Sore itu, Will Greyson mengunjungi dokter George, psikolog yang selama ini melakukan terapis pada Will. Pria manis itu duduk di depan Will. Ia memegang selembar kertas di tangannya. Alisnya yang tebal itu sedikit naik, aura bahagia terpancar dari wajah tirus itu.
”Kulihat, kau sedikit mengalami perubahan. Emosi dan kecemasanmu sedikit terkontrol. Aku jadi penasaran dengan gadis itu.” Ujar George sembari meletakkan kertas itu di atas meja.
Will yang sedari tadi duduk bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada, mengubah posisi duduknya. Raut wajahnya berubah masam. Ia masih memendam rasa kesalnya kepada Hanna.
”Dia itu gadis tergila yang pernah kutemui. Sangat kuat seperti pria saja. Sedikit pun tidak anggun seperti Kimberley. Tapi, kau tahu sekalipun ia gadis yang bar-bar, ada pria yang berlutut mengemis cinta padanya.” Will bangkit berdiri, berjalan menuju jendela.
Ia perhatikan sejenak pemandangan di luar. Pandangan George mengikuti kemana Will pergi. Lalu, Will membalikkan badannya dan bersandar di sana.
”Bagaimana bisa ia menggilai wanita itu.” Will menggeleng kepala.
George tertawa renyah mendengar cerita Will. Sedetik kemudian, keningnya berkerut. Jelas sekali ia sedang memikirkan sesuatu.
”Bagaimana jika wanita itu menjadi terapis untukmu? Mengingat, dia tidak membuatmu bereaksi terhadap phobia-mu.”
”What? Kau bercanda. Aku tidak ingin bertemu dengan gadis gila itu lagi. Apalagi menjadi terapis untukku. No way! Cukup dalam mimpimu saja.” Will menyanggah semua ucapan George.
Dokter muda itu tersenyum mendengar perkataan Will. Ia tahu betul, Will seorang yang keras kepala dan susah di ajak kompromi. Namun, George bukan tipe pria yang gampang menyerah dalam menghadapi Will. Ia masih mengingat saat pertama kali Will datang berkonsultasi kepadanya.
Pria angkuh itu datang dalam keadaan yang kacau. Ia masih mengingat jelas kebencian Will kepada Ibunya dan Ayahnya. Namun, ia paling menderita ketika Ayahnya meninggal. Dalam setiap waktu, Will selalu mengutuki Ibunya itu.
”Bukankah tujuanmu melakukan terapi selama ini, untuk mendekati Kimberley? Lalu, mengapa sekarang kau menolak? Aku tidak sembarang bicara.”
Will diam saja di sana mendengar ucapan George. Ia agak malas untuk menanggapi George. Lalu George memutar kursinya mengarah Will.
”Bagaimana kau bisa mendekati Kimberley, untuk mengalahkan ketakutanmu saja kau tidak mampu. Kemarilah, duduk di sini. Ceritakan semua padaku perasaanmu saat kontak fisik dengan gadis itu. Aku akan mengevaluasi kembali. Apakah ini pilihan yang tepat atau bukan.” George menunjuk kursi yang ada di depannya.
Will menurut saja dengan ucapan George. Ia duduk sambil melipat tangan dan menyilang kaki.
”Itu tidak disengaja. Terjadi begitu saja. Kimberley tidak mengetahui aku yang mengidap philophobia, jadi bukan salahnya jika ia menyentuhku. Tapi, saat gadis itu jatuh di atas tubuhku, aku merasa tenang. Sesak yang tadinya menghimpit, terasa lega.”
George menyimak setiap perkataan Will. Sesekali ia mengangguk. ”Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?”
”Ada beberapa penggemar yang mendekati. Kau tahu, satu wanita saja aku sudah sesak luar biasa. Entah mengapa, gadis itu tidak membuat aku merasa panik tapi terasa nyaman. Hanya saja, dia gadis yang kasar. Aku tidak suka itu.”
Will mengakhiri ceritanya, kemudian ia menghabiskan teh yang ada di meja itu. Tenggorokannya terasa kering setelah bercerita panjang lebar kepada George.
