Share

6. Bertarung dengan logika

Sore itu, Will Greyson mengunjungi dokter George, psikolog yang selama ini melakukan terapis pada Will. Pria manis itu duduk di depan Will. Ia memegang selembar kertas di tangannya. Alisnya yang tebal itu sedikit naik, aura bahagia terpancar dari wajah tirus itu.

”Kulihat, kau sedikit mengalami perubahan. Emosi dan kecemasanmu sedikit terkontrol. Aku jadi penasaran dengan gadis itu.” Ujar George sembari meletakkan kertas itu di atas meja.

Will yang sedari tadi duduk bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada, mengubah posisi duduknya. Raut wajahnya berubah masam. Ia masih memendam rasa kesalnya kepada Hanna.

”Dia itu gadis tergila yang pernah kutemui. Sangat kuat seperti pria saja. Sedikit pun tidak anggun seperti Kimberley. Tapi, kau tahu sekalipun ia gadis yang bar-bar, ada pria yang berlutut mengemis cinta padanya.” Will bangkit berdiri, berjalan menuju jendela.

Ia perhatikan sejenak pemandangan di luar. Pandangan George mengikuti kemana Will pergi. Lalu, Will membalikkan badannya dan bersandar di sana.

”Bagaimana bisa ia menggilai wanita itu.” Will menggeleng kepala.

George tertawa renyah mendengar cerita Will. Sedetik kemudian, keningnya berkerut. Jelas sekali ia sedang memikirkan sesuatu.

”Bagaimana jika wanita itu menjadi terapis untukmu? Mengingat, dia tidak membuatmu bereaksi terhadap phobia-mu.” 

”What? Kau bercanda. Aku tidak ingin bertemu dengan gadis gila itu lagi. Apalagi menjadi terapis untukku. No way! Cukup dalam mimpimu saja.” Will menyanggah semua ucapan George. 

Dokter muda itu tersenyum mendengar perkataan Will. Ia tahu betul, Will seorang yang keras kepala dan susah di ajak kompromi. Namun, George bukan tipe pria yang gampang menyerah dalam menghadapi Will. Ia masih mengingat saat pertama kali Will datang berkonsultasi kepadanya.

Pria angkuh itu datang dalam keadaan yang kacau. Ia masih mengingat jelas kebencian Will kepada Ibunya dan Ayahnya. Namun, ia paling menderita ketika Ayahnya meninggal. Dalam setiap waktu, Will selalu mengutuki Ibunya itu. 

”Bukankah tujuanmu melakukan terapi selama ini, untuk mendekati Kimberley? Lalu, mengapa sekarang kau menolak? Aku tidak sembarang bicara.”

Will diam saja di sana mendengar ucapan George. Ia agak malas untuk menanggapi George. Lalu George memutar kursinya mengarah Will.

”Bagaimana kau bisa mendekati Kimberley, untuk mengalahkan ketakutanmu saja kau tidak mampu. Kemarilah, duduk di sini. Ceritakan semua padaku perasaanmu saat kontak fisik dengan gadis itu. Aku akan mengevaluasi kembali. Apakah ini pilihan yang tepat atau bukan.” George menunjuk kursi yang ada di depannya.

Will menurut saja dengan ucapan George. Ia duduk sambil melipat tangan dan menyilang kaki. 

”Itu tidak disengaja. Terjadi begitu saja. Kimberley tidak mengetahui aku yang mengidap philophobia, jadi bukan salahnya jika ia menyentuhku. Tapi, saat gadis itu jatuh di atas tubuhku, aku merasa tenang. Sesak yang tadinya menghimpit, terasa lega.” 

George menyimak setiap perkataan Will. Sesekali ia mengangguk. ”Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?”

”Ada beberapa penggemar yang mendekati. Kau tahu, satu wanita saja aku sudah sesak luar biasa. Entah mengapa, gadis itu tidak membuat aku merasa panik tapi terasa nyaman. Hanya saja, dia gadis yang kasar. Aku tidak suka itu.”

Will mengakhiri ceritanya, kemudian ia menghabiskan teh yang ada di meja itu. Tenggorokannya terasa kering setelah bercerita panjang lebar kepada George. 

”Aku mengerti, sepertinya gadis itu memberikan dampak yang bagus untuk mu. Jadi, cobalah untuk tetap berhubungan dengannya. Berteman saja dengan dia. Ini cara terbaik untuk terapi mu. Buang pikiran negatif, kau harus optimis untuk sembuh.”

