Hanna secepat kilat berlari meninggalkan Will yang tengah bergelut dengan rasa perih yang menyayat di bawah sana. Sampai terbungkuk-bungkuk Will mengerang jerit kesakitan.
”Aku akan membalasmu gadis gila!” Pekik Will, tangannya mengepal keras buku-buku jarinya. ”Mimpi apa aku semalam, harus mengalami kesialan ini.” Will menggerutu.
Hanna tidak menggubris ancaman Will. Ia teruskan berlari, tangannya memeluk erat-erat kertas selebaran agar tetap pada tempatnya. Sesaat kemudian, ia menghentikan langkahnya di bawah pohon besar. Ia hempaskan dengan kasar bokongnya ke atas kursi, yang ada di samping pohon itu. Kaki yang lelah berlari itu, ia luruskan ke depan.
Sejenak ia beristirahat di bawah pohon itu. Napasnya masih tersengal-sengal. Tiba-tiba ia terusik dengan suara bunyi dering ponselnya. Dengan malas ia ambil ponsel itu dari dalam tas.
”George.” Batin Hanna ketika melihat nama si penelepon dari layar.
”Ya, George. Ada apa?”
”Malam ini apa kau luang?” Ucap suara dari seberang sana.
”Ya. Sepertinya aku akan memiliki banyak waktu luang, terlebih sekarang aku sudah jadi pengangguran.” Balas Hanna, tangannya yang lain sibuk merapikan rambut yang menari-nari tertiup angin. ”Ah, apa kau bisa merekomendasikan aku kepada kenalanmu?” Tanya Hanna bersemangat.
Dalam pikirannya, George pasti memiliki banyak koneksi apalagi pekerjaannya sebagai dokter.
”Tentu saja. Apapun untukmu Hanna. Hmm, Aku ingin mengajakmu dinner, nanti malam aku jemput ke rumah ya.”
”Ya. George, sepertinya aku harus melanjutkan kerjaanku hari ini. Masih banyak yang harus disebarkan. Sampai nanti George.” Hanna mengakhiri panggilan itu.
Padahal George masih ingin berbincang dengannya. Mendengar suara Hanna yang selalu membuatnya ingin terus tetap berada di samping Hanna.
Matanya melirik selebaran yang teronggok di sebelahnya. Masih banyak yang harus ditempelkan. Kalau saja Sean tidak mengusiknya tadi, pasti itu sudah selesai ia kerjakan. Sebelum berdiri Hanna menghela napas panjang. Sebenarnya, ia sangat merasa lelah untuk melanjutkan menyebar selebaran itu.
Sepanjang jalan ia menendang daun-daun yang berserakan di trotoar. Sesekali ia menyeka peluh yang mengalir dari sela-sela rambutnya. Rupanya matahari semakin tinggi. Hingga bayangan dirinya tak terlihat lagi. Sinar matahari seakan menusuk kepalanya yang tanpa pelindung.
Di rumah besar itu, Will Greyson membanting ponselnya hingga menimbulkan bunyi yang keras ketika menyentuh lantai. Ia mengacak-acak rambutnya hingga tak beraturan. Rupanya, kejadian siang tadi ramai di bicarakan di internet. Video berdurasi semenit itu, berhasil mengundang perhatian. Komentar-komentar pedas dari para fans yang marah membuat Will merasa jatuh.
[ Ternyata dia pria yang angkuh.-Starseven
Will aku percaya padamu.-Will Forever
Rumor itu benar. Dia penyanyi yang tersombong yang pernah kutemui. Tidak mau di sentuh dan malah menghindar dari penggemar. Aku menyesal telah mengidolakannya.-Pecinta sejatimu
Siapa wanita cantik itu? Apa itu kekasih Will? -ladybug ]
Ini kali pertama Will mendapat komentar buruk dari penggemar. Puluhan panggilan masuk dari Ryan dan agency Will, membuatnya frustasi harus menjawab semua pertanyaan yang menyudutkan. Pada akhirnya, ponsel itu memiliki nasib buruk hancur berserakan di lantai marmer itu.
”Tuan, pak Ryan ada di sini. Beliau ingin berbicara dengan tuan.” Suara nyonya Mery dan ketukan yang nyaring di permukaan pintu membuyarkan ketenangan Will.
”Suruh saja dia menunggu. Aku akan turun sebentar lagi.” Jawab Will tanpa membuka pintu kamarnya.
”Baik Tuan.” Balas Nyonya Mery.