”Aku mengerti, sepertinya gadis itu memberikan dampak yang bagus untuk mu. Jadi, cobalah untuk tetap berhubungan dengannya. Berteman saja dengan dia. Ini cara terbaik untuk terapi mu. Buang pikiran negatif, kau harus optimis untuk sembuh.”
Hanna duduk di depan televisi, tangannya sibuk memencet tombol remote. Tak satu pun menarik perhatiannya. Sesekali ia melirik jam, sudah 30 menit ia menunggu George menjemputnya. Namun, pria itu belum juga muncul. Hanna mulai kesal. Menunggu adalah hal yang paling ia benci.
Perhatiannya tertuju pada layar yang ada dihadapannya. Keningnya sedikit mengkerut. Ia mengenali pria dalam televisi itu. Kemudian ia tersenyum sinis.
”Bukankah itu si mesum? Huh! Ternyata dia seorang penyanyi. Pantas saja dia berlagak sok hebat.”
Video Will saat menolak penggemarnya di tayangkan di siaran gosip. Mereka menjadikan itu sebagai senjata untuk menjatuhkan pamor Will. Bahkan sebulan yang lalu pun Will di gosipkan sebagai seorang guy. Sebab ia tidak pernah terlihat berkencan dan mendekati para gadis.
”Aish, ternyata ia pria yang angkuh. Seharusnya ia menyapa penggemarnya itu. Dasar penyanyi mesum sok hebat.” Hanna meletakkan keripik kentangnya itu ke atas meja, begitu mendengar ketukan dari pintu.
George berdiri di sana, ia terlihat tampan dengan kaus hitam dan celana jeans senada dengan kausnya. Sebuah senyuman terukir di wajah itu.
”Maaf, aku baru datang. Tadi ada pasien yang mengunjungi aku, jadi aku harus melayani nya terlebih dahulu. Kau tidak marah kan?”
”Hampir saja aku memutuskanmu.” Nada bicara Hanna sedikit ketus.
George tertawa mendengar perkataan gadis itu. Bagi George, Hanna adalah belahan jiwanya. Meskipun Hanna sering mengacuhkannya dan sedikit jutek, ia tidak peduli itu. Benar kata orang, cinta itu buta. Yah, paling tidak itu berlaku pada George dan para mantan Hanna yang lainnya.
”kau mau makan apa?” Tanya George tanpa menoleh. Perhatiannya fokus ke jalan.
”Hmm, barbeque. Sky restoran menyajikan barbeque terlezat di kota ini. Kita dinner di sana ya.” Balas Hanna dengan tatapan yang berbinar melihat George.
”Baiklah, kau bosnya.”
Setelah dua puluh menit, mereka tiba di restoran itu. George memarkirkan mobilnya di halaman depan. Hanna yang sudah kelaparan itu, meninggalkan George di belakang.
”Hei, tunggu aku Hanna.” Teriak George sembari menyusul Hanna.
”Hari ini aku begitu sial. Tadi aku bertemu dengan seorang pria mesum.” Hanna sibuk membalikkan potongan daging itu agar tidak gosong. ”Tapi, aku puas sudah menghajarnya.” Suara tawa Hanna mengundang perhatian pengunjung yang lain.
George yang sedari tadi memperhatikan Hanna, menanggapi ucapan kekasihnya itu. ”Apakah dia menyakitimu?”
”George, aku tidak mudah di taklukkan. Justru dia yang menderita.” Jawab Hanna bangga.
Hanna menceritakan semua pengalaman siang tadi. George menyimak setiap perkataan Hanna. Terkadang George tertawa dengan candaan garing Hanna.
Jauh dari sky restoran, Will tengah duduk di halaman belakang rumahnya. Ia menikmati pemandangan tanaman anggrek dan mawar yang sedang bermekaran. Dulu demi menghibur hatinya yang terluka, ia akan selalu berada di sana menyibukkan diri dengan menanam bunga. Kini, ia tinggal menikmati jerih payahnya itu. Bunga-bunga itu tumbuh dengan baik dan rimbun.
Di kursi putih itu Will terduduk, tangan kirinya memegang foto Kimberley dan yang satu lagi menggenggam kertas iklan milik Hanna. Pikirannya masih bergelut dengan egonya. Dalam hati kecilnya ia ingin sembuh, sementara logikanya mengekang. Ia enggan berurusan dengan gadis yang sudah menghajarnya habis-habisan.
