meja. 'Apa salahnya mencoba. Mungkin ia serius.' Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Saat Hanna keluar dari peraduannya, ia mendapati ibunya tidak ada di rumah. Nyonya Mery sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Lalu ia mengambil tas selempang pink-nya dari sofa depan. Setelah menyandang tasnya itu, Hanna pergi keluar. Kunci rumah itu, ia sembunyikan di bawah pot bunga yang berada di dekat pintu. Sebab kuncinya hanya ada satu, jadi kalau ibunya pulang bisa masuk ke rumah tanpa harus menunggu Hanna. Ia berjalan keluar gang, sesampainya di jalan besar Hanna menunggu bus
”What????” Hanna membelalakkan matanya.Hampir semenit mereka berdua hening. Bola mata Hanna membara. Ucapan Will membuat tekanan darah Hanna naik, hingga sedikit terasa menegang di punuknya. Saat ini Hanna ingin sekali meloncati meja itu dan menghajar Will."Apa tadi kau menghabiskan sarapanmu?" Tanya Hanna dengan wajah kesal.Will mengernyitkan dahinya, "Hmm, tidak. Aku hanya minum jus wortel dan tomat saja. Mengapa?"Sudut bibir Hanna naik sebelah, "Pantas saja otakmu tidak bekerja dengan baik. Terapi sentuhan katamu?" Hanna memalingkan wajahnya ke luar kaca, "Cih! Dasar pria mesum gila. Hampir saja aku mempercayai omonganmu. Aku memang membutuhkan pekerjaan tapi tidak jika itu harus memberi kau sentuhan. Maaf aku tidak mau. Kau cari saja wanita lain. Di luar sana banyak tuh yang menjajakan di pinggir jalan, kau ambil saja mereka. Aku masih memiliki harga diri." Hanna menolak mentah-mentah tawaran Will. Raut wajahnya terlihat serius d
Saat Will sedang mengintai, seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya. Detik itu juga Will hampir berteriak karena kaget. Rupanya itu adalah Sean yang hendak berkunjung ke rumah Hanna.”Hei! Jika orang lain yang melihatmu, pasti mereka mengira kau adalah pencuri yang sedang mengintai calon korbanmu.” Sean mengikuti arah pandangan Will.Sean membelalakkan matanya dengan mulut terbuka lebar. Gadis yang dicintainya ada di depan sana dan Will sedang mengintainya. Sontak itu membuat Sean menjadi berang.”Dasar mesum. Kau sedang mengintip kekasihku.” Sean menarik kerah baju Will yang membuat Will menengadah.Begitu melihat rupa Will yang tersembunyi di bawah topinya, Sean menjadi salah tingkah. Ia mengenali Will Greyson. Tentu saja, siapa sih yang tidak mengenal seorang Will. Penyanyi yang hilir mudik di semua siaran televisi juga konsernya yang selalu sukses. Sebenarnya Sean salah satu penikmat lagu Will. Hanya Hanna saja yang kurang
”Spontanitas? Jadi maksudmu kau risih bila aku memelukmu?””Tidak. Bukan itu maksudku.””Lalu apa? Kau tahu itu melukai perasaanku. Kau mendorongku seolah-olah aku ini semacam kotoran saja.” Kimberley membuang pandangannya ke sudut ruangan.Will menghela napas, ia merasa bersalah telah mendorong gadis manja itu. Ia tahu betul, jika Kimberley tidak mau menatap wajahnya artinya gadis itu sangat membencinya. Tidak ada pilihan lain bagi Will. Meminta maaf pun, toh gadis itu tidak akan menolerir penyesalan Will.'Mungkin ini sudah saatnya aku memberitahu tentang phobiaku.' Will bergumam.Will berjalan mendekati tempat duduk Kimberley dan duduk di sampingnya.”Kim, sebenarnya..” Will terdiam sejenak, ia masih ragu untuk mengungkapkan penyakitnya. ”Kau tahu kan, sejak kecil aku beg
Begitu mendengar itu, Hanna hampir menyembur Sean dengan soda yang baru saja ia minum.”What??””Kau bercanda! No way! Sekalipun ia pria terakhir di bumi ini, aku tidak akan berkencan dengannya. Mengapa kau bertanya tentang itu?” Hanna balik mengintrogasi Sean.Sean merasa kikuk, ”tidak ada. Aku Hanya sembarang ngomong saja.” Sean cengar-cengir kepada Hanna.Hanna mengangkat tinjunya dan menggertak Sean, bibirnya komat-kamit.”Jika kau menyebut nama si brengsek itu lagi aku akan meninju wajah mulusmu ini.” Ancam Hanna, matanya melotot memandang Sean.”Ok, aku tidak akan.” Sahut Sean mantap.”Ini sudah malam, kau pulanglah. Aku mau istirahat.” Hanna lekas berdiri dan membuka pintu untuk Sean, memberi isyarat dengan mata agar Sean keluar.Seolah mengerti dengan kod