Sedetik kemudian Will keluar kamar. Satu persatu ia tapaki anak tangga. Ryan Oneil tengah duduk di sofa coklat itu. Telapak tangannya bertemu saling bertautan menopang dagu yang lebar itu. Ryan Oneil pria yang bertubuh sedikit gempal dengan bentuk wajah yang bundar. Ketika Will mendekatinya, ia segera berdiri memasang raut wajah yang hendak menerkam mangsanya.
”Apa yang terjadi? Mengapa video seperti itu bisa ada di internet?” Ryan menghela napas. Ia alihkan pandangannya ke sudut ruangan, sedetik kemudian kembali menatap Will yang berdiri di hadapannya.
”Kau sekarang superstar. Sedikit saja kesalahan bisa menjatuhkan reputasi mu. Dan tidak seharusnya kau bersikap seperti itu kepada penggemarmu.” Sambung Ryan, ia hempaskan bokong tebal itu ke atas sofa. Kaki kirinya menyila di atas paha kanan.
Will memasang senyuman yang mencibir. Melihat Ryan yang begitu kesal padanya. Will duduk di depan Ryan. Tetap tanpa ekspresi menanggapi amarah sang manajer.
”Itu di luar kendaliku. Aku tidak menduga hal seperti itu akan terjadi.” Will menyandarkan tubuhnya ke bahu sofa dengan tangan menopang kepalanya dari samping.
Melihat ekspresi Will yang datar semakin membuat kekesalan Ryan meledak. Ia berdiri sambil berkacak pinggang menunjuk Will. Ia luapkan semua keluh-kesahnya, tapi pria yang di hadapannya itu tetap saja bersikap acuh.
”Baiklah, aku harus pergi dari sini. Kepalaku seakan mau meledak menghadapi mu. Sebaiknya kau renungkan kejadian hari ini.” Ryan menghela napas panjang, menenangkan amarahnya sekejap.
Will tetap tak bergeming. Ia duduk saja di sana dengan santai menonton Ryan seperti pertunjukan Opera. Ia nikmati setiap ocehan Ryan. Bahkan ia malas untuk menanggapi itu. Ia terlalu lelah dan juga sekelumit pertanyaan dan masalah bersarang di kepalanya itu.
”Kau tahu, hidupku tergantung padamu. Artinya aku hanya menghasilkan uang dari pekerjaan ini. Ada dua perut yang harus aku nafkahi.” Ryan melanjutkan ucapannya, kemudian ia pergi dengan wajah yang merah padam.
Will menatap punggung pria gempal itu hingga hilang dari pandangan. Dalam pikirannya, ia masih mencerna kejadian saat bersama Hanna tadi. Entah mengapa setiap ia bersentuhan dengan wanita itu, setiap kecemasan Will menghilang. Bahkan ia tidak mengalami gejala phobianya itu.
”Mery!”
Nyonya Mery datang tergopoh-gopoh begitu Will memanggilnya. Ia langsung menghentikan kegiatannya yang sedang mencuci piring. Di punggung tangannya masih ada sisa sabun.
”Iya, Tuan.” Wanita paruh baya itu membungkuk begitu menghadap Will.
”Apa kau melihat buku telepon milikku? Aku ingin menghubungi dokter George. Ponselku sudah hancur. Aku tidak ingat nomor ponselnya.” Tanya Will tanpa melihat Nyonya Mery.
”Ada di laci bawah rak TV Tuan, akan saya ambilkan sebentar.”
Setelah menunggu beberapa detik, Nyonya Mery kembali. Dalam genggamannya ada buku kecil berwarna hijau.
”Ini bukunya, Tuan.” Ia sodorkan buku itu ke tangan Will.
Kemudian Will menyuruhnya kembali ke dapur dengan isyarat tangan. Will Greyson menekan tombol di telepon kabel. Tidak sampai dua detik, seseorang menjawab dari seberang.
”Halo, George. Apa kau sedang sibuk?”
”Ya, aku sedang luang. Ada apa? Apa terjadi sesuatu padamu?” Tanya George dari seberang.
”Tadi, Kimberley menyentuh aku dan phobiaku kumat. Tapi, bukan ini masalahnya. Aku hanya merasa aneh, saat seorang gadis yang tidak ku kenal menyentuh ku. Seketika rasa sesak dan kecemasanku hilang.” Balas Will.
Terdengar suara tawa George dari sambungan itu, ”Berarti itu berita bagus. Akhirnya penyakitmu bisa di sembuhkan. Aku sedang luang, kau datang saja ke klinik sekarang. Agar aku bisa memeriksa lebih lanjut.”
”Baiklah, kalau begitu.” Will mengakhiri panggilan itu.