Sedetik kemudian ia menertawakan keputusan gilanya. Setelah bertarung mati-matian dengan logikanya, ia memutuskan untuk mencoba saran dokter George.
'Will, pada akhirnya kau menjatuhkan harga dirimu, demi kimberley.' Ucap Will pada diri sendiri.Kemudian ia mengambil ponselnya dan menekan nomor yang tertera di kertas itu. Will menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Beberapa detik kemudian, panggilan itu tersambung.Hanna yang tengah menyantap barbeque-nya terusik dengan dering ponselnya. Ia menyipitkan mata bulat itu ketika melihat nomor tidak di kenal menghubunginya. Dengan malas ia menjawab panggilan itu.”Ya, halo. Hanna di sini.” Suara Hanna terdengar kurang jelas sebab mulutnya masih penuh dengan barbeque.[ Hai gadis gila. Apa kau mengingat aku? ]Sesaat mulut Hanna berhenti mengunyah. Ia tengah mengingat suara si penelepon itu. Ketika ia menyadari suara itu milik Will Greyson, Hanna membelalakkan mata dan tersedak. George segera berdiri dan menyodorkan air mineral. Hanna mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada George untuk tetap di kursin
Semalam Hanna tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya dipenuhi dengan tawaran pekerjaan Will. Kadang keningnya mengkerut dan kadang juga alisnya terangkat. Tak perlu dijelaskan, ia pasti sedang mengalami kesulitan dalam mengatasi pikiran anehnya itu. Ia melirik jam yang berdiri tegak di atas meja riasnya, sudah pukul 10 pagi. Terdengar suara gemeretak ketika jarinya mengetuk meja. 'Apa salahnya mencoba. Mungkin ia serius.' Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Saat Hanna keluar dari peraduannya, ia mendapati ibunya tidak ada di rumah. Nyonya Mery sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Lalu ia mengambil tas selempang pink-nya dari sofa depan. Setelah menyandang tasnya itu, Hanna pergi keluar. Kunci rumah itu, ia sembunyikan di bawah pot bunga yang berada di dekat pintu. Sebab kuncinya hanya ada satu, jadi kalau ibunya pulang bisa masuk ke rumah tanpa harus menunggu Hanna. Ia berjalan keluar gang, sesampainya di jalan besar Hanna menunggu bus
”What????” Hanna membelalakkan matanya.Hampir semenit mereka berdua hening. Bola mata Hanna membara. Ucapan Will membuat tekanan darah Hanna naik, hingga sedikit terasa menegang di punuknya. Saat ini Hanna ingin sekali meloncati meja itu dan menghajar Will."Apa tadi kau menghabiskan sarapanmu?" Tanya Hanna dengan wajah kesal.Will mengernyitkan dahinya, "Hmm, tidak. Aku hanya minum jus wortel dan tomat saja. Mengapa?"Sudut bibir Hanna naik sebelah, "Pantas saja otakmu tidak bekerja dengan baik. Terapi sentuhan katamu?" Hanna memalingkan wajahnya ke luar kaca, "Cih! Dasar pria mesum gila. Hampir saja aku mempercayai omonganmu. Aku memang membutuhkan pekerjaan tapi tidak jika itu harus memberi kau sentuhan. Maaf aku tidak mau. Kau cari saja wanita lain. Di luar sana banyak tuh yang menjajakan di pinggir jalan, kau ambil saja mereka. Aku masih memiliki harga diri." Hanna menolak mentah-mentah tawaran Will. Raut wajahnya terlihat serius d
Saat Will sedang mengintai, seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya. Detik itu juga Will hampir berteriak karena kaget. Rupanya itu adalah Sean yang hendak berkunjung ke rumah Hanna.”Hei! Jika orang lain yang melihatmu, pasti mereka mengira kau adalah pencuri yang sedang mengintai calon korbanmu.” Sean mengikuti arah pandangan Will.Sean membelalakkan matanya dengan mulut terbuka lebar. Gadis yang dicintainya ada di depan sana dan Will sedang mengintainya. Sontak itu membuat Sean menjadi berang.”Dasar mesum. Kau sedang mengintip kekasihku.” Sean menarik kerah baju Will yang membuat Will menengadah.Begitu melihat rupa Will yang tersembunyi di bawah topinya, Sean menjadi salah tingkah. Ia mengenali Will Greyson. Tentu saja, siapa sih yang tidak mengenal seorang Will. Penyanyi yang hilir mudik di semua siaran televisi juga konsernya yang selalu sukses. Sebenarnya Sean salah satu penikmat lagu Will. Hanya Hanna saja yang kurang