Hanna duduk di depan televisi, tangannya sibuk memencet tombol remote. Tak satu pun menarik perhatiannya. Sesekali ia melirik jam, sudah 30 menit ia menunggu George menjemputnya. Namun, pria itu belum juga muncul. Hanna mulai kesal. Menunggu adalah hal yang paling ia benci. 

Perhatiannya tertuju pada layar yang ada dihadapannya. Keningnya sedikit mengkerut. Ia mengenali pria dalam televisi itu. Kemudian ia tersenyum sinis.

”Bukankah itu si mesum? Huh! Ternyata dia seorang penyanyi. Pantas saja dia berlagak sok hebat.”

Video Will saat menolak penggemarnya di tayangkan di siaran gosip. Mereka menjadikan itu sebagai senjata untuk menjatuhkan pamor Will. Bahkan sebulan yang lalu pun Will di gosipkan sebagai seorang guy. Sebab ia tidak pernah terlihat berkencan dan mendekati para gadis.

”Aish, ternyata ia pria yang angkuh. Seharusnya ia menyapa penggemarnya itu. Dasar penyanyi mesum sok hebat.” Hanna meletakkan keripik kentangnya itu ke atas meja, begitu mendengar ketukan dari pintu.

George berdiri di sana, ia terlihat tampan dengan kaus hitam dan celana jeans senada dengan kausnya. Sebuah senyuman terukir di wajah itu.

”Maaf, aku baru datang. Tadi ada pasien yang mengunjungi aku, jadi aku harus melayani nya terlebih dahulu. Kau tidak marah kan?”

”Hampir saja aku memutuskanmu.” Nada bicara Hanna sedikit ketus.

George tertawa mendengar perkataan gadis itu. Bagi George, Hanna adalah belahan jiwanya. Meskipun Hanna sering mengacuhkannya dan sedikit jutek, ia tidak peduli itu. Benar kata orang, cinta itu buta. Yah, paling tidak itu berlaku pada George dan para mantan Hanna yang lainnya.

”kau mau makan apa?” Tanya George tanpa menoleh. Perhatiannya fokus ke jalan.

”Hmm, barbeque. Sky restoran menyajikan barbeque terlezat di kota ini. Kita dinner di sana ya.” Balas Hanna dengan tatapan yang berbinar melihat George.

”Baiklah, kau bosnya.” 

Setelah dua puluh menit, mereka tiba di restoran itu. George memarkirkan mobilnya di halaman depan. Hanna yang sudah kelaparan itu, meninggalkan George di belakang. 

”Hei, tunggu aku Hanna.” Teriak George sembari menyusul Hanna.

”Hari ini aku begitu sial. Tadi aku bertemu dengan seorang pria mesum.” Hanna sibuk membalikkan potongan daging itu agar tidak gosong. ”Tapi, aku puas sudah menghajarnya.” Suara tawa Hanna mengundang perhatian pengunjung yang lain.

George yang sedari tadi memperhatikan Hanna, menanggapi ucapan kekasihnya itu. ”Apakah dia menyakitimu?”

”George, aku tidak mudah di taklukkan. Justru dia yang menderita.” Jawab Hanna bangga.

Hanna menceritakan semua pengalaman siang tadi. George menyimak setiap perkataan Hanna. Terkadang George tertawa dengan candaan garing Hanna.

Jauh dari sky restoran, Will tengah duduk di halaman belakang rumahnya. Ia menikmati pemandangan tanaman anggrek dan mawar yang sedang bermekaran. Dulu demi menghibur hatinya yang terluka, ia akan selalu berada di sana menyibukkan diri dengan menanam bunga. Kini, ia tinggal menikmati jerih payahnya itu. Bunga-bunga itu tumbuh dengan baik dan rimbun.

Di kursi putih itu Will terduduk, tangan kirinya memegang foto Kimberley dan yang satu lagi menggenggam kertas iklan milik Hanna. Pikirannya masih bergelut dengan egonya. Dalam hati kecilnya ia ingin sembuh, sementara logikanya mengekang. Ia enggan berurusan dengan gadis yang sudah menghajarnya habis-habisan.

Sedetik kemudian ia menertawakan keputusan gilanya. Setelah bertarung mati-matian dengan logikanya, ia memutuskan untuk mencoba saran dokter George.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status