”Bukankah kau merindukan ibumu? Dia sudah datang, bahkan mengakui kesalahannya. Bagaimanapun, dia masih ibumu. Hubungan darah tidak bisa diputus. Saat aku berbicara dengannya tadi, aku melihat ketulusan dalam sorot matanya. Dia juga sedih, tapi dia menyembunyikan perasaannya dalam senyuman yang dia berikan padaku tadi. Cobalah untuk berdamai dengan masa lalumu, Will. Aku tahu, aku tidak berhak mengatakan ini, tapi aku juga tahu— kau juga sama tersiksanya dengan ibumu. Lantas, mengapa kau harus mempersulit diri?”Will melirik Hanna, sorot matanya tampak berkaca-kaca. ”Aku ... aku tidak tahu harus bagaimana. Dia tiba-tiba datang di saat aku sudah melupakannya, mengapa dia harus kembali? Jika ingin pergi, seharusnya jangan datang lagi.”Tangisan Will pecah. Tentang Rose adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidup Will. Jika saja Rose kembali saat Will masih kecil, mungkin saja ia akan memaafkan segala perbuatan Rose. ”Aku mengerti perasaanmu, tapi dia tetap ibumu. Aku yakin dia juga
”Kim, aku–” Will terdiam. ”Tubuhku masih terasa sakit. Aku ingin istirahat. Bisakah …””Huh! Aku tahu kau cuma ingin menghindar. Tetapi, aku tidak akan memaksa. Lagipula aku juga ada urusan. Istirahatlah.””Terima kasih, Kim.”Kimberley pergi dengan perasaaan hampir marah. Ia menutup pintu dengan suara yang sedikit keras. Sedangkan Will Greyson, ia menatap pintu itu. Kali ini, ia tidak merasakan apa-apa, dan itu mengganggu pikirannya. Kimberley adalah gadis yang ia sukai sejak lama, dan perasaan itu seolah tidak bersisa sedikit pun di dalam hatinya.Lagi-lagi ia memikirkan Hanna dan Will menjadi kesal ketika ia membayangkan Hanna dan George bersama. Will cukup sadar bahwa dirinya yang sekarang tidak lagi dirinya yang dulu.'Aku tidak menyukai Hanna.'Meskipun Will sudah menyangkal itu, tetap saja ia masih kesal.Hanna tiba di rumah sakit terlambat. Dia merasa bersalah telah membuat anak-anak itu menunggunya. Namun, ketika ia mendapati George menunggunya di depan, Hanna menjadi lega.”
”Dasar pria aneh.” Hanna bergegas menutup pintu. ”Sikapnya itu semakin menjadi-jadi. Ah, sudahlah. Aku harus bergegas pergi, jika tidak nanti tuan acara akan marah.”Saat Hanna kembali ke ruang makan, tidak ada ibunya di sana. Hanna mencari Nyonya Mery di setiap ruangan sembari memakan anggur yang baru saja dia comot dari meja makan.”Ibu! Ibu di mana?””Di sini! Aku di halaman belakang!” sahut Nyonya Mery dengan suara keras.Segera Hanna beranjak ke halaman belakang. Di sana, Nyonya Mery tengah menggunting daun-daun bunga yang kering. Juga merapikan beberapa tanamanan anggrek dan mawar.”Lihatlah anak nakal ini. Bunga-bunga ini seharusnya kau perhatikan. Aduh! Anggrek yang malang. Tuanmu sakit dan tid
Sejak kecelakaan, Will tidak serewel dulu. Kini ia lebih banyak diam dan sangat penurut. Mungkin efek kepalanya yang terbentur keras. Baguslah. Hanna mendorong kursi roda ke luar ruangan. Mereka menuju lobby untuk menemui Ryan. Ketika mereka tiba di sana, Ryan dengan sigap memapah Will naik ke mobil. ”Aku senang kau sudah lebih baik sekarang,” kata Ryan penuh antusias. Will melirik sekilas ke arah Ryan dan menyahut, ”hmm.” Di dalam mobil yang dikemudikan Ryan, Will diam seribu bahasa memandang jalanan melalui jendela mobil. Untuk mencairkan suasana, Ryan menyalahkan radio. Berita tentang kepulangan Will terdengar dari radio. Seketika Will Greyson melirik tajam Ryan melalui kaca kecil yang menggantung di depan. Mata mereka bertemu. Walau hanya melalui tatapan, tetapi Ryan paham dengan maksud Will. Ryan segera mematikan benda kecil berisik i