”Spontanitas? Jadi maksudmu kau risih bila aku memelukmu?””Tidak. Bukan itu maksudku.””Lalu apa? Kau tahu itu melukai perasaanku. Kau mendorongku seolah-olah aku ini semacam kotoran saja.” Kimberley membuang pandangannya ke sudut ruangan.Will menghela napas, ia merasa bersalah telah mendorong gadis manja itu. Ia tahu betul, jika Kimberley tidak mau menatap wajahnya artinya gadis itu sangat membencinya. Tidak ada pilihan lain bagi Will. Meminta maaf pun, toh gadis itu tidak akan menolerir penyesalan Will.'Mungkin ini sudah saatnya aku memberitahu tentang phobiaku.' Will bergumam.Will berjalan mendekati tempat duduk Kimberley dan duduk di sampingnya.”Kim, sebenarnya..” Will terdiam sejenak, ia masih ragu untuk mengungkapkan penyakitnya. ”Kau tahu kan, sejak kecil aku beg
Begitu mendengar itu, Hanna hampir menyembur Sean dengan soda yang baru saja ia minum.”What??””Kau bercanda! No way! Sekalipun ia pria terakhir di bumi ini, aku tidak akan berkencan dengannya. Mengapa kau bertanya tentang itu?” Hanna balik mengintrogasi Sean.Sean merasa kikuk, ”tidak ada. Aku Hanya sembarang ngomong saja.” Sean cengar-cengir kepada Hanna.Hanna mengangkat tinjunya dan menggertak Sean, bibirnya komat-kamit.”Jika kau menyebut nama si brengsek itu lagi aku akan meninju wajah mulusmu ini.” Ancam Hanna, matanya melotot memandang Sean.”Ok, aku tidak akan.” Sahut Sean mantap.”Ini sudah malam, kau pulanglah. Aku mau istirahat.” Hanna lekas berdiri dan membuka pintu untuk Sean, memberi isyarat dengan mata agar Sean keluar.Seolah mengerti dengan kod
'Aku akan mengalahkanmu, rubah gila. Kau lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan. Haha..' Will tertawa lepas di dalam kamarnya.Suasana hatinya sedang baik. Will kemudian memainkan grand pianonya, alunan nada yang harmonis terdengar mengisi seluruh bangunan megah itu. Setiap jemari lentiknya menekan tuts dengan lembut. Menghasilkan resonansi nada yang luar biasa indah dan menyentuh hati bagi yang mendengar.Puas bermain piano, Will mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Kemudian menekan tombol panggilan. Dia scroll dari atas ke bawah mencari nomor Hanna, begitu mendapatkannya ia tersenyum licik. Tidak lama Will menunggu panggilan itu dijawab. Hanya butuh beberapa detik saja.[ ”Apa kau sudah memikirkan tawaranku kemarin?””Kau? Berani-beraninya kau menghubungi aku lagi! Sudah kukatakan aku tidak tertarik dengan tawaran gilamu itu.” Sahut Hanna dari s
”Upss,” Hanna keceplosan mengatakan tentang pernikahan. Sekarang ia malah kebingungan menjawab semua pertanyaan ibunya itu.”Hmm, ibu aku……””Kau apa?” Selidik Nyonya Mery.'Aku harus bilang apa sama ibu. Jika kukatakan Si brengsek itu mengajak aku menikah, ibu pasti akan dengan senang hati memberikan aku kepada si angkuh itu.’ Gumam Hanna dalam hati.Pergumulan terjadi dalam batin dan benaknya. Ia pandang ibunya, Nyonya Mery pun balik memandangnya dengan tatapan penasaran.”Beritahu ibu, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa Tuan Greyson memecat ibu? Dan apa hubungannya denganmu juga pernikahan?”Hanna tampak ragu untuk mengatakannya.”Ibu, sebenarnya si brengsek yang kukatakan kemarin adalah Will Greyson. Aku baru kenal dengannya dan kata