”Tidak ada namanya. Aneh. Belakangan ini banyak sekali paket untuk Will tapi tak ada pengirimannya. Hmm, bisa saja itu dari penggemarnya,” gumam Hanna sembari meletakkan buket bunga di atas meja. Pintu kamar tetiba diketuk dari luar. Seorang pria tampan masuk sambil membawa buket bunga. Ia mematung di ambang pintu saat tatapannya bertemu dengan mata Hanna. Ada rindu yang terpendam dari setiap cahaya yang terpancar dari matanya. ”George?” ”Hai, emm… aku ingin menjenguk Will. Tadi aku melihat berita Will di televisi. Bagaimana kondisinya sekarang?” George melangkah lebih dekat dengan Hanna hingga jarak yang tersisa hanya satu meter saja. ”Seperti yang kau lihat dia masih terbaring. Belum sadar.” Mereka berdua terlihat canggung. Tentu saja. Siapa pun pas
”Ia masih belum sadar. Saat ini Will masih mengalami trauma di bagian kepalanya. Dan kemungkinan ia tidak akan bangun beberapa hari ini.” ”Apa? Will—” ujar Hanna lirih, ”tapi, Will bisa sehat kembali kan, dok?” ”ya, semoga saja ia bisa melewati masa kritisnya. Kalau begitu saya permisi dulu.” Ryan tiba-tiba berbicara, ”aku akan mengurus administrasinya, Hanna kau jenguklah Will.” Hanna mengangguk sambil berkata, ”hmm, terima kasih Ryan.” Tiga puluh menit kemudian, beberapa perawat keluar dari ruang operasi sambil mendorong ranjang tempat Will terbaring. Pria itu belum sadar, ia masih terpejam. Beberapa selang terpasang di hidung dan mulutnya. Juga di lehernya dipasang alat penyangga. Kimberley tersedu-sedu sambil menyerukan nama Will Greyson.
”Mobil Will Greyson terperosok ke dalam jurang. Saat ini beberapa petugas polisi sudah turun ke bawah dan berusaha menyelamatkan Will yang sudah tak sadarkan diri. Situasi di sini juga ramai dari kerumunan orang-orang yang penasaran. Saya Gracia Belle melaporkan dari tempat kejadian.”Berita tentang kecelakaan Will wara-wiri di seluruh saluran televisi. Sendok yang sedari tadi Hanna pegang berdentang di atas piring. Berita itu berhasil membuatnya bergeming.”Will—” ucapnya dengan lirih.Tetiba ponsel Hanna berdering. Nomor asing terpampang di layar ponselnya. Hanna sempat ragu untuk menjawab, tapi bisa saja itu kabar tentang Will.[”Ya, halo.””Aku Ryan manajernya Will. Hmm, Will kec
”Kau—” Hanna tertegun melihat sosok wanita yang di hadapannya, lalu ia menimpali, ”Ya, mungkin karena aku tidak bermulut tajam seperti dirimu. Apa di rumahmu tidak ada jam? Ini masih pukul 7 pagi dan kau sudah bertamu ke rumah orang lain dengan penampilan seperti itu,” Hanna menggeleng-geleng kepala melihat Kimberley yang lebih terlihat seperti menghadiri pesta. Untuk apa Kimberley bertamu sepagi ini dan sudah bermulut jahat kepada Hanna. Seketika Kimberley menggigit bibirnya, ia begitu kesal dengan Hanna. Tidak pernah ia dibuat tak berkutik seperti ini. Namun, Kimberley tetap menunjukkan keangkuhannya dan bersikap bak putri raja menyelonong masuk sambil mengangkat dagunya . ”Will tidak ada di rumah.” ”Aku tahu. Aku datang kesini untuk menemui dirimu, bukan Will,” sahut Kimberley ketus.
”Aku tahu, kau ingin melakukan sesuatu yang licik dan kotor terhadapku, kan?” Hanna menyipitkan matanya.Will gelagapan lalu berkilah, ”bukan. Kau dan hayalanmu terlalu liar. Ah, sudahlah. Aku sudah ngantuk, kita pulang saja.”Dengan tergesa-gesa Will masuk ke dalam mobil. Apa yang kau pikirkan,Will? Kau tertangkap basah. Kini Will hanya perlu bermuka tebal, walaupun ia sangat canggung. Sedikit lagi bibirnya akan merasakan bibir Hanna. Benar-benar memalukan.Perasaan aneh dan penuh ketegangan menyelimuti keduanya. Hanna tidak hentinya berpikir kalau Will akan menciumnya. Sedangkan Will mengutuki dirinya yang begitu ceroboh menyosor bibir orang lain. Tidak bisa dibiarkan. Benar, pria harus punya harga diri.Saat mereka tiba di rumah, sebuah kotak kecil ber